PERCEPATAN PEMBANGUNAN WILAYAH TIMUR KALIMANTAN BARAT MENYONGSONG TERBENTUKNYA PROVINSI KAPUAS RAYA DAN UPAYA MERETAS KEPEMIMPINAN NASIONAL
DAN DAERAH
oleh:
Arkanudin
Guru Besar Antropologi Fisip Universitas Tanjungpura Pontianak
A. PENDAHULUAN
Dalam sejarah ketatanegaraan negara-negara di dunia, fenomena pemekaran daerah telah terjadi sepanjang waktu. Pemekaran daerah dalam perspektif historis (Fiorina, 1995) dapat berupa perluasan wilayah (expansion), tetapi dapat juga berupa pemecahan (divided) satu wilayah administrasi menjadi beberapa wilayah baru yang berkedudukan minimal setara dengan daerah asal.
Implikasi pemekaran, baik secara ekspansi maupun divided adalah terjadinya distribusi kekuasaan (power distribution) atau delegasi kekuasaan (power delegation) berikut segala hal yang menyertai pemekaran tersebut (Kitgaard dan Light, 2005).
Dalam negara modern seperti sekarang ini, pemekaran daerah lebih difahami sebagai kebijakan politik lokal dan nasional karena orientasinya adalah untuk membagi habis tugas pemerintah berdasarkan prinsip kewenangan sisa (residu of power), yakni sebuah model pembagian kekuasaan secara habis diantara berbagai tingkat pemerintahan yang ada. Dengan prinsip ini, apa yang telah diserahkan oleh pusat kepada daerah akan menjadi tugas daerah dan seterusnya sehingga tugas penyelenggaraan pemerintah menjadi terbagi habis sampai ke kabupaten/kota.
Dengan berbekal prinsip ini, daerah perlu menegaskan dalam berbagai bentuk komunikasi, baik ke atas (kepada pemerintah pusat), maupun komunikasi sejawat (melalui APPSI = Assosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia) serta komunikasi ke bawah (dengan masyarakat) bahwa pemekaran Provinsi Kalbar ke dalam Kalbar dan Kapuas Raya adalah tidak dalam konteks pemisahan daerah dari NKRI, melainkan sebagai upaya untuk mempercepat pembangunan daerah, perbaikan kualitas pelayanan publik, dan dalam rangka memanajemeni berbagai potensi daerah yang selama ini belum tersentuh sebagai akibat dari luasnya Provinsi Kalbar saat ini.
Pemekaran wilayah, meskipun dipengaruhi oleh nuansa debirokratisasi, demokratisasi, globalisasi, transparansi dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan, tetapi prinsip-prinsip good governance sebagaimana disebut di atas sering tidak berjalan secara optimal dan ini akan menjadi bahan evaluasi bagi pusat untuk mengabulkan rencana dan wacana pemekaran wilayah. Solusinya adalah, perlu adanya penguatan di tingkat lokal bahwa usul dan wacana pemekaran provinsi merupakan sebuah kebutuhan seluruh rakyat di Kalimantan Barat.
Adalah sangat sulit untuk menyibak dan mengkatalisasi berbagai kepentingan dibalik rencana dan wacana pemekaran wilayah. Agar tidak dikhotomis, maka makalah ini tidak menjustifikasi berbagai nuansa yang memunculkan fenomena pemekaran wilayah, tetapi hanya ingin memotret secara ilmiah kebutuhan ideal dalam pemekaran, dampak pemekaran, tujuan pemekaran dan konsekwensi pemekaran wilayah dengan mengambil lokus di Kalimantan Barat.
B. IDE PEMEKARAN WILAYAH DAN MUNCULNYA ELIT LOKAL
Kalbar, dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, dengan wilayah yang begitu luas, dianggap terlalu berat untuk melaksanakan semua tugas yang telah dilimpahkan pusat kepada daerah sehingga itu perlu dipersempit melalui pemekaran wilayah.
Berbagai keterbatasan dalam penyediaan layanan publik dan “ketimpangan” alokasi dana pembangunan yang selama ini dilakukan oleh Provinsi Kalbar ke wilayah calon Provinsi Kapuas Raya perlu diungkap secara transparan dengan melibatkan berbagai unsur seperti LSM, Universitas dan Lembaga Independen serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang ada di MPR melalui suatu kajian ilmiah mendalam. Dengan dasar hasil riset, rekomendasi pemekaran provinsi akan menjadi lebih kuat sehingga pusat melihat wacana Pembentukan Provinsi Kapuas Raya sebagai sebuah agenda nasional untuk melahirkan pemerintahan yang bersih dan dekat dengan rakyat (Smith, 1985; dan Islamy, 1998).
Kehadiran Provinsi Kapuas Raya hendaknya semata ditujukan untuk mengoptimalkan peran pemerintah daerah sebagai penyedia (provider) berbagai layanan publik (public service delivery) secara lebih baik (Zaithaml et all, 1990). Oleh karena itu, sebagaimana ditunjukkan oleh Smith (1985); Chema and Rondinelli (1985); Osborne dan Gaebler (1993), bahwa misi pemekaran suatu daerah selalu dilandasi oleh semangat desentralisasi yang tidak hanya mencakup aspek kapabilitas dan kapasitas (otonom) tetapi juga dalam nuansa kejiwaan sebagai satu bangsa agar semangat pemekaran tidak mengarah pada desintegrasi bangsa.
Di Indonesia, pemekaran daerah selalu berangkat dari kualitas pelayanan publik dan demokratisasi dan itu menjadi fenomena yang terus berlangsung sampai sekarang. Pemekaran wilayah juga terjadi pada era kolonial meskipun itu dilakukan dalam rangka pengendalian dan pengawasan atas gerakan masyarakat yang ingin melawan penjajah.
Fakta sejarah membuktikan bahwa, sejak pemerintahan kolonial Belanda, Indonesia hanya dibagi ke dalam 4 konfederasi yakni Jawa dan Bali; Sumatera; Sulawesi dan Kalimantan (http://www.wikipeda.com). Kemudian, pemekaran wilayah juga terjadi di zaman Pemerintahan Soekarno yang membagi wilayah Indonesia ke dalam 24 provinsi. Hal yang sama, di era pemerintahan Orde Baru dibawah Presiden Soeharto, paling tidak muncul sebanyak 3 provinsi baru di nusantara ini, yakni Provinsi Lampung, Timur Timor dan Irian Jaya. Dua provinsi terakhir, yakni Timur Timor dan Irian Jaya diperoleh dengan ekspansi (baca: perebutan kembali) daerah Nusantara ke pangkuan Pertiwi.
Di era reformasi, yang dimulai dari Presiden Habibie sampai dengan Duet SBY-MJK telah melahirkan sejumlah provinsi baru seperti Gorontalo, Maluku Utara, Banten, Bangka Belitung, Papua Barat, dan Sulawesi Barat. Secara lengkap, perkembangan wilayah administrasi provinsi di Indonesia sampai saat telah menjadi 33 buah provinsi (http://www.wikipeda.com).
Berdasarkan perkembangan jumlah provinsi yang ada, terlihat bahwa terdapat signifikasi pertambahan penduduk dengan jumlah administrasi kewilayahan (aspek administrasi sosial dan demografis). Juga ditemukan adanya korelasi antara demokratisasi dengan kebutuhan pemekaran wilayah (aspek ekonomi dan politik). Secara filosofis, pertambahan administrasi kewilayahan selain disebabkan oleh adanya kebutuhan kualitas penyediaan layanan publik oleh pemerintah kepada masyarakat, kemunculannya juga dianggap sebagai sebuah fenomena yang multi dimensi: alami, politis, ekonomi dan kekuasaan.
Pemekaran wilayah provinsi juga membawa konsekwensi pada pemekaran Kabupaten dan bahkan pemekaran kabupaten sering dituduh sebagai "biang keladi" terjadinya pemekaran provinsi. Namun, apapun konsekwensinya, sebagai sebuah negara demokratis, sepanjang pemekaran wilayah dilakukan untuk kebaikan, peningkatan efisiensi, pemberdayaan rakyat, peningkatan daya saing, mempertahankan sifat dan kultur lokal bangsa Indonesia, mempercepat laju pembangunan daerah dalam koridor ketahanan nasional, pemerintah pusat tetap akan memfasilitasinya karena ia telah menjadi sebuah kebutuhan dan kehendak publik. Namun, semangat daerah dalam memperjuangkannya tetap dibutuhkan guna mempercepat realisasinya.
Adalah tidak beralasan apabila pemerintah pusat mengganjal usaha pemekaran daerah yang digagas sesuai dengan prinsip moral dan kebutuhan daerah sebagaimana di atas. Dengan pemekaran, pusat juga tidak kehilangan kedaulatannya baik pada negara maupun pemerintah daerah, dan bahkan ada tendensi pemekaran dapat meringankan beban pekerjaan pusat di daerah sehingga upaya membawa bangsa dan negara menuju negara kesejahteraan (welfare state) menjadi semakin enteng karena tugas pemerintah dilaksanakan bersama dengan pembagian tugas yang tegas dan tidak mendua.
Dari pembacaan tabel perkembangan daerah otonom di Indonesia, tren menaik terjadi di era penerapan UU No. 22/1999 yang aromanya telah terjadi sejak 1999. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa otonomi daerah menjadi pemicu tren tersebut.
Berbicara mengenai otonomi daerah, maka kita tidak dapat melepaskan diri dari pembahasan mengenai desentralisasi (Prasodjo, 2006), yang rel berpijaknya adalah upaya untuk menghasilkan tatakelola pemerintahan yang baik, meningkatkan kepercayaan publik, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, menghasilkan barang dan jasa publik yang lebih efektif dan efesien (Savas, 1982; dan Fukuyama, 2004). Namun, dengan pengalaman 6 tahun penyelanggaraan Otonomi Daerah, harapan tersebut masih jauh.
Disana masih terjadi tarik-menarik kewenangan baik antara kabupaten dengan provinsi dan bahkan antara provinsi (Gubernur) dengan pusat, padahal Gubernur sebagaimana Pasal 10 ayat 5 huruf b merupakan wakil pemerintah pusat di daerah. Oleh karena itu, kemunculan Provinsi Kapuas Raya nanti hendaknya sekaligus menuntaskan permasalahan ini, terutama yang terkait dengan distribusi dan kewenangan pengaturan kawasan potensi dan ekonomis yang terdapat di wilayah Provinsi Kapuas Raya seperti antara lain kawasan perbatasan, kawasan lindung (konservasi), hutan produksi dan lain-lain.
Perlu diingat bahwa keberadaan daerah merupakan subsistem dari sistem pemerintahan negara secara keseluruhan (Smith, 1985) atau dalam istilah Hoessein (2000) disebut dengan integrated field administration dimana tidak memungkinkannya daerah yang dengan segala keterbatasannya dan dengan hubungan sosio kultural yang kental sebagai sebuah bangsa ingin lepas atau terlepas dari pusat.
Sebuah sistem pemerintahan dalam negara hanya akan berfungsi jika sub-sub sistem yang ada terintegrasi, saling mendukung, dan tidak berlawanan (Dunleavy dan O’Leary, 1987; dan Prasodjo, 2006). Hal ini pula yang ingin diwujudkan melalui pembentukan Provinsi Kapuas Raya dengan melaksanakan local state government dan local self government secara konsekwen.
Jika local state government melahirkan wilayah administrasi pemerintah pusat di daerah yang direpresentasikan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan instansi vertikal di daerah, maka local self government melahirkan daerah atau wilayah otonom yang direpresentasikan dengan keberadaan DPRD (Muddick, 2004; Muluk, 2006).
Di Indonesia, perwujudan local state government dan local self government mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Jika dalam UU No. 5 Tahun 1974, daerah administratif dan daerah otonom bertumpuk pada wilayah kabupaten/kota dan provinsi, maka baik dalam UU No. 22 Tahun 1999 maupun UU. No 32 Tahun 2004, daerah otonom berimpit di provinsi sehingga provinsi selain berkedudukan sebagai daerah otonom juga sebagai wilayah administrasi. Konsekuensinya, selain sebagai kepala daerah, gubernur juga wakil pemerintah pusat di daerah. Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur menjalankan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepadanya sebagaimana ketentuan UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 12 ayat (2), yang menyatakan bahwa pelimpahan wewenang tugas pemerintah pusat berdasarkan Pasal 10 ayat 3 UU No. 34 Tahun 2004 adalah di luar bidang desentralisasi yakni Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional, dan Agama.
Pelimpahan tugas dari pemerintah pusat kepada gubernur juga disebutkan harus disertai dengan pendanaan, sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Ini menjadi sangat penting bagi Gubernur agar dapat melaksanakan tugas pemerintah pusat yang ada di daerah secara wajar dan tidak mengalami hambatan dalam koordinasi dan fasilitasi. Bila sudah demikian, maka pusat dapat dengan mudah mengukur dan mengevaluasi kinerja seorang Gubernur dalam satu periode tertentu.
Pemekaran akan membutuhkan banyak sarana dan prasarana demi mencukung bekerjanya sebuah pemerintahan yang baru. Itu harus dibayar mahal dengan hadirnya pemerintah lokal yang berpihak dan dekat kepada rakyat yang berupaya mewujudkan local state government (Provinsi) dan local self government (Kabupaten) secara konsisten. Perwujudan ini sekaligus untuk menepis kemunculan elit lokal yang hanya haus akan kekuasaan dan uang atau untuk melawan fenomena dropping pejabat ke daerah oleh pusat yang terjadi di Indonesia sejak 1960-an sampai 1998 (Mackie, 1980:672). Dengan berakhirnya era dropping pejabat, sekarang muncul pula konsep putera asli daerah yang juga menjadi antagonis dari penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance).
Dalam berbagai literatur sistem pemerintahan, penerapan baik model dropping pejabat maupun konsep putera asli daerah akan melahirkan peluang yang sama akan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga keduanya cenderung dihindarkan. Bila model pertama akan menimbulkan terjadinya penjajahan (optasi), maka model kedua akan memunculkan istilah raja kecil (kooptasi).
Untuk melakukan pemekaran wilayah, suatu daerah harus merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 tahun 2000 sebagai petunjuk pelaksanaan (juklak) dari UU No 22/1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32/2004. Juklak tersebut berisi tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah.
Dalam PP tersebut dijabarkan setidaknya ada 7 syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap daerah jika ingin menerapkan kebijakan pemekaran wilayah yakni, (1) kemampuan ekonomi, (2) potensi daerah, (3) sosial budaya, (4) sosial politik, (5) jumlah penduduk, (6) luas daerah, dan (7) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Proposal pemekaran daerah hendaknya mengacu pada konten PP tersebut sehingga memiliki dasar kuat dan legal untuk dikabulkan pusat.
C. TUJUAN DIBALIK PEMEKARAN WILAYAH
Masalah pemekaran memang persoalan yang masih sedikit sensitif untuk dibicarakan di tengah kondisi negara yang krisis seperti saat ini. Namun, karena menjadi kebutuhan bagi perkembangan daerah, maka sensitivisme tersebut dapat diabaikan. Sudah cukup jelas bahwa wilayah administratif yang terlalu luas telah menyebabkan berbagai persoalan sosial, pemerintahan dan pembangunan, sehingga pemekaran dianggap menjadi jalan tengah untuk memperbaiki berbagai persoalan daerah tersebut.
Pemekaran wilayah hendaknya dapat dilepaskan dari frame kepentingan-kepentingan kelompok tertentu seperti mengharapkan DAU/DAK dan terbukanya lowongan jabatan kepala daerah, kepala-kepala dinas dan badan-badan fungsional untuk diisi oleh elit-elit yang berkepentingan. Refleksi Habibie secara jelas menegaskan agar daerah yang akan dimekarkan harus melalui pertimbangan matang ditinjau dari berbagai semua sudut pandang, paling tidak memenuhi ketujuh unsur prasyarat formal.
Harus disadari bahwa, pihak yang menuntut pemekaran adalah warga berdasarkan keluhan-keluhan mendasar yang mereka alami selama ini. Keluhan itu antara lain adalah kesulitan melakukan urusan administrasi, kesulitan adalam akses karena belum terbangunnya jalan dan sarana infrastruktur lainnya yang mendukung.
Rendahnya pertimbangan aspek ekonomi dalam pemekaran wilayah akan membawa konsekwensi pada kentalnya faktor emosional kedaerahan dan aspek politik dibanding pertimbangan daya dukung dan kesejahteraan ekonomi daerah. Dalam kondisi seperti ini, pemekaran daerah akan dinilai sebagai upaya untuk memperoleh dana transfer dari pemerintah pusat melalui mekanisme dana perimbangan.
Para pengambil kebijakan di tingkat pusat, hingga saat ini masih percaya dengan hasil studi yang dilaksanakan oleh Departemen Ilmu Ekonomi FEUI (2005) yang menyimpulkan bahwa pemekaran wilayah yang selama ini dilakukan ternyata belum secara sungguh-sungguh memperhitungkan aspek kinerja pembangunan daerah. Data dan informasi yang digunakan cenderung manipulatif dan tidak sesuai dengan realitas sehingga wajar apabila daerah baru hasil pemekaran memiliki kinerja yang kurang baik. Hasil studi tersebut juga menunjukkan bahwa kinerja pemerintah daerah hasil pemekaran belum optimal mendukung pencapaian dan tujuan otonomi daerah. Ukuran optimal pemerintah daerah akan tercapai apabila memenuhi kriteria efisiensi, distribusi, demokrasi dan kinerja pembangunan seperti yang ditunjukkan oleh Provinsi Gorontalo dalam 5 tahun terakhir ini.
D. KONSEKWENSI PEMEKARAN: PEMBANGUNAN DAN SUKSESI KEPEMIMPINAN
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagaimana dimuat oleh harian WASPADA (Jumat, 24 Agustus 2007) menegaskan bahwa jika pemekaran satu daerah tidak memiliki urgensi dan manfaat, pendekatan dan tujuannya bukan untuk kepentingan rakyat, maka pemekaran itu harus ditolak. Presiden mengingatkan para tokoh di berbagai daerah bahwa pemekaran sebuah wilayah tidak boleh dilakukan dengan tujuan memenuhi kepentingan orang per-orang, apalagi demi mengejar kekuasaan belaka.
Statemen di atas merupakan sebuah ungkapan kerisauan seorang presiden atas fenomena pemekaran daerah yang meningkat sejak 5 tahun belakangan ini dan statemen ini sekaligus sebagai pengingat (warming) bahwa hendaknya pemekaran wilayah memenuhi unsur legalitas formal dan realitas untuk percepatan pembangunan daerah.
Konsekwensi dari pemekaran daerah antara lain adalah akan munculnya pemimpin dari sekelompok orang yang diusulkan atau mengusulkan diri menjadi calon pemimpin. Pilkada langsung yang dimulai sejak Maret 2006, untuk memilih Kepala Daerah (gubernur/wakil gubernur, bupatai/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota) sekaligus menempatkan mekanisme itu sebagai seleksi alami yang dapat menghindari munculnya elit pragmatis dan opportunis di pentas lokal.
Sistematika yang telah apik sebagaimana diatur dalam UU No. 32/2004 dalam Pilkada langsung yang telah sukses dilaksanakan sejak 2004 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan kemudian bersambut memilih Kapala Daerah dinilai oleh banyak pihak telah berhasil mencapai tujuan-tujuan dasarnya, yakni (Lay, 2006; Faure and Niessen, 2007):
1. Menghasilkan pimpinan daerah melalui sebuah mekanisme pemilihan yang demokratis --bebas, adil dan tanpa kekerasan. Dari 186 penyelenggaraan Pilkada Langsung pada fase hingga akhir Juni 2005, tidak ditemukan adanya pelanggaran serius yang dapat menciderai apalagi menghilangkan elemen-elemen kebebasan, sebagai inti pokok dari proses pemilu demokratis.
2. Terjadinya rotasi kepemimpinan lokal secara reguler, karena pilkada langsung merupakan kelanjutan dari praktek pemilihan sebelumnya, tapi sekaligus telah meletakan dasar baru bagi sebuah mekanisme pertukaran elit secara reguler.
3. Meletakan fondasi baru bagi berlangsungnya proses pendidikan politik warga secara lebih luas.
Kejadian luar biasa dalam mekanisme pilkada di Indonesia sebagai pendidikan demokrasi politik dalam memilih pemimpin mulai dari tingkat lokal sampai nasional sekaligus telah mewarnai tidak saja sejarah demokrasi Indonesia tetapi juga sebagai tonggak perubahan sejarah perpolitikan dunia. Prestasi ini, diakui oleh banyak peneliti Barat dan dikomentari sebagai sebuah prestasi luar biasa di tengah kondisi krisis yang berkepanjangan (Conger and Riggio, 2007; dan Faure and Niessen, 2007). Berdasarkan Refleksi Habibie (2006), fenomena ini disebut Revitalisasi Kepemimpinan yang sekaligus menepis anggapan yang selama ini dialamatkan kepada Indonesia. Dengan sukses pilkadasung ini, seakan menyentakkan pihak luar bahwa krisis multidimensi yang terjadi sejak tahun 1998 tidak membawa Indonesia pada kondisi sulit dalam mendapatkan pemimpin dan calon-calon pemimpin yang berwawasan kenegarawanan, memiliki visi dan kemampuan transformator, dan pemimpin yang mampu membangun solidaritas kebangsaan.
Hadirnya SBY-MJK sebagai presiden pilihan rakyat dapat diterima oleh semua pihak sebagai sebuah hasil demokrasi. Oleh karena itu, pemilihan kepala daerah di Kalbar yang tertib, aman dan terkendali hendaknya juga dapat mengantarkan pada percepatan pemekaran Provinsi Kapuas Raya dan akan memunculkan pemimpin yang berkualitas dan berkaliber nasional dalam perpolitikan di Indonesia.
Jika kita bercermin kepada sejarah kepemimpinan nasional, jelas tampak betapa penting peran masyarakat madani (civil society) dalam melahirkan para pemimpin yang berkualitas. Peran yang besar dari masyarakat madani dalam rekrutmen pemimpin telah dibuktikan di era sebelumnya, di mana Indonesia mampu memunculkan pemimpin-pemimpin yang tak hanya berkaliber lokal dan nasional, tapi juga berkaliber internasional atau global. Soekarno, Hatta, Agus Salim, Sutan Syahrir, Muhammad Natsir, dan sebagainya, adalah produk model kepemimpinan di jamannya (Habibie, 2006).
Pelajaran penting yang dapat dipetik dari krisis kepemimpinan di Indonesia adalah bahwa rekrutmen pemimpin semestinya berjalan secara alamiah yaitu melalui proses-proses atau tahapan penyaringan yang dilakukan secara obyektif dan adil. Ini artinya bahwa untuk menghasilkan pemimpim yang berkualitas dan berkaliber itu tidak bisa melalui cara instan atau dikarbit. Pemimpin bisa tumbuh dan berkembang di organisasi masyarakat (Ormas) dan partai politik.
Peluang yang cukup yang diberikan ke Ormas dan partai politik akan membantu sistem rekrutmen pemimpin yang diharapkan rakyat. Demikian juga peluang yang diberikan kepada kaum perempuan atau kelompok perempuan secara memadai akan berdampak positif terhadap pembangunan Indonesia. Hal ini tak hanya karena perempuan menduduki jumlah yang sangat besar di Indonesia, tapi juga karena sejauh ini perempuan cenderung kurang mendapatkan porsi yang memadai di hampir semua bidang. Padahal mereka itu cukup kompetitif baik dari segi kualitas dan kompetensinya. Pelajaran-pelajaran dan kecendrungan di atas hendaknya menjadi rekaman positif pada daerah untuk menghindari kemungkinan munculnya elit pragmatis dalam pentas demokrasi lokal dan nasional.
E. PENUTUP
Pemekaran daerah hendaknya difahami sebagai sebuah kebutuhan masyarakat daerah dan bagi pemerintah nasional menjadi salah satu solusi untuk menghindari terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, ia dilakukan dengan pertimbangan matang agar tidak memunculkan berbagai masalah baru. Pemekaran yang tidak dilakukan secara matang dan hanya berdasarkan pertimbangan politik dan alasan ekonomi (Habibie, 2006), akan tidak mampu mewujudkan dan menuntaskan masalah kesejahterakan rakyat di daerah.
Dampak lain dari pemekaran daerah yang tidak sehat adalah menguatnya ikatan primordial berbasis kelompok lokalitas dan etnisitas, seperti isu ’putra daerah’ yang berpotensi menimbulkan konflik antar kelompok dan akan rawan terjadi saat pilkadasung digelar. Banyak kasus yang mengarah pada kejadian ini dan hendaknya menjadi cermin dalam pemekaran Provinsi Kapuas Raya ke depan.
Unsur-unsur legal formal, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 tahun 2000 sebagai petunjuk pelaksanaan (juklak) dari UU No 22/1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32/2004 perlu dipenuhi sehingga wacara pembentukan Kapuas Raya selain dinilai sebagai sebuah kebutuhan rakyat Kalbar juga masuk dalam agenda kebijakan nasional.
F. DAFTAR PUSTAKA
Cheema, G. Shabbir dan Rondinelli, Dennis A. 1983. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Sage Publication, London.
Conger, Jay. Alden. dan Ronald E. Riggio. 2007. The Practice of Leadership: Developing the Next Generation of Leaders. Jossey-Bass Inc., Publishers, California.
Dunleavy, Patrick dan Brendan O’Leary. 2987. Theories of the State: The Policies Liberal Democracy. McMillan Press. London.
Dwiyanto, Agus. 2004. Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: Dari Government ke Governance, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar FISIPOL UGM. Yogyakarta.
Faure, Michael G. and Nicole Niessen. 2006. Environmental Law in Development: Lessons from the Indonesian Experience. Edwar Elgar, Cheltenham, UK.
Fiorina, Morris. 1995. Divided Government. Second Edition. Longman, New York.
Fukuyama, Francis. 2004. State Building: Governance and World Order in the Twenty-First Century. London.
Frederickson, H. George. 1997. The Spirit of Public Administration. SF: Jossey-Bass Publishers. San Francisco.
Habibie, B. J. 2006. Refleksi Perjalanan Bangsa 2005 dan Perspektif Tahun 2006: Langkah Strategis Mengatasi Transisi Yang Tak Kunjung Pasti, diakses dari http://www.thc.com tanggal 10 Februari 2007.
Hoessein, Bhenyamin. 2001. “Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Idealisasi Kebijakan Desentralisasi” dalam Bisnis dan Birokrasi: Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi. Vol.IX/2/Mei/2001.
Islamy, Muh. Irfan, 1998, Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang.
Klitgaard, Robert dan Light, Paul C. 2005. High-Performance Governance: Structure, Leadership and Incentive. Perdee Rand Graduate School, Santa Monica, US.
Lay, Cornelis. 2006. Pilkada Langsung dan Pendalaman Demokrasi. Makalah untuk acara ”Dinner Lecture – KID”, Jakarta, 21 November 2006.
Mackie, J. A. C. (Edt.) 1980. “Integrating and Centrifugal Factor in Indonesian Politics Since 1954” dalam The Making of Nation. ANU, Canberra.
Maddick, Henry. 2004. Desentralisasi dalam Praktek. Pustaka Kendi, Yogyakarta. Diterjemahkan dari buku asli Democracy, Desentralisation and Development.
Muluk, M. R. Khairul; 2006, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Bayumedia Publishing. Malang.
Prasodjo, Eko. 2006. Rekonstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Indonesia: Antara Sentripetalisme dan Sentripugalisme. Pidado Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Ilmu Administrasi Publik, FISIP UI. Jakarta.
Said, M. Mas'ud. 2005. Arah Baru Otonomi Daerah Di Indonesia. UMM Press, Malang.
Smith, B. C. 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of the State. Asia Publishing House. London.
Savas, E. S. 1992. Privatizing the Public Sector: How to Shrink Goverment. Chatam House, New Jersey.
Osborne, David dan Gaebler, Ted (1997), Mewirausahakan Birokrasi, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
Thoha. Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.
Zeithaml, Valarie A., A. Parasuraman dan Leonard L. Berry. 1990. Delivering Quality Service: Balancing Customer Perception and Expectation. The Free Preess. McMillan Inc, New York.KEBUDAYAAN DAYAK DULU DAN SEKARANG
Oleh:Prof.Dr. Arkanudin,M.Si
(Guru Besar Sosiologi dan Antropologi Fisip Universitas Tanjungpura
Pontianak Kalbar)
PENDAHULUAN
Suku Dayak, sebagaimana suku bangsa lainnya, memiliki kebudayaan atau adat-istiadat tersendiri yang pula tidak sama secara tepat dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Adat-istiadat yang hidup di dalam masyarakat Dayak merupakan unsur terpenting, akar identitas bagi manusia Dayak. Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar (Garna, 1996). Jika pengertian tersebut dijadikan untuk mengartikan kebudayaan Dayak maka paralel dengan itu, kebudayaan Dayak adalah seluruh sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia Dayak dalam rangka kehidupan masyarakat Dayak yang dijadikan milik manusia Dayak dengan belajar. Ini berarti bahwa kebudayaan dan adat-istiadat yang sudah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat Dayak, kepemilikannya tidak melalui warisan biologis yang ada di dalam tubuh manusia Dayak, melainkan diperoleh melalui proses belajar yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Selanjut berdasarkan atas pengertian kebudayaan tersebut, bila merujuk pada wujud kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan Koentjaraningrat, maka dalam kebudayaan Dayak juga dapat ditemukan ketiga wujud tersebut yang meliputi: Pertama, wujud kebudayan sebagai suatu himpunan gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan. Wujud itu merupakan wujud hakiki dari kebudayaan atau yang sering disebut dengan adat, yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada perilaku manusia Dayak, tampak jelas di dalam pelbagai upacara adat yang dilaksanakan berdasarkan siklus kehidupan, yakni kelahiran, perkawinan dan kematian, juga tampak dalam pelbagai upcara adat yang berkaitan siklus perladangan; Kedua, wujud kebudayaan sebagai sejumlah perilaku yang berpola, atau lazim disebut sistem sosial. Sistem sosial itu terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi yang senantiasa merujuk pada pola-pola tertentu yang di dasarkan pada adat tata kelakuan yang mereka miliki, hal ini tampak dalam sistem kehidupan sosial orang Dayak yang sejak masa kecil sampai tua selalu dihadapkan pada aturan-aturan mengenai hal-hal mana yang harus dilakukan dan mana yang dilarang yang sifatnya tidak tertulis yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi sebagai pedoman dalam bertingkah laku bagi masyarakat Dayak; Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, yang lazim disebut kebudayaan fisik, berupa keseluruhan hasil karya manusia Dayak, misalnya seperti rumah panjang dan lain-lain.
Berdasarkan atas pemahaman itu, maka kebudayaan Dayak sangat mempunyai makna dan peran yang amat penting, yaitu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses kehidupan orang Dayak. Atau dengan kata lain kebudayaan Dayak dalam perkembangan sejarahnya telah tumbuh dan berkembang seiring dengan masyarakat Dayak sebagai pendukungnya.
Dewasa ini, seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, kebudayaan Dayak juga mengalami pergeseran dan perubahan. Hal ini berarti bahwa kebudayaan Dayak itu sifatnya tidak statis dan selalu dinamik; meskipun demikian, sampai saat ini masih ada yang tetap bertahan dan tak tergoyahkan oleh adanya pergantian generasi, bahkan semakin menunjukkan identitasnya sebagai suatu warisan leluhur.
Dalam konteks ini, dan dalam tulisan ini bermaksud untuk mengupas kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Dayak, baik yang berupa kebudayaan material maupun non material.
KEBUDAYAAN DAYAK
Sistem Religi dan Kepercayaan
Kepercayaan yang dianut oleh suatu suku bangsa dapat ditelusuri melalui ekpresi budaya seperti cerita rakyat, terutama dalam cerita yang berbentuk mitos tentang kejadian alam semesta dan manusia serta mitos-mitos lainnya yang menggambarkan keterkaitan yang hakiki antara insan manusia dan alam sekitarnya (Umberan, 1994). Hal yang sama juga dikatakan oleh Ukur (1994) bahwa untuk memahami makna religi dari alam sekitar dalam kebudayaan Dayak, sumber yang paling dapat membantu terutama mite-mite tentang kejadian alam semesta dan manusia serta mite-mite lainnya yang menggambarkan keterikatan dan keterkaitan hakiki antar insan dengan alam sekitar.
Mitos bukanlah sekedar cerita, tetapi melalui mitos yang hidup dalam masyarakat Dayak dapat diungkap rahasia yang mendasari dan melatarbelakangi sikap serta perilaku suku Dayak. Keberadaan mitos diyakini kebenarannya, dianggap suci, mengandung hal-hal ajaib, dan umumnya ditokohi oleh para dewa, sebab itu mitos dijadikan landasan untuk menata kehidupan masyarakat Dayak yang tampak pada berbagai ketentuan seperti adat, ritus dan kultus.
Mitos dihayati sebagai sejarah oleh masyarakat Dayak meskipun peristiwa-peristiwa yang dituturkan dalam mitos tidak terikat pada waktu dan ruang. Sejarah dalam konteks pemahaman suku Dayak terhadap mitos tersebut tidak dapat diverifikasi secara historis, menurut Ukur (1994) mitos dianggap sebagai sejarah karena memang sedemikianlah yang dihayati oleh insan Dayak.
Kepercayaan suku Dayak berhubungan erat dengan lingkungan sekitarnya, seperti hewan, tumbuhan-tumbuhan, air, bumi, dan udara. Kepercayaan itu begitu kuat sehingga suku Dayak percaya bahwa kehidupan akan menjadi baik jika adanya keseimbangan kosmos, sebab itu setiap makhluk hidup berkewajiban untuk senantiasa memelihara keserasian dan keseimbangan semesta, terutama manusia menurut kepercayaan suku Dayak merupakan bagian yang integral dari alam (Seli, 1996).
Sistem kepercayaan dan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh suku Dayak berkaitan erat sehingga sulit untuk dipisahkan. Kedua hal tersebut sama-sama berpengaruh pada kehidupan masyarakat Dayak (Seli,1996). Senada dengan pendapat Seli, Alqadrie (1994) juga menyatakan bahwa sistem kepercayaan atau agama bagi kelompok etnik Dayak hampir tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial ekonomi mereka sehari-hari. Ini berlaku pula antara nilai-nilai budaya itu dengan etnisitas dalam masyarakat Dayak. Kenyataan ini yang melatar belakangi kesimpulan Coomans (1987) dan Alqadrie (1991) yang menyatakan bahwa keperipadian, tingkah laku, sikap, perbuatan, dan kegiatan sosial ekonomi orang Dayak sehari-hari dibimbing, didukung oleh dan dihubungkan tidak saja dengan sistem kepercayaan atau ajaran agama dan adat-istiadat atau hukum adat, tetapi juga dengan nilai budaya dan etnisitas.
Suku Dayak di Kalimantan memiliki sistem kepercayaan yang kompleks dan sangat berkembang (Alqadrie, 1987). Kompleksitas sistem kepercayaan tersebut di dasarkan pada tradisi dalam masyarakat Dayak yang mengandung dua prinsip yaitu: (1) unsur kepercayaan nenek moyang (ancestral belief) yang meneknkan pada pemujaan nenek moyang, dan (2) kepercayaan terhadap Tuhan yang satu (the one God) dengan kekuasaan tertinggi dan merupkan suatu prima causa dari kehidupan manusia (Alqadrie, 1990).
Dalam penelitian Tim Penelitian Kantor Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Barat (1988) ditemukan bahwa sistem kepercayaan nenek moyang dalam masyarakat Dayak berisi berbagai peraturan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan roh nenek moyang, dan manusia alam beserta isinya. Bahkan menurut Alqadrie (1994) dan Seli (1996) berkaitan sistem kepercayaan tersebut masyarakat Dayak juga percaya bahwa Tuhan yang tertinggi yang satu (the one highest God) memiliki dua fungsi atau karakter ketuhanan (devinity). Karakter yang satu mendiami dunia “atas” atau dunia yang “lebih tinggi”, dan karakter lainnya tinggal “di bawah” atau yang “lebih rendah” yaitu bumi yang menjadi tempat tinggal manusia. Orang Dayak percaya kedua karakter ini masing-masing memuat sifat yang baik dan buruk.
Kompleksitasnya sistem kepercayaan orang Dayak, menurut Alqagrie (1994) di tandai juga oleh kemampuan mereka menyerap beberapa unsur keagamaan atau kepercayaan dari luar seperti pengaruh Cina dalam penggunaan barang-barang keramik (mangkok dan tempayan) yang dianggap memiliki kekuatan magis dan dapat mendatangkan keberuntungan, maupun penggunaan berbagai macam dekorasi naga (tambon) atau (dragon) yang melambangkan secara mitologis Tuhan tertinggi yang satu sebagai penguasa dunia. Lebih lanjut menurut Alqdarie (1994) pengaruh ekstern lainnya berasal dari unsur-unsur Hunduisme dan Islamisme. Kedua unsur ini dalam masyarakat Dayak dapat ditemukan dalam istilah-istilah keagamaan yang digunakan untuk menggambarkan Tuhan, seperti Mahatara yang mungkin berasal dari istilah dalam agama Hindu. Maha Batara yang berarti Tuhan Maha Besar, atau Mahatala, Lahatala/Alatala yang berasal dari ucapan Allah Ta’ala dalam Islam yang berarti Allah Maha Tinggi. Selain itu, Tuhan tertinggi yang satu secara simbolik diekspresikan oleh burung enggang yang menyajikan Ketuhanan dunia “atas”.
Dalam pada itu, penggunaan burung enggang dan naga sebagai simbol dari Tuhan yang satu, sejalan dengan pendapat Durkheim tentang totemisme. Unsur penting dari kepercayaan nenek moyang dalam masyarakat Dayak adalah barang-barang keramik Cina, dekorasi-dekorasi yang menggunakan simbol naga dan burung enggang, dan kelompok etnik Dayak sendiri sebagai penganut kepercayaan nenek moyang mereka dapat dikatakan sejajar dengan tiga unsur totemisme Australia yang ditemui oleh Durkheim (dalam Alqadrie, 1994) bahwa lambang totemik (totemic emblem) adalah berupa hewan atau tumbuhan-tumbuhan, dan anggota dari kaum, suku atau klan (clan)
Tiga unsur dalam masyarakat Dayak merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dan merupakan manifestasi dari organisasi sosial. Dalam kaitan dengan itu, Mclennan (1986 dalam Alqadrie, 1994) menyatakan bahwa hubungan yang dekat antara totemisme tersebut merupakan bentuk spesifik dari organisasi sosial. Alqadrie (1994) melihat bahwa penggunaan naga dan burung enggang bukanlah suatu manifestasi dari kesederhanaan pemikiran orang Dayak di Kalimantan tetapi justru merupakan refleksi dari kompleksitasnya sistem kepercayaan mereka pada mana totemisme bukan semata-mata suatu kepercayaan, tetapi mungkin pula menjadi sumber, atau paling kurang, suatu embrio dari agama-agama berkembang lainnya. Tambahan pula penggunaan dua jenis hewan di atas juga merupakan perwujudan dari organisasi sosial yang khas dalam masyarakat Dayak.
Melihat kenyataan tersebut dapatlah dikatakan bahwa sesungguhnya suku Dayak merupakan rumpun suku bangsa yang unik karena walupun mereka hidup di lingkungan yang serba alami dan tradisional tetapi dapat melahirkan suatu pemikiran yang relgius yang kompleks dan sangat sempurna.
Sistem Pengetahuan
Pengetahuan Tentang Gejala-Gejala Alam
Kebutuhan orang Dayak memperoleh padi ladang yang banyak telah melahirkan sistem pengetahuan yang dapat memahami sifat-sifat gejala alam yang berpengaruh terhadap perladangan. Menurut Mudiyono (1995) pengetahuan tentang gejala alam yang berkaitan dengan perladangan pada orang Dayak di Kalimantan adalah pengetahuan tentang bintang tujuh. Apabila bintang tujuh telah timbul maka pada malam hari udara akan menjadi teramat dingin sampai pagi hari adalah suatu pertanda bahwa orang sudah sampai pada waktunya mulai membuka ladang. Jika bintang tujuh di Timur, sedangkan bintang satu lebih rendah dari bintang tujuh menandakan bahwa orang sudah boleh mulai menanam padi. Apabila di langit tampak garis seperti tempbok dan awan menyerupai sisik ikan maka orang mengetahui bahwa musim kemarau telah tiba. Sebaliknya jika langit tampak merah pada pagi hari dan awan menggumpal seperti gunung adalah pratanda bahwa hari atau musim penghujan segera tiba. Gejala datangnya musim hujan dapat pula diketahui apabila akar-akar kayu yang tumbuh dipinggir sungai bertunas dan pohon buah-buah banyak yang berbunga.
Ketika tanda-tanda alam telah memberitahu bahwa musim kemarau segera akan tiba maka orang mulai bersiap diri untuk berladang. Parang dan beliung sebagai alat berladang mulai di asah supaya tidak menemui hambatan pada saatnya membuka ladang. Pekerjaan berladang harus memperhatikan benar-benar perputaran waktu dan memahami sifat-sifatnya. Ketidak sesuaian antara kondisi alam dengan tahapan berladang akan mengakibatkan kegagalan panen dan bila hal ini terjadi adalah merupakan malapetaka bagi penduduk.
Sistem pengetahuan mereka juga mengajarkan bahwa apabila akan membuat bahan-bahan rumah, hendaknya tidak menebang pohon kayu dan bambu pada waktu bulan di langit sedang membesar karena pelanggaran yang dilakukan berarti kayu dan bambu akan cepat dimakan bubuk. Oleh karena itu waktu yang tepat untuk meramu bahan-bahan bangunan kayu dan bambu adalah ketika bulan di langit sedang surut.
2. 2. 2. Pengetahuan Tentang Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik orang Dayak adalah hutan. Orang Dayak mengenal persis jenis-jenis hutan yang paling baik untuk dijadikan ladang. Untuk memastikan kesuburan tanah, biasanya terlebih mereka meneliti keadaan pepohonan yang tumbuh dan tanah di bagian permukaan. Jika terdapat pohon-pohon kayu besar dan tinggi menandakan tanah tersebut sudah lama tidak di ladangi dan karena itu humusnya sangat subur. Untuk memastikan kesuburan tanah di amatinya dengan cara memasuki ujung parang ke dalam tanah kira-kira 10 cm. Ketika parang dicabut kembali maka tanah yang melekat pada ke dua belah sisi parang dapat menunjukkan tentang kesuburan tanah. Jika banyak tanah yang melekat pada ke dua sisi parang dan gembur kehitam-hitaman berarti tanah setempat adalah subur. Sebaliknya jika kondisi tanah setempat kurus maka yang melekat ke dua sisi parang adalah tanah berpasir.
Lingkungan fisik lain yang dikenal sebagai tempat berladang adalah tanah yang terletak pada lembah di antara bukit-bukit. Jenis tanah ini khusus orang Dayak di Kalimantan Barat di sebut jenis tanah payak labak atau payak. Keadaan tanah paya selalu berair dan becek. Ladang di tanah paya biasanya bersifat monokultur dapat ditanam padi selama 3 tahun berturut-turut. Sesudah tahun ke tiga tanah paya ditinggalkan selama 2-4 tahun untuk kemudian ditanam lagi.
Pengetahuan Tentang Jenis-Jenis Tanaman
Pengetahuan tentang flora diperoleh secara turun temurun. Beraneka ragam jenis tanaman dan tumbuh-tumbuhan dikenal sebagai flora untuk dimakan, dijadikan obat dan untuk berburu dan menuba ikan.
Jenis tanaman untuk dikonsumsi sendiri kecuali padi dikenal juga tanaman jenis cabai (Capsicum annuum L), mentimun (Cucumis sativus L), jagung (Zea mays L), singkong (Manihot utilissima L), bambu muda atau rebung (Bambusa spinosa). Tanaman jenis palawija dan sayur-sayuran ditanam secara tumpang sari pada lahan ladang. Pohon buah-buahan yang paling banyak adalah durian yang tidak dibudidayakan secara baik sehingga lebih berkesan sebagai pohon buah-buahan yang tumbuh liar pada tanah-tanah bekas ladang.
Orang Dayak juga mengenal jenis-jenis tumbuh-tumbuhan pembuat warna pada anyaman tikar atau barang-barang kerajinan. Warna merah dapat diperoleh dari kulit buah joronang untuk memberi warna merah pada rotan dan sebagainya. Kulit kayu porete dapat memberikan warna hitam dan kulit kayu ngkubogng dapat dimanfaatkan sebagai lem pada kayu. Jenis-jenis tumbuhan secara liar di hutan-hutan Kalimantan.
Orang Dayak di Kalimantan khusus di Kalbar juga mengenal getah kayu yang disebut ipuh yang mengandung racun dan amat berbahaya karena dapat mematikan. Getah kayu ipuh dipakai untuk memolesi ujung tombak atau ujung anak sumpit. Binatang buruan seperti rusa, babi hutan yang terkena ujung tombak yang sudah diberi getah kayu ipuh, walaupun hanya terluka sedikit maka dalam waktu sebentar binatang tersebut akan mati. Kulit dan daging di sekitar luka harus dibuang sebelum dimasak dan tidak boleh dimakan.
Sebagai masyarakat yang akrab dengan lingkungan hutan, orang Dayak juga memiliki pengetahuan dalam membedakan dengan baik jenis-jenis kayu yang sangat baik mutunya untuk ramuan bahan-bahan bangunan. Seperti kayu besi atau kayu belian (ensidroxylon zwageri), meranti merah (shorea leprosula), tekam (hopea sangal korth), tengkawang (shorea Sp), medang (litrea Sp) ramin (gonystylus bancanus kwiz) dan rengas (buchanania arborescens)
Sistem Mata Pencaharian dan Peralatan Hidup
Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya orang Dayak tidak dapat dipisahkan dengan hutan; atau dengan kata lain hutan yang berada di sekeliling mereka merupakan bagian dari kehidupannya dan dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat tergantung dari hasil hutan. Sapardi (1994), menjelaskan bahwa hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Selain itu hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara turun temurun dan bahkan hutan adalah bagian dari hidup mereka secara holistik dan mentradisi hingga kini, secara defakto mereka telah menguasai kawasan itu dan dari hutan tersebut mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok.
Kegiatan sosial ekonomi orang Dayak meliputi mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkap ikan, perkebunan rakyat seperti kopi, lada, karet, kelapa, buah-buah dan lain-lain, serta kegiatan berladang (Sapardi,1992). Kegiatan perekonomian orang Dayak yang pokok adalah berladang sebagai usaha untuk menyediakan kebutuhan beras dan perkebunan rakyat sebagai sumber uang tunai yang dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup yang lain; walaupun demikian kegiatan perekonomian mereka masih bersifat subsistensi (Mering Ngo, 1989; Dove, 1985).
Menurut Arman (1994), orang Dayak kalau mau berladang mereka pergi ke hutan, dan terlebih dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan, kalau mereka mengusahakan tanaman perkebunan mereka cenderung memilih tanaman yang menyerupai hutan, seperti karet (Havea brasiliensis Sp),rotan(Calamus caesius Spp), dan tengkawang (shorea Sp). Kecenderungan seperti itu bukan suatu kebetulan tetapi merupakan refleksi dari hubungan akrab yang telah berlangsung selama berabad-abad dengan hutan dan segala isinya.
Hubungan antara orang Dayak dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Disatu pihak alam memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya orang Dayak, dilain pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya (Arman, 1994). Persentuhan yang mendalam antara orang Dayak dengan hutan, pada giliran melahirkan apa yang disebut dengan sistem perladangan. Ukur (dalam Widjono,1995), menjelaskan bahwa sistem perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak. Ave dan King (dalam Arman,1994), mengemukakan bahwa tradisi berladang (siffting cultivation atau swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka yang merupakan sebagai mata pencaharian utama. Sellato (1989 dalam Soedjito 1999), memperkirakan sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua abad yang lalu. Mering Ngo (1990), menyebutkan cara hidup berladang diberbagai daerah di Kalimantan telah dikenal 6000 tahun Sebelum Masehi.
Almutahar (1995) mengemukakan bahwa aktivitas orang Dayak dalam berladang di Kalimantan cukup bervariasi, namun dalam variasi ini terdapat pula dasar yang sama. Persamaan itu terlihat dari teknologi yang digunakan, cara mencari tanah atau membuka hutan yang akan digunakan, sumber tenaga kerja dan sebagainya.
Dalam setiap aktivitas berladang pada orang Dayak selalu didahului dengan mencari tanah. Dalam mencari tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi ladang mereka tidak bertindak secara serampangan. Ukur (1994), menjelaskan bahwa orang Dayak pada dasarnya tidak pernah berani merusak hutan secara intensional. Hutan, bumi, sungai, dan seluruh lingkungannya adalah bagian dari hidup. Menurut Mubyarto (1991), orang Dayak sebelum mengambil sesuatu dari alam, terutama apabila ingin membuka atau menggarap hutan yang masih perawan harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu yaitu: pertama, memberitahukan maksud tersebut kepada kepala suku atau kepala adat; kedua, Seorang atau beberapa orang ditugaskan mencari hutan yang cocok. Mereka ini akan tinggal atau berdiam di hutan-hutan untuk memperoleh petunjuk atau tanda, dengan memberikan persembahan. Usaha mendapatkan tanda ini dibarengi dengan memeriksa hutan dan tanah apakah cocok untuk berladang atau berkebun; ketiga, apabila sudah diperoleh secara pasti hutan mana yang sesuai, segera upacara pembukaan hutan itu dilakukan, sebagai tanda pengakuan bahwa hutan atau bumi itulah yang memberi kehidupan bagi mereka dan sebagai harapan agar hutan yang dibuka itu berkenan memberkati dan melindungi mereka.
Hasil penelitian Mudiyono (1990), mengemukakan bahwa kreteria yang digunakan oleh ketua adat atau kepala suku memberi izin untuk mengolah lahan di lihat dari kepastian hubungan hukum antara anggota persekutuan dengan suatu tanah tertentu dan menyatakan diri berlaku “ke dalam” dan “ke luar”. Berlakunya “ke luar” menyatakan bahwa hanya anggota persekutuan itu yang memegang hak sepenuhnya untuk mengerjakan, mengolah dan memungut hasil dari tanah yang digarapnya. Sungguhpun demikian adakalanya terdapat orang dari luar persekutuan yang karena kondisi tertentu diberi izin untuk menumpang berladang untuk jangka waktu satu atau dua musim tanam.
Berlakunya “ke dalam” menyatakan mengatur hak-hak perseorangan atas tanah sesuai dengan norma-norma adat yang telah disepakati bersama. Anggota persekutuan dapat memiliki hak untuk menguasai dan mengolah tanah, kebun atau rawa-rawa. Apabila petani penggarap meninggalkan wilayah (benua) dan tidak kembali lagi maka penguasaan atas tanah menjadi hilang. Hak penguasaan tanah kembali kepada persekutuan dan melalui musyawarah ketua adat dapat memberikannya kepada anggota lain untuk menguasainya. Tetapi jika seseorang sampai pada kematiannya tetap bermukim di daerah persekutuan maka tanah yang telah digarap dapat diwariskan kepada anak cucunya.
Hasil penelitian Kartawinata (1993) pada orang Punan, dan Sapardi (1992) pada orang Dayak Ribun dan Pandu, pada umumnya memilih lokasi untuk berladang di lokasi yang berdekatan dengan sungai. Tempat-tempat seperti itu subur dan mudah dicapai.
Dalam studi kasus tentang sistem perladangan suku Kantu’ di Kalimantan Barat Dove, (1988) merinci tahap-tahap perladangan berpindah sebagai berikut: (1) pemilihan pendahuluan atas tempat dan penghirauan pertanda burung; (2) membersihkan semak belukar dan pohon-pohon kecil dengan parang; (3) menebang pohon-pohon yang lebih besar dengan beliung Dayak; (4) setelah kering, membakar tumbuh-tumbuhan yang dibersihkan; (5) menanam padi dan tanaman lainnya ditempat berabu yang telah dibakar itu (kemudian di ladang berpaya mengadakan pencangkokan padi); (6) menyiangi ladang (kecuali ladang hutan primer);(7) menjaga ladang dari gangguan binatang buas; (8) mengadakan panen tanaman padi; dan (9) mengangkut hasil panen ke rumah.
Selanjutnya menurut Soegihardjono dan Sarmanto (1982) ada empat kegiatan tambahan yang tidak kalah penting dalam kegiatan berladang adalah: (1) pembuatan peralatan ladang (yaitu menempa besi, membuat/memahat kayu dan menganyam rumput atau rotan); (2) membangunan pondok di ladang; (3) memproses padi; (4) menanam tanaman yang bukan padi. Dalam setiap tahap kegiatan mengerjakan ladang tersebut biasanya selalu didahului dengan upacara-upacara tertentu. Hal ini dilakukan dengan maksud agar ladang yang mereka kerjakan akan mendapat berkah dan terhindar dari malapetaka.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dakung (1986) tentang suku Dayak di Kalimantan Barat, bahwa peralatan yang digunakan dalam melakukan aktivitas sosial ekonomi seperti mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkap ikan, perkebunan rakyat seperti kopi (Coffea arabica), karet (Havea brasiliensis), kelapa (Cocos nucifera), buah-buahan, antara lain ialah pisau, kapak. baliong, tugal, pangatam, bide, inge, atokng, nyiro, pisok karet, tombak dan lain-lain.
Dalam pada itu, jenis-jenis peralatan rumah tangga seperti alat-alat masak memasak antara lain periuk atau sampau dari bahan kuningan atau besi untuk menanak nasi, kuwali terbuat dari tanah liat atau logam, panci dari bahan logam, ketel atau ceret dari bahan logam, dan tungku batu. Jenis alat tidur antara lain tikar yang terbuat dari daun dadang dan daun urun, kelasa yaitu tikar yang terbuat dari rotan, bantal yang terbuat dari kabu-kabu (kapuk) yang disarung dengan kain, klambu, katil dan pangking yaitu tempat tidur yang terbuat dari kayu.
Kesenian
Orang Dayak walaupun dalam kehidupan yang agak sederhana, ternyata sangat gemar akan kesenian. Menurut Riwut (1958) kesenian yang di miliki oleh orang Dayak di Kalimantan berupa seni: (1) tari; (2) suara; (3) ukir; dan (4) seni lukis. Untuk mengetahui secara lebih mendalam jenis kesenian yang dimiliki oleh orang Dayak sebagaimana yang dikemukakan oleh Riwut tersebut akan diuraikan secara rinci sebagai berikut:
Seni Tari
Seni tari yang hidup dan berkembang dilingkungan masyarakat Dayak berupa:
(1) Nasai jenis tarian yang diperuntukan untuk menyambut tetamu agung (orang berpangkat), menyambut pahlawan yang menang berperang, yang dilakukan oleh orang-orang tua, kaum wanita terutama para gadis dengan gerak kaki tangannya yang diiringi pula dengan seni suara dan bunyi-bunyian.
(2) Gantar, jenis tarian yang diperuntukan selain untuk menyambut tamu-tamu agung, juga tari-tarian pada upacara memotong padi. Tari-tarian ini terdapat pada Suku Dayak Punan, Kenyah, dan Bahau. Tari Nginyah, tari ini terkenal dengan nama tari perang yang terdiri atas dua macam yaitu pertama, untuk membela diri bila mana dalam peperangan tari yang dilakukan oleh laki-laki dan wanita; kedua, dalam pertunjukan waktu ada pesta. Tarian ini menggunakan senjata mandau, sumpit dan perisai, yang terdapat pada suku Dayak Kenyah Ot, Kenyah Punan dan Kenyah Bahau.
(3) Deder, tarian ini ada dua jenis yaitu Deder Siang dan Deder Dusun Tengah yang dipersembahkan untuk menyambut tamu dan ketika ada upacara adat dan lain-lain, yang berasal dari daerah Barito Hulu dan Barito Tengah.
(4) Bukas, yaitu jenis tarian yang dipersembahkan untuk menyambut kedatangan Panglima dari berperang, yang dilakukan oleh 1 – 2 sampai 7 orang terdiri dari pemuda dan gadis-gadis dengan mempergunakan bambu dan tombak disertai dengan nyanyian-nyanyian. Terdapat pada suku Dayak Maanyan dan Dusun.
(5) Nganjan, jenis tarian ini dilakukan baik oleh laki-laki maupun wanita yang menari mengelilingi binatang, seperti sapi, kerbau, bagi yang akan dibunuh untuk upacara pesta adat mengantar arwah nenek moyangnya ke surga yang dinamai “tiwah”. Terdapat pada suku Dayak Klemantan, Katingan dan Kahayan.
(6) Dedeo (karang dedeo), yaitu jenis tarian yang lazim dipersembahkan pada saat pesta perkawinan yang berasal dari suku Dayak yang berada di Barito Tengah dan Barito Hilir.
(7) Balian, yaitu tarian yang semata-mata diperuntukan untuk merawat orang sakit yang dilakukan oleh Balian yang biasanya adalah seorang laki-laki selama 1 – 3 malam. Tarian ini hampir terdapat pada seluruh suku Dayak.
(8) Kinyah, tari kenyah ini bukanlah tarian biasa tetapi merupakan tarian yang khusus dipelajari oleh para perwira Dayak zaman dahulu yang digunakan untuk menangkis serangan musuh dan untuk meringankan badan melompat dan memperkuat tangan untuk memotong kepala pihak musuh. Tarian ini berasal dari suku Dayak Kenyah atau Dayak Bahau dari Hulu Mahakam dan dari Apo Kayan dalam daerah Kalimantan Timur.
(9) Kerangka atau Tari Gumbeuk, yaitu tarian ini pada khakekatnya di khususkan dalam upacara “Ijambe atau Manyalimbat” yang dilakukan oleh laki-laki dan anak-anak dengan mengelilingi tempat tulang kering dari yang meninggal dunia.
(10) Kembang Pandan, yaitu jenis tarian yang dilakukan oleh muda-mudi Dayak dengan berpegangan tangan, terutama terdapat pada suku Dayak di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan.
(11) Nyadum Nyambah, yaitu merupakan tarian permintaan maaf dan ampun kepada tamu. Tarian ini berasal dari Kabupaten Kapuas.
(12) Hatusuh Bua, yaitu tarian gembira pada waktu menyambut musim buah-buahan yang banyak dan melimpah. Tarian ini berasal dari suku Dayak di Kabupaten Kapuas.
(13) Menggetem, yaitu tarian gembira yang dilakukan pada saat memotong padi. Tarian ini berasal dari suku Dayak di Kabupaten Kapuas.
(14) Kinjak Karing, yaitu tarian yang dilakukan oleh kaum wanita untuk membela pahlawan yang sedang berperang. Tarian ini terdapat pada suku Dayak di Kaputen Kapuas dan Kahayan Hulu.
(15) Suling Balawung, yaitu jenis tarian yang dipertunjukan waktu ayam mengeram dan menetaskan telornya. Tarian ini terdapat pada suku Dayak di Kapaten Kapuas.
(16) Tugal, yaitu jenis tarian yang dipertunjukan pada saat menanam padi dengan cara di tugal, yang berasal dari suku Dayak di Kalimantan Tengah.
Seni Suara
Kesenian dalam bentuk seni suara yang hidup dan berkembang dilingkungan masyarakat Dayak adalah berupa nyanyian-nyanyian yang berkaitan dengan kehidupan religi yang mereka anut dan percaya, seperti nyanyian-nyanyian waktu memotong padi, waktu berkayuh, berladang, menumbuk padi, berperang, berjalan di hutan, berburu, selagi pesta, bersukaria, dan nyanyian yang memuja Tuhan serta nyanyian tentang kematian keluarga, diantaranya:
(1) Kandan, yaitu nyanyian-nyanyian yang berisi sanjungan dan pujian sambil mendoakan semoga rakyat senang dan makmur, serta pimpinan agar dalam memerintah selalu bijaksana dan adil. Nyanyian ini terdapat pada suku Dayak Siang atau Murung di Barito Hulu.
(2) Dedeo dan Ngaloak, jenis nyanyian yang dilakukan pada pesta saat perkawinan atau pada pesta kecil, yang terdapat pada suku Dayak Dusun Tengah Kabupaten Barito.
(3) Setangis, yaitu nyanyian yang dilakukan pada saat pesta kematian. Pada khakekatnya nyanyian ini hanya berazaskan pada riwayat si mati dan jasa-jasanya sewaktu hidup serta kedudukan dari keluarga dan famili yang meninggal yang masih ditinggalkan.
(4) Manawar, yaitu nyanyian untuk mengantar jiwa atau semangat beras kepada TuhanNYA, yang dilakukan oleh orang tua, ahli adat dan ahli agama Dayak.
(5) Kayau, yaitu nyanyian yang menceritakan sesuatu yang dilakukan oleh gadis-gadis Dayak secara bersahut-sahutan 2 – 4 orang.
(6) Mansana Kayau Pulang, yaitu nyanyian yang dinyanyikan pada waktu malam sebelum tidur oleh orang tua untuk mengobarkan semangat anak-anaknya agar memiliki rasa dendam terhadap orang yang telah dibunuh oleh Tambun Bupati.
(7) Ngendau, yaitu nyanyian untuk bersenda gurau diantara pemuda dan gadis dengan bersahut-sahutan.
(8) Kelalai-lalai, yaitu sebuah nyanyian yang disertai dengan tari-tarian untuk menyambut para pembesar atau tamu. Nyanyian ini terdapat pada suku Dayak Mama (darat) di Kota Waringin.
(9) Natun Pangpangaal, yaitu nyanyian ratap tangis kesedihan karena ada kematian keluarga.
(10) Dodoi, yaitu suatu nyanyian yang dilakukan pada saat berkayuh diperahu atau rakit.
(11) Dondong, yaitu nyanyian yang dilakukan baik pada saat menanam (menugal) maupun memotong padi.
(12) Ngandan, yaitu nyanyian untuk memuji-muji atau menimang-nimang pemuda-pemuda yang dilakukan oleh orang tua.
(13) Mansana Bandar, yaitu nyanyian yang menceritakan seorang pahlawan putri pada zaman dahulu.
(14) Balian, yaitu nyanyian yang dilantunkan pada saat upacara tiwah upacara mengantar arwah orang-orang yang sudah meninggal (mati).
Sebagai ilustrasi dikemukakan beberapa contoh bait dari nyanyian tersebut, misalnya nyanyian yang berkaitan dengan upacara kematian pada suku Dayak Maanyan:
Tawang kanyu erang tumpalatan
Angkang kedang ba iwu jumpun haket
Ada malupui lalan mainsang inse
Enoi isasikang piak
Takuit tawang ma-ulung kekenrein
Umbak basikunrung bakir
Yang artinya dalam bahasa Indonesia:
Agar jangan sesat di perapatan
Tertahan di hutan lebat
Jangan mengikuti jalan yang berliku-liku
Lorong bersimpang seperti kaki anak ayam
Tersesat ke laut lepas gelombang memukul dahsyat
Contah lain adalah nyanyian berkaitan dengan masalah perang dalam bahasa Dayak Ngaju:
Amon Rikat Rambang akan manang
Antang terawang kilau terawang tinggang
Manintu panunjuk ije hila gantau
Amon tege imeteng dawen sawang dandang tingang
Antang manri dia hakipak
Sambil menguik
Amon ampie Ringkai akan kalah
Manari sambil manangis
Manintu patinju ije imeteng pondok apoi
Yang artinya dalam bahasa Indonesia:
Kalau Rangkai Rambang hendak berperang
Elang terbang seperti terbang tinggang
Menuju petunjuk yang sebelah kanan
Kalau ada diikat sawang dandang tinggang
Elang menari tidak bergerak sayapnya
Sambil bersuit-suit
Kalau rupanya Rinmgkai akan kalah
Menari terbang sambil menangis
Menuju petunjuk yang diikat pondok api
Seni Ukir
Kesenian dalam bentuk seni ukir yaitu berupa ukir-ukiran pada hulu mandau yang terbuat dari kayu maupun tanduk rusa, sarung mandau, patung, perisai dan sumpit. Semua ukir-ukiran tersebut memiliki nama dan makna yang tersendiri.
Seni lukis
Kesenian dalam bentuk seni lukis masyarakat Dayak yaitu berupa seni lukis seluruh badan badan manusia (tato) dengan menggunakan alat yang disebut “Tutang atau Cacah” yang dilakukan sangat teliti dan hati-hati. Gambar-gambar pada peti mati yang dinamai “runi”, kakurung di sandung-sandung (rumah tempat menyimpan tulang belulang orang yang telah meninggal), di patung dan lain-lain.
Lebih lanjut di jelaskan oleh Riwut (1958) dan Sukanda (1994) bahwa orang Dayak di Kalimantan dalam kegiatan tari-tarian dan dalam melantunkan berbagai jenis nyanyian selalu di dukung oleh berbagai jenis alat-alat bunyian yang terbuat dari besi, kayu ataupun bambu seperti (ketambung atau gendang, tote atau serupai, kalali atau suling panjang), guruding atau ketong, garantong (gong besar), kangkanong (gong kecil), gandang mara (gendang pendek), ketambung (gendang kecil), sarunai, kacapi (kecapi), gariding, suling bahalang, suling balawang dan kangkanong humbang.
Bahasa
Riwut (1958) berdasarkan hasil penyelidikannya terhadap bahasa yang digunakan oleh orang Dayak di Kalimantan khususnya Dayak yang berada di Kalimantan Barat, Timur, Selatan dan Utara hampir semuanya mengerti bahasa Ot-Danum atau Dohoi, sedangkan orang Dayak Kalimantan Tengah dan Selatan sebagai bahasa perantaraan umumnya adalah bahasa Dayak Ngaju yang juga disebut bahasa Kapuas.
Tiap-tiap suku Dayak di Kalimantan memiliki bahasa daerah sendiri-sendiri dengan dialek satu dengan lainnya berbeda, misalnya bahasa Ot-Danum kebanyakan memakai huruf “o” dan “a” tetapi bahasa Dayak Ngajuk banyak memakai “e” dan “a”. Sebagai ilustrasi disajikan beberapa bahasa Dayak dari beberapa suku Dayak yang ada di Kalimantan.
Bentuk Hitungan Angka Dalam Beberapa Bahasa Dayak
Indone Ngaju Bahau Bajau Ot- Pasir Maanyan Lepo
sia Danum
1 Ije Je Sa Ico Erai Isa Ca
2 Due Dua Dua Doo Doeo Rueh Dua
3 Telo Telo Tee Toro Toloe Telu Telo
4 Epat Epat Empat Opat Opat Epat Pat
5 Lime Lime Lime Rimo Limo Dime Lema
6 Jahawen Enam Enem Unom Onom Enem Enam
7 Uju Tuju Pitu Pito Turu Pitu Tujuh
8 Hanya Saya Walu Waru Walu Walu’ Ay’ah
9 Jalatien Pitan Sanga Sioi Sie Suei Pien
10 Sepuluh Pulu Sepuluh Poro Sapulu Pulu’ Pulu
Sumber : Riwut, (1958)
Berdasarkan ilustrasi dalam bentuk hitungan angka yang digambarkan oleh Riwut tersebut, hanyalah sebagian kecil dari contoh bahasa orang Dayak yang ada di Kalimantan. Dari ilustrasi ini dapatlah dipahami bahwa walaupun mereka berasal dari satu rumpun suku yang sama yaitu Dayak, namun dalam kenyataannya terdapat banyak perbedaan baik dari segi dialek maupun dalam arti kata seperti dalam contoh berikut ini:
Perbedaan dialek dan arti kata dalam beberapa bahasa Dayak
Bahasa Indonersia Bahasa Dayak
Ngajuk Bahasa Dayak Ot- Danum Bahasa Dayak Maanyan
1 2 3 4
Allah
Perut
Beras
Bapak
Makan
Sakit
Kepala
Mati
Hidup
Salah
Datang
Hitam
Merah
Perempuan
Laki-laki
Obat
Tiang
Ayam
Babi
Anjing
Riam
Panas
Minum
Marah
Cinta
Hari
Nenek laki-laki
Nenek perempuan
Perahu
Dayung
Lantai
Luka
Sombong
Celana
Telinga
Menyelam
Kelapa
Nasi
Malu
Kera
Babi hutan Hatalla
Kanai
Behas
Apang/Bapa
Kuman
Pehe
Takolok
Matei
Belum
Jela
Dumah
Babilem
Bahandang
Bawi
Hatue
Tatamba
Jihi
Manok
Bawoi
Aso
Riam
Balasut
Mihop
Sangit
Sinta
Sawe
Bue
Tambi
Arut
Besei
Laseh
Bahimang
Balecak
Sarawar
Pinding
Maneser
Enyoh
Bari
Mahamen
Bakei
Bawoi Pohotara
Botoi
Bojah
Amai
Kumai
Poros
Kuhung
Matoi
Borum
Jora
Rombut
Mitom
Mangan
Bawi
Bakang
Tawas
Johi
Manuk
Bawui(urak)
Asu
Kiham (gobong)
Barasut
Ngorih
Basingi
Sita
Aruh
Tatu
Tatu
Arut
Bahosoi
Saoh
Baringin
Taringa
Sambuk
Taringa
Nosot
Onyuh
Bari
Mia
Bakai
Bawoi
Alatala
Wantung
Weah
Ambah
Kuman
Mahanang
Ulu
Matei
Welum
Lela
Hawi’
Maintem
Mariang
Wawei
Upu
Tatamba
Ari’
Manu
Wawui
Antahu
Riam
Malaing
Ngu’ut
Sangit
Sita
Darangan
Kakah
Itak
Jukung
Dayung
Lantai
Batan
Sakah
Salawar
Silu’
Iselem
Niui
Nahi
Amangan
Warik
Babi
Sumber: Riwut, (1958)
Karakteristik Kebudayaan Dayak
Pembagian kelompok suku Dayak di Kalimantan berdasarkan pada kesamaan hukum adat, bahasa, ritus kematian, jalur sungai, maupun kriteria lain, membuktikan adanya keragaman yang alami dan perbedaan yang natural dari pribumi asli pulau ini (Widjono, 1998). Menurut Widjono (1998) terdapat karakteristik yang sifatnya khas yang memperlihatkan kesamaan kebudayaan di antara semua suku Dayak di Kalimantan yang berbeda hanyalah istilah lokalnya saja. Riwut (1958) dan Ukur (1991 dalam Widjono 1998) berdasarkan hasil temuannya mengatakan bahwa ciri pokok kebudayaan Dayak meliputi: (1) rumah panjang; (2) senjata khas; (3) anyam-anyaman; (4) tembikar; (5) siastem perladangan; (6) kedudukan perempuan dalam masyarakat; (7) seni tari.
Karakteristik kebudayaan Dayak sebagaimana yang dikemukakan oleh Ukur tersebut secara rinci dapat di uraikan sebagai berikut:
Rumah Panjang.
Rumah panjang yang merupakan rangkaian tempat tinggal yang bersambung telah dikenal semua suku Dayak, terkecuali suku Dayak Punan yang hidup mengembara, pada mulanya berdiam dalam kebersamaan hidup secara komunal di rumah panjang, yang lazim disebut Laou, Lamin, Betang, dan Lewu Hante.
Persepsi suku Dayak tentang rumah panjang tercakup dalam minimal empat aspek penting dari rumah panjang itu sendiri yaitu aspek penghunian, aspek hukum dan peradilan, aspek ekonomi, dan aspek perlindungan dan keamanan. Tidak berlebihan bila rumah panjang bagi suku Dayak merupakan “centre for Dayak creation, art and inspiration”. Lebih dari itu, rumah panjang merupakan wujud konkrit dari solidaritas sosial budaya suku Dayak di masa lampau, bahkan menurut Layang dan Kanyan (1994) bahwa rumah panjang merupakan pusat kebudayaan Dayak, karena hampir seluruh kegiatan mereka berlangsung di sana.
Senjata Khas
Senjata khas yang di miliki suku Dayak di Kalimantan yang tidak di miliki oleh suku lainnya adalah mandau dan sumpit. Senjata khas yang disebut mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa berbetuk pipih panjang seperti parang berujung runcing menyerupai paruh burung yang bagian atasnya berlekuk datar. Pada sisi mata di asah tajam sedang sisi atasnya sedikit tebal dan tumpul. Kebanyakan hulu mandau terbuat dari tanduk rusa diukir berbentuk kepala burung dengan berbagai motif seperti kepala naga, paruh burung, pilin dan kait. Sarung mandau terbuat dari lempengan kayu tipis, bagian atasnya dilapisi tulang berbentuk gelang, bagian bawah dililit dengan anyaman rotan.
Demikian juga senjata khas yang disebut sumpit yaitu jenis senjata tiup yang dalamnya diisi dengan damak yang terbuat dari bambu yang diraut kecil dan tajam yang ujungnya diberi kayu gabus sebagai keseimbangan dari peluru sumpit. Kekuatan jarak tiup sumpit biasanya mencapai 30-50 meter. Sumpit terbuat dari kayu keras berbentuk bulat panjang menyerupai tongkat yang sekaligus merupakan gagang tombak dengan lubang laras sebesar jari kelilingking yang tembus dari ujung ke ujung. Pada ujung sumpit di lengkapi dengan mata tombak terbuat dari besi berbentuk pipih berujung lancip yang menempel diikat dengan lilitan rotan.
Di samping kedua jenis senjata itu masih terdapat satu peralatan yang disebut telabang atau perisai. Perisai ini terbuat dari kayu gabus dengan bentuk segi enam memanjang, keseluruhan bidang depannya beragam hias topeng (hudoq), lidah api dan pilin berganda.
Anyam-anyaman
Kerajinan tradisional dari orang Dayak berupa anyam-anyaman yang terbuat dari bahan baku rotan, terdapat di semua suku Dayak dengan pelbagai versi. Hal yang tampak khas terdapat dalam dua bentuk yaitu anyam tikar dengan aneka macam motif hias dan sejenis keranjang bertali yang lazim disebut anjat, kiang, berangka dan sebagainya.
Tembikar
Tembikar konon katanya berasal dari Cina, seperti bejana, tempayan, belanga, piring dan mangkok sejak ribuan tahun lalu merupakan bagian dari tradisi kehidupan suku Dayak di Kalimantan. Bahkan sebagian besar dari barang tersebut, terutama tempayan dan guci tidak hanya memiliki nilai ekonomis, melainkan juga memiliki nilai sosio religius yang difungsikan sebagai mahar (mas kawin) dan sarana pelbagai upacara adat, juga untuk menyimpan tulang-tulang leluhur serta sebagai lambang status sosial seseorang.
Sistem Perladangan
Sistem perladangan dilakukan dengan cara berotasi atau bergilir, merupakan budaya khas semua suku Dayak. Sistem perladangan semacam itu mempunyai kearifan dan pengetahuan tersendiri, dalam hal pemeliharaan keseimbangan lingkungan.
Namun demikian, sistem perladangan semacam ini sering dipecundangi, dituduh tidak produktif dan merusak hutan. Suatu vonis yang harus diluruskan sebab banyak penelitian telah membuktikan salah satu diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Dove (1988) terhadap suku Kantu di Kalimantan Barat yang menyatakan sistem perladangan suku Dayak tidak menyebabkan kerusakan hutan atau lingkungan.
Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat
Sistem geneologis dalam masyarakat Dayak adalah parental, bahwa garis keturunan ayah dan ibu dianggap sama. Hal itu berbeda dengan sistem patrilineal (garis keturunan ayah atauy lelaki) ataupun sistem matrilineal (garis keturunan ibu atau perempuan). Dalam struktur masyarakat Dayak, pada khakikatnya kaum perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki baik dalam kehidupan sosial dan kehidupan religius. Hal itu tampak jelas dalam peranan perempuan di pelbagai upacara adat.
Seni Tari
Dalam masyarakat Dayak, tarian dilaksanakan selalu dalam konteks ritual dan serimonial. Namun ada juga tarian yang sifatnya untuk kepentingan umum. Tarian Dayak pada hakikatnya merupakan selebrasi kehidupan. Ragam tarian Dayak menunjukkan identitas khas dari suku Dayak.
Karakteristik atau ciri-ciri pokok kebudayaan Dayak sebagaimana yang dikemukakan oleh Ukur tersebut, menurut Arman (1994) makin lama makin melemah. Rumah panjang yang ada sudah semakin tua dan punah, sedangkan rumah-rumah baru diperkampungan orang Dayak sudah berbentuk rumah individual. Mandau dan sumpit sudah semakin langka karena sudah dibeli oleh turis manca negera dan turis domestik. Mandau bikinan baru tidak seindah mandau bikinan dulu. Sumpitpun mengalami nasib yang sama dengan mandau, yang tinggal hanya satu dua. Tembikar dulu dibawa ke Kalimantan oleh pedagang Cina dalam tukar menukar produk dengan penduduk asli, kini mereka lebih suka membawa containers dari seng atau plastik, karena lebih ringan untuk di bawa, dan orang Dayak sendiri tidak berkeberatan menerimanya.
Sementara itu, sistem perladangan orang Dayak juga sudah mulai berubah, karena hutan untuk ditebang dan dibakar juga semakin sempit. Sistem perladangan yang dulu masih sustainable kini menurun produktivitasnya, karena masa bera yang semakin pendek dan persyaratan-persyaratan lain yang tidak mungkin dipenuhi lagi. Demikian juga dengan seni tari tradisional di manapun juga, tidak terkecuali seni Dayak, sedang mengalami perubahan karena generasi sekarang banyak yang tidak menyukai lagi, sedangkan generasi tua sebagai pewaris sudah banyak yang meninggal dunia.
Berdasarkan karakteristik atau ciri pokok kebudayaan Dayak, seperti telah dikemukakan oleh Ukur tersebut yang oleh Arman keberadaannya sudah semakin lama makin melemah, paling tidak dapat memberi suatu gambaran bahwa orang Dayak, walaupun diantara mereka terdapat banyak sub-sub suku yang masing-masing memiliki perbedaan, namun masih memiliki kesamaan unsur-unsur budaya.
Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian Muslim dan Layang (1994) terhadap orang Dayak di Kalimantan Barat menemukan bahwa diantara orang Dayak banyak persamaan dalam seni budaya terutama dalam hal:
1. Seni Tari: (1) orang Kayan, Punan, Bukat dan Oheng (Peneheng) mempunyai alat musik sape’ dan tarian serta motif busana yang sangat mirip; (2) orang Iban, Kantuk, Muwalang, Seberuang, Tabun di Ketungai desa Lebang Kapuas, orang Lino di Melawi dan Bugao, dalam memukul gong, tawak, gendang, engkerumong (gamelan kecil), kemudian mereka menari, akan terkesan bahwa bunyi instrumen, gaya tari, dan motif busana mereka ada kesamaan; (3) orang Banuaka’ Taman di Banua’ Sio, Mandalam, Kapuas dengan Banuaka’ Kalis, Paniung, Sabintang, dan di Alau, Apalin, Nanga Nyabo, Sunge Ulo, dan di Tamambalo, Tamao dan Labiyan dalam memukul gong, tawak, kebang/bobondi dan kakalentang/tatabo (gamelan kecil), kemudian dalam menari gaya dan motif busana mereka terkesan ada kesamaan; (4) orang Jangkang, Ribun, Pandu, Pompang di Desa Meliau, Tebang dan orang Balai Batang Tarang sama dalam memukul gong, tawak, gaya tarian dan motif busana; (5) orang Keriu, Jeka, Biak Laur, dan Simpang di Kabupaten Ketapang memiliki pukulan alat musik gong yang persis sama satu sama lain, dan dengan demikian juga mempunyai gerak tarian yang persis sama satu sama lain; (6) orang Kanayatn di manyuke dan Lara, serta Jagoi dalam membunyikan alat musik tradisional seperti gong, tawak (dau) dan kemudian mereka menari terkesan bahwa baik bunyi dau atau gaya tarian mereka ada kesamaan; (7) suku Dayak di Kabupaten Ketapang yang bermukim di di selatan sungai Pawan memiliki alat-alat musik yang sejenis, begitu pula bunyi tabuhan dan gerak tariannya.
2. Busana Tradisional: (1) kelompok Dayak Kayan, Iban dan Banuaka’ untuk pakaian laki-laki mempunyai kesamaan yaitu berupa cawat (sirat, kainampura), rompi (gagung) dan topi (kambu); (2) kelompok Ud-Danum, Kaninjal, Undau, Kubin mempunyai kesamaan dalam busana dan senjata perang/berburu serta beberapa peralatan rumah tangga.
3. Ukir-ukiran: (1) Dayak Banuaka’ terkesan adanya kesamaan dengan kelompok Kayan dan Iban dalam bentuk dekoratif walaupun pada kelompon Kayan lebih menonjol motif akar atau pakis, pada Iban lebih menonjol motif daun-daun dan Banuaka’ merupakan gabungan motif akar atau pakis dan daun-daun; (2) Dayak Ut-Danum, Kaninjal, Undau, Kubin, Randu terkesan ada kesamaan dalam berbagai motif ukiran; (3) ukiran Dayak Jangkang, Ribun, banyak persamaan dengan Mahap, Mentuka, Kerabat Bedayuh Manyuke, Kanayant, Lara, Jagoi, bakati’ , suku Dayak Kayung Jelai dan Siring (Simpang); (4) Ukiran Kanayant banyak persamaan dengan Manyuke Lara dan Bakati’ serta Kayung Jelai di Kabupaten Ketapang.
4. Bahasa, persamaan linguistik sangat jelas pada: (1) Dayak Kayan dengan Punan dan Bukat; (2) Dayak Banuaka’ di Banua Sio, Mandalam, Kapuas dengan Kalis, dan Paniung, Sebintang, Alau, Apalin Nyabo, Nanga Nyabo, Sunge Ulo dengan Dayak Taman, Balo, Tamao serta Labiyan; (3) Dayak Suruk dengan Mamayan dan Suhaid; (4) Dayak Iban dengan Kantuk, Seberuang, Muwalang, Ketungau, Sebaruk dan Desa; (5) Dayak Kaninjal dengan Undau, kubin, dan Linau; (6) Dayak Jangkang dengan Ribun, Pandu, Mahap, Mantuka, Kerabat, Pompang dan Simpang; (7) Dayak Banyuke, Kanayant, Bakati, Lara dan Jagoi; (8) Dayak Jelai dengan Kendawangan, Pasaguan, Kayung di Kabupaten Ketapang.
Adanya kesamaan unsur-unsur budaya yang dimiliki oleh orang Dayak di Kalimantan tersebut, menurut Muslim dan Layang (1994), hal ini karena sejak dari nenek moyang mereka sudah terikat dalam kemasyarakatan adat (adattrecht gemeenschap) sebagai persekutuan adat, juga pada mulanya mereka merupakan satu kekarabatan yang terbentuk berdasarkan geneologis, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu, kemudian berkembang menjadi persekutuan hukum adat yang bersifat geneologis teritorial dan bahkan sebagian sudah bersifat teritorial karena keterikatan mereka dalam suatu daerah yang disebut benua (kalbar), lewu (Katingan Kalteng), leppo (Kenyah Kalteng) dan Benuag (Kaltim).
PENUTUP
Suku Dayak sebagaimana suku bangsa lainnya, memiliki adat-istiadat dan hukum adat tersendiri. Ketentuan-ketentuan yang merupakan pedoman hidup bagi warganya, ada yang mengandung sanksi, dan ada yang tidak. Yang tidak mengandung mengandung sanksi adalah kebiasaan atau adat istiadat, namun yang melanggar akan dicemooh, karena adat merupakan pencerminan kepribadian dan penjelmaan dari jiwa mereka secara turun temurun. Sedangkan yang mengandung sanksi adalah hukum yang terdiri dari norma-norma kesopanan, kesusilaan, ketertiban sampai pada norma-norma keyakinan atau kepercayaan yang dihubungkan dengan alam gaib dan sang pencipta. Norma-norma itu disebut hukum adat.
Sistem kekarabatan pada orang Dayak pada adalah bersifat bilateral atau parental. Anak laki-laki maupun perempuan mendapat perlakuan yang sama, begitu juga dalam pembagian warisan pada dasarnya juga tidak ada perbedaan, artinya tidak selamanya anak-laki mendapat lebih banyak dari anak perempuan, kecuali yang tetap tinggal dan memelihara orang tua hingga meninggal, maka mendapat bagian yang lebih bahkan kadang seluruhnya. Demikian juga tempat tinggal setelah menikah pada orang Dayak lebih bersifat bebas memilih dan tidak terikat. Sistem perkawinan pada dasarnya menganut sistem perkawinan eleotherogami dan tidak mengenal larangan atau keharusan sebagaimana pada sistem endogami atau eksogami, kecuali karena hubungan darah terdekat baik dalam keturunan garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketujuh.
Mata pencaharian orang Dayak selalu ada hubungannya dengan hutan, misalnya berburu, berladang, berkebun mereka pergi ke hutan. Mata pencaharian yang berorientasi pada hutan tersebut telah berlangsung selama berabad-abad, dan ternyata berpengaruh terhadap kultur orang Dayak. Misalnya rumah panjang yang masih asli seluruhnya dibuat dari kayu yang diambil dari hutan, demikian juga halnya dengan sampan-sampan kecil yang dibuat dengan teknologi sederhana yaitu dengan cara mengeruk batang pohon, peralatan kerja seperti kapak, beliung, parang, bakul, tikar, mandau, perisai dan sumpit semuanya (paling tidak sebagian) bahan-bahannya berasal dari hutan.
Kesenian seperti seni tari, seni suara, seni ukir, seni lukis orang Dayak merupakan salah satu aspek dari kebudayaan Dayak yang memiliki bentuk dan ciri-ciri khas pada tiap-tiap sub suku Dayak. Walaupun demikian, pada hampir semua sub suku Dayak memiliki ciri-ciri dasar yang sama atau mirip, hal ini menandakan bahwa terdapat hubungan kekarabatan pada masa lampau.
Hutan bagi masyarakat Dayak merupakan “dunia” atau kehidupan mereka. Kedudukan dan peranan hutan semacam ini telah mendorong petani Dayak memanfaatkan hutan di sekitar mereka dn sekaligus menumbuhkan komitmen untuk menjaga kelestariannya demi keberadaan dan kelanjutan hidup hutan itu sendiri, kehidupan mereka sebagai individu dan kelompok, dan juga demi hubungan baik mereka dengan alam dan Tuhan mereka. Untuk melaksanakan tugas dan komitmen tersebut, masyarakat Dayak dibekali dengan mekanisme alamiah dan nilai budaya yang mendukung, pemanfaatan hutan demi kelanjutan hidup mereka dan pelestarian alam.
DAFTAR PUSTAKA
Almutahar, Hasan. 1995. Respon Petani Dayak Kandayan Terhadap Teknologi Pertanian, Bandung: Tesis Magister, Program Pascasarjana UNPAD.
Alqadrie, Syarif. I. 1987. Cultural Differences and Social Life Among Three Ethnic Groups in West Kalimantan Case, Tesis M.Sc, Lexington, Kentucky: College of Agriculture, Agricultural and Rural Sociologi, University of Kentucky.
----------------------. 1990. Ethnicity and Social Change in Dyaknese Society of West Kalimantan, Indonesia, Disertasi Ph.D, Lexington, Ky: Departement of Sociology, Universitu of Kentucky.
---------------------. 1991. Kepercayaan Nenek Moyang Dalam Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat dan Hubungannya dengan Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya Mereka, Dalam Suara Almamater Nomor 3 Juli, Pontinak: Universitas Tanjungpura.
--------------------------. 1994 Mesianisme Dalam Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat: Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grashindo Utama.
Arman, Syamsuni. 1994. Analisa Budaya Dayak, Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grashindo Utama.
Coomans, Mikhail. 1987. Manusia Dayak: Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, Jakarta: Gramedia.
Dakung, Sugiarto. 1986. Isi dan Kelengkapan Rumah Tangga Tradisional Daerah Kalimantan Barat, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dove, Michael R. 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
--------------------.1988. Sistem Perladangan Di Indonesia: Studi kasus Di Kalimantan Barat, Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Garna, Judistira K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar-Konsep-Posisi, Bandung: Program Pascasarjana Unpad.
Kartawinata, Ade Makmur. 1993. Masyarakat Punan di Kalimantan Barat, Dalam: Koentjaraningrat (Ed), Masyarakat Terasing di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mering, Ngo. 1989. Antara Pemilik dan Pemanfaat Kisah Penguasaan Lahan Orang Kayan di Kalimantan Barat, Dalam Prisma Nomor 4 Tahun XVIII, Jakarta: LP3ES.
Mudiyono. 1990. Perubahan Sosial Budaya dan Ekologi Peladang berpindah:Dalam Suara Almamater, No II Tahun V Nopember, Pontianak: Universitas Tanjungpura.
----------------. 1995. Kearifan Tradisional Masyarakat Dayak Dalam Pemeliharaan Lingkungan Hidup di Daerah Kalimantan Barat, Pontianak: Fisip Untan.
Mubiyarto. 1991. Kajian Sosial Ekonomi Desa-Desa Perbatasan di Kalimantan Timur, Yogykarta: Aditya Media.
Muslim, Irine. A dan Layang, S. Yakobus E. Frans. 1994. Makna dan Kekuatan Simbol Adat Pada Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat di Tinjau dari Pengelompokan Budaya, Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grashindo Utama.
Riwut, Tjilik. 1958. Kalimantan Memanggil, Jakarta: Penerbit Endang.
Sapardi, Antonius. 1992. Pengaruh Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Rumah Tangga Petani di Kecamatan Parindu, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
---------------------. 1994. Ilmu Pengetahuan Masyarakat Asli Tentang Ladang: Suatu Studi Pada Masyarakat Ribun dan Pandu di Kecamatan Parindu Sanggau Kalimantan Barat, Dalam Suara Almamter Nomor VI Tahun XI, September, Pontianak: Universitas Tanjungpura.
Sellato, Bernard. 1989. Naga dan Burung Enggang, Hornbill and Dragon, Aquitaire Indonesia: ELF.
Seli, Seselia. 1996. Struktur, Fungsi, Dan Nilai Budaya Dalam Cerita Rakyat Dayak Kanayant Kabupaten Pontianak, Bandung: Tesis Magister, Program Pascasarjana IKIP.
Soedjito, Herwasono. 1999. Masyarakat Dayak, Peladang Berpindah dan Pelestarian Plasma Nuftah, Dalam Kusnaka Adimihardja (Ed), Petani, Merajut Tradisi Era Globalisasi, Pendayagunaan Sistem Pengetahuan Lokal Dalam Pembangunan, Bandung: Humaniora Utama Press.
Sarmanto. 1982. Perladangan Berpindah, Studi Tinjauan dari Aspek Sosial Budaya di Kalimantan Barat, Pontianak: Fisip Universitas Tanjungpura.
Sukanda, Al. Yan. 1994. Tradisi Musikal Dalam Kebudayaan Dayak, Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grashindo Utama.
Tim Penelitian Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan kebudayaan Propinsi Kalbar. 1988. Kebudayaan, Agama, dan Adat Kebiasaan Orang-Orang Dayak di Kalimantan Barat, Dalam Media Informasi Nomor 5 Juli, Pontianak: Kanwil Depdikbud Propinsi Kalbar.
Topin, Benedict. 1996. Kaamatan, Festival Pasca Panen Rakyat Sabah, Dalam: Stepanus Djuweng (Ed), Manusia Dayak, Orang Kecil yang Terperangkap Modernisasi, Pontianak: Institute of Dayakology Research and Development (IDRD).
Ukur, Frodlin. 1971. Tantang Djawab Suku Dayak, Jakarta: Gunung Mulia.
-------------------. 1991. Kebudayaan Dayak, Dalam Kalimantan Review Nomor 02 Tahun I Juli-Desember, Pontianak: LP3S-IDRD.
------------------. 1994. Makna Religi dari Alam Sekitar Dalam Kebudayaan Dayak, Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grashindo Utama.
Umberan, Musni. 1994. Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli di Kalimantan Barat, Pontianak: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Daerah, Depdikbud Propinsi Kalimantan Barat.
Widjono, Roedi Haryo. 1995. Simpakng Munan Dayak Benuag, Suatu Kearifan Tradisional Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Dalam: Kalimantan Review Nomor 13 Tahun IV, Oktober-Desember, Pontianak:LP3S-Institute of Dayakology Research and Development (IDRD).
-------------------------. 1998. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Grasindo.SEKILAS GAMBARAN SUKU DAYAK
Oleh:Prof.Dr. Arkanudin,M.Si
(Guru Besar Sosiologi dan Antropologi Fisip Universitas Tanjungpura- Pontianak Kalbar)
Asal Usul
Menurut sejarah nenek moyang orang Dayak yang mendiami seluruh propinsi yang ada di Kalimantan, termasuk orang Dayak yang terdapat di negara tetangga Malaysia, menurut Coomans (1987), bahwa suku bangsa Dayak yang terdapat di Kalimantan merupakan keturunan dari para migran yang berasal dari Yunan di Cina Selatan. Dari tempat tersebut kelompok-kelompok kecil mengembara melalui Indo Cina ke jazirah Malaysia, yang menjadi batu loncatan untuk memasuki pulau-pulau di Indonesia. Selain itu, ada kelompok yang memilih batu loncatan lain yakni melalui Hainan, Taiwan, dan Philipina kemudian masuk ke Kalimantan. Perpindahan itu tidak begitu sulit karena pada zaman glazial (zaman es) permukaan laut sangat turun (surut), sehingga dengan perahu-perahu kecil sekalipun mereka dapat menyeberangi perairan yang memisahkan pulau-pulau.
Perpindahan itu diperkirakan karena penduduk Yunan pada waktu itu mencari tempat yang dianggap paling bisa memberikan peluang dan kebebasan bagi mereka untuk mencari nafkah, khususnya untuk berladang dan berburu, rupanya perpindahan itu tidak hanya berlangsung sekali terjadi, tetapi berlangsung secara bertahap (Akil, 1994). Menurut Coomans (1987) kelompok pertama yang masuk wilayah Kalimantan adalah kelompok Weddid yang sekarang sudah tidak ada lagi. Kemudian disusul dengan kelompok yang lain yang lebih besar disebut Proto Melayu. Perpindahan mereka berlangsung dalam seribu tahun dan terjadi kira-kira 3000-1500 Sebelum Masehi.
Lebih lanjut Coomans (1987) menyatakan bahwa sekitar lima ratus tahun sebelum Masehi berlangsung lagi suatu perpindahan besar dari daratan Asia ke Kalimantan dengan memilih waktu dan jalan yang berbeda. Kelompok-kelompok ini disebut deutro-melayu Kemungkinan suku bangsa Dayak yang bermukim di Kalimantan Selatan dan Tengah beberapa tahun terlebih dahulu singgah di Sumatera dan Jawa, sedangkan suku bangsa Dayak di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur tidak singgah. Suku bangsa Murut, yang bermukim di bagian utara Kalimantan Timur, mungkin masuk Kalimantan lewat Filipina, setelah lama tinggal di sana sebelum masuk Kalimantan. Suku bangsa ini menguasai sistem irigasi, yang tidak dikenal oleh suku-suku bangsa lain; bahkan Afen (1995), menduga bahwa migran dari Yunan tesebut mendiami Pulau Kalimantan sudah sejak zaman Megalithikum dan Neolithikum kurang lebih 1500 Sebelum Masehi.
Riwut (1958); Lontaan (1975) mengemukakan bahwa Imigran yang datang dari Yunan tersebut yang dikatakan sebagai cikal bakal suku Dayak ini, begitu sampai di Kalimantan pada mulanya mendiami tepi Sungai Kapuas atau Laut Kalimantan, tetapi dengan datangnya Melayu dari Sumatera dan tanah Semananjung Malaka, akhirnya mereka semakin terdesak ke hulu sungai bertambah lama bertambah jauh kesebelah darat Pulau Kalimantan. Lebih lanjut menurut Riwut (1958) selain orang melayu telah datang pula orang Bugis dan Makasar yang mendiam Pantai Timur dan Pantai Barat pulau Kalimantan, demikian pula orang Jawa telah datang semasa kerajaan Majapahit. Orang asing yang datang di Kalimantan sebelah Barat, yaitu orang Tionghoa.
Suku Dayak dan Sub-Sub Suku Dayak
Suku Dayak di Kalimantan termasuk di Malaysia-Brunei Darussalam, tidak diketahui secara pasti berapa jumlahnya, dalam arti kelompok. Situasi geografis dan demografis mengakibatkan mereka terisolasi dan tercerai berai; walaupun semula mereka merupakan satu rumpun, setelah proses kehidupan berlangsung ribuan tahun, mereka seolah-olah tidak mempunyai hubungan satu sama lain (Widjono, 1998). Itulah sebabnya suku Dayak relatif banyak dan beraneka ragam, sehingga tidak mudah untuk melakukan pengelompokkan terhadap suku Dayak. Di dalam pengelompokkan itu terdapat banyak versi, yang satu dengan lainnya memiliki kesamaan dan perbedaan (Widjono, 1998).
King (1978); Kedit (1988); Ukur (1992); dan Zulkarnaen (2000): Arkanudin (2005) menyatakan bahwa suku bangsa Dayak yang mendiami pulau Kalimantan terdiri dari ratusan kelompok etno-linguistik dapat di golongkan dalam suatu kelompok besar (Dayak) karena mereka memiliki persamaan unsur-unsur budaya seperti bentuk fisik, bentuk pemukiman berupa rumah panjang, persamaan linguistik, corpus tradisi lisan, adat-istiadat, struktur sosial, bentuk senjata, dan pandangan mengenai jagat raya. Hal lain yang serupa menurut Djuweng (1992) adalah cara-cara mengekstraksi sumber-sumber alam dan penggunaan teknologi.
H.J. Malinckrodt (1928), bekas seorang controleur di jaman penjajahan membedakan suku Dayak berdasarkan pada kesamaan hukum adat, yang mengelompok suku Dayak dalam enam rumpun yang disebutnya stammenras yaitu: stammenras; (1) Kenya-Kayan- Bahau, yang mendiami daerah Kalimantan Timur; (2) Ot-Danum, yang umumnya mendiami daerah Kalimantan Tengah; (3) Iban, yang mendiami Serawak Malaysia Timur; (4) Moeroet, yang mendiami Sabah, Malaysia dan Utara Kalimantan Timur; (5) Klemantan, yang mendiami daerah Kalimantan Barat; dan (6) stammenras Peonan, merupakan suku-suku yang mengembara di pedalaman Kalimantan.
Stohr (1959) melakukan penggolongan yang di dasarkan pada rumpun suku akan kesejajaran, persamaan atau kekeluargaan yang membagi suku Dayak dalam tiga golongan yaitu: (1) Ot-Danum yang meliputi Dayak Ot-Ngaju dan Maanyan-Lawangan; (2) Dayak Moeroet yang meliputi Dusun Murut – Kelabit; dan (3) Dayak Klemantan yang meliputi Klemantan dan Land-Dayak.
Tjilik Riwut (1958) dan F.H. Duman (dalam Lontaan,1975) membagi suku Dayak yang terdapat di Kalimantan ke dalam tujuh rumpun besar atau anak suku, 18 suku kecil atau suku sedatuk dan 405 suku-suku kecil atau suku sefamili, yang pembagiannya sebagai berikut:
1. Dayak Ngaju terdiri atas 4 suku kecil yaitu: 1) Dayak Ngaju, terbagi lagi dalam 53 subsuku: (1) suku Baradia;(2) Barahayan; (3) Baranarai (4) Bara Nio; (5) Bara Nyet; (6) Bara Urik; (7) Ole Meneya; (8) Ole Katingan; (9) Tamuan; (10) Seruyan; (11) Mentabi; (12) Baraki atau Bakumpai; (13) Bara Raden/Ole Mangkatip; (14) Kahayan; (15) Ngaju; (16) Barangas; (17) Bara Je; (18) Kayu Tangi; (19) Dayak; (20) Tapian; (21) Amandit; (22) Labuhan Amas; (23) Alai; (24) Bukit; (25) Ritap; (26) Balanga; (27) Bajau; (28) Pasir; (29) Kapuas; (30) Mentebah; (31) Sembuluh; (32) Arut; (33) Bulik; (34)Batang Kana; (35) Balangtikan; (36) Ulang; (37) Lamandau; (38) Bentian; (39) Mendawai; (40) Murung; (41) Tabilun; (42) Lampeang/Balai; (43) Tangka Ngaju; (44) Taboyan Teweh; (45) Purrui; (46) Kuwing; (47) Pananyui; (48) Purung; (49) Lantu Ung; (50) Bawa Adeng; (51) Lalang; (52) Kali; (53) Bawa: 2) Dayak Ma’anyam, terbagi dalam 8 subsuku: (1) Dayak Maanyan Pantai; (2) Maanyan Paku; (3) Maanyan Jangkung; (4) Maanyan Paju; (5) Paju Empat; (6) Maanyan Benua Lima; (7) Maanyan: 3) Dayak Dusun, terbagi dalam 8 subsuku: (1) Dayak Dusun Wito; (2) Dusun; (3) Bayan Tawan; (5) Kerawatan; (6) Bayan; (7) Dusun Malang; (8) Karamaun; (9) Dusun daya: 4) Dayak Lawangan, terbagi dalam 21 subsuku: (1) Dayak Lawangan Kayau; (2) Singa Rasi; (3) Paku; (4) Ayus; (5) Bawu; (6) Tabuyan Mantararan; (7) Malang; (8) Tabuyan Teweh; (9) Mangku Anam; (10) Nyumit; (11) Bantian; (12) Purui; (13) Tudung; (14) Leo Arak; (15) Bukit; (16) Mungku; (17) Benuwa; (18) Bayan; (19) Lemper; (20) Pauk; (21) Tungku Lawangan.
2. Dayak Apu Kayan, terdiri atas 3 suku kecil yaitu: 1) Dayak Kenya, terbagi lagi dalam 24 subsuku: (1) Dayak Kenya; (2) Kenya Bauk; (3) Lepo Payah; (4) Uma Klap; (5) Nyibun Saban/Libun; (6) Lepo Maut; (7) Ma’Lang; (8) Ma Alim; (9) Lepo Ka’; (10) Ma Badang; (11) Ulun Surau/Berau; (12) Ulun; (13) Lepi Tau; (14) Lepo Jalan; (15) Lepo Bam; (16) Lepo Aga; (17) Lepo Tukang; (18) Lepo Bakang; (19) Lepo Kulit; (20) Lepo baka; (21) Lepo Tepo; (22) Lepo Lisan; (23) Lepo kayan; (24) Ngure/Urik: 2) Dayak Kayan, terbagi lagi dalam 10 subsuku: (1) Uma Pliau; (2) Uma Samuka; (3) Uma Puh; (4) Uma Paku; (5) Uma Bawang; (6) Uma Naving; (7) Uma Lasung; (8) Uma Daru; (9) Uma Juman; (10) Uma Leken: 3) Dayak Bakau, terbagi lagi dalam 26 subsuku: (1) Dayak Saputan; (2) Puihing; (3) Bakau Kayan; (4) Lang Glat; (5) Ma’ Suling; (6) Lang Wai; (7) Uma Wai; (8) Huvang Ana; (9) Huvang Tering; (10) Segai; (11) Nadang; (12) Melarang; (13) Ba’Belur; (14) Ma’ Lowang; (15) Uma Aging; (16) Uma Pagung; (17) Uma Bau/Uban; (18) Uvang Dali; (19) Bakau; (20) Uvang Hurai; (21) Uvang Mekan; (22) uvang Bo; (23) Uvang Sirap; (24) Uma Mehak; (25) Teliba; (26) Tanjung Linggang.
3. Dayak Iban dan Heban atau Dayak Laut, terbagi lagi dalam 11 suku-suku kecil yaitu: (1) Dayak Balau; (2) Skrang; (3) Saribas; (4) Undup; (5) Kumpung/Ulu Kantuk; (6) Sabuyau; (7) Seru; (8) Empran; (9) Kanawit; (10) Katibas; (11) Gaat.
4. Dayak Klemantan atau Dayak Darat, terdiri atas 2 suku kecil yaitu:1) Dayak Klemantan (Dayak Darat), terbagi lagi dalam 47 subsuku: (1) Dayak Selakau; (2) Darat; (3) Klemantan; (4) Malok; (5) Sedu; (6) Kembayan; (7) Sangkeng; (8) Tawang; (9) Galih; (10) Ribun; (11) Punti; (12) Kadukul; (13) Pigugah; (14) Sakubang; (15) Sakujan; (16) Maulang; (17) Ayuh; (18) Penting; (19) Batang Tarang; (20) Manyuke; (21) Paranguawan; (22) Sareto; (23) Darit; (24) Deva; (25) Kuwalan; (26) Kancing; (27) Ketiyur; (28) Kenelas; (29) Taba; (30) Tebang; (31) Benawas; (32) Kerabat; (33) Sawai; (34) Jawan; (35) Taman; (36) Entukan; (37) Semerawai; (38) Mangkok; (39) Kuman/Koman; (40) Mahap; (41) Ulu Sekadau; (42) Tanjung; (43) Ambawang; (44) Sekilap; (45) Ipoh; (46) Siding; (47) Empatang. 2) Dayak Ketungau, terbagi lagi dalam 39 subsuku: (1) Dayak Bandur; (2) Tabun; (3) Begeleng; (4) Demam; (5) Senangkan; (6) Rakawi; (7) Sekalau; (8) Malahui; (9) Peturun; (10) Bangun; (11) Marakai; (12) Marak; (13) Laman Tawa; (14) Laman Tuha; (15) Keluas; (16) Kandau; (17) Kelata; (18) Batu; (19) Sandai; (20) Bangkang; (21) Lomandau; (22) Delang; (23) Batang Kawa; (24) Bulik; (25) Mamah Darat; (26) Rukunu Guhung; (27) Beah; (28) Beginel; (29) Krinu; (30) Kayung; (31) Lauh; (32) Pesaguan; (33) Jelai; (34) Kendawangan; (35) Tulak; (36) Kecurapan; (37) Kayu Bunga; (38) Putatah; (39) Miulanau.
5. Suku Dayak Murut, terdiri atas 3 suku kecil yaitu: 1) Dayak Murut, terbagi lagi dalam 28 subsuku: (1) Dayak Murut; (2) Bundu; (3) Membakut; (4) Parat; (5) Putatah; (6) Dalit; (7) Peduan; (8) Rundun; (9) Kalur; (10) Sepalut; (11) Kun Daya; (12) Tempasuh; (13) Tambunan; (14) Kaiau; (15) Ranan; (16) Marundu; (17) Rungus; (18) Dumpa; (19) Miri; (20) Tambunwa; (21) Tenggasa; (22) Tegas; (23) Kanawit; (24) Lelak; (25) Sebap; (26) Narun; (27) Malanau; (28) Dabugus/Ulun Dabugus. 2) Dayak Idaab (Dusun), terbagi lagi dalam 6 subsuku: (1) Dayak Bundu; (2) Mambakut; (3) Papar; (4) Putetan; (5) Tuaran; (6) Tenggilan. 3) Dayak Tidung, terbagi lagi dalam 10 subsuku: (1) Ulun Mentarang; (2) Ulun Tubuh; (3) Ulun Dayu; (4) Ulun Putuh; (5) Nilanatau Lang; (6) Ulun Kalabit; (7) Adang; (8) Saban; (9) Keraian; (10) Liban.
6. Dayak Punan, terdiri atas 4 suku kecil yaitu: 1) Dayak Basap, terbagi dalam 20 subsuku: (1) Dayak Kinaru; (2) Sagaba; (3) Sambarukat; (4) Birang; (5) Bala; (6) Mati; (7) Malmau; (8) Sidung; (9) Luwanggi; (10) Mangging; (11) Makan Ulu; (12) Malattan; (13) Maning; (14) Bengungu; (15) Suwaran; (16) Ulu Labu; (17) Siagong; (18) Long Gi; (19) Malinau/Punan Usun; (20) Batu. 2) Dayak Punan, terbagi lagi dalam 24 subsuku: (1) Dayak Busang; (2) Long Wai; (3) Aput; (4) Baha; (5) Lisium; (6) Berusu; (7) Semamu; (8) Balalu; (9) Are; (10) Tubu; (11) Tukup; (12) Alun; (13) Sang; (14) Benga; (15) Nyibung; (16) Sian; (17) Lagat; (18) Tinyar; (19) Bungan; (20) Keriu; (21) Era; (22) Mandai; (23) Penyabung; (24) Dulai. 3) Dayak At, terbagi lagi dalam 5 subsuku yaitu: (1) At Parai/At Pari; (2) At Alang-Alang; (3) At Marikit; (4) At Patih Tarukah; (5) At Sia. 4) Dayak Bukat, terbagi lagi dalam 3 subsuku.
7. Dayak Ot-Danum, terbagi lagi atas 61 subsuku yaitu: (1) Dayak Lebang; (2) Undan; (3) Desa; (4) Seberuang; (5) Payah; (6) Linuh; (7) Linuh Pudau; (8) Palan; (9) Pandu; (10) Rarai; (11) Muntak; (12) Silang; (13) Jungkau; (14) Lacur; (15) At Danum; (16) Penangkuwi; (17) Nyangai; (18) Asa; (19) Banyau; (20) Sahiei; (21) Serawai danun; (22) Ransa; (23) Limbei; (24) Kenyilu; (25) Iban; (26) Tahin; (27) Kuhin; (28) Pangin; (29) Pananyui; (30) Ellah; (31) Kebosan; (32) Keninjal; (33) Tebidah; (34) Ginih; (35) Payah; (36) Jampal; (37) Kayan Danum; (38) Nanga; (39) Ulun Daan; (40) Mentebah; (41) Taman Danum; (42) Taman Sibau; (43) Mandai Suruk; (44) Palin; (45) Embaloh; (46) Lauk; (47) Kalis; (48) Lebayan; (49) Sebaung; (50) Tawahui; (51) Raham; (52) Pananyari; (53) Duhai; (54) At Bunusu; (55) Tahup; (56) At Siang; (57) Kalang Lupu; (58) Jambung Jaman; (59) Gunung Kambang; (60) Nyahing Uhing; (61) Babuat; (62) Keramai; (63) Serimbu; (64) Ketungau Ulu; (65) Kendayan; (66) Sebaruk.
Dalam pada itu, Raymond Kennedy (1974) membagi suku Dayak menjadi: (1) Kenyah-Kayan-Bahau Group; (2) Ngaju Group; (3) Land Dayak Group; (4) Klemantan-Murut Group; (5) Iban Group; (6) Punan Group. Sedangkan Bernard Sellato (1989) yang mendasarkan pengelompokkannya mengikuti sungai-sungai besar, membagi suku Dayak ke dalam delapan kelompok yaitu:
1) Orang Melayu
2) Orang Iban
3) Kelompok Barito, mencakup antara lain Ngaju, Ot-Danum, Siang, Murung, Luangan, Benuaq, Bentian dan Tunjung
4) Kelompok Barat atau di sebut Bidayuh (Dayak Daratan) mencakup suku di Serawak Barat dan Kalimantan Barat
5) Kelompok Timur Laut, terutama terdapat di Sabah, meliputi orang Dusun atau Kadazan, Murut Daratan dan beberapa kelompok di sekitar Brunei dan pantai Kalimantan Timur. Bahasa mereka berkaitan dengan bahasa Filipina Selatan
6) Kelompok Kayan dan Kenyah, yang bermukim di sekitar Kalimantan Timur dan Sarawak.
7) Orang Punan, meliputi Beketan, Punan dan bukat yang merupakan pengembara dan sterdapat di semua daerah di hutan Kalimantan, kecuali Sabah
8) Kelompok Utara Tengah, mencakup orang Kelabit, Lun Dayeh, Lun Bawang dan Murut Bukit, Kajang, Berawan, Melanau.
Sub-sub suku Dayak tersebut relatif banyak dan beragam, tetapi mereka memiliki kebersamaan sebagai satu suku Dayak penduduk asli Kalimantan. Pada saat sekarang orang Dayak hidup berpencar-pencar di seluruh Kalimantan, terdiri dari komunitas-komunitas kecil yang memiliki logat bahasa berbeda dan tradisi adatnya tidak persis sama, memiliki wilayah kesatuan adat yang dinamai binua (Mudiyono,1993). Komunitas suku Dayak yang kecil-kecil tersebut, pada umumnya mengidentifikasikan dirinya dengan nama suku atau subsuku, juga dengan nama sebuah sungai yang mengalir melintasi daerah pemukiman mereka atau dengan nama daerah asal sebagai mana yang di katakan Coomans (1987), bahwa Orang Dayak sendiri memberi nama menurut nama suku atau sub suku, seperti misalnya orang Kenyah, orang Kayan, orang Bahau, orang Tunjung dan lain sebagainya. Selain itu nama mereka dispesifikasikan juga menurut nama desa, misalnya orang Tering, orang Long Hubung, orang Melapeh. Nama-nama tersebut sering sama dengan nama sungai, tempat permukiman mereka sekarang atau masa lampau. Nama-nama itu sering mengandung sebagian sejarah perpindahan mereka pada masa lampau, misalnya orang Tering, yang mendiami kampung Tering adalah sub suku dari suku bangsa Bahau yang dapat digolongkan pada kelompok suku Kayan. Tering adalah sebuah anak Sungai Bahau, dan Sungai Bahau adalah anak Sungai Kayan. Orang Tering bermukim di daerah Sungai Tering.
Berdasarkan atas penjelasan yang dikemukakan oleh Coomans tersebut memberi pemahaman bahwa orang Dayak dalam memberi nama suku selalu dihubungkan dengan nama sebuah sungai yang melintasi di mana mereka bermukim. Hal ini lah yang menurut Lontaan (1975) yang menyebabkan banyaknya sub-sub suku pada orang Dayak.
Penggolongan Dalam Masyarakat Dayak
Kepustakaan yang merinci dan membahas tentang penggolongan atau susunan masyarakat Dayak seperti yang di tulis oleh Frodlin Ukur dalam bukunya yang berjudul Tantang Jawab Suku Dayak (1971), meskipun dalam tulisannya mengupas tentang susunan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, tetapi pada umumnya susunan masyarakat Dayak di Kalimantan itu tidak terlalu jauh berbeda satu sama lainnya. Menurut Lontaan (1975) bahwa penggolongan atau susunan masyarakat Dayak yang berada di Kalimantan pada umumnya sama, yang membedakannya hanyalah istilah atau bahasa.
Pada masa lalu menurut Riwut (1958); Ukur (1971); Lontaan (1975), bahwa untuk menyatakan suatu golongan, kelompok atau kelas di masyarakat Dayak digunakan istilah “utus, jalahan, bumuh, babuhan dan ungkup”. Berdasarkan atas golongan tersebut, dalam masyarakat Dayak pada umumnya terbagi atas dua golongan besar; yaitu (1) golongan merdeka; dan (2) golongan budak.
Golongan Merdeka
Masyarakat golongan ini terbagi lagi dalam dua kelompok yaitu: (1) Utus Gantong atau Utus Tatau; dan (2) Utus Randah atau Utus Pehe Belum. Kelompok Utus Gantong atau Utus Tatau yaitu golongan masyarakat yang termasuk kelas bangsawan tinggi, golongan manusia kaya dan sempurna. Ukuran dominan untuk menentukan batasan kelas atau golongan gantong ini pada masa lalu adalah dengan melihat jumlah jipen atau rewar yang mereka miliki, semakin banyak kepala jipen/rewar maka semakin tinggi kedudukannya, karena biasanya jipen atau rewar dapat bebas menyandang jipen dan rewar, bila ia dapat melunasi seluruh hutangnya kepada tuannya ditambah denda yang di sepakati sebelum jatuh tempo.
Golongan gantong atau utus tatau ini biasanya memiliki kekayaan, kedudukan dan kehormatan, ukuran harta yang mereka miliki adalah tempayan suci yang disebut haramaung dan belanga merupakan harta suci berasal dari illahi turun dari langit ke tujuh yang di miliki nenek moyang turun temurun, sejumlah bidang tanah beserta kebun di atasnya seperti karet (Havea brasiliensis), rotan (Calamus caesius), buah-buahan, tanah perwarisan di kampung, jumlah ternak kerbau, sapi, babi dan binatang unggas lainnya.
Di lihat dari hubungan kekarabatan dan kekeluargaan golongan gantong atau utus tatau memiliki keturunan yang kaya dan terhormat, nama mereka di kenal oleh seluruh kampung atau desa di sepanjang aliran sungai. Apabila pemangku adat atau ketua adat itu tidak berada di tempat, maka tidak jarang golongan ini diminta pendapat dalam berbagai hal yang terutama yang berkaitan dengan masalah pelaksanan hukum adat dan hal lain yang dianggap penting seperti pesta atau acara kematian bila ada yang meninggal dunia.
Kelas kedua dalam golongan merdeka adalah Utus Randah atau utus pehe-belum, yaitu golongan masyarakat rendah atau miskin. Golongan utus rendah ini, walaupun termasuk kelas merdeka, namun masih juga dibedakan kedudukan sosial ekonominya yaitu mereka yang tidak memiliki harta kekayaan, terutama harta pusaka suci yang menandai hubungan langsung dengan keilahian tertinggi; walaupun mereka memiliki beberapa benda suci, tetapi umumnya nilainya lebih rendah. Utus rendah tersirat pengertian dan pemahaman religius bahwa mereka itu berasal dari keilahian secara tidak langsung, hanya saja mereka hidup miskin dan menderita karena keadaan. Penamaan pehe belum mengandung pengertian nilai sosial, mereka tidak memiliki kekayaan seperti benda pusaka yang suci dan memadai, harta yang mereka miliki umumnya nilainya lebih rendah dari utus gantong dan lebih rendah dari kekayaan yang di miliki kebanyakan masyarakat di kampung atau desa, mereka tidak memiliki jipen atau rewar. Utus pehe belum ini masih dilibatkan dalam pengaturan kehidupan masyrakat, perkara adat dan lain-lain tetapi dlam fungsi yang relatif rendah dibandingkan dengan utus gantong.
Golongan Budak.
Dalam masyarakat Dayak golongan budak ini dibedakan lagi dalam dua kelas yaitu: (1) Jipen; dan (2) Rewar. Kedua kelas ini selalu dikaitkan dengan kelas di atasnya, baik Jipen maupun Rewar bekerja pada majikan atau tuannya. Jipen adalah budak yang di kuasai oleh majikan atau tuannya karena si pemilik hutang tidak dapat melunasi utang sampai jatuh tempo yang dijanjikan.
Timbulnya kelas Jipen ini menurut Lontaan (1975) disebabkan oleh faktor: (1) berasal dari keturunan ibu yang memang sudah menjadi Jipen; (2) akibat hutang yang tak terlunaskan setelah habis terjaminnya; (3) akibat terjadinya pelanggaran adat, yang dikenakan denda dengan uang, tetapi tidak mampu membayarnya; (4) akibat dari “persundalan” dengan para belian, yang menghabiskan harta benda; (5) karena tidak mampu membayar bunga hutang dari kapital yang dipinjam; dan (6) akibat kalah perang, sehingga menjadi tawanan.
Selanjutnya menurut Lontaan (1975), untuk mendapat kembali kemerdekaannya seorang budak harus memenuhi tuntutan adat yang tersedia yang ditempuh bahwa: (1) harus membayar habis seluruh hutangnya; (2) setiap habis panen berhak menerima sepuluh persen dari seluruh panen pemiliknya, bagian ini dapat dijual atau dipinjamkan dengan bunga, sehingga memungkinkan ia mencicil atau mengangsur pembayaran hutangnya;(3) walaupun malam, seluruhnya menjadi kepunyaan sendiri; pekerjaan yang dilakukan pada waktu malam adalah haknya, seperti menganyam, mengukir dan sebagainya adalah milik pribadinya yang dapat dijual; (4) apabila ada pekerjaan dihutan, seperti mengambil rotan, maka dalam jumlah tertentu ia berhak mendapat upah; dan (5) diperbolehkan memelihara binatang ternak milik sendiri dengan tidak memgurangi pekerjaan untuk pemilik, yang kemudian dapat dihargai dengan uang.
Namun dalam kenyataan seseorang yang telah menjadi Jipen adalah sangat sulit untuk melepaskan diri dari kekuasaan majikannya, menurut Ukur (1971) hal ini adalah karena selain utangnya sejak dia berstatus Jipen dilipatgandakan dalam besaran kelipatan tertentu yang jauh lebih besar dari bunganya juga si Jipen itu oleh majikannya diberikan suatu minyak yang diminumkan atau dicampur dengan makanan Jipen, dengan maksud agar si Jipen tidak memiliki pikiran untuk melepaskan diri dari status Jipennya dan selalu menurut perintah dan kehendak majikan tanpa pamrih.
Kelas kedua dalam golongan budak adalah Rewar yaitu golongan budak yang turun-temurun menjadi kepunyaan dari si pemilik. Timbulnya kelas Rewar ini, menurut Lontaan (1975) terutama sekali sebagai akibat adanya penghukuman terhadap pelanggaran-pelanggaran adat yang berat dan juga utama sekali akibat kalah perang. Rewar memiliki status yang paling rendah dibandingkan Jipen, yang dalam pekerjaannya Rewar tidak saja sebagai pembantu, pesuruh atau pelayan tetapi hidupnya hampir seperti binatang, hak-haknya sebagai manusia hampir tidak diakui majikannya, konon katanya Rewar ini sering disiksa, dicambuk dan bekerja tidak mengenal waktu. Rewar hanya boleh makan dari sisa makan anggota keluarga majikannya. Rewar tidak boleh duduk bersama majikannya, dan ketika berhadapan dengan majikannya mereka harus menundukkan kepala dan tidak boleh melihat wajah majikannya begitu juga kalau majikannya berjalan tidak boleh melintas di depannya. Tempat tidur Rewar tidak di rumah majikannya, tetapi di pondok kecil di belakang rumah majikan, yang berdekatan dengan dapur dan kandang binatang kerbau, sapi atau babi.
Di samping kedua golongan tersebut (Merdeka dan Budak), dalam masyarakat Dayak masih terdapat dua golongan masyarakat lagi yaitu:(1) Balian(imam-imam); dan (2) Hantuen. Balian (imam-imam) adalah golongan masyarakat yang memiliki keahlian dan kecakapan khusus, sedangkan Hantuen adalah golongan masyarakat karena memiliki perilaku aneh atau menyimpang seperti memiliki pekerjaan yang suka menyantet, meracuni serta mencelakai orang melalui mantra-mantra.
Dengan perubahan dan perkembangan kepercayaan sesuai dengan ajaran agama yang mereka anut, sistem pembagian masyarakat yang didasarkan atas kelas-kelas sosial secara tradisional sebagaimana yang dikemukakan oleh Riwut, Ukur dan Lontaan tersebut, sudah tidak menjadi acuan dalam kehidupan orang Dayak. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mudiyono (1995) terhadap masyarakat Dayak Ribun di Kalimantan Barat, ditemukan bahwa penggolongan masyarakat Dayak yang ada sekarang tidak di dasarkan dari segi tinggi rendahnya keturunan, tetapi lebih cenderung mengacu kepada jabatan fungsional seperti golongan adat, pemerintah formal, pegawai dan golongan petani.
Sistem Kekerabatan Suku Dayak
Orang Dayak di Kalimantan terdiri dari subsuku yang besar jumlahnya, namun sistem kemasyarakatannya dapat dikatakan serupa. Sistem kekarabatan yang dimiliki adalah bersifat bilateral atau double descent, yaitu menghitung hubungan kekerabatan melalui dua garis keturunan, yaitu melalui garis keturunan dari pihak laki-laki atau suami dan dari pihak perempuan atau isteri. Istilah kekerabatannya berdasarkan tipe hawaiian atau generation type, yaitu istilah yang dipakai untuk menyebut saudara kandung (sibling) sama dengan istilah yang dipergunakan untuk menyebut saudara sepupu (cousin) (Koentjaraningrat, 1977 dan Haviland, 1988). Hal ini juga menjadi dasar prinsip keturunan masyarakat Dayak, bahwa anak perempuan atupun anak laki-laki mendapat perlakuan yang sama baik dari orang tua maupun dari kerabat ayah serta kerabat ibu.
Bagi masyarakat Dayak, walaupun istilah-istilah kekerabatan tidak sekompleks seperti pada sistem kekarabatan orang Jawa, yang mempunyai istilah kekerabatan untuk menyebut sampai 9 generasi ke atas dan ke bawah, tetapi dalam hubungan kekerabatan yang luas tentang hubungan kekerabatan pada umumnya mereka dapat mengenal semua anggota kerabatnya sesuai dengan alur hubungan kerabatnya (Sapardi, 1992). Dalam hubungan kekerabatan ini dibedakan dalam dua kelompok kekerabatan, yaitu affineal kin merupakan kelompok kerabat atau keluarga yang mempunyai ikatan darah keturunan dari satu nenek moyang yang sama atau geneologis yang sama, dan consanguineal kin adalah kelompok keluarga yang menjadi anggota kerabatnya karena ada salah satu anggota keluarganya yang kawin dengan salah satu anggota keluarga kerabat tersebut (Haviland, 1988).
Sistem perkawinan pada masyarakat Dayak pada dasarnya menganut sistem perkawinan eleotherogami oleh karena mereka tidak mengenal larangan atau keharusan sebagaimana pada sistem endogami atau eksogami. Larangan yang dikenal adalah hanya karena hubungan darah terdekat baik dalam keturunan garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketujuh. Menurut kepercayaan orang Dayak derajat ke tujuh justru kembali menjadi keluarga terdekat lagi sebab dari derajat ke tujuh ini akan mulai lagi perhitungan derajat pertama dan seterusnya (Muslim, 1985).
Bagi orang Dayak apabila telah menikah tidak ada keharusan harus menetap dalam lingkungan salah satu kerabat. Setiap orang dapat menentukan apakah akan tetap berada bersama kerabatnya sendiri dan berdiam di dalam atau di sekitar rumah kerabatnya, atau keluar dari lingkungan kelompok kekerabatannya untuk masuk ke lingkungan kerabat isterinya. Anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan berada dalam lingkungan kekerabatannya dimana sepasang suami isteri itu berada.
Prinsip keturunan yang bersifat bilateral ini, juga membuat tanggung jawab suami dan isteri sama dalam keluarga baik dalam pendidikan si anak maupun dalam mengendalikan perekonomian keluarga. Tidak jarang seorang ibu terlibat dalam aktivitas perladangan seperti, merumput, memanen dan menoreh getah, walaupun demikian dalam hal tertentu tetap ada perbedaan pembagian kerja antara suami dan isteri, mengingat tidak semua pekerjaan dapat dilakukan seorang ibu.
Prinsip pewarisan yang dimiliki dalam masyarakat Dayak, pada dasarnya tidak membedakan anak laki-laki dan anak perempuan. Namun dalam hal tertentu perbedaan kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan dalam keluarga tetap ada misalnya, dalam pembagian tugas di rumah, selain itu anak laki-laki juga senantiasa mendapat pembagian yang lebih dalam sistem pewarisan dari anak perempuan terlebih dalam hal pembagian ladang. Disisi lain tidak selamanya anak laki-laki mendapat pembagian lebih banyak dari anak perempuan, sebab dalam masyarakat Dayak juga dikenal pembagian warisan, dan bagi yang tetap tinggal bersama orang tuanya akan mendapat bagian yang lebih. Kadang-kadang keseluruhan warisan orang tua akan diberikan kepada anak yang tinggal, sebab ia bertanggung jawab terhadap hari tua kedua orang tuanya sampai meninggal; walaupun demikian tidak berarti saudara-saudara yang lain tidak mendapat apa-apa. Hanya bila mereka ingin membuka ladang atau menoreh karet dari peninggalan orang tuanya, mereka diwajibkan minta izin kepada keluarga yang menunggunya, sehingga keluarga tersebut akan menunjukkan tempat mereka berladang dan kebun karet yang harus ditoreh.
DAFTAR PUSTAKA
Afen, Marcheus. 1995 Lintasan Sejatah Sosial Dayak, Dalam: Kalimantan Review No: 12 Tahun IV Juli-September, Pontianak: LP3S-IDRD,
Akil, Mahmud. 1994. Fenomena Etnisits di Kalimantan Barat, Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grashindo Utama.
Arkanudin. 2005. Perubahan Sosial Masyarakat Peladang Berpindah, Studi Kasus Pada Orang Dayak Ribun yang berada di Sekitar PIR-Bun Parindu Sanggau Kalimantan Barat, Bandung: Disertasi Program Doktor Program Pascasarjana UNPAD.
Coomans, Mikhail. 1987. Manusia Dayak: Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, Jakarta: Gramedia.
Haviland, William. A. 1988. Antropologi Jilid I dan II (Terjemahan), Jakarta: Erlangga.
Kennedy, Raymond, 1974. Bibliography of Indonesian People and Culture, Southeast Asia Studies, Ithaca: Yale University.
King, Victor. T. 1993. The People of Borneo, Camridge: Blackwell Publishers.
Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat.
Lontaan, J. U. 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, Jakarta: Bumirestu
Malinckrodt, J. 1928. Het Adatrecht van Borneo, Leiden: Dubbeldeman.
Mudiyono. 1990. Perubahan Sosial Budaya dan Ekologi Peladang berpindah:Dalam Suara Almamater, No II Tahun V Nopember, Pontianak: Universitas Tanjungpura.
---------------. 1993. Perubahan Struktur Pedesaan Suku Bangsa Dayak, Perubahan dari Rumah Panjang ke Rumah Tunggal, Dalam Kalimantan Review Nomor 03 Tahun II, Januari-April 1993, Pontianak: LP3S-Institute of Dayakology Research and Development (IDRD).
Muslim, Irine. A. 1985. Hukum Adat Waris Suku Dayak Kendayan di Kecamatan Manjalin Kalimantan Barat, Pontianak: Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura.
Riwut, Tjilik. 1958. Kalimantan Memanggil, Jakarta: Penerbit Endang.
Sapardi, Antonius. 1992. Pengaruh Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Rumah Tangga Petani di Kecamatan Parindu, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Stohr, W. 1959. Das Totenritual der Dajak, Ethnologica: Koln.
Tangdililing, A. B. 1984. Masyarakat Keturunan Cina di Kalimantan Barat: Studi Kasus di Pontianak dan Singkawang, Jakarta: Tesis Magister Program Pascasarjana FISIP UI.
Ukur, Frodlin. 1971. Tantang Djawab Suku Dayak, Jakarta: Gunung Mulia.
-------------------. 1992. Kebudayaan Dayak, Dalam Kalimantan Review Nomor 02 Tahun I Juli-Desember, Pontianak: LP3S-IDRD.
Widjono, Roedi Haryo. 1998. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Grasindo.
Zulkarnaen. 2000. Hubungan Birokrasi Pemerintahan dan Lembaga Adat Dalam Pembangunan, Suatu Studi Pola Kerjasama Birokrasi Pemerintah dengan Lembaga Adat Dalam Implementasi Program Pembangunan pada Masyarakat Dayak Kalimantan Barat, Bandung: Disertasi Doktor, Program Pascasarjana UNPAD.KEANEKARAGAMAN DAN KATEGORI
ORANG DAYAK
Oleh: Prof.Dr.Arkanudin, M.Si
Guru Besar Antropologi FISIP Universitas Tanjungpura, Dosen Program Magister Ilmu Sosial Untan dan Program S-2 UT – Pontianak
PENDAHULUAN
Penduduk asli (indigenous people) Pulau Kalimantan adalah suku Dayak. Mereka tersebar di berbagai bagian di Pulau Kalimantan, sebagian berada di wilayah Republik Indonesia yaitu wilayah administratif Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, dan sebagian lainnya berdiam dalam wilayah Negara Malaysia dan Berunei. Mereka itu ada yang bermukim di kawasan dekat dengan pantai, di muara atau percabangan anak sungai dengan sungai besar, dan sebagian lainnya berdiam di hulu sungai-sungai besar dan kecil di daerah pedalaman. Keberadaan mereka di pulau ini, telah melewati rentang sejarah yang panjang. King (1993) memperkirakan manusia Dayak telah menghuni pulau Kalimantan sekitar 35.000 tahun.
Pada saat mendengar istilah orang Dayak, kesan pertama yang muncul dibenak kita adalah kebiadaban. Yaitu kelompok masyarakat tradisional yang masih belum beradab, belum memiliki prikemanusiaan. Munculnya stereotip seperti ini disebabkan orang Dayak dikenal dengan budaya pengayauan (headhunting). Budaya pengayauan yang menurut Wyn Sargent (1974) masih dipraktekkan di kalangan suku bangsa Dayak hingga tahun 1970-an, dan disusul lagi oleh berbagai kasus konflik antar etnis di Kalimantan Barat (1999) dan Kalimantan Tengah (2001). Kalau begitu, lalu siapa sesungguhnya orang Dayak dan bagaimana budayanya?
Dayak adalah sebuah nama dan sekaligus sebagai ciri identitas etnis bagi suku bangsa proto Melayu (Melayu Tua) yang diklaim sebagai penduduk pribumi pulau Kalimantan, termasuk Kalimantan Utara. Berdasarkan sejarah perkembangan manusia, nenek moyang suku bangsa Dayak berasal dari daerah Yunan (Cina Selatan). Diperkirakan sekitar awal abad ini terjadi over population di Cina sehingga sebagian penduduk ke luar untuk mencari daerah permukiman baru. Di antaranya setelah menyeberang laut Cina Selatan mereka terdampar di pulau Kalimantan. Awalnya profesi mereka adalah sebagai penambang emas di Kalimantan Barat, namun kemudian sebagiannya beralih profesi sebagai pekebun, petani, pedagang, dan nelayan. Pada perkembangan selanjutnya, datanglah kelompok Deutro Melayu ke pulau Kalimantan yang tujuannya adalah berdagang dengan menggunakan kapal-kapal kecil. Akibat gelombang migrasi secara besar-besaran dari kelompok Deutro Melayu, kelompok Proto Melayu yang awalnya tinggal didaearh pesisir, semakin terdesak ke daerah pedalaman yang kemudian di kenal dengan suku bangsa Dayak, dan mereka yang tinggal di daerah pantai/pesisir disebut sebagai orang Melayu.
Suku bangsa Dayak, menurut hasil penelitian awal seperti Tjilik Riwut (1958), Hudson (1967), Ukur (1971) terbagi kedalam paling sedikit 405 sub etnis. Nama-nama sub etnis itu pada umumnya dibuat sendiri oleh masing-masing sub kelompok etnis berdasarkan ciri-ciri tempat tinggal seperti daerah aliran sungai dan daerah pedalaman. Maka tidak heran banyak nama sub etnis Dayak yang berhubungan dengan nama sungai dan berkonokasi udik atau pedalaman. Misalnya nama suku yang diawali dengan kata Batang…., Long…., Lepo…semuanya berarti sungai; sedangkan Makam Ulu, Ot Danum, Ngaju, Maanyan, Bukit, dan lain-lain semua berarti udik atau pedalaman. Di Kalimantan Tengah sendiri, menurut data tertulis, suku bangsa Dayak berjumlah lebih dari 20 sub etnis. Diantaranya yang sudah dikenal dan cukup besar populasinya adalah Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Lawangan (lowangan), Dusun, Taboyan, Tamuan dan lain-lain.
Berdasar data sensus penduduk tahun 1990, jumlah penduduk di Kalimantan mencapai sekitar 9 juta orang. Hasil penelitian dari Institute of Dayakology Research and Development (IDRD), jumlah orang Dayak mencapai sekitar 50 % dari jumlah penduduk di Kalimantan, sisanya 50 % terdiri atas etnik Melayu, Banjar, Bugis, Jawa, Sunda, Batak, Madura, Minangkabau, Cina, Flores dan lain sebagainya (Rufinus, 1992). Berdasarkan data itu, dapat dikatakan bahwa jumlah orang Dayak saat ini berkisar antara 4 sampai 5 juta orang. Jumlah itu belum termasuk orang Dayak yang bermukim di negara Malaysia dan Berunei. (Alcorn, 2001) yang 80 % diantaranya bermata pencaharian sebagai petani ladang berpindah (Pilin dan Petebang, 1999). Dalam konteks ini, dan dalam tulisan ini bermaksud untuk mengupas tentang tentang gambaran umum atau profil suku Dayak.
KEANEKARAGAMAN ETNIK
Konsep masyarakat majemuk atau keanekargaman (plural societies) pertama kali dikemukakan oleh J.S. Furnivall sebagai hasil penelitiannya pada masyarakat di wilayah kekuasaan Hindia Belanda pada waktu itu yaitu Indonesia dan Birma. Furnivall (1967) mengemukakan bahwa masyarakat majemuk yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua elemen atau lebih yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Menurut Veplun (2001) bahwa ciri utama masyarakat beragam etnik adalah orang-orang yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan sosial budaya, maka dalam beberapa aspek kehidupan tampak terpisah secara fungsional dalam satuan sosial, ekonomi, politik, budaya dan adat-istiadat. Keadaan sebagaimana yang digambarkan oleh Veplun tersebut, tampak secara jelas telah mewarnai seluruh kehidupan masyarakat dengan masalah yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakatnya masing-masing.
Dalam pada itu, dengan kemajuan teknologi transportasi yang semakin meningkat, maka telah mendorong mobilitas orang pergi dari daerah asal dan menetap di daerah yang baru. Konsekwensi atas ini adalah dapat mempercepat keanekragaman etnik dalam suatu daerah tertentu. Demikian juga halnya dengan Pulau Kalimantan yang dulu lebih dikenal dengan Berneo pada awalnya hanya dihuni oleh etnik Dayak yang merupakan penduduk asli pulau ini. Namun dalam perkembangan selanjutnya pulau ini telah dihuni oleh berbagai macam etnik. Menurut Akil (1994) bahwa kelompok etnik selain penduduk asli (Dayak) yang merupakan penduduk pendatang di Pulau Kalimantan antara lain Melayu, Cina, Madura, Bugis, Jawa, Batak, Sunda, Padang dan Banjar.
Penduduk pendatang itu tidak hanya terdapat di pusat-pusat kota, tetapi juga mereka dapat ditemukan di daerah-daerah pedalaman (desa-desa orang Dayak), bahkan diantara mereka telah saling membaur atau kawin dengan etnik Dayak. Hubungan melalui perkawinan antara etnik Dayak dengan etnik lain yaitu Melayu sudah terjadi cukup lama, bahkan Anyang (1989) mensinyalir telah terjadi sejak muncul kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan yang di perintah oleh Sultan atau Penembah. Etnik Dayak setelah masuk Islam kawin dengan bangsawan Melayu dan dikenal dengan sebutan “turun melayu”. Hubungan perkawinan antara Cina dengan Dayak berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tangdililing (1984) sudah terjadi sejak tahun 1772, terutama di daerah Sambas Kalimantan Barat antara pria Cina dengan wanita Dayak.
Proses perkawinan campur antara penduduk asli Dayak dengan etnik pendatang dalam perekembangannya tidak hanya terbatas pada etnik Melayu dan Dayak saja, tetapi banyak terjadi dengan etnik pendatang lainnya seperti Jawa, Madura, Batak, Timor. Melalui proses hubungan perkawinan antar etnik yang ada di Kalimantan ini tampaknya makin menambah keanekaragaman etnik di daerah ini.
KATEGORI ORANG DAYAK
Dalam pelbagai kepustakaan, terdapat keragaman penyebutan penduduk asli pulau Kalimantan ini. Julipin (1987) dan Widjono (1998) menyatakan setidaknya terdapat empat sebutan yakni “Daya, Dyak, Daya dan Dayak”. Pada hal mereka lebih mengenal dirinya sendiri sebagai Benuaq, Kenyah, Punan, Bahau dan lainnya, yang sebutan itu berdasarkan nama stammenras, atau tempat tinggal dari kelompok. Senada dengan itu, menurut Zulkarnaen (2000) mereka pada mulanya tidak mengidentifikasinya sebagai Dayak. Dayak adalah label yang diberikan oleh kelompok lain. Diri mereka sendiri umumnya mengidentifikasikan nama suku, yaitu dengan menyebutkan nama sungai mereka bermukim. Anyang (1996) menyebut nama Dayak ”Taman” sebagai istilah untuk menunjukkan keseluruhan masyarakat suku ini yang menghuni daerah di tepi pantai Sungai Sibau, Mendalam, dan Kapuas di Kalimantan.
Pada hal menurut Mjoeberg (dalam Coomans, 1987) bahwa nama Dayak merupakan nama bagi segala penduduk lain di pedalaman, yang tidak beragama Islam, sedangkan Coomans (1987) mengartikan Dayak itu adalah orang yang mendiami daerah hulu sungai. Coomans mencontohkan dalam beberapa bahasa daerah “Dayak” itu berarti hulu, seperti Mahakam Dayak yang artinya Mahakam Hulu. Demikian menurut bahasa Benua, Tunjung, dan Kutai. Arti yang sama juga di temukan pada beberapa bahasa daerah di Kalimantan Tengah. Tetapi ada juga yang memberi pengertian lain bagi kata “Dayak”, diantaranya Tjilik Riwut mantan Gubernur Kalimantan Tengah yang menyatakan bahwa kata “Dayak” berarti cantik dan gagah perkasa tidak kenal menyerah (Idram, 1989).
Pada awalnya penduduk asli Kalimantan ini tidak menerima di sebut Dayak, menurut Lontaan (1975) istilah Dayak merupakan penghinaan yang mengandung pengertian mengejek atau merendahkan. Pandangan ini berubah menurut Akil (1994) ketika lapisan non elit dari suku Dayak sudah dapat mengenyam pendidikan Tinggi, berpikir kritis dan memiliki wawasan luas. Bahkan Coomans (1987) mensinyalir bahwa akhirnya mereka mau menerima sebutan Dayak, disebabkan timbul kesadaran akan pentingnya suatu nama kesatuan yang dapat mengikat dan menjadi naungan bagi seluruh komunitas atau kelompok-kelompok lokal yang heterogen yang digunakan untuk membela kepentingan bersama, baik di bidang kebudayaan, ekonomi maupun politik
Terlepas dari semuanya, yang jelas istilah Dayak adalah sebuah nama kolektif untuk berbagai penduduk asli di Kalimantan yang dapat dibedakan dari kesatuan sosial lain berdasarkan identitas kebudayaannya (Nihin, 1994). Karena keragaman budaya dan bahasa, maka Ian Charles Steward dan Yudit Shaw (dalam Seli, 1996) menyatakan bahwa kata “Dayak” di pakai untuk menyebut lebih dari 200 suku sakat di pedalaman Kalimantan yang mempunyai kebudayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Keragaman ini mengakibatkan adanya berbagai nama dari suku Dayak sebagai golongan atau kelompok sekuturunan.
Satu studi yang perlu waktu panjang untuk membuktikan kebenaran atau menolak anggapan bahwa suku Dayak adalah keturunan kelompok imigran Proto Melayu dan suku Melayu adalah termasuk kelompok pendatang Deutro Melayu yang datang kemudian. Kategori kelompok demikian mengandung ketidak pastian karena bukti-bukti yang ada kurang memadai. Sebagai istilah antropologi, yang jelas bahwa sebutan umum suku bangsa Dayak tidak dapat digunakan untuk menunjuk pada satu kelompok yang secara sosio-religius dan kultural adalah sama. Mereka dinamakan suku bangsa Dayak terbukti merupakan banyak komunitas dengan latar belakang pelbagai kebudayaan yang berbeda (Mudiyono, 1990).
Dengan demikian adalah semakin sulit untuk menerangkan secara etnografi, sesungguhnya siapa yang di sebut orang Dayak. Namun yang jelas menurut Alif (1993) bahwa orang Dayak memiliki sikap hidup yang sangat sederhana, monoton, kurang kreatif dan tidak berani mengambil inisiatif. Lebih banyak menunggu, pasrah, menerima nasib, banyak mengalah, mengharapkan belas kasihan orang lain, lugu dan polos. Cepat puas, kurang atau sedikit jiwa bertarung atau kompetisi. Melihat sesuatu secara lurus saja, tanpa memandang liku-likunya. Berdasarkan hasil penelitian Zulkarnaen terhadap orang Dayak yang bertempat tinggal di perkampungan pedalaman Kalimantan Barat, menemukan bahwa karakter umum orang Dayak adalah campuran antara pendiam, jujur dan lugu, tidak banyak bicara dan tidak mudah mengobral janji atau pembicaraannya (Zulkarnaen,2000).
Namun demikian bukan berarti orang Dayak tidak memiliki keberanian melawan pihak lain, orang Dayak akan kecewa, marah, dendam, jika berkali-kali dibohongi. Fakta akhir-akhir ini berupa semakin acap kali terjadi bentrokan antara orang Dayak dengan penduduk pendatang yang mengelola proyek pembangunan ataupun pendatang yang bekerja di sektor pertanian dan kehutanan, menurut hasil penelitian Zulkarnaen menunjukkan bahwa orang Dayak dapat bersikap keras jika merasa adat terus menerus dilecehkan, nasib yang terpuruk, diperlakukan tidak adil. Kondisi demikian semakin menumbuhkan sikap orang Dayak merasa sekaum, senasib, dan menumbuhkan etnosentrisme (Zulkarnaen, 2000).
Orang Dayak wellcome pada segala hal yang bertalian dengan pihak luar. Salah satu sifat Dayak adalah tidak curiga pada pihak luar yang datang, terlebih pada mereka yang baru dikenal, bahkan musuh sekalipun harus diperlakukan dengan baik jika berada di rumah, setelah keluar halaman rumah baru dapat dijadikan musuh, hal demikian sesuai dengan ketentuan adat. Orang Dayak cenderung mudah percaya pada tamu dan menyerahkan nasib diri pada mereka yang dinilai “baik”. Di masyarakat Dayak Kanayant di Kalimantan Barat dikenal ungkapan ahe-ahe ja toke (terserah toke, saudagar atau bos saja).
Keadaan ini menyebabkan orang Dayak selalu tertinggal dalam segala aspek kehidupan. Tampaknya memang ada benarnya apa yang dikatakan oleh Kusni (1994), bahwa maju mundurnya etnik Dayak terutama ditentukan oleh orang Dayak sendiri. Solidaritas dan kesatuan diantara mereka merupakan kunci untuk bisa turut aktif memasuki era pembangunan dan memperoleh akses ke berbagai bidang.
Ketertinggalan orang Dayak, menurut Zulkarnaen (2000) adalah karena orang Dayak low profile, tidak pandai menawarkan jasa dengan mempertontonkan ketrampilan atau kebolehannya. Dalam menghadapi masalah, termasuk menghadapi masalah pembangunan yang banyak melibatkan nilai baru, aparat pemerintah, orang Dayak lebih suka memilih berdiam diri. Menurut Alif (1993), keadaan seperti ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) latar belakang hidup orang Dayak adalah agraris tradisional, yang selalu terikat dengan alam sekitarnya; (2) segelintir orang Dayak yang terjun ke bidang bisnis tidak cukup dibekali pengetahuan manajemen, sehingga banyak yang pailit; dan (3) latar belakang sejarahnya dapat dimengerti bahwa orang Dayak kurang berminat dan kurang berbakat untuk terjun ke dunia bisnis.
PENGARUH KEBUDAYAAN LAIN
Sejak abad keempat daerah Borneo yang kini di sebut Kalimantan telah berdiri sebuah kerajaan Hindu di daerah Kutai, Kalimantan Timur (Coomans, 1987; King, 1993). Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukan batu bertulis peninggalan Hindu di Muara Kuantan daerah Kutai di Pantai Timur Kalimantan. Kemudian ditemukan peninggalan zaman Hindu juga diberbagai daerah di Kalimantan yang berupa antara lain batu besar berbentuk piramida tertutup bertuliskan dalam bahasa Sanskerta di Batu Pahat (dekat Sungai Tekarek, anak Sungai Kapuas Kalimantan Barat) yang dibuat akhir abad keempat atau permulaan abad kelima setelah Masehi, “lingga” (phallus) yang merupakan salah satu lambang agama Hindu Syiwa di Nanga Balang (Kapuas Hulu), batu berbentuk buah labu di Sintang dan batu kalbut di Nanga Sepauk (King, 1993; Anyang, 1998).
Dalam pada itu, menurut Coomans (1987) pengaruh Hindu lebih kuat lagi pada suku-suku Dayak di Kalimantan Tengah. Pengaruh Hindu terhadap Kerajaan Banjarmasin lebih besar dari pada terhadap Kerajaan Kutai, karena terdapat lebih banyak hubungan antara Banjarmasin dan Jawa. Hubungan itu juga lebih lama dari pada di Kalimantan Timur. Suku Dayak yang telah mendiami wilayah yang dekat dengan Kerajaan Banjarmasin, sungguh dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Pengaruh Hindu tersebut menurut Ukur (1971) terlihat dalam sejumlah nama, termasuk nama untuk dewa tertinggi, yakni Maha Batara. Selanjutnya di jelaskan oleh Ukur bahwa terdapat beberapa subsuku dari suku Dayak Manyaan yang mendiami daerah Hulu Sungai yang berbatasan dengan Kerajaan Banjarmasin, yang mempunyai kebiasaan membakar kerangka tulang yang disebut ijambe. Inti dari upacara ijambe adalah sama dengan pesta untuk arwah yang disebut tiwah di Kalimantan Tengah. Menurut Ukur (1971) upacara ijambe tampak dipengaruhi oleh agama Hindu.
Kerajaan Hindu kemudian menjadi lenyap karena dikalahkan oleh kedatangn Islam dan penduduk yang sebelumnya beragama Hindu kemudian beragama Islam, termasuk Dayak yang masih menganut agama nenek moyang yang daerahnya di kuasai sebagai akibat dari kedatangan Islam (Anyang, 1998). Kedatangan Islam ini menurut Mallinckrodt (1928) adalah disertai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh Sultan atau Panembah. Melalui perluasan daerah kekuasaan kerajaan-kerajaan itu dan para pedagang Melayu, agama Islam semakin tersebar di antara orang Dayak, menurut Sellato (1989) kira-kira 90 % dari yang dinamakan Melayu adalah orang Dayak yang sudah masuk Islam. King (1993) dan Anyang (1998) juga mencatat bahwa pada umumnya nenek moyang orang Melayu yang kini terdapat di Brunei, Sarawak, Kapuas, banjar, dan Kutai adalah orang Dayak yang masuk Islam. Menurut Anyang (1998), berdasarkan hasil penelitiannya tentang orang Dayak Taman yang berada Kapuas Hulu, menemukan bahwa orang Dayak yang masuk Islam berarti masuk melayu, populer disebut “turun Melayu”, atau masuk “Senganan”. Atas dasar ini Anyang (1989) memperkirakan bahwa orang Melayu yang berada di Kalimantan pada hakekatnya terbagi dua, yaitu Melayu asli yang berasal dari Sumatera atau Semenanjung Malaka dan orang Dayak. Mereka tidak dapat dibedakan mana yang asli Melayu dan mana yang bukan, sebab orang Dayak yang masuk Islam dan tinggal di lingkungan Islam hidup sebagaimana kebiasaan orang Melayu.
Pengaruh budaya Melayu dan Islam terhadap orang Dayak yang masuk Islam besar sekali dalam berbagai hal, menurut Anyang (1989) antara lain dalam hal berpakaian (wanita menggunakan kain sarung yang panjang sampai ke tumit, laki-laki menggunakan kopiah), makanan (tidak lagi makan makanan yang diharamkan, makan daging harus di sembelih menurut kebiasaan Islam), perumahan (bukan lagi di rumah panjang) dan pergaulan sosial. Nama mereka diganti dengan nama Melayu sejak masuk Islam. Mereka tidak lagi tinggal di lingkungan orang Dayak, tetapi pindah ke lingkungan orang Melayu. Mereka berbahasa Melayu dan keturunannya tidak lagi mengenal bahasa dan budaya Dayak. Pergaulan dengan kerabat asal menjadi berubah sama sekali, mereka hidup terpisah dan hubungan menjadi renggang, bahkan ada yang tampaknya putus sama sekali. Dalam daftar registrasi penduduk tidak lagi terdaftar sebagai orang Dayak, melainkan orang Melayu.
Orang Cina juga sudah lama datang dan bertempat tinggal di Kalimantan. Mereka pada mula datang adalah untuk mengusahakan tambang emas di daerah Kabupaten Sambas dan berdagang, tetapi kemudian banyak yang menetap bahkan ada yang kawin dengan penduduk asli yaitu orang Dayak (Anyang, 1998). Menurut catatan Enthoven (1903) bahwa pada tahun 1894 datang orang Cina Singkeh (asal kata Sin-ke, artinya tamu baru) sebanyak 306 orang melalui Singapura, sebagian besar tinggal di Pontianak dan Kota Baru. Lebih lanjut dikatakan bahwa pada tahun-tahun berikutnya datang lagi rombongan orang Cina. Di daerah pedalaman ditemukan tempayan dan piring antik buatan Cina. Barang-barang ini oleh orang Dayak dipakai untuk keperluan sehari-hari, yang besar dan berukir biasanya menjadi barang pusaka, dan ada pula yang dianggap keramat dalam arti dapat mendatangkan keberuntungan.
Menurut Tangdililing (1984) adanya unsur-unsur atau peninggalan kebudayaan Cina dalam masyarakat Dayak menunjukkan bahwa hubungan antara orang Dayak dengan orang Cina telah berlangsung sejak lama. Dalam penggunaan bahasa, banyak istilah atau kata yang bersumber dari bahasa (Cina) Khek yang digunakan oleh orang Dayak, yang dianggap sudah milik mereka mulai dari nama perabot rumah tangga sampai pada nama orang, seperti cung (gelas), po sut (korek api), sedangkan nama orang, Ahiong, Aliang dan Aheng. Begitu juga dengan nama-nama daerah seperti Pak Unam (Pakuman), Liongkong (Lie Ong Khong), dan Tainam (Tai Nam) di Kabupaten Sambas dan Pontianak pada umumnya berasal dari bahasa Cina (Djuweng, 1994).
Kebiasaan menikmati minuman keras, seperti arak di kalangan orang Dayak, menurut Tangdililing (1984) pada mulanya merupakan kebiasaan orang Cina, akan tetapi lambat laun kebiasaan tersebut berpengaruh terhadap orang Dayak melalui pergaulan yang berlangsung di antara mereka. Selain itu, menurut Djuweng (1996) sejumlah besar kaum tua Cina dan Dayak percaya bahwa pada masa lalu terjadi asimilasi secara besar-besaran antara orang Dayak dan Cina. Ketika arus imigran Cina masuk ke Kalimantan, mereka sebagian besar terdiri dari laki-laki, karena untuk perjalanan laut yang sedemikian jauh tidak mudah mengikutsertakan wanita. Kemudian para lelaki Cina itu menikah dengan wanita suku Dayak. Proses asimilasi semacam ini masih terjadi sekarang, meskipun berlangsung dalam skala kecil, dan tidak hanya laki-laki Cina menikahi gadis Dayak, tetapi juga terjadi sebaliknya. Berkembangnya ajaran Kristen di kalangan masyarakat Cina dan Dayak kemudian memperlonggar sekat-sekat budaya, sehingga perkawinan antar kedua etnik itu menjadi hal yang lumrah.
PENUTUP
Penduduk asli (indigenous people) Pulau Kalimantan adalah suku Dayak dan mereka sebagian besar menghuni daerah pedalaman yang keberadaan mereka di pulau ini sudah sekitar 35000 tahun. Daerah hilir atau daerah pantai yang mengitari mereka dihuni oleh orang Melayu, Banjar, Jawa, Sunda, Bugis, Madura dan lain-lain.
Dalam berbagai kepustakaan, terdapat keragaman penyebutan penduduk asli ini yaitu “Dyak, Daya dan Dayak”. Terlepas dari beragamnya nama penyebutan yang dibuat oleh para sosiolog maupun antropolog, yang jelas mereka adalah penduduk asli Pulau Kalimantan yang lebih dikenal dengan sebutan Dayak.
Dayak adalah sebuah nama kolektif untuk demikian banyaknya suku asli dan sekaligus sebagai ciri identitas etnis bagi suku bangsa proto melayu (Melayu tua) yang terbagi ke dalam paling sedikit 405 sub etnis. Di Kalimantan tidak termasuk yang berada di negara Malyasia dan Berunei jumlah orang Dayak saat ini berkisar antara 4 sampai 5 juta orang.
Meskipun orang Dayak jumlahnya cukup banyak terbagi ke dalam sub suku kecil, namun sistem kemasyarakatannya dapat dikatakan serupa yaitu yaitu bilateral atau double descent, sedangkan istilah kekarabatannya berdasarkan type Hawaiian atau generation type . Sistem perkawinan yang dianut adalah system eleotherogami, larangan perkawinan hanya pada keluarga yang memiliki hubungan darah terdekat. Demikian juga dengan keluarga yang sudah menikah tidak ada suatu keharusan untuk menetap baik dalam lingkungan kerabat suami atau isteri. Begitu juga dalam hal memilih pasangan hidup, sehingga sekarang telah terjadi perkawinan campur dengan orang dari etnik lain, dan hal ini semakin membuat dalam perkampung orang Dayak yang semula homogen berubah menjadi heterogen.
DAFTAR PUSTAKA
Afen, Marcheus. 1995 Lintasan Sejatah Sosial Dayak, Dalam: Kalimantan Review No: 12 Tahun IV Juli-September, Pontianak: LP3S-IDRD,
Akil, Mahmud. 1994. Fenomena Etnisits di Kalimantan Barat, Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grashindo Utama.
Alcorn, Janis. B. 2001. Reliensi Ekologis Pelajaran dari Masyarakat Adat Dayak (Sebuah Pengantar), Dalam, Nico Andasputra (Ed), Pelajaran dari Masyarakat Dayak, Gerakan Sosial dan Reliensi Ekologis di Kalbar, Pontianak: WWF-The Biodiversity Support Program (DSP) Washington DC, USA bekerjasama dengan IDRD.
Alif, M.J Akien. 1993. Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Dayak, Pontianak: Dalam Kalimantan Review, Nomor 03 Tahun II, Januari-April, Pontianak: LP3S-IDRD.
Anyang, YC. Tambun. 1996. De Taman Daya Kalimantan: Een Etnografische Studie van Sociale Organisatie en Verwantschap vanuit een Rechtsantropologisch Perspektief, Disertasi Ph.D,Leiden: De Katholieke Universiteit Nijmegen.
---------------------------. 1998. Kebudayaan dan Perubahan Daya Taman Kalimantan, Dalam Arus Modernisasi, Jakarta: Grasindo.
Arkanudin. 2005. Perubahan Sosial Masyarakat Peladang Berpindah, Studi Kasus Pada Orang Dayak Ribun yang berada di Sekitar PIR-Bun Parindu Sanggau Kalimantan Barat, Bandung: Disertasi Program Doktor Program Pascasarjana UNPAD.
Coomans, Mikhail. 1987. Manusia Dayak: Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, Jakarta: Gramedia.
Djuweng, Stepanus. 1994. Rumah Panjang Sebagai Pusat Kebudayaan Dayak, Dalam Kalimantan Review Nomor 03 Tahun II, Januari-April, Pontianak: LP3S-Institute of Dayakology Reseach and Development (IDRD).
Enthoven, J.J.K 1903. Bijdragen tot de geographie van Borneo’s Wester-afdeeling, Leiden: Brill.
Hudson, Alfred Bacon. 1967. Paju Epat: The Ethnography and Social Structure of Maanyan Dayak Group in Southern Borneo, Unpublished doctoral dissertation. Cornell University, New York.
Idram, Harryman. 1998. Religi Dalam kehidupan Tradisional Masyarakat Suku Bangsa Dayak Kalimantan Barat, Pontianak: Proyek Pengembangan Permuseuman, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Barat.
Julipin, Vinsentius. 1987. Dayak, Krisis Sosio-Kultural, Pontianak: Institute of Dayakology Research and Development (IDRD).
Kedit, Peter. M. 1989. Ethnicity in Multietnic Society, Dalam Sarawak Museum Journal, Vol XL, Desember.
King, Victor. T. 1993. The People of Borneo, Camridge: Blackwell Publishers.
Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat.
Lontaan, J. U. 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, Jakarta: Bumirestu
Malinckrodt, J. 1928. Het Adatrecht van Borneo, Leiden: Dubbeldeman.
Mudiyono. 1990. Perubahan Sosial Budaya dan Ekologi Peladang berpindah:Dalam Suara Almamater, No II Tahun V Nopember, Pontianak: Universitas Tanjungpura.
---------------. 1993. Perubahan Struktur Pedesaan Suku Bangsa Dayak, Perubahan dari Rumah Panjang ke Rumah Tunggal, Dalam Kalimantan Review Nomor 03 Tahun II, Januari-April 1993, Pontianak: LP3S-Institute of Dayakology Research and Development (IDRD).
Nihin, A. Dj. 1994. Model Pembangunan yang sesuai dengan Aspirasi dan Harapan Orang Dayak. Dalam : Florus & Djuweng (ed), Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi, Jakarta: Gramedia Widiasarana.
Pilin, Matheus dan Petebang, Edi. 1999. Hutan, Darah dan Jiwa Dayak, Pontianak: SHK Kalbar.
Riwut, Tjilik. 1958. Kalimantan Memanggil, Jakarta: Penerbit Endang.
Rufinus, Albert. 1992. Manusia Dayak, Manifiestasi Perilaku dan Perbuatan, Dalam Kalimantan Review Nomor 01 Tahun I, Pontianak: LP3ES – IDRD.
Sargent, Wyn. 1974. My Life With the Headhunters. London: Arthur Barker, Ltd.
Sapardi, Antonius. 1992. Pengaruh Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Rumah Tangga Petani di Kecamatan Parindu, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Sellato, Bernard. 1989. Naga dan Burung Enggang, Hornbill and Dragon, Aquitaire Indonesia: ELF.
Stohr, W. 1959. Das Totenritual der Dajak, Ethnologica: Koln.
Tangdililing, A. B. 1984. Masyarakat Keturunan Cina di Kalimantan Barat: Studi Kasus di Pontianak dan Singkawang, Jakarta: Tesis Magister Program Pascasarjana FISIP UI.
Ukur, Frodlin. 1971. Tantang Djawab Suku Dayak, Jakarta: Gunung Mulia.
-------------------. 1992. Kebudayaan Dayak, Dalam Kalimantan Review Nomor 02 Tahun I Juli-Desember, Pontianak: LP3S-IDRD.
Veplun, Dirk. 2001. Interaksi Sosial Komunitas Beragam Etnik di Teluk Humboldt Kota dan Kabupaten Jayapura Irian Jaya, Bandung: Program Pascasarjana UNPAD.
Widjono, Roedi Haryo. 1998. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Grasindo.
Zulkarnaen. 2000. Hubungan Birokrasi Pemerintahan dan Lembaga Adat Dalam Pembangunan, Suatu Studi Pola Kerjasama Birokrasi Pemerintah dengan Lembaga Adat Dalam Implementasi Program Pembangunan pada Masyarakat Dayak Kalimantan Barat, Bandung: Disertasi Doktor, Program Pascasarjana UNPAD.HUBUNGAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT
MAJEMUK
Oleh
Prof.Dr.Arkanudin, M.Si
(Guru Besar Antropologi FISIP UNTA dan Dosen Program Magister Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura Pontianak)
PENDAHULUAN
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk, kemajemukan ini ditandai oleh adanya suku-suku bangsa yang masing-masing mempunyai cara-cara hidup atau kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat suku bangsanya sendiri-sendiri sehingga mencerminkan adanya perbedaan dan pemisahan antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa lainnya, tetapi secara bersama-sama hidup dalam satu wadah masyarakat Indonesia dan berada di bawah naungan sistem nasional dengan kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Suparlan, 1989:4).
Geertz (dalam Nasikun, 1991:29) menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 300 suku bangsa yang ada di Indonesia di mana setiap suku itu memiliki bahasa dan identitas kultural berbeda yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Tiap etnik umumnya menempati wilayah geografis tertentu yang merupakan suku bangsa asli dan dikategorikan sebagai etnik pribumi. Bahkan Skinner (1959:5-6), menyebutkan bahwa adanya lebih 35 suku bangsa di Indonesia, masing-masing dengan bahasa dan adat yang tidak sama. Sedangkan Koentjaraningrat (1982:346-347), menyatakan bahwa sampai saat ini berapakah sebenarnya masing-masing jumlah suku bangsa di Indonesia, masih sukar ditentukan secara pasti. Hal ini antara lain disebabkan oleh ruang lingkup istilah konsep suku bangsa dapat mengembang atau menyempit, yaitu tergantung subyektivitas.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat Indonesia yang demikian itu terjadi. Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia atas kurang lebih 13.000 pulau yang terserak di suatu daerah equator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari Timur ke Barat dan lebih dari 1.000 mil dari Utara ke Selatan, merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap terciptanya pluralitas suku bangsa di Indonesia (Liem, 1968:17-18). Ketika nenek moyang bangsa Indonesia yang sekarang ini mula-mula sekali datang secara bergelombang sebagai emigran dari daerah yang sekarang kita kenal sebagai daerah Tiongkok Selatan pada kira-kira 2.000 tahun sebelum Masehi, keadaan geografis serupa itu telah memaksa mereka untuk harus tinggal menetap di daerah yang terpisah-pisah satu sama lain. Isolasi geografis yang demikian di kemudian hari mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau di Nusantara ini tumbuh menjadi suatu kesatuan suku bangsa terdiri dari sejumlah orang yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan emosional, serta memandang diri mereka masng-masing sebagai suatu jenis tersendiri (Siributani, 1963:39-40).
Adanya perbedaan kebudayaan diantara masing-masing suku bangsa di Indonesia, menurut Suparlan (1989:4-5), pada khakekatnya disebabkan oleh adanya perbedaan sejarah perkembangan kebudayaan masing-masing dan oleh adaptasi terhadap lingkungan masing-masing. Kemajemukan masyarakat Indonesia menjadi lebih kompleks lagi karena adanya sejumlah warga negara/masyarakat Indonesia yang tergolong sebagai keturunan orang asing yang hidup di dalam dan menjadi sebagian dari masyarakat Indonesia. Mereka ini mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda dengan kebudayaan-kebudayaan yang ada pada umumnya yang dipunyai orang Indonesia.
Dalam menjalankan kehidupan bersama, berbagai etnik yang berbeda latar belakang kebudayaan tersebut akan terlibat dalam suatu hubungan timbal balik yang disebut interaksi sosial yang pada gilirannya akan berkembang kepada interalasi sosial. Interaksi sosial merupakan syarat mutlak bagi terjadinya aktifitas sosial. Dalam aktifitas sosial akan terjadi hubungan sosial timbal balik (social interrelationship) yang dinamik antara orang dengan orang, orang dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok. Soekanto (1990:66), menyatakan perubahan dan perkembangan masyarakat yang mewujudkan segi dinamiknya, disebabkan karena warganya mengalami hubungan satu dengan lainnya, baik dalam bentuk perseorangan maupun kelompok sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadi proses sosial yaitu cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang perorang dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut.
Pola-pola hubungan sosial antar etnik dikemukakan Benton (dalam Martodirdjo, 2000:9), beberapa pola hubungan tersebut masing-masing ditandai oleh spesifikasi dalam proses kontak sosial yang terjadi, yaitu akulturasi, dominasi, paternalisme, pluralisme dan integrasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa akulturasi terjadi jika dua kelompok etnik mengadakan kontak dan saling pengaruh mempengaruhi. Dominasi terjadi jika suatu kelompok etnik menguasai kelompok lain. Paternalisme yaitu merupakan hubungan antar kelompok etnik yang menampakkan adanya kelebihan satu kelompok terhadap kelompok yang lain, tanpa adanya unsur dominasi. Pluralisme yaitu merupakan hubungan1 yang terjadi diantara sejumlah kelompok etnik yang di dalamnya mengenal adanya pengakuan persamaan hak politik dan hak perdata bagi kelompok-kelompok masyarakat yang berkaitan. Integrasi adalah pola hubungan yang menekankan persamaan dan bahkan saling mengintegrasikan antara satu kelompok dengan yang lain. Pola-pola hubungan itu hanya terjadi apabila orang perorang atau kelompok-kelompok manusia saling bekerja sama, saling berbicara untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam hubungan sosial berbagai komunitas yang berbeda latar belakang kebudayaan tersebut, akan menghasilkan dua kemungkinan yaitu baik yang bersifat positif maupun negatif. Interaksi sosial yang positif akan timbul manakala pertemuan berbagai etnik dalam masyarakat majemuk tersebut mampu menciptakan suasana hubungan sosial yang harmonis. Interaksi sosial yang bersifat negatif muncul manakala dalam melakukan hubungan sosial yang tidak harmonis karena adanya perbedaan sikap dalam kehidupan bersama.
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinnya integrasi sosial dalam masyarakat majemuk yang berbeda latar belakang kebudayaannya, menurut Soekanto (1990:90) adalah yaitu: (1) sikap toleransi diantara kelompok-kelompok yang berada dalam suatu masyarakat; (2) kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi; (3) sikap saling menghargai terhadap kebudayaan yang didukung oleh masyarakat lain dengan mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing; (4) sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat, yang antara lain diwujudkan dalam pemberian kesempatan yang sama bagi golongan minoritas dalam berbagai bidang kehidupan sosial; (5) pengetahuan akan persamaan unsur-unsur dalam kebudayaan masing-masing kelompok melalui berbagai penelitian kebudayaan khusus (subcultures); (6) melalui perkawinan campuran antar berbagai kelompok yang berbeda kebudayaan, dan; (7) adanya ancaman musuh bersama dari luar kelompok-kelompok masyarakat tersebut yang menyebabkan kelompok-kelompok yang ada mencari suatu kompromi agar dapat bersama-sama menghadapi musuh dari luar yang membahayakan masyarakat.
HUBUNGAN SOSIAL
Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya pada dasarnya dalam untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahankan hidupnya membutuhkan manusia lain di sekelilingnya. Atau dengan kata lain bahwa dalam hidupnya manusia tidak terlepas hubungannya dengan manusia lainnya, sehingga hubungan antar manusia tersebut merupakan kebutuhan objektif.
Analisa mengenai manusia sebagai makhluk sosial telah banyak dilakukan misalnya Aristoteles (dalam Sadli,1977:9), yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial (zoon politicoon; man is a social animal). Bouman (1957:32), mengemukakan bahwa manusia baru menjadi manusia setelah manusia itu hidup dengan manusia lain. Soekanto (1990:75), menyatakan bahwa di dalam diri manusia pada dasarnya telah terdapat keinginan yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lainnya dan keinginan untuk menjadi satu dengan alam sekitarnya. Menurut Abu Ahmadi (dalam Arkanudin, 2005:63), hubungan manusia dengan lingkungan meliputi: (1) individu dapat bertentangan dengan lingkungannya; (2) individu dapat menggunakan lingkungan; (3) individu dapat berpartisipasi dengan lingkungan dan; (4) individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Untuk mewujudkan keinginan menjadi satu dengan manusia lainnya, maka manusia melakukan hubungan sosial atau interaksi sosial. Garna (1996:76), menyatakan bahwa semua kelompok masyarakat, organisasi, komunitas dan masyarakat terbentuk oleh para individu yang melakukan interaksi. Karena itu suatu masyarakat adalah individu yang sedang melakukan interaksi dalam mengambil peranan, komunikasi dan interpretasi yang bersama-sama menyesuaikan tindakannya, mengarahkan dan kontrol diri serta perspektif. Tindakan bersama individu dalam melangsung peran itu untuk memperoleh kepuasan bersama.
Untuk tertibnya hubungan-hubungan antar manusia diperlukan pengaturan agar kehidupan bersama dapat tentram, damai dan harmonis. Sebab dalam hubungan sosial tersebut akan terjadi aksi dan reaksi yang tidak selalu harmoni tetapi dapat juga terjadi pertentangan-pertentangan. Harsojo (1977:128), mengatakan bahwa koperasi antar manusia memerlukan syarat ketertiban (keteraturan). Hal ini disebabkan karena: (1) manusia individual atau kelompok berusaha sekeras-kerasnya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan dapat jaminan keamanan, jika mungkin mencapai suatu tingkatan kemakmuran; (2) untuk mendapatkan kondisi yang esensial bagi kelangsungan hidup dan keamanan diperlukan adanya ketertiban sosial dalam derajat tinggi; (3) untuk mencapai derajat ketertiban sosial yang tinggi diperlukan adanya suatu pengaturan sosial kultural, serta mekanisme yang dapat dipergunakan dalam pengaturan, bagi pelaksanaan pengaturan tersebut.
Berdasarkan atas uraian di atas bahwa untuk menjaga agar terjalin hubungan sosial yang serasi baik antar sesama manusia maupun dengan lingkungan alam sekitarnya maka dalam melakukan interaksi diperlukan suatu aturan. Kimball Young dalam Soekanto (1990:67) mengemukakan bahwa interaksi adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi tidak mungkin akan ada kehidupan bersama. Dalam interaksi sosial terkandung makna tentang kontak secara timbal balik atau inter-stimulasi dan respon antara individu dan kelompok. Alvin dan Helen Gouldner (dalam Taneko,1990:110) menjelaskan bahwa interaksi adalah aksi dan reaksi diantara orang-orang. Dengan demikian terjadinya interaksi apabila satu individu berbuat sedemikian rupa sehingga menimbulkan reaksi dari individu lainnya.
Kimbal Young (dalam Taneko,1990:112) mengemukakan bahwa, interaksi sosial dapat berlangsung antara: (1) orang perorang dengan kelompok atau kelompok dengan orang perorang (there may be to group or group to person relation); (2) kelompok dengan kelompok (there is group to group interaction); (3) orang perorangan (there is person to person interaction). Dalam melakukan interaksi tersebut diharapkan terjadi penyesuaian (adaptasi) dengan lingkungannya.
Menurut Loomis (dalam Taneko, 1990:114), bahwa ciri-ciri umum dari interaksi sosial yaitu: (1) jumlah pelakunya lebih dari seorang, bisa dua atau lebih; (2) adanya komunikasi antara pelaku-pelaku dengan menggunakan simbol-simbol; (3) adanya suatu dimensi waktu yang meliputi masa lampau, kini dan akan datang, yang menentukan sifat dari aksi yang sedang berlangsung; (4) adanya tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidak sama dengan yang diperkirakan oleh para penganut.
Dari pendapat di atas dapatlah dikemukakan bahwa terjadinya interaksi tidak cukup hanya bertemu secara badaniah atau kontak dengan orang yang berada di sekitar kita, tetapi juga harus dibarengi aktivitas komunikasi. Soekanto (1990:67), mengemukakan bahwa bertemunya orang perorang secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang perorang atau kelompok-kelompok manusia saling bekerjasama, berbicara dan seterusnya untuk mencapai tujuan bersama.
Dengan demikian menurut Simmel (dalam Kamil, 1999:30), bahwa interaksi sosial memiliki arti dan bermakna apabila memenuhi dua syarat yaitu: (1) adanya kontak, asksi reaksi, yang meliputi kontak primer melalui berhadapan langsung (face to face) dan kontak sekunder, yaitu kontak sosial yang dilakukan melalui perantara, seperti melalui telepon, orang lain, surat kabar dan lain-lain; (2) adanya komunikasi, pada dasarnya kontak merupakan aksi dari individu atau kelompok dan mempunyai makna bagi pelakunya, yang kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok lain dengan memberikan reaksi sehingga timbul komunikasi. Kontak saja tanpa adanya komunikasi belum merupakan interaksi. Komunikasi timbul apabila seseorang menangkap makna dari aksi orang lain atau kelompok dan memberikan reaksi yang diwujudkan melalui perilaku sebagai perasaan yang ingin disampaikan kepada orang lain atau kelompok tersebut.
Menurut Simmel (dalam Kamil, 1999:29-30), interaksi sosial adalah hubungan antara dua orang atau lebih dimana perilaku atau tindakan seseorang akan mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku atau tindakan individu yang lainnya atau sebaliknya. Karena itu interaksi sosial dapat terjadi apabila dua belah pihak saling berhubungan dan melakukan tindakan timbal balik (aksi-reaksi). Lebih lanjut Simmel mengatakan bahwa interaksi sosial merupakan awal terbentuknya masyarakat. Masyarakat tidak bisa lepas dari beberapa individu yang terdapat di dalamnya, karena merupakan suatu proses dinamis yang terus berlangsung selama individu tersebut memberi dukungan aktif.
Proses terjadinya masyarakat menurut Simmel dinamakan Sosiasi yaitu suatu masyarakat itu ada karena terdapat sejumlah individu yang terjalin secara kompleks melalui interaksi dan saling mempengaruhi. Simmel mengatakan bahwa terdapat dua konsep interaksi yang terdapat dalam masyarakat yaitu bentuk dan isi. Dilihat dari situasi sosial, isi merupakan tujuan yang hendak dicapai masyarakat, sedangkan bentuk merupakan jenis interaksi dari hubungan sosial yang nyata di dalam masyarakat yang diwujudkan melalui superordinasi (hubungan dengan bawahan melalui dominasi), Subordinasi (hubungan dengan atasan melalui ketaatan), kerukunan, perwakilan, kerjasama, pertentangan dan lain-lain.
Dalam melihat interaksi sosial menurut Simmel (dalam Lawang, 1986:256), tidak dapat dilepaskan dari konsep bentuk dan isi. Isi mengacu kepada bagaimana interaksi itu dimaknakan. Bentuk dan isi sama-sama dinamis sehingga memberi jiwa kepada proses sosial. Jika dalam interaksi sosial, isi dan bentuk dipisah atau isi tidak ada hubungan dengan apa yang sedang dilakukan maka bentuk yang dihasilkan adalah sosialibilitas. Jika bentuk, dan isi tidak terpisah, bentuk merupakan alat untuk mencapai tujuan yang bersifat praktis, bentuk berubah menjadi tujuan diri sendiri. Bersatunya individu dengan membentuk kelompok terjadi jika ada tujuan yang akan dicapai bersama, tetapi tujuan yang akan dicapai tersebut tidak membentuk corak interaksi.
Dalam menanggapi interaksi sosial, selain Simmel dapat pula dikemukakan di sini pendapat dari Robert K. Merton, yang menjelaskan bahwa interaksi sosial itu terbentuk karena adanya kesamaan tujuan dan makna dari interaksi tersebut. Dikemukakan bahwa tujuan dan makna adalah inti (core) dari interaksi sosial, yang memberikan bobot pada interaksi yang dikembangkan. Semakin banyak kesamaan tujuan dan makna yang dikembangkan, makin besar bobot interaksi yang dikembangkan, ada beberapa pilihan yang dimungkinkan untuk individu bertindak dalam kontek interaksi bila interaksi yang dilakukan tidak berkembang. Di mulai dari toleransi yang paling rendah yaitu melakukan perbaikan pada diri sendiri, merupakan sesuatu yang arif yang dikembangkan manusia. Kemudian baru disertai dengan upaya untuk mencari pembenaran pada sesuatu yang agung di luar dirinya. Upaya lain yang dilakukan setelah kegagalan adalah adanya kecenderungan manusia untuk mengambil langkah tidak memperbesar pertentangan dengan cara menarik diri dari jaringan interaksi. Tindakan ini menunjukkan bahwa manusia memiliki sifat dasar untuk menghindarkan diri dari resiko benturan dengan orang lain yang sekaligus menonjolkan eksistensi diri. Sedangkan tindakan menentang atau memberontak secara terbuka adalah pilihan terakhir dari pilihan yang tidak dapat dihindarkan (Sanderson, 1993:16-17).
Menurut Soekanto (1990:69), berlangsungnya suatu proses interaksi di dasarkan pelbagai faktor, antara lain faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak baik sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung. Di jelaskan lebih lanjut bahwa faktor imitasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses interaksi sosial. Salah satu segi positifnya ialah dapat mendorong seseorang mematuhi kaedah-kaedah dan nilai-nilai berlaku, sedangkan segi negatifnya antara lain tindakan yang ditiru adalah tindakan yang menyimpang. Faktor sugesti terjadi apabila seseorang memberikan pandangan atau suatu sikap yang kemudian diterima pihak lain. Sugesti ini sebenarnya proses imitasi juga hanya titik tolaknya berbeda. Sugesti dapat terjadi karena pihak yang menerima dilanda emosi sehingga menyebabkan daya pikir rasional terhambat. Adapun identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam dari pada imitasi, karena kepribadian dapat terbentk melalui proses ini. Proses identifikasi dapat berlangsung baik dengan sendiri maupun dengan sengaja, karena seringnya seseorang memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam kehidupannya. Pengaruhnya lebih mendalam dibandingkan dengan proses imitasi dan sugesti. Kemudian proses sugesti, sebenarnya merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada orang lain. Di dalam proses ini perasaan memgang peranan sangat penting, walaupun dorongan utama adalah keinginan untuk memahami dan bekerjasama dengan orang lain. Proses simpati dapat berkembang kalau didukung oleh faktor saling mengerti (Soekanto, 1990:71).
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya juga yang dapat memberikan kontribusi kepada interaksi, menurut Rahardjo (1984:147), adalah adanya persepsi. Persepsi adalah suatu gambaran atau ide yang terbetik dalam mental individu. Persepsi ini bisa bersifat positif atau negatif dan tercipta sebelum terjadinya kontak dengan objek atau berkembang setelah kontak terjadi. Persepsi ini mendasari terbentuknya sikap dan terwujudnya dalam tindakan. Hal ini juga dikemukakan oleh Aloysius (dalam Garna, 1996:248), yang menyatakan bahwa dalam komunikasi antar budaya banyak variabel yang mempengaruhi, seperti sikap yang merupakan suatu keadaan psikis yang menyebabkan setiap manusia itu mempunyai predisposisi tindakannya yang tepat dalam menghadapi berbagai peristiwa sosial. Sikap tidak hanya mempengaruhi perilaku nyata, melainkan bisa menghambat persepsi manakala seorang menerjemahkan setiap peristiwa yang tergantung maknanya kepada predisposisi tersebut.
Atas dasar uraian tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa pola-pola tindakan dalam berinteraksi pada suatu masyarakat dibentuk olehh sistem nilai budaya yang tercermin dalam karakteristik kelompok masyarakat dan persepsi atau sikap yang hidup dalam masyarakat itu.
MASYARAKAT MAJEMUK
Sebelum mengupas mengenai masyarakat majemuk, terlebih dahulu perlu dipaparkan tentang pengertian masyarakat, hal ini dianggap penting karena untuk dapat memahami lebih mendalam tentang masyarakat majemuk perlu dipahami apa itu masyarakat.
Menurut Sidiq (dalam Arkanudin, 2001:87), masyarakat adalah kumpulan manusia yang merupakan satu kesatuan hidup yang memiliki adat istiadat dan sistem nilai serta norma yang pada dasarnya mengatur pola hubungan diantara mereka. Ralph Linton (1936:91), mengemukakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.
Herskovits (1952), mengatakan bahwa masyarakat adalah kelompok individu yang diorganisasikan yang mengikuti satu cara hidup tertentu. Gillin dan Gillin (1954), mengatakan bahwa masyarakat itu adalah kelompok manusia yang terbesar yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama. Sedangkan Garna (1992:7), mendefenisikan masyarakat sebagai suatu kelompok manusia yang menempati suatu kawasan geografis yang terlibat dalam aktivitas ekonomi, politik dan juga membentuk suatu satuan yang memiliki nilai-nilai tertentu dan kebersamaan. Haviland (1988), masyarakat mempunyai arti penting bagi manusia, karena memberi identitas dan bantuan kepada para anggotanya.
Dari berbagai pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep masyarakat itu berkaitan dengan kelompok manusia. Masyarakat itu timbul dari setiap kumpulan individu-individu yang telah lama hidup dan bekerja sama membentuk kelompok melalui hubungan sosial dengan berbagai kelompok etnik yang ada dalam masyarakat yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda.
Istilah masyarakat majemuk (plural societies), pertama kali dikemukakan oleh Furnivall (1967:446), sebagai hasil penelitiannya pada masyarakat di wilayah kekuasaan Hindia Belanda pada waktu itu yaitu Indonesia dan Birma. Dari hasil penelitiannya Furnivall mengemukakan bahwa masyarakat majemuk yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa masyarakat majemuk memiliki ciri di dalam kehidupan sosial, mereka tidak memiliki permintaan jasa sosial yang seragam. Sebagai type masyarakat daerah tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras. Orang-orang Belanda sebagai golongan minoritas kendati jumlahnya semakin bertambah-tambah terutama pada abad ke 19, sekaligus ia adalah penguasa yang memerintah bagian yang amat besar orang-orang Indonesia pribumi sebagai warga negara kelas tiga di negeri sendiri. Golongan orang-orang Tionghoa, sebagai golongan terbesar diantara orang-orang timur asing lainnya, menempati kedudukan menengah diantara kedua golongan tersebut di atas.
Pandangan Furnivall tersebut nampaknya menggambarkan kondisi masyarakat Hindia Belanda waktu itu. Dengan mengabaikan faktor ruang dan waktu dapat ditangkap konsep masyakarakat majemuk menurut Furnivall (1967:469), adalah suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut oleh kesatuan sosial sebagai bagiannya adalah sedemikian rupa, sehingga para anggota masyarakatnya kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.
Di dalam kedudukan politik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan terdiri dari elemen-elemen yang terpisah satu sama lain oleh karena perbedaan ras, masing-masing lebih merupakan kumpulan individu-individu dari pada sebagai suatu keseluruhan yang bersifat organis, dan sebagai individu kehidupan sosial mereka tidak utuh.
Di dalam kehidupan ekonomi, tidak adanya kehendak bersama tersebut menemukan pernyataannya di dalam bentuk tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat (common social demand) (Furnivall, 1967:309-312). Setiap masyarakat politik, demikian menurut Furnivall, dari kelompok nomad sampai bangsa berdaulat berangsur-angsur melalui suatu periode waktu tertentu membentuk peradaban dan kebudayaannya sendiri, membentuk kesenian sendiri, baik dalam bentuk sastra, seni lukis, maupun musik, serta membentuk pelbagai kebiasaan di dalam terbentuknya sistem pendidikan informal dengan nama setiap anggotanya tersosialisir sebagai anggota dari masyarakat tersebut. Kebutuhan-kebutuhan keagamaan, politik, dan keindahan, pendek kata semua kebutuhan kultural, memiliki aspek ekonomi oleh karena semuanya pada akhirnya menyatakan diri secara terorganisir hanya sebagai kebutuhan ekonomi, yakni sebagai permintaan atau demand masyarakat mejemuk seperti halnya dengan masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda permintaan masyarakat tidaklah terorganisir, melainkan bersifat seksional (sectional), dan tidak permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua elemen masyarakat. Golongan Eropa, Tionghoa, dan golongan Pribumi, masing-masing memiliki pola permintaannya sendiri-sendiri.
Tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua elemen masyarakat menjadi sumber yang membedakan karakter daripada ekonomi majemuk (plural economi) dari suatu masyarakat yang bersifat homogenous. Apabila proses ekonomi di dalam masyarakat yang bersifat homogeneous dikendalikan oleh adanya common will, maka hubungan-hubungan sosial diantara elemen-elemen masyarakat majemuk sebaliknya semata-mata dibimbing oleh proses ekonomi dengan produksi kehidupan masyarakat. Oleh karena penggolongan masyarakat terjadi di atas dasar perbedaan ras, maka pola produksipun terbagi atas perbedaan ras pula, dalam mana masing-masing ras memiliki fungsi produksi sendiri-sendiri, orang-orang Belanda dalam bidang perkebunan, penduduk pribumi dalam bidang pertanian, dan orang Tionghoa sebagai kelas pemasaran yang menjadi perantara diantara keduanya. Di dalam setiap masyarakat memang selalu terdapat konflik kepentingan antara kota dan desa, antara kaun modal dan kaum buruh, akan tetapi lebih-lebih di dalam masyarakat majemuk maka konflik kepentingan tersebut menemukan sifatnya yang lebih tajam oleh karena perbedaan kepentingan ekonomi jatuh bersamaan dengan perbedaan ras.(Furnivall, 1967:448).
Pandangan Furnivall tentang masyarakat majemuk tersebut merupakan gambaran masyarakat Indonesia pada zaman Hindia Belanda. Keadaan masyarakat Indonesia pada masa kini sudah barang tentu telah jauh berbeda dari keadaan tersebut. Penegrtian masyarakat majemuk sebagaimana yang digambarkan oleh Firnivall sudah barang tentu tidak dapat diperlakukan untuk melihat masyarakat Indonesia pada masa sekarang. Namun demikian dengan memodifikasi atas pengertian tersebut yang dilakukan oleh beberapa akhli ilmu kemasyarakatan dari generasi sesudah Furnivall, konsep masyarakat majemuk masih tetap dapat dipergunakan untuk melihat masyarakat Indonesia pada saat ini.
Batasan Masyarakat majemuk yang lebih tegas dikemukakan oleh Geertz (1969:67-68), yaitu merupakan masyarakat yang terbagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri, setiap sub sistem terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primodial. Martodirdjo (2000:11), mengatakan bahwa masyarakat dikatakan majemuk jika secara struktural memiliki subsub kebudayaan yang bersifat diverse atau berbeda. Sedangkan menurut Garna (1996:164), bahwa konsep masyarakat majemuk (plural society) tumbuh kembang dari dua tradisi dalam sejarah pemikiran sosial. Yaitu, pertama kemajemukan adalah suatu keadaan yang menggambarkan wujud pembagian kekuasaan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang bergabung atau disatukan, rasa menyatu itu adalah melalui dasar kesetiaan (bercorak cross-cutting), kepemilikan nilai-nilai bersama dan perimbangan kekuasaan; kedua dikemukakan dalam teori-teori masyarakat majemuk mengalami konflik, pertentangan dan paksaan.
Dilihat dari sudut pandang atau perspektif sosiologi dan antropologi, menurut Martodirdjo (2000:11), bahwa struktur masyarakat Indonesia dapat dikatakan mencerminkan sistem sosial budaya yang kompleks. Secara horizontal ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan etnisitas berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, adat, agama, dan ciri-ciri kedearahan lainnya. Sedangkan secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antar lapisan sosial yang cukup tajam. Adanya perbedaan-perbedaan ini menyebabkan masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk.
Kemajemukan masyarakat antara lain ditandai oleh adanya kelompok-kelompok etnik. Anthony Smith (dalam Martodirdjo,2000:1), mengemukakan bahwa secara konseptual kelompok etnik atau suku bangsa adalah kelompok sosial yang anggotanya memiliki asal usul, menunjukkan latar belakang sejarah dan nasib yang sama, memiliki satu atau sejumlah ciri-ciri kultural serta merasakan suatu bentuk kolektivitas dan solideritas yang unik. Dalam perspektif antropologi kelompok etnik dijelaskan oleh Narrol (dalam Bart, 1988:11), yaitu umumnya dikenal sebagai suatu populasi yang mengandung ciri-ciri: (1) secara biologis mampu berkembang baik dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Ada juga yang berpendapat lain, bahwa ciri suatu kelompok etnik atau suku bangsa adalah keyakinan akan adanya keterikatan sebagai keturunan dari leluhur yang sama karena persamaan ciri fisik dan kebiasaan keseluruhan dapat membedakan dirinya dengan masyarakat lain (Reminick, 1983:10).
Senada dengan pendapat di atas Smith (dalam Garna, 1996:165), mengemukakan bahwa masyarakat majemuk juga memiliki berbagai kelompok minoritas yang memiliki berbagai kelompok yang kebudayaannya berbagai ragam, sering berlangsung perpecahan dan pertentangan. Sedangkan dari sisi politik masyarakat majemuk itu dikuasai oleh satu kelompok minoritas yang memiliki kebudayaan sendiri dan masyarakat majemuk terwujud bukan atas dasar sistem nilai-nilai yang sama, tetapi oleh dasar konflik dan paksaan.
Menurut Berghe (1969:67-68), bahwa karakteristik masyarakat majemuk adalah: (1) terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain; (2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplementer; (3) kurang mengembangkan konsensus diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar; (4) secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain; (5) secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi; dan (6) adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok lain.
Berdasarkan atas karakteristik yang demikian, lebih lanjut Berghe menganggap bahwa masyarakkat majemuk tidak dapat digolongkan begitu saja ke dalam salah satu antara dua jenis masyarakat menurut model analisa Emile Durkheim. Suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekarabatan yang bersifat segementer, akan tetapi sekaligus juga tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki diferensiasi atau spesialisasi yang tinggi. Yang disebut pertama merupakan masyarakat yang merupakan kelompok-kelompok berdasarkan garis keturunan tunggal, akan tetapi memiliki struktur kelembagaan yang bersifat homogeneous. Yang disebut kedua sebalikmya merupakan suatu masyarakat dengan tingkat diferensiasi yang tinggi dengan banyak lembaga yang bersifat kompelementer dan saling tergantung satu sama lain.
Masyarakat majemuk yang timbul karena adanya beberapa kelompok etnik yang berbeda baik sosial maupun budaya serta pola pikir, menjadi masalah tersendiri dalam hubungan antar etnik. Martodirdjo (2000:3), mengemukakan masalah etnisitas merupakan salah satu fenomena sosial yang kompleks yang bersifat sentral dalam kerangka totalitas kehidupan masyarakat. Masalah etnisitas bersentuhan langsung dengan keseluruhan aspek kehidupan manusia baik aspek ekonomi, sosial, politikal, moral, spritual, maupun aspek fisikal.
Dilihat dari sisi etnisitas kemajemukan biasanya ditandai oleh adanya etnosentrisme, yaitu semacam paham yang menganggap kebudayaannya sendiri lebih baik dari pada kebudayaan orang lain atau kelompok lain (luar). Oleh karena itu dapat pula dikatakan bahwa etnosentrisme merupakan ciri dari perasaan dalam kelompok atau perasaan luar kelompok (in group and group feeling). Etnosentrisme dapat dilihat dari dua sisi yaitu positif dan negatif. Sisi positifnya dapat berfungsi sbagai faktor penting dalam rangka mempertahankan diri (dan kelompok), jika ada pengaruh-pengaruh negatif, gangguan-gangguan dan ancaman-ancaman dari kelompok luar atau pihak lain. Atau dengan kata lain sangat berguna untuk mempertebal kesetiaan seseorang terhadap kelompok dan juga meningkatkan moral mereka. Segi negatifnya dapat membawa akibat negatif, seperti perpecahan atau bahkan permusuhan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
BENTUK HUBUNGAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT MAJEMUK
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa masyarakat yang mendiami wilayah Indonesia sangat majemuk, dalam pengertian bahwa terdiri atas berbagai suku bangsa dan agama yang masing-masing memiliki adat-istiadat satu dengan lainnya berbeda. Kemajemukan masyarakat tersebut disatu sisi merupakan anugerah dan kekayaan yang tidak ternilai, hal ini karena dari masyarakat yang majemuk tersebut sudah barang tentu tersimpan berbagai potensi budaya. Disisi lain kemajemukan masyarakat juga dapat menimbulkan berbagai pertentangan yang tidak mustahil akan menjurus ke arah konflik, karena terjadi miss komunikasi dalam melakukan interaksi sosial.
Walaupun dalam masyarakat majemuk terdiri atas berbagai suku bangsa dengan adat-istiadat yang berbeda, namun menurut Taneko (1990:116), interaksi sosial diantara mereka dapat dibedakan dalam empat bentuk yaitu kerja sama, persaingan, pertikaian, dan akomodasi. Dijelaskan lebih lanjut bahwa, kerja sama adalah suatu bentuk proses sosial dimana dua atau lebih perorangan atau kelompok mengadakan kegiatan bersama guna mencapai tujuan yang sama. Timbulnya kerjasama menurut Cooley(dalam Soekanto,1990:61), adalah apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama, dan saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan tersebut melalui kerjasama, kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna.
Persaingan merupakan suatu proses sosial, dimana beberapa orang atau kelompok berusaha mencapai tujuan yang sama dengan cara yang lebih cepat dan mutu yang lebih tinggi (Hendropuspito,1989; dalam Arkanudin:2001:38). Persaingan dapat terjadi dalam segala bidang kehidupan, misalnya bidang ekonomi, kedudukan dan kekuasaan. Gillin dan Gillin (dalam Soekanto,1990:78), menyatakan persaingan dapat diartikan sebagai proses sosial, dengan perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian publik dengan cara berusaha menarik perhatian publik atau dengan cara mempertajam prasangka yang ada tanpa mempergunakan ancaman kekerasan. Persaingan dapat juga mengakibatkan semangat pada beberapa macam kegiatan, bahkan persaingan ada yang mempunyai tendensi kepada pertikaian.
Pertikaian dapat terjadi karena proses interaksi, dimana penafsiran makna perilaku tidak sesuai dengan maksud dari pihak pertama, yaitu pihak yang melakukan aksi, sehingga menimbulkan suatu keadaan dimana tidak terdapat keserasian diantara kepentingan dan pihak-pihak yang melakukan interaksi. Pada pertikaian terdapat usaha untuk menjatuhkan pihak lawan dengan menggunakan kekerasan (Juheifa, 2000:14).
Hendropuspito (dalam Arkanudin, 2001:40), menyatakan bahwa akomodasi merupakan suatu bentuk proses sosial yang didalamnya terdapat dua atau lebih individu atau kelompok berusaha untuk tidak saling mengganggu dengan cara mencegah, mengurangi atau menghentikan ketegangan yang akan timbul atau yang sudah ada. Soekanto (1990:62-67), menyatakan bahwa akomodasi itu menunjuk pada dua arti: pertama akomodasi itu menunjuk pada suatu proses, dan kedua; akomodasi itu menunjuk pada suatu keadaan. Sebagai suatu proses menunjuk pada usaha-usaha untuk mencapai penyelesaian atau pertikaian, sedangkan sebagai suatu keadaan menunjuk pada suatu kondisi selesainya suatu pertikaian.
Bentuk interaksi sebagai mana yang telah dikemukakan diatas pada dasarnya dapat dijumpai pada semua lapisan masyarakat, hanya yang berbeda derajatnya saja.
HUBUNGAN SOSIAL SEBAGAI WADAH TERBENTUKNYA SOLIDARITAS KELOMPOK
Solidaritas berasal dari kata solidarity yang berarti kesetiakawan atau kekompakan. Sedangkan solid artinya kokoh dan kuat. Solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang di dasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama serta diperkuat oleh pengalaman emosional bersama (Johnson, 1988:181). Koentjaraningrat (1990:164), menyatakan bahwa solidaritas adalah suatu bentuk kerjasama pada masyarakat yang meliputi aktivitas gotong royong, tolong menolong dan musyawarah. Selain rasa kepatuhan yang didasarkan kepada perasaan moral, masyarakat juga mengenal seperangkat nilai yang intinya memupuk rasa solidaritas atau disebut nilai yang mempersatukan (assosiatif) yang mempunyai butir-butir positif yaitu persaudaraan, kekeluargaan, kerukunan dan kegotong-royongan.
Bahkan Garna (1992:7), menyatakan bahwa solidaritas merupakan bentuk kekuatan persatuan internal suatu kelompok, kekuatan internal tersebut berupa suatu kepatuhan bersama yang didasari oleh ikatan tali persaudaraan dan ikatan daearah. Dengan demikian bahwa solidaritas kelompok menurut Hendropuspito (1989:212) adalah suatu kesatuan hidup bersama yang ditandai oleh adanya keptuhan yang sama terhadap sistem nilai serta norma yang berlaku yang membentuk masyarakatnya; kehidupan saling tolong menolong yang dasari oleh rasa persaudaraan yang kompak.
Sementara itu unsur-unsur solidaritas menurut Iskandar (1978:198), adalah: (1) semangat komunitas; (2) hubungan antar pribadi; (3) tanggung jawab keluarga terhadap komunitas; (4) lembaga pendidikan dan kebudayaan yang semestinya diikuti masyarakat; (5) lembaga keagamaan yang dapat mengarahkan warga masyarakat dalam berbagai kegiatan keagamaan maupun sikap yang harus dikembangkan dalam kehidupan agama; (6) perilaku ekonomi; (7) pemerintah lokal dalam menerapkan kebijakan—kebijakan untuk mengatur masyarakat yang heterogen.
Fungsi dari solidaritas mencerminkan rasa tanggungjawab secara bersama antara kelompok dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya wujud solidaritas kelompok tersebut dapat dilihat dalam berbagai bentuk peristiwa pada saat acara perkawinan, kematian dan peristiwa lain yang membutuhkan kerjasama saling tolong menolong dalam setiap etnik dalam satu lingkungan masyarakat.
Durkheim membagi solidaritas menjadi dua macam, yaitu (1) solidaritas mekanis, dan (2) solidaritas organis. Selanjutnya lebih jauh Durkheim menjelaskan bahwa solidaritas mekanis timbul karena adanya kesamaan, bahwa ikatan solidaritas sosial yang kelangsungan hidupnya sesuai dengan hukuman represif merupakan satu-satunya solidaritas yang jika dirusak akan menimbulkan kejahatan.
Unsur utama solidaritas mekanik antara lain kesadaran kolektif, ikatan keagamaan, dan ikatan sosial seperti sistem kekerabatan, kesukuan dan komunitas yang merupakan faktor penting dalam memelihara solidaritas kelompok (Johnson, 1988:186).
Pengaruh solidaritas mekanik melandasi terbentuknya kesadaran kolektif, dalam keadaan itu semua anggota masyarakat memiliki kepribadian, pandangan, nilai-nilai dan gaya hidup yang serupa, sehingga nampak homogen (Durkheim dalam Johnson, 1988:187). Kelompok sosial yang diwarnai semangat solidaritas diwujudkan dalam bentuk ikatan sosial. Walaupun terjadi perubahan solidaritas dari solidaritas mekanik kepada solidaritas organik, tetapi bekas solidaritas mekanik berupa keyakinan, nilai tradisi dan perasaan emosional bersama akan tetap ada ditemukan ditengah kehidupan masyarakat (Lauer, 1993:88).
Pada masyarakat dalam bentuk solidaritas organik, timbulnya solidaritas organis karena pembagian kerja yang terspesialisasi dalam masyarakat modern. Solidaritas organik berasal dari semakin diferensiasi dan kompleksitas dalam pembagian kerja yang menyertai perkembangan sosial. Durkheim merumuskan gejala pembagian kerja sebagai manifestasi dan konsekuensi perubahan nilai—nilai sosial yang bersifat umum. Titik tolak perubahan tersebut berasal dari revolusi industri yang meluas dan sangat pesat dalam masyarakat. Menurutnya, tidak tidak seperti kaum konservatif yang bersifat nostalgik itu melihat disintegrasi masyarakat dalam perkembangannya, tetapi dasar integrasi sosial yang sedang mengalami perubahan ke satu bentuk yang baru, yaitu dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Bentuk itu benar-benar didasarkan pada saling ketergantungan antara “bagian-bagian” yang terspesialisasi.
Jumlah kepadatan penduduk merupakan kejadian alam, namun disertai pula dengan gejala sosial yang lain, yaitu ”kepadatan moral” mayarakat. (Veeger, 1995:149). Selanjutnya menurit Veeger, bahwa dengan terjadinya pertambahan penduduk (perubahan demografik) disertai oleh pertambahan frekwensi komunikasi dan interaksi antara para anggota, maka makin besarlah jumlah orang yang menghadapi masalah yang sama, dan perjuangan kompetitif untuk mempertahan hidup, semakin besar pula persaingan antara mereka, karena mereka sama-sama berjuang untuk mendapatkan sumber-sumber yang terbatas.
Bagaimana perjuangan mempertahankan hidup tersebut tidak menimnulkan konflik sosial yang merusak, maka makin banyaklah gagasan yang dikemukakan. Selanjutnya melahirkan masyarakat yang pluralistis, dimana antar hubungan diatur berdasarkan pembagian kerja serta undang-undang dan hukum perdata. Mereka mulai mengadakan kompromis dan pembagian yang memberikan ruang hidup kepada jumlah orang yang lebih besar. “Kepadatan moral” itu merupakan suatu konsep yang tidak bercorak alami, melainkan budaya, karena manusia sendirilah yang membetuk masyarakat yang dikehendakinya.
Jika kesadaran kolektif pada masyarakat meknik paling kuat perkembangannya pada masyarakat sederhana, dimana semua anggota pada dasarnya memiliki kepercayaan bersama, pandangan, nilai dan semuanya memiliki gaya hidup yang kira-kira sama. Pembagian kerja masih relatif rendah, tidak menghasilkan heterogenitas yang tinggi, karena belum pluralnya masyarakat. Lain halnya pada masyarakat organik, merupakan tipe masyarakat yang pluraslistik, orang merasa diri lebih bebas. Penghargaan baru terhadap kebebasan, bakat prestasi dan karir individual menjadi lebih dasar masyarakat pluralistik. Kesadaran kolektif pelan-pelan mulai hilang. Pekerjaan orang menjadi lebih terspesialisasi dan tidak sama lagi, merasa dirinya semakin berbeda dalam kepercayaan, pendapat, dan juga gaya hidup. Pengalaman orang menjadi semakin bercorak ragam, demikian pula kepercayaan, sikap, dan kesadarannya pada umumnya.
Heterogenitas yang semakin bertambah ini tidak menghancurkan solidaritas sosial. Sebaliknya karena pembagian kerja semakin tinggi, individu dan kelompok dalam masyarakat merasa semakin lebih tergantung kepada yang lain yang berbeda pekerjaan dan spesialisasinya. Peningkatan terjadi secara bertahap, saling ketergantungan fungsional antara pelbagai bagian masyarakat yang heterogen itu mengakibatkan terjadi suatu pergeseran dalam tata nilai masyarakat, sehingga menimbulkan kesadaran individu baru. Bukan pembagian kerja yang mendahului kebangkitan individu, melainkan senaliknya perubahan dalam diri individu, di bawah pengaruh proses sosial mengakibatkan pembagian kerja semakin terdiferensiasi.
Kesadaran baru yang mendasari masyarakat modern lebih berpangkal pada individu yang mulai mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang lebih terbatas yang terdapat dalam masyarakat, mereka tetap mempunyai kesadaran kolektif yang terbatas pada kelompoknya saja, contohnya yang sesuai dengan pekerjaannya. Corak kesadaran kolektif lebih bersifat abstrak dan universal. Mereka membentuk solidaritas kelompok-kelompok kecil, dan tentu saja bisa bersifat mekanik.
Solidaritas menurut Durkheim dalam Taufik Abdullah dan Leeden (1986:145), terbagi dalam solidaritas positif dan solidaritas negatif. Solidaritas negatif tidak menghasilkan integrasi apapun, dan dengan demikian juga tidak memiliki kekhususan, sedangkan solidaritas positif dapat dibedakan berdasarkan ciri-ciri:
(1) Yang satu mengikat individu pada masyarakat secara langsung, tanpa perantara. Pada solidaritas positif yang lainnya, individu tergantung dari masyarakat, karena individu tergantung dari bagian-bagian yang membentuk masyarakat masyarakat tersebut.
(2) Solidaritas positif yang kedua adalah sistem fungsi-fungsi yang berbeda dan khusus, yang menyatukan hubungan-hubungan yang tetap. Namun sebenarnya kedua masyarakat tersebut hanyalah satu saja. Keduanya hanya merupakan dua wajah dari satu kenyataan yang sama, namun tetap perlu dibedakan.
(3) Dari perbedaan yang kedua itu muncullah perbedaan yang ketiga, yang akan memberi ciri dan nama kepada kedua solidaritas itu.
PROBLEM YANG TIMBUL AKIBAT HUBUNGAN SOSIAL
Sebagaimana kita ketahui bahwa penduduk yang mendiami wilayah Perkotaan terdiri dari berbagai macam etnik yang datang berbagai daerah. Keanekaragaman etnik tersebut merupakan salah satu ciri khas masyarakat kita yang disebut masyarakat majemuk. Dengan adanya keanekaragaman masyarakat disatu pihak merupakan kekayaan kebudayaan nasional, dilain pihak tidak jarang keadaan tersebut merupakan salah satu faktor penghambat kearah terciptanya suatu kerukunan sosial.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya setiap warga dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di perkotaan melakukan interaksi satu sama lain. Tanpa melakukan interaksi satu dengan lainnya mustahil mereka dapat hidup dan mempertahankan keberadaannya sebagai mahluk sosial. Dalam berinteraksi ini cenderung menghasilkan dua kemungkinan yang berbeda yaitu pertama terjadinya hubungan yang harmonis atau serasi dan kedua terjadinya hubungan yang tidak harmonis yang pada akhirnya tidak jarang menimbulkan pertentangan atau konflik.
Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 1990:76-78), mengemukakan penggolongan proses sosial, yaitu: (1) proses yang asosiatif, yang terbagi ke dalam tiga bentuk khusus lagi yakni akomodasi, asimilasi dan akulturasi; (2) proses disasosiatif yang mencakup persaingan yang meliputi kontraversi dan pertentangan atau pertikaian (conflict). Kimbal Young, mengemukakan bentuk proses sosial adalah: (1) oposisi (opposition) yang mencakup persaingan (competition) dan pertentangan atau pertikaian (conflict); (2) kerja sama (co-operation) yang menghasilkan akomodasi (accomodation); (3) defrensiasi (defferentiation) yang merupakan proses dimana orang perorang di dalam masyarakat memperoleh hak-hak dan kewajiban yang berbeda dengan orang lain dalam masyarakat atas dasar perbedaan usia, sex dan pekerjaan.
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa interaksi sosial akan menghasilkan berbagai macam tanggapan dan penafsiran baik positif maupun negatif. Rahardjo (1984:114), mengemukakan bahwa interaksi sosial yang bersifat positif akan timbul apabila tindakan dalam interaksi mampu menciptakan suasana hubungan yang harmonis dalam masyarakat. Kondisi ini bisa dicapai jika ada rasa saling menghargai dan mengakui keberadaan masing-masing individu atau etnik. Interaksi yang bersifat negatif apabila tindakan-tindakan dalam interaksi menimbulkan kondisi ketidakserasian atau disharmoni dalam kelompok atau masyarakat yang pada giliran tidak mustahil menimbulkan konflik.
Menurut Coser (dalam Johnson, 1986:195), konflik merupakan salah satu bentuk interaksi. Simmel (dalam Johnson,1986:194), sesungguhnya dinamika konflik adalah sedemikian, sehingga pada setiap isu tertentu ada kecenderungan untuk menjadi dua kelompok utama, yang tidak dapat dielakkan lagi untuk berkonflik. Konflik umumnya mengarah perhatian pada kepentingan-kepentingan kelompok dan orang yang salin bertentangan dalam struktur sosial. Selanjutnya Simmel (dalam Lawang, 1985:269), tidak ada interaksi sosial yang bebas dari konflik, justru konflik sangat erat terjalin dengan pelbagai proses mempersatukan kehidupan sosial.
Menurut Koentjaraningrat,(1984:354), konflik bisa terjadi kalau: (1) persaingan antara dua atau lebih suku bangsa dalam hal mendapatkan lapangan mata pencaharian hidup yang sama; (2) pemaksaan unsur-unsur kebudayaan kepada warga satu suku bangsa lain; (3) pemaksaan terhadap suku bangsa lain yang berbeda agama untuk menganut agama tertentu; (4) usaha mendominasi suku bangsa lain secara politis; (5) adanya konflik terpendam antar suku-suku bangsa yang telah bermusuhan secara adat.
Dari lima sumber konflik tersebut, kita lihat barbagai konflik yang terjadi daerah perkotaan pada umumnya sangat erat kaitannya dengan sumber pertama yaitu persaingan dalam mendapatkan lapangan pencaharian, Kenyataan ini dipertegas lagi oleh Alqadrie (1999:37), menyatakan bahwa bagaimanapun bentuk hubungan sosial antar wargamasyarakat ----------- apakah mengandung kerjasama, pertikaian atau penyesuaian diri --------- sangat ditentukan oleh faktor budaya yang cenderung bergandengan pula dengan faktor psikologis, dan faktor struktural yang menyangkut faktor ekonomi dan politik.
P E N U T U P
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, tetapi secara bersama-sama hidup dalam satu wadah masyarakat Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menempati setiap pulau di Nusantara dan tumbuh menjadi suatu kesatuan suku bangsa terdiri dari sejumlah orang yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan emosional.
Dalam menjalankan kehidupan bersama dari berbagai suku bangsa tersebut, mereka terlibat dalam suatu hubungan timbal balik yang disebut interaksi sosial yang dinamik antara orang dengan orang, orang dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok.
Bentuk hubungan sosial atau interaksi sosial dalam masyarakat majemuk yang berbeda latar belakang kebudayaan tersebut dapat berupa kerja sama, persaingan, pertikaian dan akomodasi. Bentuk hubungan sosial tersebut selain dapat menimbulkan ketegangan atau konflik sosial diantara masayarakat juga dapat memunculkan sikap solidaritas diantara masyarakat majemuk, berupa suatu bentuk kerjasama pada masyarakat yang meliputi aktivitas gotong royong, tolong menolong dan musyawarah. Selain rasa kepatuhan yang didasarkan kepada perasaan moral, masyarakat juga mengenal seperangkat nilai yang intinya memupuk rasa solidaritas atau disebut nilai yang mempersatukan (assosiatif) yang mempunyai butir-butir positif yaitu persaudaraan, kekeluargaan, kerukunan dan kegotong-royongan.
DAFTAR PUSTAKA
Alqadrie, Syarif Ibrahin. 1999. Konflik Etnis di Ambon dan Sambas, Suatu Tinjauan Sosiologis, Dalam: Jurnal Antropologi Tahun XXIII Nomor 58.
Abdullah, Taufik dan AC. Van Der Leeden. 1986. Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Arkanudin. 2005. Perubahan Sosial Masyarakat Peladang Berpindah, Studi Kasus pada orang Dayak Ribun yang berada di sekitar PIR-Bun Kelapa Sawit Parindu Sanggau Kalimantan Barat, Bandung: Disertasi Program Doktor Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Berghe, Pierre L. Van Den. 1969. Pluralism and The Polity: A Theoritical Exploration, Dalam Leo Kuper dan M.G Smith, eds, Pluralism in Africa, Berkeley and Los Angeles: University of California Press.
Barth, Fredrik (ed). 1988. Kelompok Etnik dan Batasanya, Tatanan Sosial dari Perbedaan Kebudayaan, Penerjemah Nining I. Soesilo, Jakarta: UI Press.
Boouman, P.J. 1957. Ilmu Masyarakat Umum. (Terjemahan), Jakarta: Dian Rakyat.
Furnivall.J.S. 1956. Colonial Policy and Practice: A Comprative Study of Burma and Netherlands India, Wasington Square: New York University Press.
-----------------. 1967. Netherlands India: A Study of Plural Economy, Cambridge University Press.
Geerzt, Hildred. 1969. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, Jakarta: YIIS.
Garna, Judistira K. 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial, Bandung: Program Pascasarjana Unpad.
--------------------------, 1996. Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar-Konsep-Posisi, Bandung: Program Pascasarjana Unpad.
Harsojo. 1977. Pengantar Antropologi, Jakarta: Bina Cipta
Hendropuspito, D. 1989. Sosiologi Sistematik, Yogyakarta: Kanisius.
Haviland, Willian A. 1988. Antropologi Jilid I dan II (Terjemahan), Jakarta: Erlangga.
Iskandar, Jusman dan Nitamiharjo, Caroline. 1978. Penelitian Pekerjaan Sosial, Bandung: PKM Al Ihksan.
Johnson, Doyle Paul. 1986 dan 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Terjemahan) Jilid 1 dan 2, Jakarta: Gramedia.
Juheifa. 2000. Pengaruh Interaksi Sosial Antara Transmigran Asal Jawa dengan Transmigran Lokal (APPDT) terhadap Perwujudan Integrasi, Bandung: Tesis Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Kamil. Mohammad. 1999. Interaksi Sosial Dalam Pengajaran CBSA, Proyek Pengadaan Sarana Akademis Depdikbud RI, Jakarta: Depdikbud.
Koentjaraningrat. 1958. Metode-Metode Antropologi dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia.
--------------------. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia Masa Kini, Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI.
--------------------. 1987. Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1, Jakarta: UI-Press.
--------------------. 1990 Sejarah Teori Antropologi, Jilid 2, Jakarta: UI Press.
-------------------. 1992. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djembatan.
Lauer, Robert. H. 1993. Perspektif Tentang Perubahan Sosial (Terjemahan), Jakarta: Rineka Cipta.
Lawang, Robert K. 1986. Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Karunika.
Linton, Ralph. 1986. Antropologi, Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, Alih bahasa: Firmansyah, Bandung: Jammers.
Liem, Tjong Tjiat. 1968. Ethnicity and Modernization in Indonesian Education: Comparative Study of Pre-Independence and Post Indenpedence Periods, Disertasi, University of Wisconsin.
Martodirdjo, Haryo. S. 2000. Hubungan Antar Etnik, Lembang Bandung: Sespim Polri.
Nasikun, 1991. Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Rajawali
Purwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahardjo, Chodijah. B. 1984. Transmigrasi dari Daerah Asal Sampai Benturan Budaya di Tempat Pemukiman, Jakarta: Rajawali.
Reminick, Ronald. A. 1983. Theory of Etnicity, Lanham. New York, London: University Press of America.
Sadli, Saparinah. 1977. Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Jakarta: Bulan Bintang.
Siahan, Hotman. 1988. Sosiologi Pedesaan, Seri Diktat, Surabaya: Fisip UWK.
Sanderson, K Stephen. 1993. Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, Jakarta: Rajawali Press.
Soelaiman, M Munandar. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soekanto,Soerjono. 1983. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Ghalia Indonesia.
------------------------. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, Edisi Baru, Jakarta: Rajawali Press.
Skinner, G. William. ed. 1959. Local Etnic and National Loyalities In Village Indonesia: A. Symposium, Cultural Report Series, Southeast As Study: Yale University.
Sributani, Tomatsu. et al. 1963. Etnic Stratification: Comprative Approach, London: The Macmillan Company and Collier Macmillan Limited.
Suparlan, Parsudi. 1989. Interaksi Antar Etnik di Beberapa Propinsi di Indonesia, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan Depdikbud.
Teneko, Soeleman B. 1990. Struktur dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan, Jakarta: Rajawali Press.
Taske, Raymond HC, Nelson, Bordin H. 1973. Acculturation And Assimilation a Clasification, New York: Oxford University Press.
Umar, Farad. 1996. Tujuan dan Khalayak Sasaran Pengabdian Pada Masyarakat, Dalam: Margono Slamet (editor) Metodelogi Pengabdian Pada Masyarakat, Bandar Lampung: Penerbit Unlam.
Veeger, K.J. 1985. Realitas Sosial, Jakarta: Gramedia.AKULTURASI SEBAGAI MEKANISME PERUBAHAN KEBUDAYAAN
Oleh
Prof.Dr.Arkanudin, M.Si
(Guru Besar Antropologi FISIP UNTAN dan Dosen Program Magister Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura Pontianak)
PENDAHULUAN
Akulturasi sebagai salah bentuk proses sosial, erat kaitannya dengan pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Sebagai akibat pertemuan tersebut , maka kedua belah pihak saling mempengaruhi dan akhirnya kebudayaan mereka mengalami perubahan bentuk. Para ahli antropologi sejak lama telah tertarik akan peristiwa terjadinya proses akulturasi, dengan maksud untuk mengetahui dan memahami sejauh mana dari proses tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan baik perubahan sosial maupun budaya.
Purwanto (2000:109-110) menyatakan bahwa ruang lingkup perubahan kebudayaan yang dapat dikatakan sebagai suatu akulturasi, harus ditandai oleh keterkaitan dari two or more autonomous cultural system. Perubahan yang bersifat akulturasi, dapat disebabkan sebagai akibat direct cultural transmissions, dan mungkin juga dapat disebabkan oleh kasus-kasus nono kultural seperti ekologis, demografis, modifikasi sebagai akibat pergeseran kebudayaan, juga karena keterlambatan kebudayaan, seperti yang kemudian dilanjutkan dengan internal adjustment setelah traits atau pola-pola suatu kebudayaan asing yang diterima. Selain itu, suatu akulturasi dapat pula disebabkan oleh suatu reaksi adaptasi bentuk bentuk kehidupan yang tradisional. Semuanya itu dapat dilihat sebagai dinamika dalam rangka adaptasi yang selektif terhadap sistem nilai, suatu proses integrasi dan differensiasi; yaitu sebagai akibat perkembangan generasi, dan faktor bekerjanya peranan dari determinan dan suatu kepribadian tertentu.
Untuk menanggapi perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat proses akulturasi dituntut adanya suatu kearifan, dalam pengertian biarlah proses akulturasi tetap berjalan seiring dengan perkembangan zaman. Namun agar dalam perubahan sebagai akibat dari proses akulturasi baik sosial maupun budaya agar tidak tercabut dari akar budaya bangsa perlu adanya suatu pedoman yang dapat menentukan arah perkembangan kebudayaan bangsa. Untuk negara Indonesia pedoman untuk menangkal lajunya proses akulturasi sudah tercamtum dalam UUD 1945, yaitu harus mengacu pada nilai-nilai inti Pancasila sebagai konfigurasi kebudayaan bangsa. Untuk itu menurut Budhisantoso (1997:136), pengembangan kebudayaan nasional harus mampu mewujudkan pedoman yang menentukan arah perkembangan kebudayaan bangsa yang memiliki fungsi integratif dan kerangka acuan dalam kehidupan masyarakat majemuk.
DEFINISI AKULTURASI
Salah satu jenis lain yang memiliki ciri yang khusus dalam rangka kontak kebudayaan, adalah akulturasi. Definisi akulturasi yang sistematik, pertama kali dikemukakan oleh Redfield, Linton dan Herskovits (1936) yaitu: “ Acculturation comprehends these phenomena which result when groups of individuals having different cultures come into continous firt-hand contact, with subsequent changes in the original cultural pattens of either or both groups”(Purwanto, 2000:104). Dalam perkembangannya definisi akulturasi tersebut banyak mendapat kritikan para antropolog pada saat itu, hal ini karena ada beberapa poin menurut mereka sangat sulit untuk ditafsirkan yaitu: (1) apa sebenarnya pengertian “continous firt-hand contact”; (2) apa pengertian dari “groups of individuals”; (3) bagaimanakah hubungan antara akulturasi dengan konsep perubahan kebudayaan dan difusi; (4) bagaimanakah hubungan antara akulturasi dan asimilasi; dan (5) apakah akulturasi sebagai suatu proses ataukah menunjukkan pada suatu keadaan (a process or a condition) (Purwanto, 2000:105).
Sebagai ilustrasi sulitnya menafsirkan definisi akulturasi tersebut menurut para antropolog ketika berhadapan dengan berbagai masalah yang bermunculan, yang mencolok adalah modifikasi kebudayaan yang muncul sebagai akibat kontak yang berlangsung hanya sebentar-sebentar, misalnya yang terjadi di kalangan kaum misionaris atau pedagang. Dalam beberapa kasus mereka ini dapat dianggap sebagai pembawa kebudayaan lain. Sekalipun ada kesulitan untuk dapat dimasukkan sebagai fenomena akulturasi, agaknya kasus tadi bisa dimasukkan dalam ruang lingkup studi mengenai perubahan kebudayaan. Kesulitan dalam melihat kasus tadi sama dengan kesulitan dalam membedakan antara akulturasi dengan difusi. Sekalipun demikian, baik akulturasi maupun difusi, dapat mewakili suatu perubahan kebudayaan, yaitu sebagai jawaban atas terjadinya penyebaran (transmision) kebudayaan di kalangan kelompok-kelompok. Dalam hubungan itu Herskovits (1948) dalam Purwanto (2000:105) bahwa dalam memecahkan masalah itu, lebih mendasarkan atas pertimbangan bahwa difusi adalah suatu penyebaran kebudayaan yang telah terjadi to be achieved cultural transmission; sedangkan akulturasi adalah proses penyebaran kebudayaan is cultural transmission in process.
Dalam salah satu tulisannya Thurnwarld (1932) dalam Purwanto (2000:106), bahkan mengatakan bahwa akulturasi “ Acculturation is a process, not an isolated event”. Sebagai implikasi dari pernyataannya itu, ia lebih menekankan suatu proses yang terjadi pada tingkat individual, karenanya suatu proses adaptasi terhadap kondisi kehidupan baru itulah yang disebut dengan akulturasi.
Dalam pada itu, istilah akulturasi juga sering digunakan untuk membahas berbagai hal yang berkaitan dengan penyesuaian individu terhadap suatu budaya yang baru, seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1990:91), bahwa akulturasi atau culture contact, mempunyai berbagai arti diantara para sarjana antropologi, tetapi semua sepakat bahwa konsep itu mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing ini lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Pendapat Koentjaraningrat tersebut memberi pemahaman bahwa akulturasi merupakan proses sosial untuk mengakomodasi dan mengintegrasikan unsur kebudayaan asing ke dalam kebudayaan sendiri tanpa kehilangan kepribadian kebudayaan sendiri. Dalam hal ini Koentjaraningrat (1990:248) mencontohkan pada sebuah kasus bahwa sejak dahulu kala dalam sejarah kebudayaan manusia ada gerak migrasi, gerak perpindahan dari suku-suku bangsa di muka bumi yang menyebabkan pertemuan antara kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda dan sebagai akibatnya individu-individu dalam kebudayaan itu di hadapkan dengan kebudayaan asing.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa akulturasi diartikan percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi (KUBI, 2001:24). Suyono (1985:15), menyatakan bahwa akulturasi merupakan pengembilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang berasal dari pertemuan dua atau beberapa kebudayaan yang saling berhubungan atau bertemu. Sedangkan (Lauer, 1993:403) memberi pengertian akulturasi adalah meliputi fenomena yang dihasilkan sejak kedua kelompok atau individu yang berbeda kebudayaan mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti perubahan pola kebudayaan asli dari salah satu atau kedua kelompok itu. Dohrenwend dan Smith (1962) menyatakan bahwa individu lebih terakulturasi dalam menerima norma-norma, dan cepat mengikuti segala aktivitas struktural pada suatu kebudayaan baru (Tangkudung, 2000:29).
Berbagai pendapat para ahli tersebut menganai akulturasi dapat dipahami bahwa akulturasi lahir apabila kontak antara dua kebudayaan atau lebih itu berlangsung terus menerus dengan intensitas yang cukup. Menurut Joyomartono (1991:41), akulturasi sebagai akibat kontak kebudayaan ini dapat terjadi dalam salah satu kebudayaan pesertanya tetapi dapat pula terjadi di dalam kedua kebudayaan yang menjadi pesertanya. Akulturasi memiliki makna yang berbeda dengan difusi. Suatu kebudayaan dapat mengambil anasir kebudayaan lain tanpa terjadinya akulturasi.
Terkait dengan persoalan tingkat intensitas perpaduan dua kebudayaan atau lebih, para ahli antropologi mengajukan beberapa istilah yaitu: (1) substitusi; (2) sinkretisme; (3) adisi; (4) dekulturasi; (5) orijinasi; dan (6) penolakan (Haviland, 1988:263).
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Haviland tersebut, maka penjabarannya sebagai berikut:
1. Substitusi, ialah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bahwa unsure atau kompleks unsure-unsur kebudayaan yang ada sebelumnya diganti dengan unsure-unsur baru yang memenuhi fungsinya, yang melibatkan perubahan structural dalam tingkat yang lebih kecil.
2. Sinkretisme, ialah istilah untuk menunjukkan adanya unsur-unsur lama bercampur dengan yang baru dan membentuk sebuah sistem baru. Dalam hal ini kemungkinan terjadi adanya perubahan yang berarti.
3. Adisi, yaitu istilah untuk menunjukkan tingkat perpaduan kebudayaan, dimana unsure atau kompleks unsure-unsur baru ditambahkan pada yang lama. Dalam hal ini mungkin terjadi atau tidak terjadi adanya perubahan struktural.
4. Dekulturasi, ialah istilah untuk menunjukkan tingkat perpaduan kebudayaan, dimana bagian substansi sebuah kebudayaan mungkin hilang.
5. Orijinasi, ialah istilah untuk menunjukkan tingkat perpaduan kebudayaan, dimana ada unsure-unsur baru untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru yang timbul karena perubahan situasi.
6. Penolakan, ialah istilah yang digunakan untuk menunjukkan kondisi dimana perubahan mungkin terjadi begiotu cepat, sehingga sejumlah besar orang tidak dapat menerimanya. Kondisi semacam ini dapat menimbulkan penolakan total, pemberontakan, atau kebangkitan.
PENYELIDIKAN AKULTURASI DALAM ANTROPOLOGI
Didalam dunia antropologi, persoalan mengenai proses perubahan kebudayaan merupakan suatu persoalan pokok sejak zaman lahirnya ilmu ini. Pada mulanya perubahan kebudayaan dianggap sebagai akibat adanya suatu kekuatan yang terdapat didalam inti dari tiap-tiap kebudayaan di dunia. Kekuatan yang dimaksud didalam tiap-tiap kebudayaan adalah kekuatan evolusi. Disamping itu, timbul juga anggapan bahwa proses perubahan kebudayaan itu adalah suatu akibat adanya suatu gerak persebaran dan perpaduan kembali dari kebudayaan-kebudayaan yang ada dimuka bumi ini yang dikenal dengan istilah difusi.
Dalam perkembangan selanjutnya, telah timbul lagi suatu penyelidikan baru yang mengkhususkan perhatiannya kepada proses-proses yang terjadi apabila ada dua kebudayaan berpadu. Menurut Koentjaraningrat (1958:439-440) ada tiga alasan timbulnya penyelidikan baru yaitu: (a) bertambahnya kegiatan field work antropologi yang pada akhir abad ke 19 dan permulaan abad ke 20 mulai dilakukan oleh sarjana yang berkahlian itu, memberikan kepada dunia ilmiah suatu pengertian yang mat penting, ialah pengertian bahwa semua masyarakat dan kebudayaan yang hidup itu selalu berubah dan tak ada yang bersifat statis; (b) gejala yang dilihat oleh para sarjana antropologi bahwa banyak karangan etnografi itu tidak cocok dengan kenyataan kehidupan masyarakat dari bangsa yang terlukis dalam etnografi. Suatu karangan etnografi membukukan suatu kebudayaan pada suatu saat yang tertentu, sedangkan dalam kenyataan hidup, kebudayaan berubah terus. Gejala itu telah menambah pengertian para sarjana bahwa semua masyarakat dan kebudayaan yang hidup selalu berubah dan tak ada yang bersifat statis; (c) para sarjana antropolpogi melihat bahwa dengan bertambah luas dan intensifnya persebaran pengaruh kebudayaan “Barat” ke semua pelosok dimuka bumi iji, mulai pada akhir abad ke 19 dan permulaan abad ke 20, hampir tidak ada lagi suatu kebudayaan yang asli dan yang terpencil dari pengaruh kebudayaan “Barat”.
Kesadaran akan dinamisnya suatu masyarakat dan kebudayaan, sehingga menyebabkan timbulnya penyelidikan-penyelidikan mengenai proses perubahan dinyatakan dengan tegas oleh seorang sarjana antreopologi yang terkenal B. Malinowski, yang menyatakan bahwa; “A new branch of anthropology must sooner or later be started: the anthropology of the changing Native. Nowadays, when we are intensely interested, through the new anthropology theory in the problem of contact and difusion, it seems incredible that hardly any exhaustive studies have been undertaken on the question of how European influence is being diffused into native communities (Malinowski, 1929:22-34).
Perubahan masyarakat dan kebudayaan yang merupakan perpaduan antara berbagai kebudayaan, timbul terutama di negara-negara Eropa yang mempunyai daerah-daerah jajahan atau di negeri Amerika Serikat yang mempunyai didalam wilayahnya penduduk dari suku-suku bangsa Indian. Di Inggris misalnya, penyelidikan serupa disebut penyelidikan tentang culture contact di Amerika lebih banyak dipergunakan sebutan penyelidikan acculturation (Herskovit, 1948:538; Beals, 1953:621-624).
Para sarjana antropologi mulai memperhatikan masalah akulturasi dimulai kira-kira tahun 1910, dengan melakukan penyelidikan dan melukiskan berbagai proses perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan dari berbagai suku bangsa Indian penduduk asli Amerika yang disebabkan oleh karena pengaruh kebudayaan orang “kulit putih” dan juga berbagai suku bangsa di Afrika, Oceania, Filipina dan Indonesia, akibat pengaruh kebudayaan bangsa-bangsa Eropa (Keesing,1953:19).
Didalam masa kira-kira setelah tahun 1920, publikasi mengenai akulturasi yang merupakan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh para sarjana antropologi selalu bertambah diantaranya yang ditulis oleh E.W Gifford, menulis tentang gejala akulturasi pada penduduk kepulauan Tonga di Polinesia (1924); F.M. Keesing tentang akulturasi pada orang Maori (1928); E.C. Parson tentang pengaruh kebudayaan Spanyol pada kebudayaan orang Indian di Arizona (1928); R. Redfield tentang pengaruh kebudayaan Spanyol kepada kebudayaan suku-suku bangsa penduduk asli Mexico (1929); M. Hunter tentang ketegangan-ketegangan dalam masyarakat suku bangsa Pondo di Afrika Selatan karena tekanan penjajahan dan pengaruh kebudayaan bangsa Inggris (1936); D.N. Majumdar tentang pengaruh kebudayaan orang Eropa terhadap kehidupan masyarakat asli di India (1937); Sol Tax tentang soal akulturasi pada penduduk asli dinegara Guatemala (1937); H.I. Hogbin tentang soal akulturasi pada penduduk asli kepulauan Solomon di Melanesia (1939) (Koentjaraningrat, 1958:441).
Karangan-karangan para sarjana antropologi tersebut, menurut Koentjaraningrat (1958:441-442) selain bersifat deskriptif juga ada yang bersifat teoritis. Namun kebanyakan dari karangan tersebut sebagian besar dalam bentuk deskriptif yang hanya melukiskan satu peristiwa akulturasi yang konkrit pada satu atau beberapa kebudayaan tertentu yang sedang mendapat pengaruh kebudayaan lain. Di dalam karangan itu, hal-hal yang dilukiskan antara lain bagaimanakah dan didalam keadaan apakah sesuatu kebudayaan asli itu dimasuki pengaruh kebudayaan asing; apakah unsur-unsur kebudayaan asing yang diambil oleh kebudayaan asli dan unsur-unsur kebudayaan asing apakah yang ditolak; melalui saluran apakah dan pelapisan apakah dalam masyarakat asli masuk unsur kebudayaan asing; bagaimana reaksi, sikap dan perasaan para individu pendukung kebudayaan asli terhadap unsur kebudayaan asing; bagaimanakah masyarakat asli dapat menyesuaikan dan mengasimilasikan unsur-unsur kebudayaan asing tersebut.
Sementara itu, karangan-karangan tentang akulturasi yang bersifat teoritis, artinya karangan-karangan yang mengabstraksikan dari banyak peristiwa-peristiwa akulturasi beberapa paham umum mengenai akulturasi. Menurut Koentjaraninggart, karangan-karangan akulturasi secara abstrak sudah ada sejak tahun 1910 walaupun belum mempunyai dasar yang kuat, misalnya karangan G. Sergi (1911) tentang pengaruh yang berbeda-beda kekuatannya dari suatu kebudayaan asing pada berbagai adapt-istiadat dalam suatu kebudayaan asli, karangan O.L. Triggs (1912) tentang runtuhnya kebudayaan asli yang kena pengaruh kebudayaan asing, kemudian karangan R.R. Marett (1918) tentang alam pikiran suatu bangsa asli yang kena pengaruh kebudayaan asing. (Koentjaraningrat (1958:442).
MASALAH POKOK KAJIAN AKULTURASI
Menurut Koentjaraningrat (1958:449-450), bahwa untuk mengkaji proses akulturasi dapat menggunakan pendekatan lima prinsip, yaitu: (1) Principle of integration atau prinsip integrasi yaitu suatu proses dimana unsur-unsur yang saling berbeda dari kebudayaan mencapai keselarasan dalam kehidupan masyarakat; (2) Principle of function atau prinsip fungsi, yaitu unsur-unsur yang tidak akan mudah hilang, apabila unsur-unsur itu mempunyai fungsi yang penting dalam masyarakat; (3) Principle of early learning, sebagai prinsip yang terpenting dalam proses akulturasi, yang menyatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan yang dipelajari paling dahulu, pada saat si individu pendukung kebudayaan masih kecil, akan paling sukar diganti oleh unsur kebudayaan asing; (4) Principle of utility, yaitu suatu unsur baru yang mudah diterima, bila unsur itu mempunyai guna yang besar bagi masyarakat; (5) Principle of concretness atau prinsip sifat konkrit yaitu unsur-unsur konkrit lebih mudah hilang diganti dengan unsur-unsur asing, terutama unsur-unsur kebudayaan jasmani, benda, alat-alat dan sebagainya.
Dalam ilmu antropologi, terutama yang membahas masalah akulturasi, berbagai hal yang berkaitan dengan pertemuan dua kebudayaan atau lebih, sejak lama telah diocoba untuk dirumuskan. Selain membahas masalah metode untuk mengobservasi, mencatat dan mendeskripsikan suatu proses akulturasi. Ada empat masalah pokok yang berkaitan dengan kajian akulturasi yaitu: (1)unsur-unsur kebudayaan asing apakah yang mudah diterima atau sukar diterima; (2)unsur-unsur kebudayaan apakah yang mudah diganti atau diubah oleh kebudayaan asing; (3) individu-individu manakah yang cepat menerima unsur-unsur kebudayaan asing, atau sebaliknya; (4) berbagai ketegangan dan krisis sosial sebagai akibat terjadinya akulturasi (Purwanto, 2000:186).
Menurut Purwanto (2000:187), berbagai unsur kebudayaan asing yang konkret sifatnya, cenderung mudah diterima, misalnya beraneka jenis peralatan yang cara pemakaiannya mudah dipraktekkan. Demikian pula halnya dengan unsure-unsur kebudayaan asing yang ternyata memiliki manfaat besar pada kebudayaan penerima, seperti sepeda untuk mempercepat perjalanan atau membantu mengangkut hasil bumi. Unsur-unsur kebudayaan yang memiliki fungsi terjaring luas dalam suatu masyarakat, biasanya sangat sukar digantikan oleh unsure-unsur kebudayaan asing, misalnya system kekarabatan. Demikian pula berbagai unsur-unsur kebudayaan yang telah dipelajari seseorang pada awal sosialisasinya, akan sukar digantikan oleh unsure-unsur kebudayaan asing, misalnya kebiasaan makan nasi akan sukar digantikan dengan makan roti. Begitupula dengan unsure-unsur kebudayaan yang berkaitan dengan, termasuk berbagai jenis upacara adat.
Dalam proses akulturasi, ada berbagai alasan berkaitan dengan siapakah individu-individu yang cepat atau lambat menerima akulturasi. Menurut Purwanto (2000:187), tidak selalu sepenuhnya tepat bahwa orang muda lebih responsive daripada orang tua. Cepat atau lambatnya seseorang menerima unsur-unsur kebudayaan lain, seyogyanya bukan hanya dikaitkan dengan jenis unsur-unsur kebudayaan asing, tetapi juga berbagai latar belakang yang melingkari diri seseorang dan kepentingan apa yang terkait.
Akhir-akhir ini, perkembangan yang pesat terhadap studi akulturasi, telah menyebabkan pesatnya perkembangan ruang lingkup dan metedologi. Bahkan menurut Koentjaraningrat (1958:446), bahwa penyelidikan terhadap akulturasi telah menghasilkan berbagai kajian ilmiah terutama: (a) masalah tentang metode-metode untuk mengobservasi, mencatat dan melukiskan aktivitet-aktivitet dari suatu masyarakat yang sedang mengalami suatu proses akulturasi; (b) masalah mengenai proses-proses adaptasi dan asimilasi unsur-unsur kebudayaan asing, yang menyebabkan tumbuhnya teori-teori yang mencoba menerangkan unsur-unsur asing apakah yang sukar dan unsur-unsur asing apakah yang mudah masuk diasimilasikan ke dalam kebudayaan yang asli, dan sebaliknya teori-teori yang mencoba menerangkan unsur-unsur asli apakah yang sukar diganti dan unsur-unsur asli apakah yang mudah diganti oleh unsur-unsur kebudayaan asing; (c) masalah mengenai ketegangan-ketegangan dan krisis-krisis sosial sebagai akibat akulturasi yang menyebabkan timbulnya teori-teori tentang terjadinya dan latar belakang dari gerakan-gerakan taja adil; (d) masalah mengenai peranan individu dalam suatu masyarakat yang sedang mengalami proses akulturasi yang menyebabkan timbulnya teori-teori yang menerangkan alam jiwa dari para individu dalam suatu masyarakat serupa itu.
Masalah tentang ruang lingkup dan metode antara lain juga dikemukakan oleh Hunter-Wilson (1935), menganjurkan metode membandingkan golongan-golongan tertentu yang merupakan bagian dari suatu bangsa dan yang semuanya telah mendapat pengaruh kebudayaan asing. G. Wagner (1936), menekan bahwa suatu lukisan tentang suatu proses akulturasi yang sedang dialami oleh suatu bangsa adalah tidak lain suatu lukisan historis tentang suatu bagian kecil dari sejarah bangsa tersebut. Fortes juga menganjurkan suatu cara penyelidikan dengan langsung dapat memberikan pengertian tentang proses akulturasi yang terjadi dalam suatu masyarakat. Cara itu disebut metode repeated observations at interval, mewajibkan penyelidik mendatangi suatu masyarakat yang sedang mengalami pengaruh kebudayaan asing beberapa kali dengan waktu antara beberapa tahun. Sedangkan Malinowski (1945), menggunakan three-colum method yaitu mengklasifikasikan semua bahan keterangan sesuatu proses perubahan kebudayaan ke dalam tiga kolom yaitu pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing, perpaduan kedua bentuk kebudayaan dan akibat serta bentuk-bentuk baru yang menjelma (Koentjaraningrat, 1958:448).
Lebih lanjut Koentjaraningrat (1958:449) menjelaskan bahwa proses penerimaan unsur kebudayaan asing dalam suatu masyarakat ada yang mudah diterima dan ada juga yang sukar untuk diterima. Dalam hubungan ini Parson (1936:511) menjelaskan bahwa “ Why have these traits survived, why have other traits which we have reason to suppose were once a part of Zapotecan cultur not survived, and why have features or aspects of which we think as distrinctively Spanish traits not been adopted into the culture”.
Akulturasi itu sendiri merupakan proses sosial yang terjadi bila manusia dalam suatu masyarakat dengan suatu kebudayaan tertentu, dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan asing yang berbeda sifatnya. Unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam kebudayaan sendiri tanpa kehilangan kepribadian kebudayaan sendiri (Koentjaraningrat, 1990:91). Menurut Soekanto (1990:360), apabila pengaruh dari masyarakat lain diterima tidak karena paksaan maka hasilnya dinamakan demonstration effect. Proses penerimaan kebudayaan asing di dalam antropologi budaya disebut akulturasi. Jalan yang dilalui akulturasi menurut Soekanto, (1990:367-368), dapat dibedakan antara penyesuaian dari lembaga-lembaga kemasyarakatan dan penyesuaian dari individu yang ada dalam masyarakat. Meskipun ia sendiri menyatakan bahwa lembagalah suatu waktu mendapat penilaian tertinggi menjadi saluran utama.
Foster (dalam Koentjaraningrat, 1990:100-102) mengatakan bahwa proses akulturasi suatu kebudayaan terhadap kebudayaan asing sebagai berikut: (1) hampir semua proses akulturasi dimulai dari golongan atas yang biasanya tinggal di kota, lalu menyebar ke golongan-golongan yang lebih rendah di daerah pedesaan. Proses ini biasanya terjadi dengan perubahan sosial dan ekonomi; (2) perubahan dalam sektor-sektor ekonomi hampir selalu menyebabkan perubahn yang penting dalam asas-asas kehidupan kekarabatan; (3) penanaman tanaman untuk eksport dan perkembangan ekonomi uang merusak pola-pola gotong royong tradisional, dan karena itu berkembanglah sistem pengerahan tenaga kerja yang baru; (4) perkembangan sistem ekonomi uang juga menyebabkan perubahan dalam kebiasaan-kebiasaan makan, dengan segala akibatnya dalam aspek gizi, ekonomi maupun sosial; (5) proses akulturasi yang berkembang cepat menyebabkan berbagai pergeseran sosial yang tidak seragam dalam semua unsur dan sektor masyarakat, sehingga terjadi keretakan masyarakat; (6) gerakan-gerakan nasionalisme juga dapat dianggap sebagai salah satu tahap dalam proses akulturasi.
Untuk mengkaji proses penerimaan unsur-unsur kebudayaan asing dapat mengunakan pendekatan lima prinsip, yaitu: (1) berdasarkan teori yang dikemukakan oleh E.C. Parson (1936), yaitu principle of integration atau prinsip integrasi, yang kemudian dianut oleh A.L Krober (1948), yang mengemukakan suatu unsur kebudayaan asli tak mudah dapat diganti, apabila unsur itu telah diintegrasikan, seolah-olah menjadi satu di dalam suatu sistem; (2) Robert K. Merton (1949), mengungkapkan bahwa suatu unsur itu tak akan mudah hilang, apabila unsur itu mempunyai fungsi penting di dalam masyarakat. Teorinya berdasarkan principle of function atau prinsip fungsi sebagai prinsip terpenting di dalam proses akulturasi; (3) selanjutnya yang berdasarkan principle of early learning, dengan anggapan bahwa unsur-unsur kebudayaan yang dipelajari paling dahulu, di dalam masa si individu pendukung kebudayaan itu masih berumur anak-anak, akan paling sukar diganti oleh unsur-unsur kebudayaan asing, yang dianut antara lain oleh E.M Brunner, M. Sapiro, M.J. Herskovits; (4) ada pula yang beranggapan bahwa suatu unsur asli akan sukar hilang, atau suatu unsur baru akan mudah diterima, apabila unsur-unsur-unsur itu mempunyai guna yang besar bagi masyarakat. Teori ini berdasarkan prinsip guna atau principle of utility, dianut oleh hampir semua sarjana; (5) ada pula yang beranggapan bahwa unsur-unsur yang konkrit itu lebih mudah hilang diganti dengan unsur-unsur asing terutama unsur-unsur jasmani, benda-benda, alat-alat dan sebagainya. Teori ini di dasarkan principle of concreteness atau prinsip sifat konkrit, dianut oleh hampir semua sarjana (Koentjaraningrat, 1958:459-450).
Kajian-kajian teori akulturasi akhir-akhhir ini, perkembangannya pesat telah menyebabkan pesatnya perkembangan ruang lingkup dan metodelogi. Kajiannya dijadikan dasar pengungkapan fenomena hubungan-hubungan sosial, tidak hanya terbatas antar ras, bangsa dan negara tetapi juga antar kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal dalam suatu lingkungan atau daerah yang sama. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Lauer (1993:403); Sapardi (1991:20), yang menyatakan bahwa pada dasarnya akulturasi merupakan fenomena yang dihasilkan sejak kedua kelompok atau individu yang berbeda kebudayaan mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti perubahan pola kebudayaan asli dari salah satu atau kedua kelompok itu.
PENELITIAN MASALAH AKULTURASI
Penelitian akulturasi yang dilakukan oleh semua ahli antropologi di masa lalu, biasanya dilakukan berdasarkan suatu kerangka kerja yang hampir sama, baik di negara-negara persemakmuran, di Amerika Serikat maupun di Amerika Latin. Kecuali di Inggris kajian tentang akulturasi lebih dikenal dengan studi mengenai kontak-kontak kebudayaan (cultur contact) (Purwanto,2000:102). Perhatian terhadap studi akulturasi baik di Amerika bermula dari reaksi terhadap suatu upaya rekontruksi “memory cultur”. Sementara itu di Inggris, minat terhadap fenomena kontak-kontak kebudayaan, banyak dilakukan oleh para fungsionalisme, tetapi umumnya bermula dari reaksi terhadap studi tentang “memory culture” Lebih lanjut di jelaskan oleh Purwanto (2000:103) bahwa rasa tertarik untuk mengkaji kontak-kontak kebudayaan disebabkan oleh: (a) urgensi aplikasi praktis dari ilmu antropologi di daerah jajahan; (b) sebagai bagian dari reaksi akan keterbatasan akan pendekatan fungsionalisme.
Dalam pada itu, menurut Purwanto (2000:103) adanya perbedaan dalam kajian terhadap studi akulturasi, agaknya kegunaan studi akulturasi di Inggris, Perancis dan Belanda lebih ditujukan guna memecahkan masalah-masalah praktis di daerah jajahan, sedangkan di Amerika, perkembangan pesat dari studi akulturasi lebih berkaitan dengan berbagai masalah sosial yang timbul sebagai akibat masa depresi ekonomi (malaise). Lebih lanjut menurut Purwanto (2000:104) di Amerika, akulturasi sebagai lapangan studi displin antropologi dapat dikatakan masih relatif baru, yaitu dalam pertemuan tahunan di American Anthropological Association tahun 1936 yang membuahkan Memorandum for the Study of Acculturation yang dieditor oleh Robert Redfield, Ralph Linton dan Melville J. herskovits.
Persoalan-persoalan terpenting yang termuat dalam memorandum tersebut antara lain (Koentjaraningrat, 1958:444) tentang:
1. Pembatasan dari lapangan penyelidikan akulturasi dan soal defenisi dari faham akulturasi
2. Metode-metode untuk mengumpulkan bahan tentang suatu proses akulturasi
3. Proses akulturasi yang harus diperhatikan oleh seorang penyelidik dalam menganalisa hal-hal seperti masalah sub daerah khusus dalam daerah dari suatu kebudayaan asli terutama yang mendapat pengaruh kebudayaan asing; lapisan masyarakat khusus dalam masyarakat dari suatu kebudayaan asli yang terutama mendapat pengaruh kebudayaan asing; hubungan persahabatan, permusuhan, penjajahan atau lain antara bangsa yang saling berpadu kebudayaannya; seleksi dari unsur-unsur dalam suatu pengaruh kebudayaan asli yang tak dapat diganti dengan unsur-unsur baru dari kebudayaan asing; proses penerimaan dari unsur-unsur kebudayaan asing oleh kebudayaan asli.
4. Peranan individu dalam suatu proses akulturasi, artinya mengenai sijap, cara berpikir, perasaan dari individu yang hidup dalam suatu masyarakat yang sedang mengalami suatu akulturasi
5. Akibat dari sesuatu peristiwa akulturasi pada sesuatu masyarakat, terutama mengenai reaksi dari seluruh bagian-bagian masyarakat terhadap peristiwa akulturasi yang sedang dialami.
Masalah mengenai ketegangan dan krisis-krisis sosial sebagai akibat akulturasi, antara lain dianut oleh W.H.R. River (dalam Koentjaraningrat, 1958:451), tentang berkurangnya penduduk Kepulauan Melanesia yang sedang mengalami krisis masyarakat sebagai akibat akulturasi. Demikian juga sarjana Amerika, telah sadar akan adanya krisis-krisis sosial dalam kehidupan suku-suku bangsa Indian di Amerika. Di Amerika penyelidikan-penyelidikan terhadap akulturasi ditinjau dari sudut culture and personality, ini, menurut Koentjaraningrat (1958:451) dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:
1. Penyelidikan-penyelidikan yang hendak mengetahui apakah sebabnya didalam suatu masyarakat itu ada individu-individu yang kolot, yang tak suka menerima unsure-unsur kebudayaan asing, sedangkan ada individu-individu yang maju yang cepat menerima unsure-unsur kebudayaan asing.
2. Penyelidikan-penyelidikan yang hendak menyelidiki apakah yang menyebabkan perbedaan-perbedaan diantara isi alam jiwa dari pada individu-individu yang termasuk golongan kolot, dengan isi alam jiwa dari pada individu-individu yang termasuk golongan maju.
Beberapa contoh penyelidikan akulturasi yang dipandang dari sudut individu yang termasuk golongan pertama adalah yang dilakukan oleh E.Z.Vogt (1951) dalam Koentjaraningrat (1958:452) yang menyelidiki 12 orang bekas pejuang didalam tentara Amerika Serikat yang merupakan anggota suku bangsa Navaho dari Negara New Mexico. Dari ke 12 orang tersebut ada beberapa yang telah kembali hidup seperti dahulu sebagai pengembala domba, dan ada beberapa yang hidup tak teratur dan seolah-olah tak dapat kembali lagi kedalam kehidupan masyarakat, dan ada beberapa yang telah meninggalkan masyarakat Navaho dan hidup mendapat pekerjaan ditengah-tengah masyarakat orang Amerika “kulit putih”. Objek dari penyelidikan Vogt, adalah ke 12 orang individu Navaho tersebut, semua mempunyai latar belakang yang sama, semua masuk tentara pada masa yang yang sama dan semua juga keluar dari tentara sesudah perang pada masa yang sama. Objek itu diselidiki dengan tiga metode yaitu metode life-history approach, metode pengujian isi alam jiwa dengan Rorschact test, dan metode pengujian isi alan jiwa dengan thematic apperception test.
Hasil yang diperoleh atas penyelidikan tersebut Vogt berkesimpulan bahwa sikap berbeda-beda dari ke 12 orang Navaho tersebut disebabkan karena isi jiwa dan tabiat yang berlainan. Mereka yang dahulu dalam masyarakat Navaho dapat mengalami suatu kepuasan hidup, datang kembali dan hidup secara adat Navaho kolot; mereka yang dahulu dalam masyarakat Navaho mengalami berbagai ketegangan dan rasa tak puas dan yang disamping itu dapat mudah mempelajari ara-cara hidup baru orang “Barat”, akhirnya mereka yang dahulu didalam masyarakat Navaho mengalami berbagai ketegangan dan rasa tak puas, tetapi yang tak mudah dapat mempelajari hal-hal baru, mereka itulah yang sekarang sebagai bekas pejuang mengalami kehidupan tak teratur.
Contoh dari suatu penyelidikan yang termasuk golongan kedua adalah penyelidikan yang dilakukan G.D. Spindler (1955) dalam Koentjaraningrat (1958:453) yang mempelajari suatu sample dari 68 orang anggota suku bangsa Menomini, yang tinggal pada suatu reservation terletak di daerah antara danau besar Superior dan Michigan di negara Michigan, Amerika Serikat untuk mempelajari perbedaan-perbedaan diantara isi alan jiwa dari individu-individu yang termasuk golongan kolot, dengan isi alam jiwa dari individu yang termasuk maju. Suku bangsa Monomini adalah suatu bangsa yang telah berkenalan dengan kebudayaan “Barat” sejak 300 tahun yang lalu. Dalam melakukan penyelidikan tersebut Spindler membagi ke 68 orang Menomini ke dalam lima golongan berdasarkan 23 unsur kebudayaan. Unsur-unsur itu antara lain pendidikan, penakaian bahasa Monomini di dalam rumah tangga.
PENYELIDIKAN MENGENAI AUKULTURASI DI INDONESIA
Penelitian tentang akulturasi dalam masyarakat Indonesia, menurut Koentjaraningrat (1958:454), pertama kali dilakukan oleh para sarjana Ilmu Filologi dan Ilmu Arkeologi dan dikalangan para sarjana Antropologi Budaya masalah ini kurang mendapat perhatian, meskipun dalam waktu yang lama masalah akulturasi mendapat perhatian mereka juga. Adanya perhatian dari para sarjana Ilmu Filologi dan Arkeologi terhadap soal akulturasi di Indonesia karena mereka tertarik akan adanya perpaduan antara kebudayaan Hindu dengan kebudayaan Indonesia dan soal perpaduan antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Indonesia. Metode yang digunakan dalam menyelidiki perpaduan berbagai kebudayaan tersebut dilakukan dengan cara menelusuri dari manuskrip-manuskrip kuno, dari prasasti-prasasti dan hasil-hasil seni bangunan dan seni pahat.
Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh ahli Filologi dan ilmu archeology tersebut, mereka menyimpulkan bahwa: (1) kebudayaan yang sedang ada dalam keadaan berpadu itu lepas dari individu-individu yang memangkunya; (2) kebudayaan-kebudayaan yang sedang ada dalam keadaan terpadu itu dari sudut unsure-unsur atau kompleks unsure-unsur yang terlepas (Keontjaraningrat, 1958:455).
Perhatian terhadap penyelidikan akulturasi di Indonesia, tidak hanya dilakukan oleh para sarjana Filologi dan ilmu archeology, tetapi juga dilakukan oleh para sarjana hukum adat seperti Snouck Hugronje dan Van Vollenhoven. Dimana dari hasil penyelidikannya mereka beranggapan bahwa kebudayaan manusia, masyarakat manusia, sistim hukum adatnya itu selalu berubah. Menurut Snouck Hugronje dan Van Vollenhoven, dalam perubahan hukum adat tersebut ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan adalah: (1) bagaimanakah proses perubahan hukum adat dapat diketahui oleh yang berwajib; (2) sampai dimanakah kemungkinan berbagai sistim hukum adat dari berbagai daerah hukum adat yang berbeda-beda itu, dapat berubah dan berkembang kearah kesatuan dan bagaimana pihak berwajib dapat dengan sadar mengendali proses perobahan itu (Koentjaraningrat, 1958:456).
Lebih lanjut dikatakan oleh Van Vollenhopen (dalam Koentjaraningrat, 1958:456) bahwa perubahan hukum adat yang berbeda-beda itu, dengan unifikasi hukum adat hanya mungkin dilaksanakan dalam batas-batas satu rechtsbekken. Bahkan menurut B. Ter Haar (dalam Koentjaraningrat, 1958:455), hakim merupakan tokoh penting didalam perkembangan hukum adat kearah unifikasi. Didalam memutuskan suatu perkara hakim harus memperhatikan cara berpikir dan keadaan lingkungan sosial dari persekutuan hokum yang bersangkutan. Dengan berubahnya keadaan masyarakat maka berubah pula cara hakim memutuskan perkara hukum adat dalam peradilan.
Perhatian para sarjana antropologi budaya terhadap akulturasi di Indonesia, dibandingkan dengan sarjana lainnya seperti sarjana filologi, archeology dan hukum adat masih belum begitu mengembirakan dalam artian dilihat dari jumlah sarjana menggeluti masalah ini hanya beberapa orang saja itupun hanya dilakukan secara sambil lalu. Salah satu contoh menurut Koentjaranigrat yang dilakukan oleh N. Adriani yang merupakan sarjana bahasa dan sastra Indonesia yang menterjemahkan kitab-kitab suci dan kitab gereja agama Nasrani di dalam bahasa-bahasa daerah di Sulawesio Tengah, termasuklah karangan-karangan tentang kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa penduduk Sulawesi Tengah yang ditulisnya dengan sambil lalu dan tidak menjadi tujuan utama. (Koentjaraningrat, 1958:457).
Karangan tentang akulturasi yang benar-benar ditulis oleh seorang sarjana antropologi budaya baru muncul pada antara tahun 1925-1929 yang dilakukan oleh B.J.O Schrieke. Dari hasil penyelidikannya yang dilakukan beliau, dapat menyimpulkan beberapa anggapan teoritis yang ada padanya yaitu: (1) didalam membicarakan soal-soal akulturasi, beliau tidak mengkhususkan pada soal-soal perpaduan kebudayaan antara kebudayaan-kebudayaan Indonesia asli dan kebudayaan orang orang Eropa, tetapi kepada soal-soal perpaduan antara kebudayaan-kebudayaan pada umumnya; (2) beliau tidak memakai istilah-istilah acculturation atau culture contact tetapi istilah seperti culture ontleening dan cultuur antwikkeling; (3) beliau sebagai penganut faham fungsionalisme beranggapan bahwa suatu unsure kebudayaan asing itu hanya diterima oleh sesuatu kebudayaan asli, apabila unsure itu dapat diolah kedalam suatu unsure asli; (4) didalam membicarakanpersoalan apakah suatu unsure itu asal dari kebudayaan asli atau dari kebudayaan asing, terlebih dahulu si penyelidik harus tahu bagaimanakah unsure itu bisa diterima oleh kebudayaan yang bersangkutan (Koentjaningrat, 1958:458).
Sarjana antroipologi budaya lainnya yang menulis tentang akulturasi di Indonesia antara lain AC.Kruyt dan A.W. Nieuwenhuis, yang menulis tentang akulturasi kebudayaan pada penduduk daerah Poso di Sulawesi Tengah dan kebudayaan suku bangsa penduduk penduduk asli Kalimantan. Disamping itu, sarjana antropologi budaya lain yang juga menulis tentang akulturasi di Indonesia seperti J.P. Duyvendak pada tahun 1935 yang menulis tentang ethnologi Indonesia. Perhatian terhadap akulturasi setelah perang dunia kedua semakin besar terutama yang dilakukan oleh J.Van Baal (1948-1949) dimana beliau beranggapan krisis masyarakat itu disebabkan karena usaha orang Indonesia untuk menyesuaikan diri dengan zaman baru (Koentjaraningrat, 1958: 461-463).
Dari sudut pandang ekonomi tentang akulturasi di Indonesia juga ditulis oleh D.H. Burger (1948-1950), beliau beranggapan bahwa krisis yang sekarang sedang dialami masyarakat Indonesia itu sebagai suatu akibat dari suatu perubahan dari susunan perekonomian yang sederhana ke suatu susunan perekonomian yang kompleks. Perubahan itu menurut Burger (dalam Koentjaraningrat, 1958:463) melalui empat zaman:
1. Zaman pertama, dimulai abad ke 17, hubungan antara masyarakat Jawa dengan orang Eropa melalui saluran antara Raja-Raja dengan Pedagang Belanda.
2. Zaman kedua, dimulai kira 1800, hubungan antara masyarakat Jawa dengan orang Eropa berlangsung melalui saluran para Bupati dengan pegaweai-pegawai Belanda.
3. Zaman ketiga, mulai pertengahan abad ke 19, hubungan antara masyarakat Jawa dengan kebudayaan Eropa berlangsung melalui saluran para Lurah dengan pegawai-pegawai Belanda.
4. Zaman keempat, mulai abad ke 20, hubungan antara masyarakatJawa dengan kebudayaan Eropa berlangsung melalui saluran antara rakyat dengan pegawai Belnda.
Sarjana Sosiologi seperti W.F. Wertheim, juga memandang peristiwa akulturasi di Indonesia sebagai suatu krisis masyarakat yang menimbulkan berbagai persoalan. Untuk memecahkan persoalan itu, ia menyarankan untuk mencari kembali secara mendalam sejarah dari proses perkembangan masyarakat Indonesia yang oleh beliau diistilahkan dengan mencari kembali “The social history of Indonesia” (Wertheim, 1956:vii).
Kajian tentang akulturasi pada saat ini terutama di Jawa sudah banyak dilakukan oleh para sarjana, baik dalam dan luar negeri. Salah satu penelitian yang cukup berpengaruh adalah penelitian yang dilakukan oleh Geertz (1989) pada masyarakat Jawa di Mojokuto. Dari hasil penelitiannya itu Geertz melahir suatu pandangan sinkretisme dalam kehidupan keagamaan orang Jawa yang dikembangkannya dalam dikotomi abangan-santri-priyayi untuk melihat pola hubungan sosio – religius masyarakat Jawa. Dalam hubungan itu Poetra (2001:350) mengatakan bahwa sebagian ahli antropologi menganggap sinkretisme sebagai salah satu dari tiga hasil sebuah proses akulturasi, yakni: (1) penerimaan (acceptance); (2) penyesuaian (adaptation); (3) reaksi (reaction).
WUJUD AKULTURASI DAN MEKANISME PERUBAHAN UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN DI INDONESIA
Wujud akulturasi kebudayaan yang berasal dari luar yang diterima dan dipakai oleh masyarakat Indonesia antara lain (http://www.e-dukasi.net/modul_online/MO_118/sej106_04.htm) sebagai berikut:
1. Bahasa
Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sansekerta yang dapat Anda temukan sampai sekarang dimana bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Sansekerta pada awalnya banyak ditemukan pada prasasti (batu bertulis) peninggalan kerajaan Hindu - Budha pada abad 5 - 7 M, contohnya prasasti Yupa dari Kutai, prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Tetapi untuk perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa Melayu Kuno seperti yang ditemukan pada prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya 7 - 13 M. Untuk aksara, dapat dibuktikan adanya penggunaan huruf Pallawa, kemudian berkembang menjadi huruf Jawa Kuno (kawi) dan huruf (aksara) Bali dan Bugis. Hal ini dapat dibuktikan melalui Prasasti Dinoyo (Malang) yang menggunakan huruf Jawa Kuno.
2. Religi/Kepercayaan
Sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum agama Hindu-Budha masuk ke Indonesia adalah kepercayaan yang berdasarkan pada Animisme dan Dinamisme. Dengan masuknya agama Hindu - Budha ke Indonesia, masyarakat Indonesia mulai menganut/mempercayai agama-agama tersebut. Agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia sudah mengalami perpaduan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, atau dengan kata lain mengalami Sinkritisme. Tentu Anda bertanya apa yang dimaksud dengan Sinkritisme? Sinkritisme adalah bagian dari proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan yang berbeda menjadi satu. Untuk itu agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia, berbeda dengan agama Hindu - Budha yang dianut oleh masyarakat India. Perbedaaan-perbedaan tersebut dapat Anda lihat dalam upacara ritual yang diadakan oleh umat Hindu atau Budha yang ada di Indonesia. Contohnya, upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu Bali, upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Hindu di India yang merupakan daerah asalnya .
3. Organisasi Sosial Kemasyarakatan
Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan, misalnyat dalam organisasi politik yaitu sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh India. Dengan adanya pengaruh kebudayaan India tersebut, maka sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia adalah bentuk kerajaan yang diperintah oleh seorang raja secara turun temurun. Raja di Indonesia ada yang dipuja sebagai dewa atau dianggap keturunan dewa yang keramat, sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya raja-raja yang memerintah di Singosari seperti Kertanegara diwujudkan sebagai Bairawa dan R Wijaya Raja Majapahit diwujudkan sebagai Harhari (dewa Syiwa dan Wisnu jadi satu). Pemerintahan Raja di Indonesia ada yang bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di India dan ada juga yang menerapkan prinsip musyawarah. Prinsip musyawarah diterapkan terutama apabila raja tidak mempunyai putra mahkota yaitu seperti yang terjadi di kerajaan Majapahit, pada waktu pengangkatan Wikramawardana.Wujud akulturasi di samping terlihat dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam sistem kemasyarakatan, yaitu pembagian lapisan masyarakat.
4. Sistem Pengetahuan
Wujud akulturasi dalam bidang pengetahuan, salah satunya yaitu perhitungan waktu berdasarkan kalender tahun saka, tahun dalam kepercayaan Hindu. Menurut perhitungan satu tahun Saka sama dengan 365 hari dan perbedaan tahun saka dengan tahun masehi adalah 78 tahun sebagai contoh misalnya tahun saka 654, maka tahun masehinya 654 + 78 = 732 M. Di samping adanya pengetahuan tentang kalender Saka, juga ditemukan perhitungan tahun Saka dengan menggunakan Candrasangkala. Candrasangkala adalah susunan kalimat atau gambar yang dapat dibaca sebagai angka. Candrasangkala banyak ditemukan dalam prasasti yang ditemukan di pulau Jawa, dan menggunakan kalimat bahasa Jawa salah satu contohnya yaitu kalimat Sirna ilang kertaning bhumi apabila diartikan sirna = 0, ilang = 0, kertaning = 4 dan bhumi = 1, maka kalimat tersebut diartikan dan belakang sama dengan tahun 1400 saka atau sama dengan 1478 M yang merupakan tahun runtuhnya Majapahit.
5. Peralatan Hidup dan Teknologi
Salah satu wujud akulturasi dari peralatan hidup dan teknologi terlihat dalam seni bangunan Candi. Seni bangunan Candi tersebut memang mengandung unsur budaya India tetapi keberadaan candi-candi di Indonesia tidak sama dengan candi-candi yang ada di India, karena candi di Indonesia hanya mengambil unsur teknologi perbuatannya melalui dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam kitab Silpasastra yaitu sebuah kitab pegangan yang memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan pembuatan arca dan bangunan. Kemudian dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat perbedaan. Bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah punden berundak-undak, yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Megalithikum yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Sedangkan fungsi bangunan candi itu sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi tersebut. Perkataan candi berasal dari kata Candika yang merupakan salah satu nama dewi Durga atau dewi maut, sehingga candi merupakan bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya raja-raja dan orang-orang terkemuka.
Dalam bahasa kawi candi berasal dari kata Cinandi artinya yang dikuburkan. Untuk itu yang dikuburkan didalam candi bukanlah mayat atau abu jenazah melainkan berbagai macam benda yang menyangkut lambang jasmaniah raja yang disimpan dalam Pripih. Dengan demikian fungsi candi Hindu di Indonesia adalah untuk pemujaan terhadap roh nenek moyang atau dihubungkan dengan raja yang sudah meninggal. Hal ini terlihat dari adanya lambang jasmaniah raja sedangkan fungsi candi di India adalah untuk tempat pemujaan terhadap dewa, contohnya seperti candi-candi yang terdapat di kota Benares merupakan tempat pemujaan terhadap dewa Syiwa. Sedangkan candi Budha di India hanya berbentuk stupa, sedangkan di Indonesia stupa merupakan ciri khas atap candi-candi yang bersifat agama Budha. Dengan demikian seni bangunan candi di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri karena Indonesia hanya mengambil intinya saja dari unsur budaya India sebagai dasar ciptaannya dan hasilnya tetap sesuatu yang bercorak Indonesia.
6. Kesenian
Wujud akulturasi dalam bidang kesenian terlihat dari seni rupa, seni sastra dan seni pertunjukan . Dalam seni rupa contoh wujud akulturasinya dapat dilihat dari relief dinding candi (gambar timbul), gambar timbul pada candi banyak menggambarkan suatu kisah/cerita yang berhubungan dengan ajaran agama Hindu ataupun Budha. Kisah-kisah yang terdapat dalam relief pada candi peninggal Hindu dan Budha mengemabil cerita asli, tetapi suasana kehidupan yang digambarkan oleh relief tersebut adalah suasana kehidupan asli keadaan alam ataupun masyarakat Indonesia. Dengan demikian terbukti bahwa Indonesia tidak menerima begitu saja budaya India, tetapi selalu berusaha menyesuaikan dengan keadaan dan suasana di Indonesia.
Dalam pada itu, wujud akulturasi dalam seni sastra dapat dibuktikan dengan adanya suatu ceritera/ kisah yang berkembang di Indonesia yang bersumber dari kitab Ramayana yang ditulis oleh Walmiki dan kitab Mahabarata yang ditulis oleh Wiyasa. Kedua kitab tersebut merupakan kitab kepercayaan umat Hindu. Tetapi setelah berkembang di Indonesia tidak sama proses seperti aslinya dari India karena sudah disadur kembali oleh pujangga-pujangga Indonesia, ke dalam bahasa Jawa kuno. Dan, tokoh-tokoh cerita dalam kisah tersebut ditambah dengan hadirnya tokoh punokawan seperti Semar, Bagong, Petruk dan Gareng. Bahkan dalam kisah Bharatayuda yang disadur dari kitab Mahabarata tidak menceritakan perang antar Pendawa dan Kurawa, melainkan menceritakan kemenangan Jayabaya dari Kediri melawan Jenggala.
Di samping itu juga, kisah Ramayana maupun Mahabarata diambil sebagai suatu ceritera dalam seni pertunjukan di Indonesia yaitu salah satunya pertunjukan Wayang. Seni pertunjukan wayang merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia sejak zaman prasejarah dan pertunjukan wayang tersebut sangat digemari terutama oleh masyarakat Jawa. Wujud akulturasi dalam pertunjukan wayang tersebut terlihat dari pengambilan lakon ceritera dari kisah Ramayana maupun Mahabarata yang berasal dari budaya India, tetapi tidak sama persis dengan aslinya karena sudah mengalami perubahan. Perubahan tersebut antara lain terletak dari karakter atau perilaku tokoh-tokoh ceritera misalnya dalam kisah Mahabarata keberadaan tokoh Durna, dalam cerita aslinya Dorna adalah seorang maha guru bagi Pendawa dan Kurawa dan berperilaku baik, tetapi dalam lakon di Indonesia Dorna adalah tokoh yang berperangai buruk suka menghasut.
DAFTAR PUSTAKA
Beals, R. 1953. Acculturation, Antrhropology Today, Chicago: University of Chicago Press.
Budhisantoso, S. 1997. Pembangunan Nasional Indonesia Dengan Berbagai Persoalan Budaya Dalam Masyarakat Majemuk, Dalam: E.K.M. Masinambow (ed), Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, Jakarta: AAI Bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia.
Geertz, Clifford. 1989. Mojokuto, Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa, Jakarta: Grafiti Press.
Herskovits, M.J. 1948. Man and His Works, The Sciences of cultural Anthropology, New York: Alfred A. Knopf.
Joyomartono, Mulyono. 1991. Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat Dalam Pembangunan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Kesing, Roger M. & Felix M Kesing. 1953. New Perspectives in Cultural Anthropology, New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc/
Koentjaraningrat. 1958. Metode-Metode Antropologi dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia.
-------------------. 1990. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djembatan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia( KUBI). 2001. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Lauer,Robert.H.1993. Perspektif Tentang Perubahan Sosial(Terjemahan), Jakarta: Rineka Cipta.
Malinowski. Bromslaw. K. 1929. A. Scientific Theory of Culture and other Essay, New York: Oxford University.
Parson, Talcott. 1936. Essays in Sociological Theory, New York: The Free Press.
Purwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Putra, Heddy Sri Ahimsa 2001. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra, Yogyakarta: Galang Press.
Sapardi. 1991. Pengaruh Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Rumah Tangga Petani di Kecamatan Parindu, Jakarta: Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Suyono, Ariyono. 1985. Kamus Antropologi, Jakarta: Akademika Pressindo.
Soekanto,Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, Edisi Baru, Jakarta: Rajawali Press.
Tangkudung, Joanne. 2000. Adaptasi Etnik Pendatang Terhadap Kebudayaan Sunda Menurut Ciri-Ciri Sosiografis,Bandung: Tesis Program Pascasarjana Unpad.
Wertheim, W.F. 1956. Indonesian society in transition. A. Studi of social change, Bandung: W. van Hoeve. IAD.
Wujud Akulturasi Kebudayaan Hindu-Budha dengan Kebudayaan Indonesia, http://www.edukasi.net/modul_online/MO_118/sej106_04.htmMODERNISASI DAN POSTMODERNISASI:
Sebuah Perdebatan Menuju Masyarakat Komunikatif dan Relevansinya bagi Pemahaman Pembangunan
Oleh : Arkanudin
Modernisasi pada awalnya dianggap hal yang biasa dan wajar, namun dalam perkembangannya ia telah melahirkan berbagai konsekwensi yang bersifat negatif atau buruk terhadap kehidupan manusia dan alam. Atas dasar segala konsekwensi tersebut, modernisasi telah memicu lahirnya berbagai gerakan postmodernisme yang ingin merivisi paradigma modern dan mempersoalkan kembali nilai-nilaiirasionalitas, tradisionalitas dan menganggap rasionalitas modernisme hanyalah mistifikasi refresif belaka.
Kata Kunci: Modernisasi, Postmodernisasi, Masyarakat, Pembangunan
PENDAHULUAN
Modernisasi merupakan gejala yang bisa ditemukan dimana saja. Proses modernisasi tidak hanya dialami oleh negara-negara maju, seperti Eropa Barat dan Amerika melainkan juga dialami oleh negara-negara berkembang baik di Asia maupun di Afrika. Atau dengan kata lain seluruh negara yang berada dibelahan dunia ini selalu terlibat dalam proses modernisasi.
Modernisme bersumber dari revolusi ekonomi, politik dan filosofis renaisance dan aufklarung abad ke 16 lahir dari akar ideologis: (1) bebas dari agama (gereja) dan; (2) fisika ditempatkan sebagai paradigma humaniora (kemanusian). (Mulkhan, 1999:315). Sementara itu Ahmed (1996:22) menyatakan bahwa modernisme diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia yang ditandai dengan percaya pada sains, perencanaan, sekularisme dan kemajuan pada keinginan untuk simetri dan tertib, serta akan keseimbangan dan otoritas yang juga telah menjadi karakternya. Karakter khas dalam modernisme adalah bahwa ia selalu berusaha mencari dasar segala pengetahuan (episme, wissenschaff) tentang “apa”nya (ta onta) realitas, dengan cara kembali ke subyek yang mengetahui itu sendiri (dipahami secara psikologis maupun transendental).(Sugiharto, 1996:33)
Dalam bidang filsafat, modernisme diartikan sebagai suatu gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang awalnya diinspirasikan oleh Descrates, kemudian dikokohkan oleh gerakan pencerahan (Aufklarung) dan mengabadikan dirinya hingga abad keduapuluh ini melalui dominasi sains dan kapitalisme (Sugiharto, 1996:29). Dalam hubungan ini adalah sangat beralasan jika Garna (1996:183) menyatakan bahwa modernisasi itu adalah penolakan terhadap sejarah.
Modernisme pada awalnya dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar, namun dalam perkembangannya ia telah melahirkan berbagai konsekwensi buruk bagi kehidupan manusia dan alam pada umumnya. Menurut Soewardi, (1999:346-347) kerusakan lingkungan pada alam dan manusia disebutnya sebagai akibat dari kesalahan ilmu Barat (sains modern), kerusakan pada alam berupa “planetory ecological crisis”, penguasaan sumber daya alam oleh segolongan tertentu, ketimpangan yang semakin menganga, belum lenyapnya kemiskinan. Pada manusia konsekwensi negatif itu dapat berupa sifat resah, berlombanya keganasan, ketidaksudian berpikir (dull mindeniss), kecelakaan mobil dan pesawat udara dan lain-lain.
Sementara menurut Sugiharto (1996:29-30), konsekwensi buruk yang ditimbulkan oleh modernisme bagi kehidupan manusia dan alam diantaranya: pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subyek dan obyek, spritual-material, manusia dunia, telah mengakatkan obyektivitas alam secara berlebihan dan pengurasan semena-mena. Hal ini menyebabkan krisis ekologi; kedua, pandangan modern yang bersifat obyektivitas dan positivitas akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah obyek juga, dan masyarakatpun direkayasa bagaikan mesin. Akibat dari hal ini adalah bahwa masyarakat cenderung menjadi tidak manusia; ketiga, dalam modernisme ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini nilai moral dan relegius kehilangan wibawanya; keempat, dalam materialisme, bila kenyataan terdasar tak lagi ditemukan dalam religi, maka materilah yang mudah dianggap sebagai kenyataan terdasar. Meterialisme ontologis ini didampingi pula dengan materialisme praktis, yaitu hidup pun menjadi keinginan yang tak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material. Aturan main utama tak lain adalah survival of the fittest, atau dalam skala lebih besar, persaingan dalam pasar bebas. Etika persaingan dalam mengontrol sumber-sumber material inilah yang merupakan pola perilaku dominan individu, bangsa dan perusahaan-perusahaan modern; kelima, militerisme, dimana norma-norma religius dan moral tak lagi berdaya bagi perilaku manusia, maka norma umum obyektif pun cenderung hilang, akibatnya adalah kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan adalah satu-satu cara untuk mengatur manusia, Ungkapan yang paling gamblang dari hal ini adalah militerisme dengan persejantaan nuklirnya. Meskipun demikian, perlu juga dicatat bahwa religipun bisa sama koersifnya manakala dihayati secara “fundamentalistis”, karena di sana Tuhan biasanya juga dilihat sebagai “kekuasaan” yang menghancurkan pihak musuh. Jadi bila religi dihayati secara demikian, memang ia justru menjadi alat legitimasi militerisme; keenam, bangkitnya kembali tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri merupakan konsekwensi logis dari hukum survival of the fittest dan penggunaan kekuasaan yang koersif. Sebetulnya secara teoritis religi-religi telah selalu berusaha untuk mengatasi tribalisme dan menggantikannya dengan universalisme. Namun ia kini tak memiliki cukup kekuatan dan otoritas hingga pengaruhnya tak amat terasa. Lebih celaka lagi, setelah perang ideologi selesai kini agama menjadi kategori identitas penting yang justru cenderung mendukung kelompok-kelompok yang saling bertengkar, dengan kata lain ia justru mendukung tribalisme. Atas dasar segala konsekwensi yang bersifat negatif atau buruk modernisme telah memicu berbagai gerakan postmodernisme.
MODERNISME DAN POSTMODERNISME
Perdebatan mengenai hakikat peralihan dari modernisme menuju postmodernisme disarati dengan permasalahan-permasalahan filosofis, khususnya masalah epistemologis yang belum terjawab secara memadai, hal ini disebabkan peralihan ini tidak bisa dilepaskan dari konflik dan kritik terhadap modernitas itu sendiri.
Perdebatan yang berkepanjangan antara modernisme dan posmodernisme ini telah melahirkan dua kubu filsafat, yaitu pertama adalah kubu yang bermaksud melawan (against) dan melenyapkan keberadaan filsafat modernisme. Kedua, kubu yang berkehendak mengatasi (overcome) sebagai cacat yang disandang oleh modernitas dengan tetap konsisten pada paham itu (Nugroho, 1999:88).
Meskipun beragamnya aliran pemikiran dalam perdebatan tersebut, kiranya masih dapat diindentifikasi bahkan dikelompokkan. Secara agak kasar yaitu kedalam kelompok kubu “Dekonstruktif” dan kubu “Konstruktif atau Revisioner” (Sugiharto, 1996:16). Kubu pertama disebut sebagai “orang dari luar” modernitas yang oleh Nietzsche dan Heideger, dan dilanjutkan oleh para pemikir posmodern dan post- strukturalis, seperti Foucault, Deleize, Guattari, Lyotard, Bataille, Baudrillard, Kristeva dan Vattimo (dalam Piliang,1992:21). Sementara kubu kedua disebut sebagai “kritik diri” (self-criticism) yang dilakukan oleh kelompok Frankfurt School, seperti Adorno, Horkheimer, Marcuse dan Hubermas (dalam Piliang, 1999:21).
Munculnya dua kubu dalam perdebatan ini merupakan refleksi atas kekecewaan terhadap modrenitas, dimana para pemikir posmodernisme menganggap bahwa modernitas telah kehilangan kemampuan kritisnya (critical power), sehingga ia tidak mampu lagi menemukan tujuan teleologis dan utopis yang ingin dicapai (Piliang, 1999:15).
Perdebatan atau perselisihan modernisme versus postmodernisme, memuncul posisi filosofis, dua posisi diantaranya saling bertabrakan secara diametral sedang yang satu lebih bersifat ambivalen. Posisi pertama dinamakan Hegelian sayap kiri. Ini merupakan posisi dari kaum postmodernisme yang beranggapan bahwa filsafat pencerahan sudah kehabisan spirit sehingga harus ditinggalkan. Posisi kedua adalah Hegelian sayap pembaharu, yang terdiri dari kaum Marxian, Neo Marxian, hingga mazhab Franfurt. Pandangan ini memiliki keyakinan bahwa modernitas merupakan warisan budaya dan cacat-cacat yang terkandung di dalamnya yang perlu mendapat pencerahan. Sedang posisi ketiga adalah kaum ambivalen. Posisi ini dipelopori oleh Adorno dan Horkheimer. Pandangan mereka dianggap satu kaki berdiri pada posisi modernisme dan kaki lain ikut berlari bersama postmodernisme. Ambivalensi seperti ini berakibat pada kebingungan filosofis. (Budiman, 1993:177-232).
Menurut Hubermas (1990), postmoderisme sama artinya dengan modern, yaitu teori-teori sesudah era pencerahan (Nack aufklarung). Spirit postmodernisme adalah “Die Gegenwart der Vergangenheil”, yang artinya mengaburkan tradisi kesejarahan dan menganggap bahwa dirinya merupakan sebuah historisme baru. Pandangan seperti ini dapat dianggap ahistoris.(Nugroho, 1999:90)
Gerakan posmodernisme yang merupakan suatu gerakan pemikiran yang ingin melakukan revisi terhadap paradigma modern dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu pertama adalah pemikiran-pemikiran yang dalam rangka merevisi kemodernan itu cenderung kembali ke pola berpikir pramodern; kedua adalah pemikran-pemikiran yang terkait erat pada dunia sastra dan banyak berurusan dengan persoalan linguistik; ketiga dalah segala pemikiran yang hendak merivisi modernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara total, melainkan dengan memperbaharui premis-premis modern disana sini (Sugiharto, 1996:30).
Berdasarkan atas beragamnya pemikiran tentang postmodernisme ini sehingga sangat sulit dipahami makna yang sebenarnya, menurut Ahmed, (1996:22), kesulitan dalam memahami konsep postmodernisme adalah bahwa konsep postmodernisme pada tingkat yang paling jelas, ini kurang jelas, dan asal muasalnya pun belum jelas. Apakah ini merupakan periode sejarah (postmodernitas) atau gaya maka kini (postmodernisme) ? apakah ini merupakan kecongkakan sastra, konsep filosofis atau konsep arsitektur ? apakah ini merupakan variasi estetis, respon terhadap kecenderungan globalisasi, gaya seni atau fenomena sosial ? apakah ini merupakan fenomena eksklusif Eropa, atau dapatkah diterapkan ditempat lain. Karena istilah postmodernisme itu menjukkan kemenduaan atau ironi.
Dipihak lain Bryan Turner (2000:35), menyatakan bahwa konsep posmodernisme pertama kali muncul dalam kontek sastra berkenaan dengan reaksi konservatif dalam modernisme. Istilah tersebut kemudian digunakan dalam hubungannya dengan rangkaian teks dan sensibilitas yang lebih luas, untuk mensifati teks atau narasi yang bersifat afirmatif dan kritis, untuk menilai periode sejarah dan corak estetik, dan untuk menkonsepsikan perbedaan, bentuk khas dari luar yang modern., sebagaimana kesamaan, berbagai varian, yang sebenarnya menjadi batas modernisme.
Berdasarkan pendapat Ahmed dan Turner tersebut, dapat diketahui bahwa diantara para ahli masih belum ada kesamaan dalam memberikan pengertian yang tegas tentang postmodernisme. Bahkan Hubermas dalam (Nugroho,1999:91) menyatakan bahwa postmodernisme sama artinya dengan proses menuju masyarakat modern yang belum selesai. Modernisasi masih meninggalkan sejumlah masalah yang diambil alih oleh postmodern. Jadi faham postmodernisme tidak ubahnya seperti logika dialektika pencerahan. Malcolm Bradbury dalam Ahmed, (1996:24), mengatakan bahwa istilah postmoderninsme pertama kali digunakan tiga puluh tahun lalu, tetapi setelah beberapa dekade istilah tersebut lalu memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda.
Berdasarkan pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa postmodernisme hanya akan menjadi sebuah ungkapan yang menarik karena apa sebenarnya postmoderisme itu masih belum jelas artinya, disamping itu juga tidak ada penggambaran fase sejarah baru tentang manusia.
RELEVANSINYA BAGI PEMBANGUNAN
Sebagaimana telah dinyatakan dalam tulisan ini dibagian atas konsekwensi negatif dari modernisme adalah terjadinya kerusakan lingkungan, ketidak adilan, kemiskinan, dehumanisasi, bahkan semakin buruknya perdaban global.
Pembangunan sebagai usaha untuk merubah masyarakat kenyataannya melahirkan fenomena yang sekaligus berlawanan. Disatu pihak pembangunan menjadi kebanggaan bangsa karena menghasilkan pertumbuhan ekonomi, sedangkan dipihak lain pertumbuhan ekonomi tinggi membentuk tingkat kesenjangan ekonomi, sosial, politik yang semakin lebar. Kalau dikaji bahwa pembangunan dalam pelaksanaan selalu menimbulkan berbagai macam masalah sosial, hal ini mengindikasikan bahwa pola pembangunan dan strategi kebijakan yang diterapkan tidak menyentuh akar permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Sebagai konsekwensi logis dari permasalahan tersebut adalah membuat kehidupan masyarakat semakin terpuruk dan jumlah penduduk yang miskin semakin meningkat. Melihat kenyataan tersebut, memang ada benarnya apa yang dikemukakan oleh Susilo (1994:67) bahwa pembangunan yang tujuannya merubah kondisi sosial menjadi lebih baik yang dilaksanakan dengan cara pemberdayaan ekonomi, ironisnya cenderung menciptakan ketidak berdayaan politis masyarakat lapisan tertentu.
Dapatlah dikatakan bahwa makna pembangunan yang sebenarnya adalah bertujuan untuk menuju kondisi tertentu yang lebih baik, nilai kebaikannya tersembunyi dibalik pelaksanaan pembangunan. Kebaikan yang ditimbulkan oleh pembangunan itu sendiri hanya dapat dinikmati oleh kelompok tertentu yang memiliki power, sementara lapisan masyarakat tertentu (lemah) tetap berada pada posisi yang menyedihkan dan menjadi korban dalam pelaksanaan pembangunan. Karena tujuan dan anggapan dasarnya adalah baik maka proses pembangunan yang selama ini kita lihat mengizinkan pengorbanan-pengorbanan berbagai dimensi kemanusian, tidak jarang demi pembangunan, muncullah berbagai bentuk paksaan terhadap masyarakat kecil yang tertindas, yaitu melakukan penggusuran. Bila dikaitkan dengan konsep pembangunan yaitu melakukan tujuan tertentu agar tercipta kondisi yang lebih baik, secara substansi konsep atau arti tersebut mengalami kontradiksi yaitu melakukan pembebasan manusia.
Dalam pelaksanaan pembangunan agar tidak terjebak dalam hal hanya masyarakat yang dikorban atau dengan kata lain masyarakat selalu menjadi korban dan berada pada posisi yang lemah, pembangunan memerlukan persyaratan normatif yaitu adanya dialektis antara pengejaran ekonomi dengan nilai-nilai moral dan semuanya harus diletakkan dalam sistem politik yang demokratis, yaitu adanya kebebasan berpikir secara kritis dengan melakukan kritik baik bersifat konstruktif maupun destruktif terhadap jalannya pembangunan yang ditujukan untuk mencari kebenaran atau solusi yang tepat. Dengan demikian arti pembangunan yang bertujuan untuk merubah kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang lebih baik akan dapat terwujud, karena keputusan yang diambil dalam berbagai kegiatan pembangunan tersebut telah didasarkan atas diskusi dan opini publik.
Dalam hubungannya dengan uraian diatas pada kenyataannya selama ini, menurut Nugroho (1999:100) dalam proses pembangunan yang menjalani distorsi instrumen ruang publik telah diintervensi oleh kekuatan politis negara, sehingga opini publik yang muncul adalah bukan opini masyarakat tetapi justru opini elit politik. Akibat dari dominasi ruang publik oleh negara adalah adanya kecenderungan keputusan teknis bukan didasarkan atas diskusi dan opini publik tetapi didasarkan pada keputusan elit politik yang dipaksakan ke dalam masyarakat luas. Mengikuti persyaratan secara normatif, sebenarnya dalam pembangunan diskusi publik merupakan landasan untuk mengejar target-target yang telah disepakati, bukan sebaliknya dianggap tidak efisien demi mengejar target pertumbuhan ekonomi.
Kemudian lebih jauh, sebagai akibat dari intervensi yang terlalu besar dari kekuatan politis negara, peranan birokrasi sebagai instrumen politis dan penggerak roda pembangunan untuk melayani kepentingan publik semakin tercabut dari masyarakat dan tidak mengakar. Pada hal menurut Nugroho (1999:99), birokrasi dalam negara liberal justru mengakar dalam masyarakatnya dan bersifat melayani setiap warga masyarakat yang membutuhkan karena ada proses dialektis antara birokrasi yang menyembunyikan rasionalitas instrumen dengan sistem politik dan moral masyarakat yang liberal dan demokratis. Dalam iklim politis demokratis maka birokrasi, lanjut Nugroho (1999:99) eksistensi yang tujuannya adalah mengejar target-target efisiensi dan efektifitas berada dibelakang “politis” masyarakat itu sendiri.(Nugroho,1999:99).
Dengan demikian, mengakar dan tumbuhnya opini publik dalam arti substansial ditengah-tengah masyarakat dapat dipakai sebagai sarana kontrol atas jalannya pembangunan atau bahkan kekuatan atas kontrol kekuasaan pembangunan sehingga menghindarkan masyarakat dari berbagai bentuk dominasi. Selain itu dengan terciptanya diskusi publik yang tidak terbatas terutama dalam memecahkan persoalan pembangunan dan kemasyarakatan, menurut Nugroho, (1999:104), ketegangan dialektis permanen akan selalu tercipta antara pengambil kebijakan (penguasa), teknokrat, opini publik demi terwujudnya kontrol sosial dari masing-masing pihak.
P E N U T U P
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu dalam tulisan ini, banyaknya konsekwensi buruk yang ditimbulkan oleh modernisme bagi kehidupan manusia dan alam, telah memicu lahirnya suatu gerakan pemikiran yang diistilahkan dengan postmodernisme.
Pemikiran tentang postmodernisme itu sendiri menurut Piliang (1999:198) memiliki keberagaman, pluralitas, dan kekayaan, tetapi sekaligus ketidakpastian dan indeterminansi yang menciptakan berbagai kemungkinan hibrid, sinkretisme, pervesitas, transvestisme, adhosisme, dan membiarkan di dalam dirinya kontradiksi, keterpecahan diri, kemenduaan dan ironi. (Piliang,1999:198).
Terlepas dari keberagaman pemikiran itu, setidak-tidaknya ada suatu titik terang yang dipancarkan oleh postmodernisme, yaitu adanya sebuah wawasan baru, meskipun menghadapi banyak problema. Titik terang yang dapat diungkapkan dari ada postmodernisme ini adalah bahwa postmodernisme telah mampu menjauhkan dari segala sifat kemapanan, kebuntuan, keangkuhan, imperialisme, etnosentrisme yang mewarnai dominan hegemonik modernisme.
Dari anggapan sebagaimana yang diungkapkan tersebut dan yamg dapat diambil hikmah dan dijadikan sebagai suatu pijakan dalam merestruktur apa yang telah didestruktur, merekonstruksi dari apa yang telah didekontruksi oleh postmodernisme, niscaya postmodernisme akan dapat memberikan tawaran-tawaran kehidupan yang lebih bermakna.(Piliang, 1999:200). Sehingga adanya gerakan pemikiran yang ingin merevisi paradigma modern yang dilakukan oleh postmodernisme tidak perlu di permasalahkan. Pada khakekatnya pemikiran ini muncul karena modernisme masih meninggalkan sejumlah masalah yang kemudian diambil alih oleh postmodernisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Akbar. S. 1996. Posmoderisme, Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Bandung: Mizan.
Budiman, F. Hardiman. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius.
Garna, Judistira K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial Dasar-Konsep-Posisi. Bandung: Program Pascasarjana Unpad.
Gellher, Ernest. 1994. Menolak Postmodernisme, Antara Fundamentalisme Rasionalitas dan Fundamentalisme Religius. Bandung: Mizan.
Mulkhan, Abdul Munir. 1999. Spritualitas Lingkungan dan Moral Kenabian. Dalam: Kritik Sosial, Dalam Wacana Pembangunan. Editor. Moh. Mahfud MD Dkk. Yaogyakarta: UII-Press.
Nugroho, Heru. 1999. Kritik Hubermas Terhadap Postmodernisme dan Relevansinya Bagi Pemahaman Pembangunan, Dalam: Kritik Sosial, Dalam Wacana Pembangunan. Editor, Moh. Mahfud MD Dkk, Yaogyakarta: UII-Press.
Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper- Realitas, Kebudayaan. Yogyakarta: LKs
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Susilo, Budi. 1994. Mentalitas Dalam Pembangunan Masyarakat Modern. Yogyakarta: Kanisius.
Soewardi, Herman. 1999. Roda Berputar Dunia Bergulir. Kognisi Baru Tentang Timbul Tenggelamnya Sivilisasi. Bandung: Bhakti Mandiri.
Turner, Bryan. 2000., Teori-Teori Sosiologi, Modernitas, Posmodernisme (Terj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.MENELUSURI AKAR KONFLIK ANTAR ETNIK KHUSUSNYA DAYAK DENGAN MADURA
DI KALIMANTAN BARAT
Dr. Arkanudin, M.Si
(Staf Pengajar FISIP dan Program Magister Ilmu Sosial
Universitas Tanjungpura Pontianak)
ABSTRAK
Akar terjadinya konflik antara etnik Dayak dengan Madura di Kalimantan Barat berawal dari adanya perbedaan sosial budaya yang melahirkan perbedaan pemahaman, sikap dan perilaku yang dapat memunculkan pandangan negatif, kebencian dan antipati sehingga peristiwa yang semula sepele yang hanya dilakukan oleh individu berubah menjadi penyulut meladaknya konflik yang melibatkan etnik.
Kata Kunci: Akar Konflik, Antar Etnik, Dayak dan Madura
Pendahuluan
Secara geografis, wilayah Kalimantan Barat berbatasan dengan propinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, yang sebagian besar wilayahnya merupakan tanah datar dan sebagian merupakan daerah berbukit dan bergunung. Disamping orang Dayak yang merupakan penduduk asli, ada pula keturunan pendatang yang mendiami wilayah tersebut, yang terdiri dari orang Melayu, Banjar, Bugis, Jawa, Sunda, Madura, Arab dan Cina. Sebagian besar penduduk Kalimantan Barat beragama Islam, sisanya beragama Kristen, Katholik, Budha serta Hindu. Dari hasil sensus penduduk tahun 2000 diketahui etnik Dayak (42 %), Melayu (39 %), Cina (12 %), dan selebihnya atnik-etnik lainnya, termasuk didalamnya etnik Madura (1,8 %) (Kalbar Dalam Angka, 2000).
Keanekaragaman penduduk yang tinggal di Kalimantan Barat yang ditandai oleh kemajemukan etnik, agama, budaya, asal-usul daerah tersebut tidak selamanya berdampak positif, dalam arti kerjasama, persatuan, atau integrasi, tetapi juga dapat menimbulkan bentuk persaingan, pertentangan, atau konflik sosial. Konsekwensi logis kemajemukan ini maka propinsi Kalimantan Barat oleh Human Right Watch (dalam Sudagung, 2001:xxiii) dianggap sebagai daerah rawan konflik. Bahkan menurut Arkanudin (2005:122) dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai etnik kecenderungan akan terjadinya hubungan yang tidak harmonis sulit untuk dihindari. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Schweitzer (1994) yang menyatakan bahwa masyarakat manusia dimanapun di dunia ini selalu terjadi hubungan-hubungan yang harmonis atau serasi atau bermusuhan antar kelompok warganya. Konsekwensi atas hubungan tersebut pada akhirnya tidak jarang menimbulkan pertentangan atau konfrontasi (adversarially) diantara sesama warga masyarakat yang menjurus ke arah konflik sosial.
Konflik antar etnik di Kalimantan Barat khususnya Dayak dengan Madura Arafat (1998) mencatat bahwa sejak 1933 sampai dengan 1997, telah terjadi setidaknya 10 kali konflik dengan kekerasan. Alqadrie (1999) menyatakan, bahwa sejak 1962 sampai dengan 1999, telah terjadi setidaknya 11 kali. Sementara Petebang et al (2000) mencatat, sejak tahun 1952 sampai dengan tahun 1999, telah terjadi sebanyak 12 kali. Ketiga sumber mencatat frekwensi konflik yang berbeda, walaupun demikian setidaknya mereka menggambarkan fenomena sekaligus fakta yang sama bahwa konflik terjadi relatif sering dan selalu berulang. Dalam kurun waktu 50 sampai dengan 60 tahun terakhir, telah terjadi 10 sampai dengan 12 kali konflik. Hal ini berarti bahwa dalam kurun waktu 4 – 5 tahun, rata-rata telah terjadi sekali konflik (Bahari, 2005).
Dari sekian banyak konflik antar etnik di Kalimantan Barat, konflik antara etnik Dayak dengan Madura lah yang paling mencekam dan menakutkan, karena selalu memakan korban yang sangat banyak dan meninggalkan kesan traumatik bagi semua pihak. Konflik itu diikuti dengan tindak kekerasan yang melampaui batas nilai kemanusian berupa pembakaran rumah dan harta milik, pengusiran dari tempat tinggal, bahkan pemenggalan kepala korban diikuti dengan memakan daging dan meminum darahnya hidup-hidup (Alqadrie dalam Andasputra, 1999; Petebang et al; 2000; Bahari, 2005). Konflik yang lain seperti antara etnik Melayu dengan Madura tidak sekeras konflik tersebut. Sementara itu konflik etnik Dayak dengan Cina, Melayu dengan Cina dan Melayu dengan Dayak cenderung berbau politik (Aditjondro, dalam Petebang et al; 2000; Andasputra et al; 1999; Bahari, 2005).
Berdasarkan fakta yang dikemukakan tersebut, bahwa sejarah konflik antar etnik khusus antara Dayak dengan Madura di Kalimantan Barat merupakan suatu sejarah yang panjang yang terus berulang-ulang dan cenderung semakin membesar baik dilihat dari sisi kuantitas maupun kualitasnya mengindikasikan resolusi yang dilakukan tidak berhasil. Resolusi yang gagal dapat disebabkan oleh tidak diketahuinya secara tuntas akar penyebab konflik itu. Meminjam istilah Collins (2003 dalam Bahari, 2005) konflik sosial berkepenjangan itu disebabkan oleh tidak adanya informasi ilmiah yang cukup dan mendalam tentang konflik sosial itu sendiri. Konflik berulang itu dapat pula disebabkan oleh ketidakmampuan aparat pemerintah dalam menyelesaikannya. Ketidakmampuan itu sendiri dapat disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan mereka dalam menangani konflik, tetapi mungkin pula memang disengaja oleh karena adanya berbagai kepentingan lain yang tersembunyi di balik konflik itu. Karena tidak terselesaikan secara baik maka potensi konflik masih tetap ada bahkan bisa menjadi lebih besar. Konflik yang berulang menandakan resolusi yang dilakukan sebelumnya belum menyentuh segi khakiki dan substansial akar penyebab konflik itu. Akumulasi dari gagalnya berbagai resolusi konflik itu telah membawa dampak pada terjadinya konflik terbuka yang berkepanjangan dan menimbulkan apa yang disebut oleh Nobel dengan kengerian di atas kengerian dan kejahatan di atas kejahatan yakni perang (Nobel dalam Bahari, 2005).
Etnik Dayak, Marginalitas dan Budaya Kekerasan
Sebutan Dayak adalah sebuah kategori etnik untuk menjelaskan suku bangsa yang disepekati sebagai penduduk asli pulau Kalimantan. Mereka yang disebut Dayak sesungguhnya sangat heterogen karena terdiri dari komunitas-komunitas kecil yang memiliki logat bahasa berbeda dan tradisi adatnya tidak persis sama (Mudiyono,1994:211). Oleh karena itu terdapat berbagai nama dari suku Dayak sebagai golongan atau kelompok seketurunan (Nihin, 1994:234). CH.F.H.Duman dalam Lontaan (1975); Ukur (1992); Riwut (1993); Sellato (1998); Rousseau (1990) memperkirakan jumlah subsuku Dayak di Kalimantan berkisar antara 300 sampai 450-an. Selain itu dalam kaitannya dengan klasifikasi suku-suku Dayak, juga terdapat beraneka ragam versi. Berdasarkan hukum adat Mallinckrodt (1928) mengklasifikasikan suku Dayak ke dalam enam subsuku besar yang disebutnya stammenras, yaitu (1) Kenyah-Kayan-Bahau; (2) Ot Danum; (3) Iban; (4) Murut; (5) Kelemantan; dan (6) Punan. Setiap kelompok etnik Dayak memiliki bahasa tersendiri dan merupakan kelompok etnik yang terbesar. Di Kalimantan Barat jumlah etnik Dayak mencapai 41,00 % dari jumlah penduduk Kalimantan Barat yaitu 3.945.300 jiwa (Kalbar Dalam Angka,2000).
Kelompok etnik Dayak ini telah menghuni pulau Kalimantan ribuan tahun yang lalu dan hasil penelitian antropologi etnik Dayak ini berasal dari Yunan Selatan (Andasputra,1994:37) sehingga etnik ini mengklaim dirinya bahwa mereka adalah penduduk asli (Indigenous people) pulau Kalimantan. Bahkan menurut catatan CH.F.H. Duman mereka ini pada mulanya mendiami tepi sungai Kapuas dan Laut Kalimantan. Tapi datangnya Melayu dari Sumatera dan dari tanah Semananjung Malaka, terpaksalah terdesak mereka ke hulu sungai. Makin banyaknya pendatang ke daerah ini, makin terdesaklah mereka ke hulu sungai (Lontaan,1975:48).
Etnik Dayak ini memiliki sikap hidup yang sangat sederhana, monoton, kurang kreatif dan tidak berani mengambil inisiatif. Lebih banyak menunggu, pasrah, menerima nasib, banyak mengalah, mengharapkan belas kasihan orang lain, lugu dan polos. Cepat puas, kurang atau sedikit jiwa bertarung atau kompetisi. Melihat sesuatu secara lurus saja, tanpa memandang liku-likunya (Alif, 1993:34). Keadaan ini menyebabkan orang Dayak selalu tertinggal dalam segala aspek kehidupan. Nampaknya memang ada benarnya apa yang dikatakan oleh Kusni (1994:6), bahwa maju mundurnya etnik Dayak terutama ditentukan oleh orang-orang Dayak sendiri. Solidaritas dan kesatuan diantara mereka merupakan kunci untuk bisa turut aktif memasuki era pembangunan dan memperoleh akses ke berbagai bidang.
Ketertinggalan orang Dayak, menurut Alif (1993:37), disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: (1) latar belakang hidup orang Dayak adalah agraris tradisional, yang selalu terikat dengan alam sekitarnya; (2) segelintir orang Dayak yang terjun ke bidang bisnis tidak cukup dibekali pengetahuan manajemen, sehingga banyak yang pailit; (3) latar belakang sejarahnya dapat dimengerti bahwa orang Dayak kurang berminat dan kurang berbakat untuk terjun ke dunia bisnis. Atas dasar itu, pada umumnya mata pencaharian yang digeluti etnik Dayak ini adalah bertani, terutama ladang berpindah. Namun dewasa ini sudah ada diantara etnik Dayak menjadi pegawai negeri maupun karyawan swasta. Mereka ini kebanyakan menganut agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan, namun ada juga yang masih menganut kepercayaan animisme terutama orang-orang Dayak yang sudah lanjut usia. Disamping itu juga sudah banyak etnik Dayak ini yang masuk agama Islam terutama melalui proses amalgamasi dan mereka tidak lagi menyebut dirinya orang Dayak terutama di Kalimantan Barat tetapi menyebut dirinya masuk melayu atau masuk senganan (istilah dalam bahasa Melayu).
Pada masa orde lama, orang Dayak menguasai kepemimpinan propinsi dan mendominasi memimpin beberapa Kabupaten di Kalimantan Barat. Kedaan ini dapat dimaklumi karena kedekatan pemimpin Dayak ketika itu dengan pemerintahan Soekarno. Ketika rezim Soekarno jatuh maka semua pemimpin Dayak ketika itu juga dihabisi dengan dalih terlibat Partai Komunis Indonesia. Pada masa orde baru, orang Dayak mengalami marginalisasi secara sistematis, rumah-rumah panjang yang memiliki multi fungsi dalam kehidupan orang Dayak dihancurkan dengan dalih sanitasi jelek, kawasan adat mereka sering diserobot tanpa kompromi dengan alasan tanah negara dan yang paling tragis adalah ketika diberlakukannya UU No 5 Tahun 1974 dan 1979 tentang pemerintahan desa, dimana segala sesuatu harus seragam. Adanya perlakuan terhadap kehidupan Dayak yang tidak adil ini membuat karakter-karakter kekerasan dalam budaya mengayau mengalami kristalisasi dalam bentuk dendam. Mereka mudah emosi, mudah panas hanya dipicu oleh persoalan yang sangat sepele, dengan mudah membangkitkan kemarahan komunal. Pada hal budaya mengayau ini sudah lebih dari 100 tahun hilang.
Etnik Madura di Kalimantan Barat dan Budaya Kekerasan
Etnik Madura yang ada di Kalimantan Barat adalah pendatang yang datang dari Bangkalan Madura akhir abad XIX dan baru menetap di daerah ini sekitar tahun 1920, dengan maksud untuk mencari lahan-lahan yang lebih subur dibandingkan dengan daerah asalnya di pulau Madura (Achadiyat,1989:51). Berdasarkan hasil penelitian Sudagung (1983) kedatangan orang Madura ke Kalimantan Barat berlangsung dua periode yaitu periode pertama etnik Madura masuk ke Kalimantan Barat diperkirakan antara tahun 1902-1942 dari Bangkalan dengan menggunakan perahu layar tradisional mendarat di Kerajaan Sukadana (Kabupaten Ketapang) pada tahun 1902, kemudian ke kota Pontianak pada tahun 1910 dan pada tahun 1930 ke Kabupaten Sambas. Ketiga daerah ini mudah dijangkau karena bisa langsung dilayari dari Pulaua Madura. Motivasi utama mereka datang adalah untuk berdagang dan mencari kerja.
Periode kedua, terjadi menjelang dan setelah kemerdekaan yakni sekitar tahun 1942-1950. Pada periode ini adalah masa peralihan, ekonomi turut tidak menentu sehingga orang-orang Madura cenderung mengikuti jejak awal para pionernya untuk mengadu nasib dan mau bekerja apa saja tergantung wilayah yang dituju dengan istilah mereka “teretan”. Masa ini juga pemerintah sedang gencar-gencarnya dengan peluncuran program transmigrasi yang lebih bersemangat dan menjanjikan, dilain pihak pulau Madura yang semakin padat tidak mampu menampung semua orang-orang Madura. Pada periode ini, motivasi orang Madura yang datang ke daerah Kalimantan Barat tidak hanya bertujuan untuk mencari pekerjaan tetapi juga lebih pada harapan pencaharian kehidupan baru yang lebih manusiawi (Sudagung, 1983). Kemudian kedatangan orang Madura secara besar-besaran di Kalimantan Barat terjadi antara tahun 1980 hingga 1998. Bahkan pada masa orde baru keberadaan orang Madura sangat berperan dalam politik di Kalimantan Barat, baik sebagai anggota DPRD Tingkat I dan II dan bahkan juga ada yang menjabat sebagai Bupati pada salah satu Kabupaten di Kalimantan Barat.
Pola pemukiman etnik ini mengelompok dan secara fisik perumahannya berbeda dari etnik lainnya dan biasanya berbentuk rumah tunggal yang dicat dengan berwarna-warni dan ditempati oleh beberapa kepala keluarga yang satu sama lainnya masih memiliki hubungan kekarabatan, kalau tidak memiliki hubungan kekarabatan biasanya merupakan satu daerah di pulau Madura. Rata-rata anak gadis yang sudah akil balig segera dikawinkan dibawah tangan (penghulu), walaupun dilihat dari segi usia secara pedagogis belum matang. Di antara pemukiman etnik Madura biasanya terdapat rumah ibadah berupa surau atau langgar.
Dalam kehidupan sosial orang-orang Madura sangat terikat dengan warga sesama masyarakatnya walaupun bukan kerabat, yang penting bagi mereka adalah sedaerah asal. Dalam kondisi semacam ini anggota masyarakat haruslah mau menerima para pendatang musiman dari Madura dan sekaligus mencarikan berbagai kemungkinan pekerjaan. Bagi mereka adalah suatu kewajiban untuk membantu dan menolong orang sedaerah asalnya, dalam berbagai kehidupan sosial (Achadiyat, 1989:53).
Katerikatan sosial diantara sesama etnik ini diwujudkan dalam bentuk berbagai kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan dalam bentuk lembaga-lembaga sosial dan keagamaan. Berdasarkan hasil penelitian Achadiyat (1989:54), lembaga sosial yang ada dan dikembangkan oleh orang-orang Madura di Kalimantan Barat adalah lembaga arisan baik berupa uang maupun barang. Lembaga lain yang dikembangkan adalah Kasidahan atau kesenian rebana, Serakal atau Marhaban, yaitu kesenian serta kelompok Majelis Taklim atau Pengajian.
Karakter dan kepribadian etnik ini antara lain berani, kuat secara fisik, kerja keras, ulet, percaya diri, sederhana, hemat, tidak memilih jenis pekerjaan, bersedia diupah rendah dan patuh pada pimpinan tradisional dan agama (Alqadrie,1999:51). Pekerjaan yang ditekuni oleh etnik ini antara lain, sebagai tukang beca, sopir angkot, tukang sampan/perahu (jasa angkutan), tukang kayu/batu, blukar emas, jual sayur keliling khususnya dilakukan oleh wanita, sedangkan yang berada di daerah pedesaan pada umumnya pekerjaan mereka adalah sebagai petani disamping itu memilihara ternak sapi atau kambing.
Disamping karakter dan kepribadian yang positif, terdapat beberapa karakter miring dan berbagai perilaku negatif lainnya, seperti keras kepala (stubborn), mau menang sendiri, cenderung memaksa kehendak, sombong (arogan), menyelesaikan masalah dengan kekerasan, membangga-banggakan tradisi dan budaya sendiri, kurang tertarik pada tradisi dan adat istiadat setempat, berkepribadian kurang seimbang serta gugup (nervous) (Alqadrie,1999:51). Dengan karakter tersebut etnik ini cenderung tidak mematuhi prinsip budaya dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.
Pada saat sebelum terjadinya konflik etnik di Kalimantan Barat, kelompok etnik Madura tidak hanya terdapat di kota Pontianak tetapi menyebar diberbagai desa pada daerah tingkat II, seperti Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang dan Ketapang serta Kabupaten Pontianak. Namun setelah terjadinya konflik keberadaan mereka terusir dari daerahnya dan sekarang konsentrasi pemukiman mereka pada saat ini selain di Kota Pontianak dan Ketapang juga Kabupaten Pontianak khususnya di desa Tembang Kacang yang merupakan lokasi yang dipersiapkan oleh pemerintah untuk merelokasi pengungsi etnik Madura yang menjadi korban pertikaian antar etnik di Kalimantan Barat.
Menelusuri Akar terjadinya Konflik Etnik Dayak dengan Madura
Agaknya tidak ada suatu masyarakat dimanapun di dunia ini yang tidak mengalami konflik. Konflik yang dialami oleh warga masyarakat dalam kehidupan sosialnya, perbedaannya hanyalah terletak pada intensitasnya dan cakupan wilayahnya saja. Ada konflik yang berupa persaingan dan pertentangan yang biasa saja, yang melibatkan warga masyarakat dalam jumlah yang relatif kecil, akan tetapi ada juga konflik yang melibatkan masyarakat dalam jumlah yang besar.
Pertemuan beberapa etnik yang berbeda latar belakang kehidupan sosial budaya pada suatu tempat pemukiman sangat potensial menimbulkan konflik. Menurut Watson (2000), bahwa dalam pertemuan sosial yang melibatkan orang lebih dari satu etnik, hampir selalu terjadi konflik antara penganut kebudayaan yang satu dengan penganut kebudayaan yang lain. Dijelaskan lagi oleh Watson, bagaimanapun mapannya suatu masyarakat, ada kemungkinan terjadi konflik antara warga masyarakat, sebagai akibat adanya perbedaan dalam masyarakat yang tidak mungkin untuk dihindarkan.
Menurut Bahari (2005) latar belakang dugaan dan penyebab terjadinya konflik, khususnya antara etnik Dayak dengan Madura itu bermacam-macam misalnya pihak pemerintah termasuk aparat keamanan menduga terjadinya konflik sosial dengan kekerasan antar etnik itu disebabkan oleh adanya dalang yang menggunakan issu SARA sebagai pemicunya. Tujuannya adalah untuk mengacaukan stabilitas politik nasional dan mengganggu dinamika pembangunan. Para pengamat sosial, budaya, politik dan ekonomi menilai bahwa kesenjangan ekonomi, integrasi nasional yang lemah, pertentangan para elit, pertentangan primordial, ketidakadilan penyelenggaraan pemerimtahan, ketidakadilan penerapan dan penegakan hukum, ketimpangan sosial dan sistem nilai dan orientasi budaya yang telah lama terpendam, yang menjadi akar masalahnya. Sebagian pengamat lain memperkirakan konflik sosial tersebut sebagai reaksi emosional masyarakat terhadap berbagai penyimpangan birokrasi pemerintahan seperti ketidakadilan dalam pemerataan pembangunan, korupsi, nepotisme, kolusi dan ketidakadilan hukum, ketidakmampuan pemerintah menyelesaikan konflik sebelumnya serta adanya berbagai kepentingan yang berbeda. Pada bagian yang lain ada juga yang menduga penyebabnya adalah prasangka sosial, etnosentrisme, dan stereotip negatif yang berkembang serta prilaku sosial menyimpangan dari etnik tertentu yang tidak dapat menyesuaikan dengan budaya dan adat istiadat masyarakat setempat.
Sangat mudahnya kedua etnik (Dayak dan Madura) ini melakukan pertikaian yang melibatkan etnik ini, ada kaitannya dengan kebiasaan tradisional yang sering dilakukan oleh kedua etnik ini sejak zaman nenek moyang mereka sampai sekarang masih melekat, yaitu kebiasaan mengayau pada etnik Dayak dan kebiasaan acarok pada etnik Madura. Kebiasaan tradisional pada kedua etnik ini memang tidak tampak lagi dalam bentuk aslinya di dalam praktek tetapi pada hakekatnya kebiasaan ini masih mempengaruhi secara psikologis sikap dan tindakan kedua etnik ini dalam menghadapi kompetisi sosial.
Budaya yang terkait dengan kekerasan pada orang Dayak adalah budaya mengayau. Mengayau pada etnik Dayak berasal dari kata kayau artinya musuh, jadi mengayau berarti mencari musuh atau memotong kepala manusia (Lontaan,1975:523). Pada saat sekarang pelaksanaan mengayau tidak lagi berhubungan dengan upacara yang bersifat ritual yaitu penyembahan kepada Tuhan mereka, tetapi dilaksanakan dengan berbagai motif dan tujuannya salah satu diantaranya adalah motif balas dendam. Artinya jika anggota suku atau kelompok mereka terbunuh, maka seluruh anggota yang lain akan mengambil tindakan berupa balas dendam. Dipihak lain budaya yang terkait dengan kekerasan pada orang Madura dikenal sebutan Carok. Dalam studi tentang carok, Wiyata (2002:170-185) mengungkapkan bahwa harga diri atau kehormatan diri orang Madura akan terusik jika ia dipermalukan (malo) atau dilecehkan secara sosial. Bagi orang Madura menanggung beban malu merupakan pantangan yang harus disingkirkan. Tindakan carok merupakan manifestasi dari upaya membela dan menjaga harga diri dengan jalan kekerasan fisik. Dalam kontek ini, ungkapan orang Madura “ ango’an poteya tolang etembeng poteya mata”, yang artinya “ lebih baik mati dari pada hidup menanggung malu” menjadi refrensi dalam perbuatan carok. Menurut Atok (2006) salah satu penyebab carok yang potensial adalah mengganggu isteri orang lain. Gangguan terhadap perempuan yang telah bersuami tersebut dapat berupa aktivitas menggoda, mencintai, atau melakukan perselingkuhan. Dalam perspektif orang Madura, isteri merupakan symbol kehormatan rumah tangga atau laki-laki Madura. Gangguan terhadap isteri atau perempuan ditafsirkan sebagai pelecehan harga diri orang Madura.
Melihat realita latar belakang budaya baik pada etnik Dayak maupun Madura, penyebab terjadinya konflik adalah masalah perbedaan sosial budaya, sementara masalah ekonomi, politik dan hamkamnas merupakan faktor pembenaran. Artinya bukan merupakan peyebab utama dan masalah ekonomi, politik dan hamkamnas tidak akan nampak ke permukaan. Perbedaan kondisi sosial budaya etnik Dayak dengan Madura antara lain berupa perbedaan pola dan lokasi pemukiman, pekerjaan, tingkat pendidikan, pelapisan sosial, kebiasaan dan stereotipe masyarakat pendatang dengan penduduk asli merupakan faktor yang dapat menjadi pemicu konflik. Bila diidentifikasi maka faktor-faktor sosial budaya penyebab konflik tersebut sebagai berikut:
IDENTIFIKASI FAKTOR DAYAK MADURA
Pola Pemukiman Huma Betang Tanean Lanjang
Lokasi Pemukiman Perdesaan Perkotaan/Perdesaan
Pekerjaan Peladang, Peramu, Pedagang, Buruh
PNS Kasar, dan Petani
Pendidikan Rendah, Sedang, Rendah
Tinggi
Pelapisan Sosial Egaliter Keagamaan dan
Kekayaan
Kebiasaan Musyawarah, Membawa senjata
Mengalah, Jujur tajam, Solidaritas
yang membabi buta,
Ingkar janji
Prasangka Pemalas, Rawan Pembuat onar,
dendam, Tidak Penyerobot lahan
materialistis dan pelanggar hukum,
Pendemdam, Preman
Dari faktor-faktor tersebut di atas, bila kita lihat akar terjadinya konflik antara etnik Dayak dan Madura di Kalimantan Barat, maka sebagai faktor dasar penyebabnya adalah masalah perbedaan budaya. Kluckhohn dan Strodtbec (1961); Koentjaraningrat (1985); dan Suparlan (1999) mengemukakan bahwa faktor perbedaan budaya yang tercermin dalam perbedaan sistem nilai budaya dan sistem orientasi budaya suatu masyarakat potensial menimbulkan konflik sosial. Perbedaan sistem nilai dan orientasi budaya inilah yang selanjutnya muncul dalam setiap sikap, mental, perilaku dan perbuatan anggota atau masyarakat etnik tertentu yang bertentang dengan kelompok etnik lain. Konflik budaya ini akan menjadi hal yang sangat menakutkan karena dapat menjurus pada tindak kekerasan yang tidak hanya menelan korban jiwa,tetapi juga harta, menurut Crawford (1998) hal ini terjadi dikarenakan institusi-institusi yang bertugas melakukan kontrol seperti institusi hukum, militer serta kepolisian tidak memiliki kemampuan untuk mendeteksi potensi-potensi yang cenderung mendiskreditkan etnis atau kultur tertentu, sehingga potensi tersebut berkembang menjadi konflik.
Perbedaan etnik tidak akan menjadi masalah selama perbedaan itu tidak diikuti oleh perbedaan yang tajam dalam sistem nilai dan orientasi budaya. Kenyataan ini dapat dilihat bahwa banyak diantaranya kelompok etnik lain seperti Melayu, Cina, Bugis, Jawa, Sunda, Minang, Batak, Menado yang penghidupannya lebih baik bila dibandingkan dengan warga Dayak, tetapi hubungan mereka sangat harmonis.
Bahkan berdasarkan hasil penelitian Pelly (1999:31) pada tahun 1987 di daerah pedalaman Kalimantan Barar, keserasian sosial antara orang Dayak dan Melayu dengan orang Jawa dan Sunda telah berkembang ke arah kerja sama, akomodasi, akulturasi dan asisimilasi. Dalam bentuk awal telah tumbuh kehidupan simboitik dalam bentuk pertukaran teknologi (exchange technology) pertanian yang saling menguntungkan. Orang Jawa mengajarkan orang Dayak dan Melayu tentang bagaimana mengembangkan teknologi pertanian sawah dengan memakai bajak dan pengairan sederhana. Orang dayak dan Melayu mengajarkan orang Jawa dan Sunda menanam lada dan tanaman keras lainnya. Disamping telah terjadi perkawinan antar etnis.
Banyak diantara pejabat-pejabat yang memegang posisi penting di daerah ini berasal dari etnik lain, tetapi tidak pernah menimbulkan masalah. Demikian juga dengan masalah hamkamnas semua pihak bisa menjaga sepanjang masing-masing pihak bisa bersikap menghargai dan menghormati orang lain. Jadi yang penting adalah adanya etika norma setiap orang atau kelompok-kelompok etnik yang ada, yaitu dengan cara yang santun tidak dengan cara-cara yang kasar, tidak berdasarkan prosedur, menyimpang dari norma-norma
Penutup
Konflik yang terjadi antara etnik Dayak dan Madura di Kalimantan Barat pada umumnya lebih disebabkan oleh masalah perbedaan sosial budaya, sementara masalah ekonomi, politik dan Hamkamnas merupakan faktor pembenaran. Artinya bukan merupakan penyebab utama. Seandainya faktor budaya sebagai akar penyebab tidak muncul, maka masalah ekonomi, politik dan hamkamnas tidak akan nampak ke permukaan. Budaya dan masyarakat yang berbeda antara satu dengan yang lain terdapat cara-cara yang saling berbeda dalam menyelesaian konflik, dan merumuskan solusi penyelesaian konflik perlu mempertimbangkan budaya komunitas yang sedang mengalami konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, Junus George dalam Petebang Edi dan Eri Sutrisno. (2000). Konflik Etnik di Sambas, Institut Studi Arus Informasi, Jakarta.
Achadiyat, Anto. 1989. Hubungan Antar Golongan Etnik di Indonesia: suatu Studi Kasus di Kalimantan Barat, dalam: Interaksi Antar Etnik Di Beberapa Propinsi di Indonesia, Dirjen Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Proyek IPNB, Jakarta:Depdikbud.
Alif, M.J. Akien. 1993. Kehidupan Sosial Ekonomi Orang Dayak, Dalam: Kalimantan Review, Nomor 03 Tahun II, Januari-April, Pontianak: LP3ES-Institut of Dayakology Research Research and Development.
Andasputra, Nico. 1994. Hutan, Orang dayak Dan Harapannya: Sebuah Kasus Masyarakat Nangka Dengan Kehadiran HPH, Dalam: Kalimantan Review, Nomor 09 Tahun III Oktober-Desember, Pontianak: LP3ES-Institut of Dayakology Research and Development.
--------------------. 1999. Sisi Gelap Kalimantan Barat, Perseteruan Etnis Dayak – Madura 1997, Institut Studi Arus Informasi dan Institute Dayakologi Research and Development, PT. Mirdas Surya Grafindo.
Alqadrie, Syarif Ibrahim. 1999. Konflik Etnis Di Ambon Dan Sambas: Suatu Tinjauan Sosiologis, Jakarta: Jurnal Antropologi Indonesia, Nomor 58 Tahun XXIII, Januari-April.
Arafat. 1998. Konflik Dayak – Madura di Kalimantan Barat, Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana UGM.
Arkanudin. 2005. Perubahan Sosial Masyarakat Peladang Berpindah, Studi Kasus Pada Orang Dayak Ribun yang Berada di Sekitar PIR-Bun Kelapa Sawit Parindu Sanggau Kalbar, Bandung: Disertasi Program Doktor Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Atok, Kristianus. 2006. Interaksi Sosial Orang Dayak dengan Orang Madura, Studi Tentang Harmoni Sosial di Kecamatan Sebangki Landak Kalbar, Pontianak: Tesis Program Magister Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura.
Bahari, Yohanes. 2005. Resolusi Konflik Antar Etnik Dayak dan Madura di Kalimantan Barat, Bandung: Disertasi Program Doktor Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Biro Pusat Statistik. 2000. Kalimantan Barat Dalam Angka, Pontianak:Kantor Statistik Propinsi Kalbar.
Crawford, Beverly, 1998. The Cause of Cultural Conflict: An Institutional Approach, Dalam: Beverly Crawford and Ronnie D. Lipschutz (Editor), The Myth of Ethnic Conflict, Politics, Economics, and Cultural Violence, Diversity of California at Berkeley: International and Area Studies.
Collins, T. James. 2003. Komentar Luar Tentang Kerusuhan Tidak Memuaskan : Karena Kekurangan Sumber Informasi Ilmiah, Harian Equator, Pontianak: Terbitan Sabtu, 15 Maret 2003.
Kluckhohn and Strodtbeck. 1961. Variant in Value Orientation, New York: Patterson & Co.
Koentjaraningrat, 1985. Masyarakat Desa Di Indonesia Masa Kini, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Kusni, JJ. 1994. Etnik Dayak Dan Era Pembangunan, Pontianak: Kalimantan Review, Nomor 07 Tahun III, April-Juni.
Lontaan, JU. 1975. Sejarah Hukum Adat Dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, Pontianak: Pemda Tingkat I Kalbar.
Malinckrodt, J. 1928. Het Adatrecht van Borneo, Leiden: Dubbeldeman
Mudiyono, 1994. Perubahan Struktur Pedesaan Suku Bangsa Dayak: Perubahan Dari Rumah Panjang Ke Rumah Tunggal, Dalam: Paulus Florus (ed). Kebudayaan dayak, Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Institut Of Dayakology Research And Development, bekerja sama dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nihin, A.DJ. 1994. Model Pembangunan Yang Sesuai Dengan Aspirasi Dan Harapan Orang Dayak, Dalam: Paulus Florus (ed). Kebudayaan Dayak, Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Institut Of Dayakology Research And Development bekerja sama dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.
Parsudi, Suparlan. 1999. Konflik Sosial Dan Alternatif Pemecahannya, Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology, TH XXXIII No.59, Jakarta: FISIP UI.
Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi, Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, Jakarta: LP3ES.
-----------------. 1999. Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia, Jakarta: Jurnal Antropologi Indonesia, Nomor 58 Tahun XXIII, Januari-April.
Petebang, Edi. 1999. Dayak Sakti, Ngayau, Tariu, Mangkok Merah, Pontianak: Institut of Dayakology Research and Development.
-------------------. dan Eri, Sutrisno. 2000. Konflik Etnis di Sambas, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.
Reusseau, J. 1990. Central Borneo, Etthnic Identity and Sicial life in a Stratified Society, New York: Oxfor University Press
Riwut, Tjilik. 1958. Kalimantan Memanggil, Palangkaraya:Tanpa Penerbit
Sellato, Bernard. 1998. Naga dan Burung Enggang, Hornbill and Dragon, Aquitaire Indonesia: ELF
Sudagung, Hendro Suroyo. 1983. Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan, Yogyakarta: Disertasi Program Doktor Program pascasarjana UGM.
-------------------------------. 2001. Mengurai Pertikaian Etnis, Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat, Jakarta: ISAI
Schweitzer, Mary. 1994. Harmony Ideology Works at the Mill, Dalam: Antropological Contribution To Conflict Resolustion (Ed) Alvin W. Wolfe and Honggang Yang, Athens and London: The University of Georgia Press.
Ukur, Fridolin. 1992. Tantang Djawab Suku Dayak, Jakarta: Gunung Mulia.
Watson, C. W. 2000. Multiculturalism, Buckingham-Philadelphia: Open University Press.
Wiyata, A. Latief. 2002. Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta: LkiS.
Oleh: Arkanudin
Pendahuluan
Di Kalimantan Barat pengembangan dan pengelolaan perkebunan dengan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) mulai dibuka pada 1980, daerah pengembangannya terdapat di Kabupaten Pontianak, Sanggau, Sintang dan Sambas. Potensi perkebunan yang dibudidayakan itu meliputi tanaman karet, kelapa hybrida dan kelapa sawit dengan pola PIR-Bun sejak tahun 1982. Salah satu proyek PIR-Bun di Kabupaten Sanggau dengan jenis komoditi kelapa sawit adalah proyek PIR-Khusus Parindu yang dilaksanakan oleh PT. Perkebunan Nusantara 13 yang berlokasi di Kecamatan Parindu, Tayan Hulu dan Tayan Hilir. Gubernur Kalimantan Barat telah memberi cadangan areal proyek ini pada tahun 1982 seluas 48.000 hektar.
Di Kecamatan Parindu, berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat Nomor 187 Tahun 1982 tanggal 28 Juni 1982, luas lahan yang dialokasikan untuk areal perkebunan kelapa sawit adalah 14.400 hektar, yang meliputi wilayah Desa Senunuk, Bali, Bodok, Pusat Damai, Mawang, Karosik, Lintang, Tatang, Baharu, Binjai, Pasok dan Desa Sebatuh (Sekretariat Daerah Propinsi Kalbar, 1982).
Fenomena yang muncul seiring dengan pembukaan perkebunan dengan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), tersebut adalah telah terjadi perubahan lingkungan alam, yaitu semakin mempersempit kawasan hutan. Hal ini berarti juga mempersempit areal cadangan lahan perladangan, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya perubahan luas sumber daya alam yang mereka miliki, dan memaksa masyarakat harus menyesuaikan atau mengembangkan teknologi baru untuk eksploitasi sumber daya dan akan mempengaruhi aspek sosial budayanya. Hal tersebut akan menimbulkan perubahan sistem nilai dalam masyarakat, yang selanjutnya akan berakibat pada seluruh sistem perekonomian masyarakat terutama dalam ketenagakerjaan, pola konsumsi, sistem menyimpan kekayaan dan proses sosialisasi dalam masyarakat.
Alqadrie (1994:248) menyatakan bahwa dengan adanya pembangunan subsektor perkebunan bagi masyarakat pedalaman tidak hanya menyebabkan terbatasnya ruang gerak tetapi juga tanah-tanah adat yang dimiliki penduduk diambil alih atau dikuasai oleh pihak perusahaan. Sebagai konsekuensi logis menurut Hood (dalam Garna, 1995:7) bahwa kehidupan masyarakat yang demikian akan mengalami: (1) kehilangan tanah warisan nenek moyang; (2) status atau kedudukan sosial ekonomi yang rendah; (3) lingkungan hidup mereka adalah lingkungan yang banyak dimusnahkan atau diganti baru.
Kondisi masyarakat sebagaimana yang digambarkan oleh Hood dan Garna tersebut, di daerah Kalimantan Barat memang sudah terjadi khususnya pada daerah-daerah yang letaknya berada di sekitar lokasi HPH dan perkebunan besar. Berdasarkan data Bappeda dan Biro Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Barat (1988) bahwa sejak pertama kali beroperasinya perusahaan HPH tahun 1967 kawasan hutan di daerah ini seluas 9.204.425 hektar. Sampai dengan tahun 1986/1987, dalam waktu 20 tahun telah berkurang sebanyak 30,1 %. Keadaan ini menurut Alqadrie (1992) telah mengancam eksistensi petani ladang berpindah ataupun penduduk daerah pedalaman yang memandang bahwa hutan adalah sebagai basis utama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Nihin (1994:237) dan Widjono (1998:67) orang Dayak dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selalu terkait erat dengan lingkungan alam tempat tinggalnya. Alam (tanah, hutan dan sungai) memberi kehidupan bagi mereka melalui kegiatan berladang. Alqdarie (1992:101) menyatakan orang Dayak memiliki sejarah yang panjang dengan hutan karena mereka berdomisili dalam hutan atau sekitar hutan belantara dalam waktu yang cukup lama. Mereka memiliki aktivitas sehari-hari yang mampu mendukung kehidupan mereka sendiri (capable of life sustaining activities) yang bersumber dari hutan. Alasan seperti inilah yang menyebabkan Hoffman (1985) menyebut salah satu kelompok etnik Dayak, Punan sebagai ahli hutan (forest specialists).
Akibat lain dari kehadiran kantong-kantong HPH dan perkebunan, selain dapat menggeser infrastruktur ekonomi masyarakat, lingkungan sosial dan kebudayaan juga telah memicu meningkatnya jumlah penduduk, baik yang datang dibawa oleh pihak proyek perkebunan maupun para migran yang datang dengan maksud memperoleh lapangan kerja, sehingga masyarakat yang hidup di sekitar wilayah perkebunan menjadi cukup beragam atau majemuk secara sosial budaya. Hal ini berarti, masyarakat yang berada di sekitar perkebunan kelapa sawit yang pada mulanya merupakan masyarakat homogen (suku Dayak) berubah menjadi masyarakat majemuk.
Dengan meningkatnya intensitas interaksi, interelasi dan komunikasi antara peladang berpindah dengan pihak perkebunan dan dengan masyarakat pendatang lainnya cepat atau lambat akan mempengaruhi pula pola pikir, cara hidup dan tingkah laku peladang berpindah Dayak Ribun, yang pada gilirannya akan berakibat pada perubahan hubungan sosial. Adimihardja (1983:8) mengemukakan proses perkembangan dari cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat kearah perubahan dan pergeseran nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Perubahan dan pergeseran ini sering menimbulkan ketegangan sosial yang membawa kearah konflik sosial.
Kerangka Teori
Proyek perkebunan dengan jenis komoditi kelapa sawit di daerah pedalaman yang memanfaatkan areal hutan ladang berpindah yang sudah dimiliki oleh penduduk secara turun temurun, dapat dipandang sebagai suatu perubahan yang direncanakan atau merupakan rekayasa pemerintah yang memiliki tujuan tidak hanya ditekankan pada perubahan secara fisik saja, tetapi diharapkan dapat mengarahkan kepada pembangunan di bidang lainnya, seperti membuka kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan sekaligus memberikan dampak yang positif bagi perkembangan daerah.
Soemarwoto (1987) mengatakan bahwa pembangunan selalu membawa perubahan dan sudah barang tentu perubahan yang diharapkan itu adalah perubahan yang baik menurut ukuran manusia. Bahkan menurut Masinambow (1997:9) pembangunan yang secara sengaja diadakan untuk mendorong perubahan sosial ke suatu arah tertentu, yang proses perubahan terdiri atas: (1) menggeser hal-hal yang sudah ada; (2) menggantikannya; (3) mentranformasikannya; dan (4) menambah yang baru yang kemudian berdampingan dengan hal-hal yang sudah ada. Pendapat Masinambow itu memberi pemahaman bahwa pembangunan akan menyebabkan perubahan sosial yang bergerak dalam suatu garis lurus yang mempengaruhi pola pikir dan penghidupan masyarakat. Atau yang oleh Joyomartono (1991: 61) disebut sebagai usaha berencana untuk menciptakan perubahan sosial budaya. Dikatakan sebagai usaha berencana karena di dalam pembangunan ini ada intervensi aktif yang dilakukan oleh individu-individu dengan tujuan meningkatkan taraf kesejahteraan sosial.
Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat bisa dilihat dari indikator kemajuan atau kemunduran yang dialami sebelum dan sesudah mendapat pengaruh dari proses pembangunan. Pembangunan dan perubahan sosial adalah dua hal yang saling menyatu terjadinya, dan pembangunan merupakan salah satu alat untuk melakukan perubahan terhadap kondisi yang dimiliki oleh masyarakat.
Perubahan dapat menyangkut berbagai hal, perubahan fisikal oleh proses alami dan perubahan kehidupan manusia oleh dinamika kehidupan. Perubahan yang menyangkut kehidupan manusia atau terkait dengan lingkungan kehidupannya yang berupa fisik, alam dan sosial (Garna, 1992:1). Dengan demikian perubahan sebagai proses dapat menyebabkan perubahan sosial dan perubahan budaya atau berlaku kedua-keduanya pada suatu runtutan proses. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Soelaiman (1998:115) mengemukakan bahwa perubahan sosial dan perubahan kebudayaan sulit untuk dipisahkan, tetapi secara teoritis perubahan sosial mengacu kepada perubahan dalam struktur sosial dan hubungan sosial, sedangkan perubahan kebudayaan mengacu kepada perubahan pola-pola perilaku, termasuk teknologi.
Secara teoritik perubahan sosial dan kebudayaan dapat dibedakan, namun dalam kehidupan sehari-hari tidak mudah untuk menentukan dimana letak garis pemisah antara masyarakat dan kebudayaan, hal ini karena tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan tidak ada kebudayaan menjelma diluar atau bukan pada masyarakat.
Perubahan sosial dalam analisis Sayogyo (1985:119), adalah interaksi antar individu, organisasi yang menyangkut struktur sosial, nilai norma dan peranan. Ia melihat pada perubahan struktur, lembaga kemasyarakatan antar interaksi sosial, stratifikasi sosial dan hubungan sosial yang terjadi pada masyarakat. Davis dan Cohen (dalam Darusman, 1995:70) mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Moore (dalam Lauer 1993:4), memberi arti bahwa perubahan sosial sebagai perubahan penting dari struktur sosial, dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial, karena mencakup berbagai pernyataan tentang struktur seperti norma, nilai dan gejala budaya. Umar (1986:41), perubahan sosial biasanya menyangkut perubahan struktur, nilai-nilai dan tata hubungan antar individu atau kelompok dalam masyarakat. Hasim (dalam Garna,1992:13), mengemukakan perubahan sosial ialah sebaran penyesuaian yang berlaku kepada pola interaksi antara individu-individu sebagai unit sosial dalam sebuah masyarakat.
Perubahan sosial yang terjadi dalam era globalisasi berjalan secara wajar dan tidak bisa ditolak (Moore, 1967:2) dan kadang-kadang berjalan cepat cendrung bersifat kualitatif (Wilensky dan Lebeaux, 1965:345) pada dasarnya setiap perubahan sosial adalah normal dan berkelanjutan, tetapi menurut arah dan perubahan yang berbeda diberbagai tingkat kehidupan dengan berbagai tingkat kecepatan (Lauer,1993:8). Bahkan menurut Ogbur (dalam Lauer,1993:208-209), sebab perubahan disatu pihak akan mengakibatkan perubahan dipihak lain. (Sayogyo,1985:126), menjelaskan bahwa setiap perubahan satu bagian dari sistem masyarakat akan membawa perubahan pada bagian lainnya, yang sering mempunyai akibat-akibat yang tak diduga-duga sebelumnya.
Perubahan sosial dapat disebabkan oleh adanya kontak atau komunikasi dengan warga masyarakat sekitarnya, seperti yang dikemukakan Mudiyono (1990:9) bahwa kontak suatu kelompok sosial dengan kelompok sosial lain atau suatu bangsa dengan bangsa lain dapat menyebabkan terjadinya perubahan. Perubahan pada waktu yang lampau berjalan dengan lambat karena teknologi transportasi belum secepat dewasa ini. Kemajuan dalam bidang transportasi mengakibatkan mobilitas fisik manusia tinggi sehingga kontak antar kelompok sosial atau antar bangsa makin meningkat. Meningkatnya frekwensi dan volume kontak antar kelompok sosial atau suku bangsa menungkinkan penyebaran pengetahuan lebih cepat pula. Betapapun kecilnya kontak dengan masyarakat sekitarnya akan mempengaruhi perubahan sosial.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik, dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan status kelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi sistem pemikiran, suatu peristiwa pada suatu masa yang sedang berlangsung. Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan agar peneliti dapat memahami masyarakat peladang berpindah secara personal dan memandang mereka sebagaimana mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya. Dengan demikian metode penelitian deskriptif ini dipandang cocok untuk menggambarkan berbagai perubahan sosial yang terjadi pada kehidupan masyarakat peladang berpindah Dayak Ribun yang berada di sekitar proyek PIR-Bun kelapa sawit Kecamatan Parindu Sanggau Kalimantan Barat.
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Analisis data kualitatif diartikan sebagai usaha analisis berdasarkan kata-kata yang disusun ke dalam bentuk teks yang diperlukan. Dalam penelitin ini, data hasil wawancara dan pengamatan ditulis dalam suatu catatan lapangan yang terinci, data dari catatan lapangan inilah yang akan dianalisis secara kualitatif.
Perubahan Pola Kehidupan
Perubahan pola kehidupan terfokus pada pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari tidak mengalami perubahan yang menyolok, dalam pengertian bahwa kebiasaan mereka mengkonsumsi berbagai jenis makanan yang dibuat sendiri dari hasil ladang atau kebun adalah makanan sehari-hari. Berbagai jenis makanan yang didatang dari kota baik makanan jadi maupun setengah jadi. Kebiasaan menyuguhkan tamu dengan minuman tuak sudah diganti dengan minuman teh atau kopi, demikian juga dengan jenis rokok yang terbuat dari nipah yang diisi dengan tembakau sulit ditemukan, rokok yang dikonsumsi adalah buatan pabrik. Dengan demikian kehadiran proyek PIR-Bun kelapa sawit telah menyebabkan perubahan dalam pola konsumsi masyarakat.
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan daerah mereka karena kehadiran proyek PIR-Bun kelapa sawit, hasil penelitian dan pengamatan yang mendalam telah terjadi perubahan pandangan dalam berpakaian. Fungsi pakaian tidak lagi dipandang hanya sebagai penutup badan, tetapi sudah dianggap sebagai sesuatu yang dapat memperindah badan, hal itu terlihat dari jenis dan model pakaian yang dipakai mereka, terutama di kalangan anak-anak muda sudah tidak ada bedanya lagi dengan jenis dan model pakaian yang biasa dipakai oleh para pendatang dari luar. Di kalangan anak muda baik pria maupun wanita orang Dayak di Parindu sudah biasa mengenakan celana jeans, dengan penampilan yang rapi.
Sementara itu dikalangan orang tua selera terhadap mode pakaian cenderung sederhana. Seorang laki-laki memakai celana pendek dan tidak berbaju serta kaum wanita yang mengenakan sepotong kain kemban dengan bertelanjang dada sudah tidak ditemukan lagi. Ini berarti bahwa perubahan yang dialami orang Dayak di Parindu tidak hanya pada bentuk fisik tetapi juga pada non fisik, hal ini sangat erat dengan perubahan kehidupan sosial ekonomi serta pendidikan yang mereka miliki terutama dikalangan generasi muda..
Seni tradisional yang dimiliki oleh orang Dayak Ribun, antara lain seni suara, seni tari (seni gerak), dan seni rupa. Seni tradisional, di daerah ini yang merupakan unsur budaya non-material ada yang sudah mengalami perubahan, seperti tari pergaulan (jonggan) dan nyanyian-nyanyian sudah tidak pernah dipagelarkan, karena mereka lebih menyukai lagu-lagu dangdut dan pop. Hal ini karena kaset/vcd player lagu dangdut dan pop beredar luas dengan harga yang dapat dijangkau, yaitu Rp 5000 untuk vcd player, dan vcdnya Rp 350.000 – 500.000. Disamping melalui vcd, film dan lagu-lagu tersebut dapat mereka dengar dan nonton melalui acara televisi pemerintah maupun swasta dengan menggunakan antena parabola digital.
Fenomena yang terlihat dalam penggunaan bahasa di Parindu tampaknya bervariasi, bahasa yang digunakan orang Dayak dengan sesama warga Dayak di rumah, umumnya bahasa Dayak. Di luar rumah dengan sesama warga Dayak walaupun berbeda suku tetap bahasa Dayak, diantara mereka saling mengerti dan paham walaupun berbeda suku. Sebaliknya dengan orang luar yang bukan etnik Dayak tetapi mengerti bahasa mereka, maka kadang kala menggunakan bahasa Dayak dan kemudian bertukar bahasa Indonesia. Dengan orang yang tidak mengerti sama sekali bahasa mereka, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Pada umumnya orang Dayak Ribun dapat berkomunikasi dan mempergunakan bahasa Indonesia walaupun dengan gaya dialeknya, namun maksud dan makna yang disampaikan dapat dimengerti oleh lawan bicara.
Kehidupan bidang agama hampir tidak mengalami perubahan yang berarti. Jauh sebelum dibangunnya proyek perkebunan kelapa sawit mereka sudah menganut agama Katolik dan Protestan. Agama itu diperkenalkan oleh para misionaris kristen Katolik dan Protestan. Para misionaris Kristen mulai menyebarkan agama di daerah pedalaman Kalimantan sejak awal abad ke 20. Untuk daerah Parindu, Misionaris dan Zending mulai masuk sekitar tahun 1951. Agama Katolik dan Protestan telah menyebar dengan cukup luas di seluruh wilayah Parindu dan sekarang 67,09% menganut agama Katolik dan 20,20% agama Protestan (Kecamatan Parindu Dalam Angka, 2002).
Kegiatan ritual keagamaan dilakukan secara rutin tidak hanya tampak pada hari minggu, tetapi juga pada hari-hari besar keagamaan seperti hari Natal dan Paskah. Gereja Katolik dan Protestan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan kebudayaan lokal dan kehidupan sosial masyarakat. Pihak Zending dan Missi, baik melalui lembaga pendidikan, pewartaan ajaran agamanya dan kegiatan sosial lainnya dalam waktu yang relatif lama telah berhasil memperkenalkan nilai-nilai baru dalam masyarakat, antara lain penekanan pandangan yang melihat jauh ke masa depan. Mereka juga mulai meninggalkan adat dalam kegiatan perladangan, termasuk mantra dalam upacara adat diganti dengan doa yang diajarkan menurut agamanya.
Adat istiadat dan hukum adat masyarakat setempat masih tetap berlaku sebagai kontrol sosial, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ajaran agama dan perkembangan masyarakatnya, seperti masih dilakukan tradisi pesta gawai. Secarai ekonomi pesta gawai dapat dikatakan sebagai pemborosan, tetapi dari acuan hidup mereka merupakan keselarasan dan keharmonisan dengan cara berbagi kebahagiaan dengan warga masyarakat.
Bentuk dan kondisi tempat tinggal juga mengalami perubahan seiring dengan kehadiran perkebunan kelapa sawit. Pada saat ini bangunan rumah, terlihat sederhana tetapi sudah bervariasi dalam model dan bentuknya. Dinding rumah selain menggunakan papan, juga sudah banyak menggunakan bahan campuran semen dan pasir serta besar. Bumbungan atap ada yang berbentuk segi lima dan tunggal (pola atau model gudang), dan atapnya sebagian besar mempergunakan sirap, yang berupa lembaran tipis dari kayu besi atau kayu keladan. Ada yang mempergunakan atap seng bergelombang. Luas setiap rumah berbeda-beda, tergantung pada kemampuan setiap keluarga atau rumah tangga. Lebar rumah mereka ini rata-rata 4 – 6 meter, sedangkan panjangnya rata-rata 6 – 8 meter dengan bentuk persegi empat panjang.
Perubahan pola kehidupan dapat dilihat juga dari kepemilikan harta kekayaan, walaupun sebagian besar mereka sudah memiliki radio dan televisi, sepeda, dan sepeda motor yang dibeli kontan dari hasil panen kebun kelapa sawit. Ada juga mereka yang membeli dengan pembayaran secara berkala (pembayaran tiap bulan) dari dan hasil panen. Selain itu juga ada jaringan sosial (arisan) yang mereka bentuk untuk melakukan akses barang-barang yang ingin mereka miliki.
Secara fisik kempemilikan barang elektronik, tranportasi, dan alat perlengkapan rumah tangga lain meningkat dibandingkan dengan kondisi sebelum ada proyek PIR-Bun kelapa sawit. Hal yang tampak dari kepemilikan sepeda dan sepeda motor. Pemilikan sepeda dan sepeda motor dianggap sangat penting karena memiliki fungsi sangat besar selain untuk bekerja juga menjadi alat transportasi penting sebab jarak antara kebun kelapa sawit dengan rumah tinggal relatif jauh. Radio dan televisi dipandang penting dan diidamkan oleh setiap warga masyarakat, untuk menerima informasi dan hiburan.
Perubahan dalam peranan keluarga. Bentuk keluarga batih relatif tetap terdiri ayah, ibu dan anak-anaknya. Fungsi keluarga adalah satuan pengasuhan anak, tampaknya masih belum mengalami perubahan yang esensial. Ibu tetap merupakan orang yang paling penting kedudukannya dalam proses enkulturasi dan sosialisasi anak-anak demikian pula ayah dan beberapa anggota keluarga dekat lainnya. Perubahan justru terjadi sebagai suatu bentuk fenomena sosial yang berubah ialah ruang gerak anak-anak perempuan makin luas yang diakibatkan oleh orientasi nilai budaya, sehingga tampak lebih leluasa dan fleksibel. Anak perempuan boleh berjalan berduaan dengan laki-laki tanpa merasa bersalah dan takut dimarahi orang tua.
Penutup
1. Kehadiran proyek PIR-Bun kelapa sawit telah memberikan kontribusi yang positif terhadap peningkatan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup yang diperlukan.
2. Kehadiran proyek PIR-Bun kelapa sawit telah mendorong perubahan pola hidup masyarakat yang ditandai dengan pergeseran orientasi kepemilikan harta untuk memperoleh penghargaan dan pengakuan masyarakat yang berkenaan dengan status sosial.
3. Konflik sosial yang terjadi tidak hanya terbatas sesama warga masyarakat setempat, tetapi dengan warga pendatang maupun dengan pihak perkebunan. Pemicu konflik antara lain menyangkut persoalan tanah, hubungan ketetanggaan yang tidak harmonis dan juga masalah pergaulan anak-anak muda. Konflik tersebut tidak sampai menyangkut masalah agama dan suku, karena dapat diatasi mereka sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, Kusnaka. 1983. Kerangka Studi Antropologi Sosial Dalam Pembangunan, Bandung: Tarsito.
Alqadrie, Syarif. I. 1992. Dampak Perusahaan HPH Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya Penduduk Setempat di Pedalaman Kalbar, Pontianak: Balai Penelitian Untan.
--------------------------. 1994. Dampak Perusahaan HPH Dan Perkebunan Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Dan Budaya Penduduk Setempat di Daerah Pedalaman Kalimantan Barat: Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grashindo Utama.
Biro Pusat Statistik dan Bappeda. 1988; 1999; 1990 Kalimantan Barat Dalam Angka, Pontianak: Kantor Statistik Propinsi Kalimantan Barat.
------------------------. 2002. Kecamatan Parindu Dalam Angka, Parindu, Mantri Statistik Kecamatan.
Darusman, Yus. 1995. Perubahan Mata Pencaharian Hidup dari Pertanian ke Industri Kerajinan, Bandung: Tesis Program Pascasarjana Unpad.
Garna, Judistira K. 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial, Bandung: Program Pascasarjana Unpad.
------------------------. 1995. Kearifan Masyarakat Dalam budidaya Dan Penggunaan Lahan: Makalah Dalam Seminar Budaya Dan Budidaya Pertanian: Pelestarian, Perubahan, Dan Pertukaran (Culture dan Agriculture: Preservation, Change and Exchange), Bukittinggi, Departemen Pertanian dan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan- Direktorat Jenderal Kebudayaan, RI.
Gubernur Kalbar, 1982. Surat Keputusan Gubernur Kalbar Nomor 187 Tahun 1982, Pontianak: Setwilda Propinsi Kalbar.
Hoffman, Carl. F. 1985. Punan Liar di Kalimantan: Alasan Ekonomis, Dalam: Michael R. Dove (Ed), Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Joyomartono, Mulyono. 1991. Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat Dalam Pembangunan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Lauer,Robert.H.1993. Perspektif Tentang Perubahan Sosial(Terjemahan), Jakarta: Rineka Cipta.
Masinambow, E.K.M. 1997. Pengantar: Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, Jakarta:YIIS
Miles, Mattew B dan Hubermen, Michael. 1992. Analisa Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode Baru, Terjemahan Tjetjep Rohendy, Jakarta: UI Press.
Mudiyono. 1990. Perubahan Sosial dan Ekologi Peladang Berpindah, Pontianak:Dalam Suara Almamater Universitas Tanjungpura, No II Tahun V Nopember 1990.
Moore, Wilbert E. 1967. Order And Change; Essays in Comparative Sociology, New York, John Wiley & Sons.
Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito
Nihin, A. Dj. 1994. Model Pembangunan Yang Sesuai Dengan Aspirasi dan Harapan Orang Dayak, Dalam Paulus Florus (editor),Kebudayaan Dayak, Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grasindo.
Sayogyo, Pudjiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan, Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Soelaiman, M. Munandar. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soemarwoto, Oto. 1987. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Jembatan
Umar, Farad. 1986. Tujuan dan Khalayak Sasaran Pengabdian Pada Masyarakat, Dalam: Margono Slamet (editor) Metodelogi Pengabdian Pada Masyarakat, Bandar Lampung: Penerbit Unlam.
Widjono, Roedy Haryo. 1998. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Gramedia.
Wilensky, Harold L, Charles N. Lebeaux. 1965. Industrial Society and Social Welfare, New York: The Free Press.
Oleh: Prof.Dr.Arkanudin, M.Si
Guru Besar Sosiologi dan Antropologi Fisip Universitas Tanjungpura Pontianak dan Rektor Universitas Kapuas Sintang Kapuas Raya
Pendahuluan
Suku Dayak merupakan suatu suku yang besar dan mempunyai kelompok suku yang sangat banyak dengan budaya yang beranekaragam, masyarakat suku Dayak hidup dan berkembang di wilayah pedalaman Kalimantan. Suku Dayak memiliki beberapa sub suku bangsa namun perbedaan kebudayaan yang ada relatif kecil, hal ini disebabkan mereka berasal dari garis keturunan yang sama.
Kebudayaan masyarakat suku Dayak dapat terlihat dari unsur-unsur budaya seperti sistem religi yaitu keyakinan atau kepercayaan yang dianut sebagai wujud hubungan antara manusia dan penciptanya, sistem organisasi dalam masyarakat yang mengatur hubungan antar masyarakat sehingga terjalin hubungan yang harmonis, sistem kekarabatan dimana silsilah keluarga menjadi sangat penting karena rasa kekeluargaan suku Dayak sangat kuat sehingga mereka memiliki kesatuan yang kuat, sistem mata pencaharian dimana mereka hidup dengan berladang sehingga secara alami akan membentuk suatu kebiasaan dalam hidup sehari-hari dan pada saat itu juga peralatan serta teknologi yang digunakan masih sangat sederhana. Kesemua itu merupakan unsur kebudayaan yang mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter, pola hidup, serta pola pikir suku Dayak yang kesemuanya tercermin dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Masyarakat Dayak mempunyai sifat terbuka sehingga mudah mengadaptasi kebudayaan dari luar. Seiring dengan kemajuan zaman suku Dayak tidak lagi berkelompok dan tinggal dalam satu rumah melainkan mulai memisahkan diri dan membuat rumah tinggal keluarga mereka sendiri. Konsep hidup suku Dayak keterbukaan dan kebersamaan masih tetap dipegang ditengah modernisasi walaupun dalam perwujudannya yang berbeda. Tidak dipungkiri bahwa kemajuan zaman merubah pola pikir dan hidup suku Dayak.
Perubahan kebudayaan berdampak pada perubahan pola hidup dan pola pikir suku Dayak saat ini dan itu berpengaruh pula terhadap keterbukaan dan kebersamaan suku Dayak, pada mulanya mereka belum mengenal sifat yang individualistis sekarang sifat itu mulai ada dalam sikap hidup mereka walaupun tidak sepenuhnya merubah konsep hidup orang Dayak dan itu diakibatkan oleh kemajuan zaman. Kemajuan zaman juga mempengaruhi kebutuhan hidup suku Dayak.
Siapakah Orang Dayak
Menurut sejarah nenek moyang orang Dayak dahulu kala berasal dari Yunan di Cina Selatan (Coomans, 1987). Dari tempat tersebut kelompok-kelompok kecil mengembara melalui Indo Cina ke jazirah Malaysia, yang menjadi batu loncatan untuk memasuki pulau-pulau di Indonesia. Selain itu, ada kelompok yang memilih batu loncatan lain yakni melalui Hainan, Taiwan, dan Philipina kemudian masuk ke Kalimantan. Perpindahan itu tidak begitu sulit karena pada zaman glazial (zaman es) permukaan laut sangat turun (surut), sehingga dengan perahu-perahu kecil sekalipun mereka dapat menyeberangi perairan yang memisahkan pulau-pulau.
Perpindahan itu diperkirakan karena penduduk Yunan pada waktu itu mencari tempat yang dianggap paling bisa memberikan peluang dan kebebasan bagi mereka untuk mencari nafkah, khususnya untuk berladang dan berburu, rupanya perpindahan itu tidak hanya berlangsung sekali terjadi, tetapi berlangsung secara bertahap (Akil, 1994). Menurut Coomans (1987) kelompok pertama yang masuk wilayah Kalimantan adalah kelompok Weddid yang sekarang sudah tidak ada lagi. Kemudian disusul dengan kelompok yang lain yang lebih besar disebut Proto Melayu. Perpindahan mereka berlangsung dalam seribu tahun dan terjadi kira-kira 3000-1500 Sebelum Masehi.
Lebih lanjut Coomans (1987) menyatakan bahwa sekitar lima ratus tahun sebelum Masehi berlangsung lagi suatu perpindahan besar dari daratan Asia ke Kalimantan dengan memilih waktu dan jalan yang berbeda. Kelompok-kelompok ini disebut deutro-melayu Kemungkinan suku bangsa Dayak yang bermukim di Kalimantan Selatan dan Tengah beberapa tahun terlebih dahulu singgah di Sumatera dan Jawa, sedangkan suku bangsa Dayak di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur tidak singgah. Suku bangsa Murut, yang bermukim di bagian utara Kalimantan Timur, mungkin masuk Kalimantan lewat Filipina, setelah lama tinggal di sana sebelum masuk Kalimantan. Suku bangsa ini menguasai sistem irigasi, yang tidak dikenal oleh suku-suku bangsa lain; bahkan Afen (1995), menduga bahwa migran dari Yunan tesebut mendiami Pulau Kalimantan sudah sejak zaman Megalithikum dan Neolithikum kurang lebih 1500 Sebelum Masehi.
Riwut (1958); Lontaan (1975) mengemukakan bahwa imigran yang datang dari Yunan tersebut yang dikatakan sebagai cikal bakal suku Dayak ini, begitu sampai di Kalimantan pada mulanya mendiami tepi Sungai Kapuas atau Laut Kalimantan, tetapi dengan datangnya Melayu dari Sumatera dan tanah Semananjung Malaka, akhirnya mereka semakin terdesak ke hulu sungai bertambah lama bertambah jauh kesebelah darat Pulau Kalimantan. Versi lain menyebutkan bahwa perpindahan orang Dayak ke daerah pedalaman itu terpaksa dilakukan dalam pengembaraan mencari lahan yang makin baik untuk berladang, khususnya padi untuk makanan pokoknya (Susanto, 1998). Selain orang Melayu telah datang, menurut Riwut (1958) datang pula orang Bugis dan Makasar yang mendiami Pantai Timur dan Pantai Barat pulau Kalimantan, demikian pula orang Jawa telah datang semasa kerajaan Majapahit. Orang asing yang datang di Kalimantan sebelah Barat, yaitu orang Tionghoa.
Kebudayaan Orang Dayak
Merujuk pendapat yang dikemukakan oleh Edward B. Taylor (dalam Koentjaraningrat,1990) bahwa yang dimaksud kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang di dalamnya mengandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Budaya menempati posisi sentral dalam seluruh tatanan hidup manusia. Tak ada manusia yang dapat hidup di luar lingkup budaya. Setiap masyarakat maupun bangsa memiliki budaya yang berbeda-beda, hal ini dapat dilihat dari masing-masing tempat dan daerah yang di tinggali, dapat dikatakan manusia sebagai pencipta budaya.
Demikian halnya dengan suku Dayak di Kalimantan memiliki berbagai anekaragam budaya. Kusni (http://jurnaltoddopppuli.wordpress.com) berdasarkan hasil penelitiannya terhadap suku Dayak di Kalimantan menyebutkan bahwa unsur kebudayaan Dayak adalah: (1) Sistem keyakinan, banyak penulis asing bahkan juga penulis Indonesia cendrung menyebut keyakinan orang Dayak sebagai animisme. Dengan konsep keyakinan yang demikian ini, maka inti dari kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini bagi orang Dayak bukan terletak pada aspek kebendaan (material), tetapi pada keseimbangan kosmos; (2) Sistem Kekaraabatan, sistem kekerabatan yang dianut oleh suku bangsa Dayak adalah bilateral, yaitu menarik garis keturunan melalui pihak ayah dan ibu. Dengan demikian sistem pewarisanpun tidak membedakan anak laki-laki dan anak perempuan. Bentuk kehidupan keluarga terdiri atas dua jenis yaitu keluarga batih(nuclear family) dan keluarga luas(extended family); (3) Pola Pemukiman, bentuk pemukiman orang Dayak adalah Rumah Betang. Menurut Prof. H.KMA. M. Usop bahwa pada umumnya rumah betang suku bangsa Dayak dibangun memanjang mengikuti alur sungai di mana mereka berada. Rumah Betang memiliki fungsi sosial-budaya dan ekonomi bahkan sebagai pusat kekuatan mengatur tata kehidupan masyarakat. Bahkan dikatakan Rumah Betang sebagai pusat kebudayaan Dayak; (4) Mata Pencaharian, sumber penghidupan yang paling utama adalah ekonomi subsisten dalam bentuk perladangan tidak menetap (berpindah-pindah), berburu, menangkap ikan secara tradisional, serta meramu hasil hutan yang ada di sekitar mereka, berladang adalah sebuah bentuk jati diri dan kebudayaan Dayak, hal ini karena berladang tidak dapat pisahkan dari eksistensi masyarakat Dayak; (5) Sistem Pengetahuan, suku bangsa Dayak tidak mengenal tulisan atau aksara. Oleh sebab itu tradisi lisan merupakan tradisi yang mereka wariskan secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Salah satu ciri tradisi lisan adalah komunikasi dan penyampaian informasi secara lisan dan menyampaikannya dari mulut ke mulut; (7) Sistem Teknologi, sistem teknologi suku bangsa Dayak relatif sederhana, karena peralatan yang mereka gunakan umumnya berhubungan dengan kegiatan-kegiatan pertanian, berburu, menangkap ikan, membangun rumah panggung; (8) Adat-istiadat dan Hukum Adat, adat-istiadat adalah nilai-nilai normatif yang mengatur tata kehidupan orang Dayak. Adat dibagi menjadi dua, yaitu adat yang mengatur tentang kehidupan(siklus kehidupan mulai di dalam perut, kelahiran hingga kematian, dan berbagai aktivitas dan interaksi sosial selama hidup di dunia), dan adat yang mengatur tentang upacara kematian; (9) Sistem Kesenian, kesenian yang berkembang di kalangan suku bangsa Dayak sangat terbatas, yaitu seni tari, seni suara, dan seni patung. Seni tari yang masih ada hingga sekarang ini terbatas pada tari giring-giring, tari bahalai, tari gelang dan tari mandau, dan tari burung jue(merak). Semua tarian ini bermakna sebagai tarian pergaulan dan untuk menyambut tamu. Seni suara/sastra adalah lagu-lagu daerah yang dilantunkan dengan bahasa sastera baik dalam bentuk pantun maupun bentuk puisi yang dinyanyikan. Lagu-lagu seperti ini banyak dilantunkan pada upacara perkawinan, dan pertemuan-pertamuan yang bersifat kegembiraan. Seni patung cendrung hanya berhubungan dengan ritual kematian. Karena patung-patung yang dibuat itu hanyalah patung orang yang sudah mati, dan patung para leluhur. Demikian pula halnya dengan seni lukis banyak berhubungan dengan kegiatan ritual orang mati dan orang yang sakit.
Orang Dayak Saat Ini
Dalam perspektif sosiologis, suku Dayak terbagi menjadi tiga bagian berkaitan dengan pewarisan budaya yang dimilikinya. Bagian pertama, kelompok masyarakat suku Dayak yang bermukim di pedalaman, di kampung-kampung yang mungkin masih tersisa kemurnian kebudayaannya adalah bagian masyarakat yang bertahan dengan pola budaya tolong-menolong, solider, dan loyal dengan ikatan komunalnya. Bagian ini masih mewarisi budaya leluhur dan menganggap bahwa kebudayaan merupakan bagian dari pembangunan kemanusiaan (human development). Bagian ini sudah terserap modernisasi tetapi masih kuat bertahan dengan kearifan tradisionalnya;
Bagian kedua, adalah bagian tengah yakni bagian masyarakat yang sedang-sedang saja, artinya masih tetap bertahan dengan sebagian dari kebudayaannya namun juga sudah mulai menyerap unsur-unsur modernisasi. Bagian ini merupakan bagian yang cenderung ambil posisi aman saja, cenderung pasrah dan acuh terhadap pewarisan budayanya kepada generasi setelahnya. Bagi mereka, budaya adalah budaya, ia akan mengalami seleksi alamiah, tidak ada kewajiban yang mengharuskan untuk mewariskannya;
Bagian ketiga adalah bagian dari pucuk piramida, kaum elite dan intelektual dan berwawasan luas, menguasai teknologi dan ilmu pengetahuan namun hampir sama dengan bagian kedua, yakni mewariskan budaya menjadi bagian yang tidak terlalu penting dan harus di masa kini yang serba canggih. Hanya saja yang membedakannya adalah cara pandang dan keprihatinan mereka dalam melihat eksistensi kebudayaan dan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam konstelasi demikian, maka peranan kaum elite dan intelektual merupakan garda depan yang harus menjadi motor penggerak masyarakat bagian tengah untuk tetap mempertahankan kebudayaan dan mereposisi perubahan pola pikir manusia suku Dayak. Perubahan pola pikir tidak harus serta merta menanggalkan kebudayaan, karena kebudayaan merupakan penapis/filter bagi kebudayaan lain yang tidak sesuai dengan kepribadian manusia Dayak. Jika tidak, maka yang terjadi adalah secara eskalatif muncullah gerakan eskapisme terhadap budaya sendiri, lebih bangga dengan kebudayaan lain, yaitu kebudayaan baru sebagai pengabur identitas lama untuk dan atas nama sebuah identitas modern (http://kalimantan.infogue.com/)
Di era globalisasi sekarang ini, dimana rujukan modern mengambil Barat sebagai patokan, kompetisi sebagai dasar hubungan dan kekuasaan sebagai orientasi membawa manusia Dayak semakin terasing dari karakternya. Dasar solideritas dipecah dan direkayasa secara historis dan sistematis lewat pelabelan rumah betang yang tidak sehat dan tidak modern, sehingga pada kondisi tertentu mendorong mereka tinggal dan membangun rumah tunggal, konsekwensi logis atas ini semua membawa masyarakat Dayak pada ruang individualistis. Penerapan modernisasi ala Barat yang memiliki prasyarat masifikasi individualisme merubah pola pikir dan pola hidup masyarakat Dayak. Dengan rumah tunggal tersebut semakin membawa manusia Dayak terasing dari solideritas yang pernah menjadi karakternya dahulu (Alfon, 2009).
Bahkan Menurut Adventa (dayaks@yahoogroups.com) bahwa: "...anak-anak sekarang sudah tidak dapat memperolehnya (baca: transfer budaya Dayak dari generasi tua) kembali karena sudah ada yang lebih menarik perhatian seperti sinetron-sinetron, Harry Potter, Meteor Garden, dll.").
Sejalan dengan ini, kitapun menyaksikan bahwa anak-anak muda bahkan para balita Dayak dalam kehidupan sehari-hari, bahasa komunikasi spontan mereka umumnya (terutama di kota-kota besar) adalah bahasa Indonesia dan bukan bahasa Dayak. Banyak dijumpai bahwa anak-anak muda Dayak sudah tidak mengetahui dan paham dengan baik akan bentuk-bentuk sastra-seni Dayak dan mereka lebih mengasyiki lagu-lagu pop Barat dan para bintangnya. Tentu sah-sah saja, tapi dengan ketidaktahuan mereka akan budaya lokal, mereka menjadi Dayak hanya karena adanya darah Dayak yang mengalir ditubuh mereka, sedangkan apa-bagaimana budaya Dayak, apa bagaimana konsep hidup mati orang Dayak itu, , dan sebagainya, generasi sekarang boleh dikatakan tidak tahu.
Dilihat dari segi pengenalan budaya diri sendiri, bisa dikatakan bahwa generasi muda Dayak pada saat ini sebagaimana dikatakan oleh Alma Adventa bahwa: " ... orang Dayak (baca: generasi mudanya) nyaris seperti tanaman tercerabut dari akarnya". Kondisi seperti ini lah oleh Jan Aart Scholte (1999) sebagai peristiwa Globalisasi Budaya, yaitu serangkaian proses dimana relasi akal dan budi manusia relatif terlepas dari wilayah geografisnya. Adapun faktor penyebabnya adalah pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, khususnya awal abad ke 21( http://id.wikipedia.org/wiki/globalisasi).
Berdasarkan gambaran sebagaimana yang telah dikemukakan tersebut, ternyata ada kecendrungan bahwa kebudayaan yang lebih tinggi mempengaruhi kebudayaan yang lebih rendah, bangsa yang lebih maju mempengaruhi bangsa yang terbelakang dan mayoritas lebih banyak mempengaruhi yang minoritas.
Penutup
Kebudayaan Dayak di Kalimantan merupakan salah satu kekayaan kebudayaan nasional. Kebudayaan yang telah turun temurun diwariskan oleh nenek moyang suku Dayak telah membentuk kepribadian dan karakteristik yang dikenal sekarang ini. Namun, seberapakah nilai-nilai kebanggaan atas warisan kebudayaan itu bagi generasi masa kini? Tidak ditemukan suatu parameter akan hal itu, namun yang jelas sejak suku bangsa ini ada dan masa-masa kelam pasang surutnya peristiwa dalam sejarah hingga terjajah oleh kolonialis dan masa global ini, suku Dayak dikenal sebagai suku pandai mengartikulasi semua noktah peristiwa dalam suatu konstelasi dan episode kehidupan yang amat memukau.
Pemerintah daerah dan masyarakat sipil komunitas Dayak termasuk lembaga-lembaga pendidikan Tinggi yang ada di Sintang perlu melakukan usaha pelestarian budaya lokal masyarakat Dayak secara rutin yaitu melakukan kegiatan gawai dayak juga dengan melakukan penelitian terhadap budaya Dayak baik kebudayaan materiil maupun non materiil, diharapkan dari hasil penelitian tersebut dapat pajang dan dibaca oleh generasi muda sehingga mereka dapat mengenal kebudayaan leluhurnya.
.
Oleh: Arkanudin
Pendahuluan
Pendekatan yang kini sering digunakan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat harkat martabat keluarga miskin adalah pemberdayaan masyarakat. Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena memberikan perspektif positif terhadap orang miskin. Orang miskin tidak dipandang sebagai orang yang serba kekurangan (misalnya, kurang makan, kurang pendapatan, kurang sehat, kurang dinamis) dan objek pasif penerima pelayanan belaka. Melainkan sebagai orang yang memiliki beragam kemampuan yang dapat dimobilisasi untuk perbaikan hidupnya. Konsep pemberdayaan memberi kerangka acuan mengenai matra kekuasaan (power) dan kemampuan (kapabilitas) yang melingkup aras sosial, ekonomi, budaya, politik dan kelembagaan.
Sejak tahun 2007 pemerintah Indonesia telah melaksanakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang terdiri dari PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, serta PNPM Mandiri wilayah khusus dan desa tertinggal. Pada masa otonomi daerah sekarang ini, tentunya program-program penanggulangan kemiskinan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat melalui lintas departemen seyogyanya harus lebih banyak ditunjang oleh pemerintah daerah, karena pemerintah daerah yang lebih mengetahui secara pasti besarnya angka kemiskinan dalam masyarakat di wilayahnya, sehingga tujuan dari program nasional tersebut dapat terarah secara efektif dan efisien untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin.
Program PNPM bukanlah merupakan program yang baru, hanya berganti label tapi nuansanya sama dengan program sebelumya. Sebenarnya upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia telah dilakukan sejak awal kemerdekaan. Misalnya:
1. Dibidang pendidikan, pemerintah melancarkan pemberantasan buta huruf tak terbatas di sekolah formal saja, namun juga secara non-formal. Di era Bung Karno, anak-anak usia sekolah bahkan dikejar agar mau masuk sekolah. Di era Pak Harto, dicanangkan wajib belajar sembilan tahun, dan hasilnya luar biasa. Hal ini ditunjukkan pada peningkatan peserta pendidikan dasar dari 62 persen anak-anak pada tahun 1973 menjadi lebih dari 90 persen pada tahun 1983. Namun, sampai saat ini tingkat buta huruf dilaporkan masih cukup tinggi di Indonesia.
2. Di bidang kesehatan, pemerintah meluncurkan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dan memperkenalkan sistem santunan sosial. Di era Orde Baru, sejak 1970-an, dikenalkan pusat pelayanan kesehatan di tingkat kecamatan (Puskesmas) agar lebih mudah terjangkau oleh masyarakat desa. Belakangan dibentuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di setiap desa. Pada awal 1990-an pembangunan pusat kesehatan masyarakat meningkat lebih tinggi daripada rumah sakit. Penempatan bidan di desa yang mendidik kader-kader dari kalangan penduduk desa sendiri, dan mendampingi kader dalam kegiatan rutin posyandu, menunjukkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Kaderisasi semacam ini meningkatkan peluang keberlanjutan program yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Program KB juga merupakan program strategis untuk mengurangi tingkat kemiskinan
3. Melalui program transmigrasi, penduduk miskin dari daerah padat diberi peluang yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Pembukaan dan pengembangan tanah pertanian baru diharapkan dapat meningkatkan kesempatan kerja
4. Selanjutnya, melalui Small Enterprise Development Project (SEDP I-III) dari Bank Dunia dilaksanakanlah program kredit likuiditas Bank Indonesia berupa Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) pada tahun 1974 sampai awal 1990-an. Melalui paket 29 Januari 1990, pola kredit usaha kecil diwujudkan dalam KUK (Kredit Usaha Kecil) yang merupakan kredit komersial. KUK ditetapkan sebesar 20 persen dari portofolio kredit bank yang menyalurkannya. Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1232/1989, BUMN diwajibkan untuk menyisihkan 1-5 persen labanya bagi pembinaan usaha kecil dan koperasi (PUKK). Fasilitas lainnya lagi adalah kredit usaha tani (KUT) yang mulai dilaksanakan tahun 1985 dan merupakan bantuan modal kerja bagi petani untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan.
5. Dalam rangka penanggulangan kemiskinan pula diluncurkan berbagai Inpres, seperti Inpres Kesehatan, Inpres Perhubungan, Inpres Pasar, Bangdes, dan yang agak belakangan namun cukup terkenal adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT). Dapat dicatat juga program-program pemberdayaan lainnya seperti Program Pembinaan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Tabungan dan Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Takesra-Kukesra), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), dan seterusnya. Hampir semua departemen mempunyai program penanggulangan kemiskinan, dan dana yang telah dikeluarkan pemerintah untuk pelaksanaan program-program tersebut telah mencapai puluhan trilyun.
Sebagaimana dikemukan di atas, struktur perekonomian Indonesia dengan mudah ambruk karena berat di atas rapuh di bawah. Hal itu terjadi karena kurang seimbangnya perhatian yang diberikan pemerintah Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai kini pada pengembangan ekonomi kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah dibandingkan dengan kelompok-kelompok usaha besar. Kelompok-kelompok usaha besar ini dalam perkembangannya kurang menjalin hubungan yang sifatnya saling memperkuat dengan kelompok usaha kecil dan menengah
Jika dapat disimpulkan, maka penyebab kemiskinan di Indonesia bukanlah kurangnya sumber daya alam, melainkan karena faktor non-alamiah, yaitu kesalahan dalam kebijakan ekonomi. Khusus pada era Orde Baru, kelompok-kelompok usaha yang telah memiliki sistem manajemen modern dengan jaringan koneksi internasional yang sudah cukup baik dapat memanfaatkan situasi yang tercipta dengan lebih baik karena telah lebih siap secara teknis. Tugas yang diberikan kepada kelompok-kelompok usaha tersebut adalah memperbesar kue ekonomi yang kecil untuk kemudian dapat dilakukan pemerataan dalam pola trickle-down effect. Dalam perkembangannya, pertumbuhan untuk pemerataan tidak terjadi dengan mulus, bahkan kesenjangan sosial-ekonomi makin dirasakan melebar.
Peran Perguruan Tinggi Dalam mendukung PSE Masyarakat
Perguruan Tinggi sebagai salah satu institusi yang ada di Indonesia mengemban amanah yaitu harus mengupayakan dan menjadikan dirinya sebagai pusat pengembangan dan penyebarluasan IPTEK serta menghupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Keberadaan Perguruan Tinggi mempunyai kedudukan dan fungsi penting dalam perkembangan suatu masyarakat. Proses perubahan sosial (social change) di masyarakat itu benar-benar terwujud dalam peran yang nyata. Pada umumnya peran Perguruan Tinggi diharapkan tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu: Dharma pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Dengan dharma pendidikan perguruan diharapkan melakukan peran pencerdasan masyarakat dan transmisi budaya. Dengan dharma penelitian, perguruan tinggi diharapkan melakukan temuan-temuan baru ilmu pengetahuan dan inovasi kebudayaan. Dengan dharma pengabdian masyarakat, perguruan tinggi diharapkan melakukan pelayanan masyarakat untuk ikut mempercepat proses peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat. Melalui dharma pengabdian pada masyarakat inilah perguruan tinggi juga akan memperoleh feedback dari masyarakat tentang tingkat kemajuan dan relevansi ilmu yang dikembangkan perguruan tinggi itu.
Dalam kaitannya dengan Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat, menurut hemat penulis, secara makro peranan yang dapat dilakukan oleh perguruan tinggi antara lain:
1. Perguruan Tinggi memiliki peranan sangat penting dalam mempengaruhi perubahan-perubahan suatu masyarakat. Peran dan fungsi Perguruan Tinggi dapat diwujudkan dalam bentuk membangunan gerakan pembelajaran masyarakat untuk mendorong segera terciptanya transformasi sosial
2. Kini, masih saja terjadi jarak yang lebar antara Perguruan Tinggi dengan basis-basis perubahan masyarakat yang ada. Tidaklah berlebihan sekiranya Perguruan Tinggi diharapkan dapat berperan lebih progresif dalam mempengaruhi perubahan masyarakat serta sistematis dan berdampak luas dimasa-masa mendatang. Untuk itu kedekatan Perguruan Tinggi dan masyarakat harus diusahakan melalui program kemitraan kelompok-kelompok masyarakat dengan Perguruan Tinggi
3. Perguruan Tinggi dituntut untuk menentukan dan memilih kebijakan yang benar-benar strategis bagi perubahan-perubahan masyarakat yang lebih baik dan bagi penyelesaian masalah-masalah mendasar bangsa saat ini, baik ditingkat nasional amaupun lokal.
Untuk itu Perguruan Tinggi harus mampu melakukan upaya-upaya yang bermanfaat dalam bentuk yang lebih operasional seperti:
1. Mengembangkan model pembangunan yang benar-benar berbasis pada keilmuan dan sumber daya lokal
2. Membangun basis-basis pengembangan keilmuan yang benar-benar relevan bagi kebutuhan masyarakat dalam rangka merespon perubahan yang sangat dinamis
3. Mengembangkan pusat-pusat pengembangan masyarakat, dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang ada
4. Menyebarluaskan berbagai informasi yang masih menjadi masalah yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui berbagai cara agar kelompok-kelompok masyarakat mempunyai kemampuan adaptif dalam merespon program pembangunan
Penutup
Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, saat ini jauh dari harapan para pendiri republik, di mana fenomena kebodohan, kemiskinan, tingkat kesehatan sangat buruk. Ketidakadilan ekonomi dan rendahnya mutu sosial masyarakat semakin mengkhawatirkan. Di satu sisi, seorang konglomerat dapat menguasai aset dan kekuasaan ekonomi nyaris tanpa batas, di sisi lain banyak masyarakat yang sulit mendapatkan sekadar makan hari ini. Jutaan orang tinggal di daerah kumuh, tanpa jaminan kesehatan dengan kondisi berdesak-desakan.
Sementara itu, reformasi birokrasi belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Bahkan, ada kecenderungan, perilaku budaya lama masih terus berjalan. Pelayanan publik masih berlaku kebalikan, di mana masyarakat justru harus melayani aparatur. Pelayan malah harus dilayani.
Hasil pembangunan nasional belum merupakan aggregate hasil pembangunan daerah. Kekayaan budaya daerah tercecer secara sporadis dan mubazir. Arah pembangunan nasional kerap seperti berjalan di tengah gelap malam, menuju lorong luar negeri yang suram. Sementara, arah pembangunan dengan kultur lokal yang terang benderang ditinggalkan.
Yang sangat aneh, potensi perguruan tinggi belum dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah pusat maupun daerah. Kebanyakan penelitian para intelektual dilaksanakan semata untuk melaksanakan projek. Penelitian mahasiswa sekadar untuk selembar ijazah. Di sisi lain, pemerintah merasa lebih mantap menerapkan hasil penelitian pakar luar negeri, dilaksanakan belum tentu dalam setting yang sesuai dengan kondisi Indonesia.
Menyongsong masa depan bangsa yang lebih cerah, maka perguruan tinggi dan pemerintah daerah harus menyaring dan menyuling sumber daya masyarakat. Penyebab kebobrokan harus dicari kemudian diubah sehingga menjadi kekuatan.
Perguruan tinggi dan pemerintah daerah, harus pula berusaha mengubah kesenjangan sosial yang ada menjadi suatu kesadaran akan tanggung jawab sosial, dengan cara memanfaatkan kekuatan manusia secara optimal.
Perguruan tinggi harus mampu menjembatani kesenjangan antara massa kelas menengah (intelektual) dengan massa kelas bawah (rakyat kebanyakan). Perguruan tinggi juga harus mampu melemahkan fungsi para elite politik (kelas atas) yang merusak etika dan moral bangsa dan negara ini. Untuk itu, diperlukan kesatuan antara massa kelas menengah (intelektual) yang tercerahkan budi (hati) dan pekertinya (pikiran) dengan massa kelas bawah (rakyat) dalam melumpuhkan anarkisme ekonomi dan sosial yang diciptakan para elite tersebut.
Maka saatnyalah, perguruan tinggi terlibat dalam perumusan kebijakan yang akan diambil pemerintah daerah. Di sisi lain, perguruan tinggi harus terus memperbanyak riset, baik rekayasa teknologi maupun rekayasa spesifik lainnya. Dengan cara demikian, perguruan tinggi pantas dilibatkan dalam mendesain rencana pembangunan daerah dan memonitor evaluasi pelaksanaan program pembangunan
Dr. Arkanudin, M.Si
Rektor, Universitas Kapuas
Sintang - Kalimantan Barat
A. PENDAHULUAN
Dalam sejarah ketatanegaraan negara-negara di dunia, fenomena pemekaran daerah telah terjadi sepanjang waktu. Pemekaran daerah dalam perspektif historis (Fiorina, 1995) dapat berupa perluasan wilayah (expansion), tetapi dapat juga berupa pemecahan (divided) satu wilayah administrasi menjadi beberapa wilayah baru yang berkedudukan minimal setara dengan daerah asal.
Implikasi pemekaran, baik secara ekspansi maupun divided adalah terjadinya distribusi kekuasaan (power distribution) atau delegasi kekuasaan (power delegation) berikut segala hal yang menyertai pemekaran tersebut (Kitgaard dan Light, 2005).
Dalam negara modern seperti sekarang ini, pemekaran daerah lebih difahami sebagai kebijakan politik lokal dan nasional karena orientasinya adalah untuk membagi habis tugas pemerintah berdasarkan prinsip kewenangan sisa (residu of power), yakni sebuah model pembagian kekuasaan secara habis diantara berbagai tingkat pemerintahan yang ada. Dengan prinsip ini, apa yang telah diserahkan oleh pusat kepada daerah akan menjadi tugas daerah dan seterusnya sehingga tugas penyelenggaraan pemerintah menjadi terbagi habis sampai ke kabupaten/kota.
Dengan berbekal prinsip ini, daerah perlu menegaskan dalam berbagai bentuk komunikasi, baik ke atas (kepada pemerintah pusat), maupun komunikasi sejawat (melalui APPSI = Assosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia) serta komunikasi ke bawah (dengan masyarakat) bahwa pemekaran Provinsi Kalbar ke dalam Kalbar dan Kapuas Raya adalah tidak dalam konteks pemisahan daerah dari NKRI, melainkan sebagai upaya untuk mempercepat pembangunan daerah, perbaikan kualitas pelayanan publik, dan dalam rangka memanajemeni berbagai potensi daerah yang selama ini belum tersentuh sebagai akibat dari luasnya Provinsi Kalbar saat ini.
Pemekaran wilayah, meskipun dipengaruhi oleh nuansa debirokratisasi, demokratisasi, globalisasi, transparansi dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan, tetapi prinsip-prinsip good governance sebagaimana disebut di atas sering tidak berjalan secara optimal dan ini akan menjadi bahan evaluasi bagi pusat untuk mengabulkan rencana dan wacana pemekaran wilayah. Solusinya adalah, perlu adanya penguatan di tingkat lokal bahwa usul dan wacana pemekaran provinsi merupakan sebuah kebutuhan seluruh rakyat di Kalimantan Barat.
Adalah sangat sulit untuk menyibak dan mengkatalisasi berbagai kepentingan dibalik rencana dan wacana pemekaran wilayah. Agar tidak dikhotomis, maka makalah ini tidak menjustifikasi berbagai nuansa yang memunculkan fenomena pemekaran wilayah, tetapi hanya ingin
B. IDE PEMEKARAN WILAYAH DAN MUNCULNYA ELIT LOKAL
Kalbar, dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, dengan wilayah yang begitu luas, dianggap terlalu berat untuk melaksanakan semua tugas yang telah dilimpahkan pusat kepada daerah sehingga itu perlu dipersempit melalui pemekaran wilayah.
Berbagai keterbatasan dalam penyediaan layanan publik dan “ketimpangan” alokasi dana pembangunan yang selama ini dilakukan oleh Provinsi Kalbar ke wilayah calon Provinsi Kapuas Raya perlu diungkap secara transparan dengan melibatkan berbagai unsur seperti LSM, Universitas dan Lembaga Independen serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang ada di MPR melalui suatu kajian ilmiah mendalam. Dengan dasar hasil riset, rekomendasi pemekaran provinsi akan menjadi lebih kuat sehingga pusat melihat wacana Pembentukan Provinsi Kapuas Raya sebagai sebuah agenda nasional untuk melahirkan pemerintahan yang bersih dan dekat dengan rakyat (Smith, 1985; dan Islamy, 1998).
Kehadiran Provinsi Kapuas Raya hendaknya semata ditujukan untuk mengoptimalkan peran pemerintah daerah sebagai penyedia (provider) berbagai layanan publik (public service delivery) secara lebih baik (Zaithaml et all, 1990). Oleh karena itu, sebagaimana ditunjukkan oleh Smith (1985); Chema and Rondinelli (1985); Osborne dan Gaebler (1993), bahwa misi pemekaran suatu daerah selalu dilandasi oleh semangat desentralisasi yang tidak hanya mencakup aspek kapabilitas dan kapasitas (otonom) tetapi juga dalam nuansa kejiwaan sebagai satu bangsa agar semangat pemekaran tidak mengarah pada desintegrasi bangsa.
Di Indonesia, pemekaran daerah selalu berangkat dari kualitas pelayanan publik dan demokratisasi dan itu menjadi fenomena yang terus berlangsung sampai sekarang. Pemekaran wilayah juga terjadi pada era kolonial meskipun itu dilakukan dalam rangka pengendalian dan pengawasan atas gerakan masyarakat yang ingin melawan penjajah.
Fakta sejarah membuktikan bahwa, sejak pemerintahan kolonial Belanda, Indonesia hanya dibagi ke dalam 4 konfederasi yakni Jawa dan Bali; Sumatera; Sulawesi dan Kalimantan (http://www.wikipeda.com). Kemudian, pemekaran wilayah juga terjadi di zaman Pemerintahan Soekarno yang membagi wilayah Indonesia ke dalam 24 provinsi. Hal yang sama, di era pemerintahan Orde Baru dibawah Presiden Soeharto, paling tidak muncul sebanyak 3 provinsi baru di nusantara ini, yakni Provinsi Lampung, Timur Timor dan Irian Jaya. Dua provinsi terakhir, yakni Timur Timor dan Irian Jaya diperoleh dengan ekspansi (baca: perebutan kembali) daerah Nusantara ke pangkuan Pertiwi.
Di era reformasi, yang dimulai dari Presiden Habibie sampai dengan Duet SBY-MJK telah melahirkan sejumlah provinsi baru seperti Gorontalo, Maluku Utara, Banten, Bangka Belitung, Papua Barat, dan Sulawesi Barat. Secara lengkap, perkembangan wilayah administrasi provinsi di Indonesia sampai saat telah menjadi 33 buah provinsi (http://www.wikipeda.com).
Berdasarkan perkembangan jumlah provinsi yang ada, terlihat bahwa terdapat signifikasi pertambahan penduduk dengan jumlah administrasi kewilayahan (aspek administrasi sosial dan demografis). Juga ditemukan adanya korelasi antara demokratisasi dengan kebutuhan pemekaran wilayah (aspek ekonomi dan politik). Secara filosofis, pertambahan administrasi kewilayahan selain disebabkan oleh adanya kebutuhan kualitas penyediaan layanan publik oleh pemerintah kepada masyarakat, kemunculannya juga dianggap sebagai sebuah fenomena yang multi dimensi: alami, politis, ekonomi dan kekuasaan.
Pemekaran wilayah provinsi juga membawa konsekwensi pada pemekaran Kabupaten dan bahkan pemekaran kabupaten sering dituduh sebagai "biang keladi" terjadinya pemekaran provinsi. Namun, apapun konsekwensinya, sebagai sebuah negara demokratis, sepanjang pemekaran wilayah dilakukan untuk kebaikan, peningkatan efisiensi, pemberdayaan rakyat, peningkatan daya saing, mempertahankan sifat dan kultur lokal bangsa Indonesia, mempercepat laju pembangunan daerah dalam koridor ketahanan nasional, pemerintah pusat tetap akan memfasilitasinya karena ia telah menjadi sebuah kebutuhan dan kehendak publik. Namun, semangat daerah dalam memperjuangkannya tetap dibutuhkan guna mempercepat realisasinya.
Adalah tidak beralasan apabila pemerintah pusat mengganjal usaha pemekaran daerah yang digagas sesuai dengan prinsip moral dan kebutuhan daerah sebagaimana di atas. Dengan pemekaran, pusat juga tidak kehilangan kedaulatannya baik pada negara maupun pemerintah daerah, dan bahkan ada tendensi pemekaran dapat meringankan beban pekerjaan pusat di daerah sehingga upaya membawa bangsa dan negara menuju negara kesejahteraan (welfare state) menjadi semakin enteng karena tugas pemerintah dilaksanakan bersama dengan pembagian tugas yang tegas dan tidak mendua.
Dari pembacaan tabel perkembangan daerah otonom di Indonesia, tren menaik terjadi di era penerapan UU No. 22/1999 yang aromanya telah terjadi sejak 1999. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa otonomi daerah menjadi pemicu tren tersebut.
Berbicara mengenai otonomi daerah, maka kita tidak dapat melepaskan diri dari pembahasan mengenai desentralisasi (Prasodjo, 2006), yang rel berpijaknya adalah upaya untuk menghasilkan tatakelola pemerintahan yang baik, meningkatkan kepercayaan publik, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, menghasilkan barang dan jasa publik yang lebih efektif dan efesien (Savas, 1982; dan Fukuyama, 2004). Namun, dengan pengalaman 6 tahun penyelanggaraan Otonomi Daerah, harapan tersebut masih jauh.
Disana masih terjadi tarik-menarik kewenangan baik antara kabupaten dengan provinsi dan bahkan antara provinsi (Gubernur) dengan pusat, padahal Gubernur sebagaimana Pasal 10 ayat 5 huruf b merupakan wakil pemerintah pusat di daerah. Oleh karena itu, kemunculan Provinsi Kapuas Raya nanti hendaknya sekaligus menuntaskan permasalahan ini, terutama yang terkait dengan distribusi dan kewenangan pengaturan kawasan potensi dan ekonomis yang terdapat di wilayah Provinsi Kapuas Raya seperti antara lain kawasan perbatasan, kawasan lindung (konservasi), hutan produksi dan lain-lain.
Perlu diingat bahwa keberadaan daerah merupakan subsistem dari sistem pemerintahan negara secara keseluruhan (Smith, 1985) atau dalam istilah Hoessein (2000) disebut dengan integrated field administration dimana tidak memungkinkannya daerah yang dengan segala keterbatasannya dan dengan hubungan sosio kultural yang kental sebagai sebuah bangsa ingin lepas atau terlepas dari pusat.
Sebuah sistem pemerintahan dalam negara hanya akan berfungsi jika sub-sub sistem yang ada terintegrasi, saling mendukung, dan tidak berlawanan (Dunleavy dan O’Leary, 1987; dan Prasodjo, 2006). Hal ini pula yang ingin diwujudkan melalui pembentukan Provinsi Kapuas Raya dengan melaksanakan local state government dan local self government secara konsekwen.
Jika local state government melahirkan wilayah administrasi pemerintah pusat di daerah yang direpresentasikan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan instansi vertikal di daerah, maka local self government melahirkan daerah atau wilayah otonom yang direpresentasikan dengan keberadaan DPRD (Muddick, 2004; Muluk, 2006).
Di Indonesia, perwujudan local state government dan local self government mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Jika dalam UU No. 5 Tahun 1974, daerah administratif dan daerah otonom bertumpuk pada wilayah kabupaten/kota dan provinsi, maka baik dalam UU No. 22 Tahun 1999 maupun UU. No 32 Tahun 2004, daerah otonom berimpit di provinsi sehingga provinsi selain berkedudukan sebagai daerah otonom juga sebagai wilayah administrasi. Konsekuensinya, selain sebagai kepala daerah, gubernur juga wakil pemerintah pusat di daerah. Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur menjalankan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepadanya sebagaimana ketentuan UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 12 ayat (2), yang menyatakan bahwa pelimpahan wewenang tugas pemerintah pusat berdasarkan Pasal 10 ayat 3 UU No. 34 Tahun 2004 adalah di luar bidang desentralisasi yakni Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional, dan Agama.
Pelimpahan tugas dari pemerintah pusat kepada gubernur juga disebutkan harus disertai dengan pendanaan, sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Ini menjadi sangat penting bagi Gubernur agar dapat melaksanakan tugas pemerintah pusat yang ada di daerah secara wajar dan tidak mengalami hambatan dalam koordinasi dan fasilitasi. Bila sudah demikian, maka pusat dapat dengan mudah mengukur dan mengevaluasi kinerja seorang Gubernur dalam satu periode tertentu.
Pemekaran akan membutuhkan banyak sarana dan prasarana demi mencukung bekerjanya sebuah pemerintahan yang baru. Itu harus dibayar mahal dengan hadirnya pemerintah lokal yang berpihak dan dekat kepada rakyat yang berupaya mewujudkan local state government (Provinsi) dan local self government (Kabupaten) secara konsisten. Perwujudan ini sekaligus untuk menepis kemunculan elit lokal yang hanya haus akan kekuasaan dan uang atau untuk melawan fenomena dropping pejabat ke daerah oleh pusat yang terjadi di Indonesia sejak 1960-an sampai 1998 (Mackie, 1980:672). Dengan berakhirnya era dropping pejabat, sekarang muncul pula konsep putera asli daerah yang juga menjadi antagonis dari penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance).
Dalam berbagai literatur sistem pemerintahan, penerapan baik model dropping pejabat maupun konsep putera asli daerah akan melahirkan peluang yang sama akan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga keduanya cenderung dihindarkan. Bila model pertama akan menimbulkan terjadinya penjajahan (optasi), maka model kedua akan memunculkan istilah raja kecil (kooptasi).
Untuk melakukan pemekaran wilayah, suatu daerah harus merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 tahun 2000 sebagai petunjuk pelaksanaan (juklak) dari UU No 22/1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32/2004. Juklak tersebut berisi tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah.
Dalam PP tersebut dijabarkan setidaknya ada 7 syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap daerah jika ingin menerapkan kebijakan pemekaran wilayah yakni, (1) kemampuan ekonomi, (2) potensi daerah, (3) sosial budaya, (4) sosial politik, (5) jumlah penduduk, (6) luas daerah, dan (7) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Proposal pemekaran daerah hendaknya mengacu pada konten PP tersebut sehingga memiliki dasar kuat dan legal untuk dikabulkan pusat.
C. TUJUAN DIBALIK PEMEKARAN WILAYAH
Masalah pemekaran memang persoalan yang masih sedikit sensitif untuk dibicarakan di tengah kondisi negara yang krisis seperti saat ini. Namun, karena menjadi kebutuhan bagi perkembangan daerah, maka sensitivisme tersebut dapat diabaikan. Sudah cukup jelas bahwa wilayah administratif yang terlalu luas telah menyebabkan berbagai persoalan sosial, pemerintahan dan pembangunan, sehingga pemekaran dianggap menjadi jalan tengah untuk memperbaiki berbagai persoalan daerah tersebut.
Pemekaran wilayah hendaknya dapat dilepaskan dari frame kepentingan-kepentingan kelompok tertentu seperti mengharapkan DAU/DAK dan terbukanya lowongan jabatan kepala daerah, kepala-kepala dinas dan badan-badan fungsional untuk diisi oleh elit-elit yang berkepentingan. Refleksi Habibie secara jelas menegaskan agar daerah yang akan dimekarkan harus melalui pertimbangan matang ditinjau dari berbagai semua sudut pandang, paling tidak memenuhi ketujuh unsur prasyarat formal.
Harus disadari bahwa, pihak yang menuntut pemekaran adalah warga berdasarkan keluhan-keluhan mendasar yang mereka alami selama ini. Keluhan itu antara lain adalah kesulitan melakukan urusan administrasi, kesulitan adalam akses karena belum terbangunnya jalan dan sarana infrastruktur lainnya yang mendukung.
Rendahnya pertimbangan aspek ekonomi dalam pemekaran wilayah akan membawa konsekwensi pada kentalnya faktor emosional kedaerahan dan aspek politik dibanding pertimbangan daya dukung dan kesejahteraan ekonomi daerah. Dalam kondisi seperti ini, pemekaran daerah akan dinilai sebagai upaya untuk memperoleh dana transfer dari pemerintah pusat melalui mekanisme dana perimbangan.
Para pengambil kebijakan di tingkat pusat, hingga saat ini masih percaya dengan hasil studi yang dilaksanakan oleh Departemen Ilmu Ekonomi FEUI (2005) yang menyimpulkan bahwa pemekaran wilayah yang selama ini dilakukan ternyata belum secara sungguh-sungguh memperhitungkan aspek kinerja pembangunan daerah. Data dan informasi yang digunakan cenderung manipulatif dan tidak sesuai dengan realitas sehingga wajar apabila daerah baru hasil pemekaran memiliki kinerja yang kurang baik. Hasil studi tersebut juga menunjukkan bahwa kinerja pemerintah daerah hasil pemekaran belum optimal mendukung pencapaian dan tujuan otonomi daerah. Ukuran optimal pemerintah daerah akan tercapai apabila memenuhi kriteria efisiensi, distribusi, demokrasi dan kinerja pembangunan seperti yang ditunjukkan oleh Provinsi Gorontalo dalam 5 tahun terakhir ini.
D. KONSEKWENSI PEMEKARAN: PEMBANGUNAN DAN SUKSESI KEPEMIMPINAN
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagaimana dimuat oleh harian WASPADA (Jumat, 24 Agustus 2007) menegaskan bahwa jika pemekaran satu daerah tidak memiliki urgensi dan manfaat, pendekatan dan tujuannya bukan untuk kepentingan rakyat, maka pemekaran itu harus ditolak. Presiden mengingatkan para tokoh di berbagai daerah bahwa pemekaran sebuah wilayah tidak boleh dilakukan dengan tujuan memenuhi kepentingan orang per-orang, apalagi demi mengejar kekuasaan belaka.
Statemen di atas merupakan sebuah ungkapan kerisauan seorang presiden atas fenomena pemekaran daerah yang meningkat sejak 5 tahun belakangan ini dan statemen ini sekaligus sebagai pengingat (warming) bahwa hendaknya pemekaran wilayah memenuhi unsur legalitas formal dan realitas untuk percepatan pembangunan daerah.
Konsekwensi dari pemekaran daerah antara lain adalah akan munculnya pemimpin dari sekelompok orang yang diusulkan atau mengusulkan diri menjadi calon pemimpin. Pilkada langsung yang dimulai sejak Maret 2006, untuk memilih Kepala Daerah (gubernur/wakil gubernur, bupatai/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota) sekaligus menempatkan mekanisme itu sebagai seleksi alami yang dapat menghindari munculnya elit pragmatis dan opportunis di pentas lokal.
Sistematika yang telah apik sebagaimana diatur dalam UU No. 32/2004 dalam Pilkada langsung yang telah sukses dilaksanakan sejak 2004 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan kemudian bersambut memilih Kapala Daerah dinilai oleh banyak pihak telah berhasil mencapai tujuan-tujuan dasarnya, yakni (Lay, 2006; Faure and Niessen, 2007):
1. Menghasilkan pimpinan daerah melalui sebuah mekanisme pemilihan yang demokratis --bebas, adil dan tanpa kekerasan. Dari 186 penyelenggaraan Pilkada Langsung pada fase hingga akhir Juni 2005, tidak ditemukan adanya pelanggaran serius yang dapat menciderai apalagi menghilangkan elemen-elemen kebebasan, sebagai inti pokok dari proses pemilu demokratis.
2. Terjadinya rotasi kepemimpinan lokal secara reguler, karena pilkada langsung merupakan kelanjutan dari praktek pemilihan sebelumnya, tapi sekaligus telah meletakan dasar baru bagi sebuah mekanisme pertukaran elit secara reguler.
3. Meletakan fondasi baru bagi berlangsungnya proses pendidikan politik warga secara lebih luas.
Kejadian luar biasa dalam mekanisme pilkada di Indonesia sebagai pendidikan demokrasi politik dalam memilih pemimpin mulai dari tingkat lokal sampai nasional sekaligus telah mewarnai tidak saja sejarah demokrasi Indonesia tetapi juga sebagai tonggak perubahan sejarah perpolitikan dunia. Prestasi ini, diakui oleh banyak peneliti Barat dan dikomentari sebagai sebuah prestasi luar biasa di tengah kondisi krisis yang berkepanjangan (Conger and Riggio, 2007; dan Faure and Niessen, 2007). Berdasarkan Refleksi Habibie (2006), fenomena ini disebut Revitalisasi Kepemimpinan yang sekaligus menepis anggapan yang selama ini dialamatkan kepada Indonesia. Dengan sukses pilkadasung ini, seakan menyentakkan pihak luar bahwa krisis multidimensi yang terjadi sejak tahun 1998 tidak membawa Indonesia pada kondisi sulit dalam mendapatkan pemimpin dan calon-calon pemimpin yang berwawasan kenegarawanan, memiliki visi dan kemampuan transformator, dan pemimpin yang mampu membangun solidaritas kebangsaan.
Hadirnya SBY-MJK sebagai presiden pilihan rakyat dapat diterima oleh semua pihak sebagai sebuah hasil demokrasi. Oleh karena itu, pemilihan kepala daerah di Kalbar yang tertib, aman dan terkendali hendaknya juga dapat mengantarkan pada percepatan pemekaran Provinsi Kapuas Raya dan akan memunculkan pemimpin yang berkualitas dan berkaliber nasional dalam perpolitikan di Indonesia.
Jika kita bercermin kepada sejarah kepemimpinan nasional, jelas tampak betapa penting peran masyarakat madani (civil society) dalam melahirkan para pemimpin yang berkualitas. Peran yang besar dari masyarakat madani dalam rekrutmen pemimpin telah dibuktikan di era sebelumnya, di mana Indonesia mampu memunculkan pemimpin-pemimpin yang tak hanya berkaliber lokal dan nasional, tapi juga berkaliber internasional atau global. Soekarno, Hatta, Agus Salim, Sutan Syahrir, Muhammad Natsir, dan sebagainya, adalah produk model kepemimpinan di jamannya (Habibie, 2006).
Pelajaran penting yang dapat dipetik dari krisis kepemimpinan di Indonesia adalah bahwa rekrutmen pemimpin semestinya berjalan secara alamiah yaitu melalui proses-proses atau tahapan penyaringan yang dilakukan secara obyektif dan adil. Ini artinya bahwa untuk menghasilkan pemimpim yang berkualitas dan berkaliber itu tidak bisa melalui cara instan atau dikarbit. Pemimpin bisa tumbuh dan berkembang di organisasi masyarakat (Ormas) dan partai politik.
Peluang yang cukup yang diberikan ke Ormas dan partai politik akan membantu sistem rekrutmen pemimpin yang diharapkan rakyat. Demikian juga peluang yang diberikan kepada kaum perempuan atau kelompok perempuan secara memadai akan berdampak positif terhadap pembangunan Indonesia. Hal ini tak hanya karena perempuan menduduki jumlah yang sangat besar di Indonesia, tapi juga karena sejauh ini perempuan cenderung kurang mendapatkan porsi yang memadai di hampir semua bidang. Padahal mereka itu cukup kompetitif baik dari segi kualitas dan kompetensinya. Pelajaran-pelajaran dan kecendrungan di atas hendaknya menjadi rekaman positif pada daerah untuk menghindari kemungkinan munculnya elit pragmatis dalam pentas demokrasi lokal dan nasional.
E. PENUTUP
Pemekaran daerah hendaknya difahami sebagai sebuah kebutuhan masyarakat daerah dan bagi pemerintah nasional menjadi salah satu solusi untuk menghindari terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, ia dilakukan dengan pertimbangan matang agar tidak memunculkan berbagai masalah baru. Pemekaran yang tidak dilakukan secara matang dan hanya berdasarkan pertimbangan politik dan alasan ekonomi (Habibie, 2006), akan tidak mampu mewujudkan dan menuntaskan masalah kesejahterakan rakyat di daerah.
Dampak lain dari pemekaran daerah yang tidak sehat adalah menguatnya ikatan primordial berbasis kelompok lokalitas dan etnisitas, seperti isu ’putra daerah’ yang berpotensi menimbulkan konflik antar kelompok dan akan rawan terjadi saat pilkadasung digelar. Banyak kasus yang mengarah pada kejadian ini dan hendaknya menjadi cermin dalam pemekaran Provinsi Kapuas Raya ke depan.
Unsur-unsur legal formal, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 tahun 2000 sebagai petunjuk pelaksanaan (juklak) dari UU No 22/1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32/2004 perlu dipenuhi sehingga wacara pembentukan Kapuas Raya selain dinilai sebagai sebuah kebutuhan rakyat Kalbar juga masuk dalam agenda kebijakan nasional.
F. DAFTAR PUSTAKA
Cheema, G. Shabbir dan Rondinelli, Dennis A. 1983. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Sage Publication, London.
Conger, Jay. Alden. dan Ronald E. Riggio. 2007. The Practice of Leadership: Developing the Next Generation of Leaders. Jossey-Bass Inc., Publishers, California.
Dunleavy, Patrick dan Brendan O’Leary. 2987. Theories of the State: The Policies Liberal Democracy. McMillan Press. London.
Dwiyanto, Agus. 2004. Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: Dari Government ke Governance, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar FISIPOL UGM. Yogyakarta.
Faure, Michael G. and Nicole Niessen. 2006. Environmental Law in Development: Lessons from the Indonesian Experience. Edwar Elgar, Cheltenham, UK.
Fiorina, Morris. 1995. Divided Government. Second Edition. Longman, New York.
Fukuyama, Francis. 2004. State Building: Governance and World Order in the Twenty-First Century. London.
Frederickson, H. George. 1997. The Spirit of Public Administration. SF: Jossey-Bass Publishers. San Francisco.
Habibie, B. J. 2006. Refleksi Perjalanan Bangsa 2005 dan Perspektif Tahun 2006: Langkah Strategis Mengatasi Transisi Yang Tak Kunjung Pasti, diakses dari http://www.thc.com tanggal 10 Februari 2007.
Hoessein, Bhenyamin. 2001. “Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Idealisasi Kebijakan Desentralisasi” dalam Bisnis dan Birokrasi: Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi. Vol.IX/2/Mei/2001.
Islamy, Muh. Irfan, 1998, Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang.
Klitgaard, Robert dan Light, Paul C. 2005. High-Performance Governance: Structure, Leadership and Incentive. Perdee Rand Graduate School, Santa Monica, US.
Lay, Cornelis. 2006. Pilkada Langsung dan Pendalaman Demokrasi. Makalah untuk acara ”Dinner Lecture – KID”, Jakarta, 21 November 2006.
Mackie, J. A. C. (Edt.) 1980. “Integrating and Centrifugal Factor in Indonesian Politics Since 1954” dalam The Making of Nation. ANU, Canberra.
Maddick, Henry. 2004. Desentralisasi dalam Praktek. Pustaka Kendi, Yogyakarta. Diterjemahkan dari buku asli Democracy, Desentralisation and Development.
Muluk, M. R. Khairul; 2006, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Bayumedia Publishing. Malang.
Prasodjo, Eko. 2006. Rekonstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Indonesia: Antara Sentripetalisme dan Sentripugalisme. Pidado Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Ilmu Administrasi Publik, FISIP UI. Jakarta.
Said, M. Mas'ud. 2005. Arah Baru Otonomi Daerah Di Indonesia. UMM Press, Malang.
Smith, B. C. 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of the State. Asia Publishing House. London.
Savas, E. S. 1992. Privatizing the Public Sector: How to Shrink Goverment. Chatam House, New Jersey.
Osborne, David dan Gaebler, Ted (1997), Mewirausahakan Birokrasi, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
Thoha. Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.
Zeithaml, Valarie A., A. Parasuraman dan Leonard L. Berry. 1990. Delivering Quality Service: Balancing Customer Perception and Expectation. The Free Preess. McMillan Inc, New York.
Oleh : Dr. Arkanudin, M.Si
Rektor Universitas Kapuas Sintang, Dosen FISIP dan Program Magister Ilmu Sosial UNTAN Pontianak
ABSTRAK
Persoalan kependudukan dan kerusakan lingkungan hidup adalah dua hal yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Terjadinya kerusakan lingkungan dapat berdampak kepada kehidupan manusia secara makro. Oleh karena itu perlu adanya upaya kedepan secara bijak guna tetap mempertahan kelestarian dan kualitas lingkungan yaitu dengan mencegah adanya praktek bad governance dan menumbuhkan sikap good governance.
Kata Kunci: Penduduk, lingkungan, bad governance dan good governance
Pendahuluan
Pembangunan adalah suatu rangkaian usaha terencana yang dilakukan secara sadar oleh masyarakat dan pemerintah untuk mengubah keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik. Dalam mencapai tujuan pembangunan tersebut, salah satu permasalahan yang pelik dan kompleks yang selalu dihadapi oleh negara maju maupun berkembang adalah masalah lingkungan hidup dan kependudukan.
Permasalahan kependudukan yang selalu dihadapi oleh negara maju maupun berkembang adalah masalah over populasi, angka kelahiran dan kematian bayi yang tinggi, urbanisasi, pengangguran, ketidakmerataan penyebaran penduduk yang semakin kompleks akan mengimbas kepada segmen terpenting dalam kehidupan manusia, yaitu kelestarian lingkungan hidup.
Dalam menghadapi semakin menurunnya kualitas lingkungan sebagai akibat pertumbuhan penduduk, maka sikap “good governance” yaitu adanya sikap bersama antara pemerintah dan masyarakat yang benar-benar peduli terhadap keseimbangan antara pertumbuhan penduduk berikut segala dimensinya dengan kelestarian lingkungan. perlu digalakkan. Sebaliknya memberikan perlindungan terhadap pemegang HPH yang melakukan penebangan hutan tanpa aturan, mem-backup para pengusaha dengan kategori jelek dalam penanganan limbah industrinya adalah bentuk dari praktek “bad governance”, patut dihindari.
Penduduk Dan Lingkungan
Masalah kependudukan dan kerusakan lingkungan hidup merupakan dua permasalahan yang kini sedang dihadapi bangsa Indonesia, khususnya maupun negara-negara lainnya di dunia umumnya. Brown (1992:265-280), menyatakan bahwa masalah lingkungan hidup dan kependudukan yaitu masalah pencemaran lingkungan fisik, desertifikasi, deforestasi, overs eksploitasi terhadap sumber-sumber alam, serta berbagai fenomena degradasi ekologis semakin hari semakin menujukkan peningkatan yang signifikan. Keprihatinan ini tidak saja memberikan agenda penanganan masalah lingkungan yang bijak. Namun juga merupakan “warning” bagi kehidupan, bahwa kondisi lingkungan hidup sedang berada pada tahap memprihatinkan. Seandainya tidak dilakukan upaya penanggulangan secara serius, maka dalam jangka waktu tertentu kehidupan ini akan musnah. Hal ini terjadi menurut Soemarwoto (1991:1), karena lingkungan (alam) tidak mampu lagi memberikan apa-apa kepada kita. Padahal seperti kita ketahui bahwa manusia merupakan bagian integral dari lingkungan hidupnya, ia tidak dapat dipisahkan dari padanya.
Padatnya penduduk suatu daerah akan menyebabkan ruang gerak suatu daerah semakin terciut, dan hal ini disebabkan manusia merupakan bagian integral dari ekosistem, dimana manusia hidup dengan mengekploitasi lingkungannya. Pertumbuhan penduduk yang cepat meningkatkan permintaan terhadap sumber daya alam. Pada saat yang sama meningkatnya konsumsi yang disebabkan oleh membengkaknya jumlah penduduk yang pada akhirnya akan berpengaruh pada semakin berkurangnya produktifitas sumber daya alam. Menurut Wijono (1998:5) kondisi sebagaimana digambarkan tersebut dapat diibaratkan seperti lilin, pertumbuhan penduduk yang cepat akan membakar lilin dari kedua ujungnya. Sehingga batang lilin itu akan cepat meleleh dan habis. Konsekwensinya adalah berubahnya salah satu atau beberapa komponen dalam ekosistem, mengakibatkan perubahan pada interaksi komponen-komponen itu, sehingga struktur organisasi dan sifat-sifat fungsional ekosistem akan berubah pula.
Dalam perspektif historis tentang kependudukan dan dampak lingkungan Derek Lewlyn dan Jones (dalam Alfi, 1990:22) melakukan penelitian di kota Sidney di Australia, berdasarkan hasil penelitiannya mereka menyimpulkan bahwa sebenarnya keseimbangan ekologi itu tidak kekal. Kota Sidney yang dulunya sangat asri dengan tatanan lingkungan kota yang nyaman, tetapi mulai periode 80-an, semuanya telah berubah menjadi tidak nyaman lagi.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut menandakan bahwa perkembangan penduduk sedikit banyak akan mempengaruhi lingkungan hidup baik fisik maupun non fisik. Dari kenyataan sejarah menurut Derek Lewlyn dan Jones, sebenarnya krisis lingkungan hidup yang terjadi pada masyarakat modern ini sebagai dari peledakan penduduk dan kemajuan teknologi modern, sudah dimulai ratusan tahun lalu. Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa perkembangan penduduk dunia dilihat dari perspektif sejarah sebenarnya mempunyai tiga tahapan transisi yang biasa diistilahkan dengan konsep “Demographis Transition”. Tiga transisi itu adalah: (1) pra-transition; (2) transition; (3) post transition.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Derek Lewlyn dan Jones, bahwa dalam masyarakat pra-transition, tingkat kematian dan tingkat kelahiran sama tinggi. Masyarakat-masyarakat semacam ini masih ada dalam kehidupan masyarakat modern, seperti di Afrika, Amerika Latin dan sebagian Asia. Masyarakat transition, rata-rata tingkat kematian mulai menurun, terutama tingkat kematian bayi dan anak-anak. Akibat dari keadaan ini maka tingkat kelahiran meningkat; lebih banyak anak-anak hidup mencapai usia produktif. Pada tingkat akhir masa transition ini tingkat kelahiran juga menurun sebagai akibat dari pelaksanaan “birth control”. Pada umumnya sebagian negara berkembang berada pada tingkat transition. Sementara itu pada masyarakat post-transition rata-rata tingkat kelahiran dan kematian rendah. Hal ini disebabkan jumlah bayi dan anak-anak sampai pada tingkat minimum sekali. Tahapan transisi dalam pertumbuhan penduduk ini membawa dampak kepada keseimbangan lingkungan.Artinya bahwa semakin cepat pertumbuhan penduduk, maka akan membawa akibat kepada tekanan yang kuat terhadap sumber daya alam. Seperti meningkatnya kebutuhan pangan, air bersih, pemukiman dan sebagainya. Sehingga menimbulkan ketidakseimbangan antara persediaan sumber daya alam dengan kebutuhan manusia.
Pertambahan penduduk yang cepat, makin lama makin meningkat hingga akhirnya memadati muka bumi. Hal ini membawa akibat serius terhadap rentetan masalah besar yang membentur keseimbangan sumber daya alam. Karena bagaimanapun juga setiap menusia tidak lepas dari bermacam-macam kebutuhan mulai dari yang pokok hingga sampai pada kebutuhan pelengkap. Sedangkan semua kebutuhan yang diperlukan oleh manusia sangat banyak dan tidak terbatas, sementara itu kebutuhan yang diperlukan baru akan terpenuhi manakala siklus dan cadangan-cadangan sumber daya alam masih mampu dan mencukupi. Tetapi akan lain jadinya jika angka pertumbuhan penduduk kian melewati batas siklus ataupun jumlah cadangan sumber-sumber kebutuhan. Andaikata kondisi perkembangan demikian tidak diupayakan penanganan secara serius maka pada saatnya akan terjadi suatu masa krisis. Lebih parah lagi sebagaimana dikemukakan diatas adalah terjadinya bencana yang dapat memusnahkan kehidupan manusia.
Dilihat dari perspektif ekologis bahwa pertumbuhan penduduk yang cepat dapat berdampak kepada meningkatnya kepadatan penduduk, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan mutu lingkungan secara menyeluruh. Menurut Soemarwoto (1991:230-250) bahwa secara rinci dampak kepadatan penduduk sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk yang cepat terhadap kelestarian lingkungan adalah sebagai berikut:
(1) Meningkatnya limbah rumah tangga sering disebut dengan limbah domestik. Dengan naiknya kepadatan penduduk berarti jumlah orang persatuan luas bertambah. Karena itu jumlah produksi limbah persatuan luas juga bertambah. Dapat juga dikatakan di daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, terjadi konsentrasi produksi limbah.
(2) Pertumbuhan penduduk yang terjadi bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang melahirkan industri dan sistem transport modern. Industri dan transport menghasilkan berturut-turut limbah industri dan limbah transport. Di daerah industri juga terdapat kepadatan penduduk yang tinggi dan transport yang ramai. Di daerah ini terdapat produksi limbah domsetik, limbah industri dan limbah transport.
(3) Akibat pertambahan penduduk juga mengakibatkan peningkatan kebutuhan pangan. Kenaikan kebutuhan pangan dapat dipenuhi dengan intensifikasi lahan pertanian, antara lain dengan mengunakan pupuk pestisida, yang notebene merupakan sumber pencemaran. Untuk masyarakat pedesaan yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian, maka seiring dengan pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan pertanian juga akan meningkat. Sehingga ekploitasi hutan untuk membuka lahan pertanian baru banyak dilakukan. Akibatnya daya dukung lingkungan menjadi menurun. Bagi mereka para peladang berpindah, dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk yang sedemikian cepat, berarti menyebabkan tekanan penduduk terhadap lahan juga meningkat. Akibatnya proses pemulihan lahan mengalami percepatan. Yang tadinya memakan waktu 25 tahun, tetapi dengan semakin meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan maka bisa berkurang menjadi 5 tahun. Saat dimana lahan yang baru ditinggalkan belum pulih kesuburannya.
(4) Makin besar jumlah penduduk, makin besar kebutuhan akan sumber daya. Untuk penduduk agraris, meningkatnya kebutuhan sumber daya ini terutama lahan dan air. Dengan berkembangnya teknologi dan ekonomi, kebutuhan akan sumber daya lain juga meningkat, yaitu bahan bakar dan bahan mentah untuk industri. Dengan makin meningkatnya kebutuhan sumber daya itu, terjadilah penyusutan sumber daya. Penyusutan sumber daya berkaitan erat dengan pencemaran. Makin besar pencemaran sumber daya, laju penyusunan makin besar dan pada umumnya makin besar pula pencemaran.
Berdasarkan pendapat yang kemukakan oleh Soemarwoto, maka tidaklah berlebihan bahwa dampak kepadatan penduduk terhadap kualitas lingkungan sangatlah besar. Indonesia sebagai sebuah negara yang jumlah penduduknya sangat besar juga sedang menghadapi problematika besar tentang masalah kualitas lingkungan. Masalah yang dihadapi ini akan semakin kompleks karena lajunya pertumbuhan penduduk tidak bisa ditekan dalam pengertian bahwa secara alamiah jumlah penduduk dari waktu ke waktu terus bertambah, disamping itu juga tingkat pencemaran (air dan udara), tekanan terhadap lahan pertanian, rendahnya kesadaran lingkungan, banyaknya pemilik HPH yang tidak bertanggungjawab, dan tidak konsistennya Pemerintah dalam menegakkan hukum akan semakin mempercepat penurunan mutu lingkungan secara makro. Hal ini terjadi menurut Abdullah (2002:20) karena adanya perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab dan hanya mementingkan kepentingan diri sendiri.
Akibat yang lebih jauh atas permasalahan tersebut adalah problematika yang muncul tidak hanya sebatas pada satu sisi kependudukan saja, tetapi juga daya dukung lingkungan terhadap kelangsungan hidup secara seimbang. Akhirnya sampai pada satu titik terminologi akan terjadi “collapse”. Keadaan ini sangat mungkin terjadi karena daya dukung lingkungan tidak lagi mampu menopang kebutuhan hidup manusia. Semantara manusia dengan dengan jumlah yang terus meningkat dari waktu kewaktu membutuhkan ketersediaannya bahan kebutuhan yang disediakan oleh alam. Disisi lain, karena pemanfaatan sumber daya alam tidak mengindahkan eko-efisien, dan cenderung mengabaikan kelestariannya maka berakibat buruk terhadap kualitas sumber daya alam. Perkembang selanjutnya akan terjadi ketimpangan antara kebutuhan yang harus disediakan alam, dengan kemampuan alam sendiri untuk menyediakan. Ketidakmampuan alam dalam menyediakan kebutuhan manusia maka pada gilirannya akan berakibat pada malapetaka. Melihat kondisi yang demikian maka satu hal yang harus mendapat perhatian adalah bagaimana mengupayakan jalinan hubungan harmonis antara pemenuhan kebutuhan manusia dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan alam dan diharapkan daya dukung lingkungan tetap tersedia terutama dalam menopang laju pertumbuhan penduduk yang makin hari terus mengalami peningkatan.
Kerusakan Lingkungan Pada Aspek Pertanian Dan Kehutanan
Kerusakan lingkungan dari aspek pertanian dan kehutanan merupakan dua sektor yang menonjol. Pertambahan penduduk, penggunaan teknologi modern dan tidak adanya kesadaran terhadap lingkungan adalah faktor penyebab kerusakan lingkungan. Di bidang pertanian, dengan semakin besar jumlah penduduk maka kebutuhan akan bahan makanan semakin meningkat. Untuk itu perlu usaha meningkatkan produksi bahan-bahan makanan semakin meningkat. Untuk itu perlu usaha meningkatkan produksi bahan makanan secara memadai. Diantaranya dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Penggunaan teknologi modern seperti benih unggul, sistem irigasi, pupuk dan berbagai bahan kimia lainnya untuk memberantas hama, secara nyata telah memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan produksi pertanian. Revolusi hijau yang pernah mengantarkan Indonesia ke arah swasembada pangan pada tahun 1984 adalah bukti betapa ampuhnya teknologi modern dalam meningkatkan produksi pertanian terutama bahan makanan secara nasional. Kewajiban untuk menggunakan bahan kimia dalam rangka revolusi hijau menyebabkan sebagian besar petani beralih dari cara-cara tradisional menjadi lebih modern dengan teknologinya.
Secara kuantitas, Wijono (1998), menyatakan bahwa revolusi hijau telah memberikan berkah yang sangat besar terhadap kemampuan penyediaan bahan pangan secara nasional. Produktifitas pertanian perhektar, terutama padi meningkat dengan drastis. Sebagai contoh, produksi padi pada tahun 1968 hanya 2,58 ton perhektar, namun sejak dilakukan revolusi hijau mulai tahun 80—an, pada tahun 1989 meningkat menjadi 4,98 ton per-hektar. Suatu peningkatan luar biasa untuk ukuran produksi padi tiap hektarnya. Namun untuk mendapatkan hasil sebesar itu dibutuhkan pupuk dalam jumlah yang cukup banyak pula. Diperkirakan rata-rata pemakaian pupuk mencapai 350 kg per-hektar. Apalagi sejak dicanangkannya program Supra Insus, pemakaian pupuk (urea, amonium sulfat dan sejenisnya) cenderung berlebihan dan melampaui batas yang dianjurkan.
Selanjutnya dalam rangkaian perkembangan hasil dari pemakaian pupuk dalam revolusi hijau, ternyata menyimpan bom waktu yaitu akibat dari pemakaian pupuk yang terlalu berlebihan telah menyebabkan tercemarnya lingkungan perairan dan sungai, hal ini karena berbagai jenis pupuk yang dipakai tersebut ternyata dapat menyebabkan tumbuhnya gulma air. Di samping itu ada beberapa jenis insektisida (golongan organokhlorin) merupakan ancaman terbesar terhadap kualitas air (Wijono, 1998). Ternyata sejak diperlakukannya revolusi hijau pada tahun 1960-an, dengan penggunaan bahan kimia yang sangat berlebihan telah menyebabkan kematian ribuan petani. Dengan demikian pemakaian atau penggunaan bahan-bahan kimia yang sangat besar telah menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan yang berakibat kepada menurunnya derajat kesehatan masyarakat.
Selanjutnya dijelaskan oleh Jones (1993) bahwa sektor kehutanan telah mengalami satu delematika yang tajam. Satu sisi hutan merupakan sumber daya alam yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat (walaupun dalam prakteknya, justru hanya untuk kepentingan kelompok orang), semantara disisi lain, pemerintah mempunyai kewajiban untuk tetap menjaga dan memelihara kelestarian hutan dengan segala isinya. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini ternyata terjadi tarik menarik, dimana akhirnya kepentingan ekonomi dapat mengalahkan kepentingan ekologi.
Pertumbuhan penduduk yang cepat juga memberikan andil besar dalam kerusakan hutan. Terjadinya konversi lahan hutan dijadikan sebagai lahan perumahan, pertanian dan proyek-proyek industri adalah wujud dari pertambahan penduduk yang signifikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan penduduk baik tekanan yang berasal dari dalam maupun yang berasal dari luar ternayata telah menyebabkan terjadinya konversi lahan. Tekanan dari luar dapat dilihat dari dampak kepadatan penduduk yang mengakibatkan tekanan kuat terhadap lahan pertanian. Akibatnya upaya melakukan perambahan hutan sebagai satu-satunya alternatif pemenuhan lahan pertanian mereka lakukan, tanpa memperdulikan dampak dari kelestariannya.
Disamping itu, penebangan hutan yang dilakukan para pemilik HPH dan HPHTI juga memberikan andil besar terhadap kerusakan tersebut. Walaupun sudah diatur dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup, bahwa pemilik HPH dan HPHTI dalam melakukan penebangan hutan dengan cara tebang pilih, tetapi prakteknya justru mereka melakukan sistem tebang habis tanpa mengindahkan kelestarian hutan. Jangan kan untuk melakukan upaya reboisasi secara menyeluruh, melakukan penebangan secara tebang pilih saja tidak dilakukan. Dan anehnya pemerintah tetap menutup mata terhadap kondisi demikian. Sehingga mereka selalu berlindung di ketiak pemerintah untuk menghindari sorotan publik. Kepentingan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang ini ternyata membawa bencana bagi seluruh masyarakat. Musibah banjir, asap tebal dibeberapa wilayah Kalimantan dan Sumatera merupakan salah satu bukti ketamakan para pemilik HPH dalam mengekploitasi hutan secara berlebihan.
Menumbuhkan Sikap Good Governance Dan Mencegah Praktek Bad Governance Terhadap Lingkungan
Untuk menyelamatkan kehidupan manusia dari kepunahan karena tidak cukupnya daya dukung lingkungan, maka perlu adanya suatu kebijakan untuk menyeimbangkan antara kuantitas penduduk dengan kualitas lingkungan, yaitu Pemerintah harus benar-benar serius memberi perhatian terhadap kelestarian lingkungan.
Berdasarkan pengamatan selama ini pemerintah cenderung menutup mata terhadap kerusakan lingkungan yang semakin hari semakin menunjukkan frekwensi meningkat. Seolah menganggap bahwa faktor lingkungan adalah merupakan beban pembangunan, sehingga tidak perlu mendapat perhatian. Toh sumber daya alam diciptakan Tuhan untuk dimanfaatkan, tetapi lupa bahwa disamping dimanfaatkan untuk seluas-luasnya bagi kesejahteraan manusia juga harus tetap menjaga kelestariannya. Sehingga bukan hanya berorientasi mengejar keuntungan saat ini, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan kelangsungan untuk anak cucu kelak. Memberikan perlindungan terhadap pemegang HPH yang melakukan penebangan hutan tanpa aturan, mem-backup para pengusaha dengan kategori jelek dalam penanganan limbah industrinya adalah bentuk dari praktek “bad governance”.
Praktek “bad governance” tersebut seyogyanya tidak harus terjadi, hal ini mengingat bagaimanapun juga, lingkungan bagi kehidupan manusia adalah segala-galanya. Tanpa adanya dukungan dari lingkungan yang cukup, maka jangan harap ada kehidupan dimuka bumi ini. Karena itu upaya penyelarasan antara pertumbuhan penduduk yang diikuti oleh peningkatan pemenuhan kebutuhan dan meningkatnya ketergantungannya kepada sumber daya alam, dengan tetap memelihara kelestariannya adalah suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pemerintah harus mempelopori semangat cinta lingkungan dalam bentuk penegakan hukum dan aturan sebaik-baiknya, perencanaan pembangunan yang mempertimbangkan dampak lingkungan, maupun memberdayakan partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan.
Demikian juga dengan usaha penekanan laju pertumbuhan penduduk juga harus tetap dipertahankan, sehingga akan terjadi keseimbangan antara kuantitas kebutuhan dengan kualitas sumber daya alam. Tanpa kepeloporan pemerintah dalam menegakkan aturan pelestarian sumber daya alam, maka mustahil upaya menangani permasalahan kependudukan dan kerusakan lingkungan bisa terwujud. Pengalaman selama ini pemerintahan Orde Baru yang begitu besar memberikan kebebasan dan kelonggaran kepada para perusak lingkungan, untuk selanjutnya jangan sampai terulang kembali. Namun demikian upaya meminimalkan munculnya ketidak seimbangan daya dukung lingkungan bukan sepebuhnya ditangan pemerintah, masyarakat luas umumnya dan para pengusaha yang bersinggungan dengan lingkungan khususnya harus ditumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, sehingga kemungkinan timbulnya “collapse” dapat dihindari.
Masalah lingkungan hidup dan kependudukan yang sedang dialami Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia menurut Arkanudin (2001:35), tidak hanya menyangkut masalah fisik semata-mata seperti geografis, jumlah penduduk dan lain-lain, tetapi juga masalah kultural dan masalah filosofi yang menentukan kelangsungan kehidupan manusia pada masa depan. Dengan demikian tahap pemecahannya tidak saja menyangkut masalah teknik praktis, tetapi juga melalui pendekatan etik yang bersumber kepada nilai-nilai kultural dan religius secara konseptual yang mampu memberikan perspektif transendent.
Dalam upaya mencari solusi pemecahannya dalam penanganan masalah lingkungan hidup dan kependudukan, harus dilakukan secara interdisiplinary atau multidisciplinary, yang akan melahirkan imaginasi, inovasi dan kreatifitas tinggi dalam menciptakan model-model, cara-cara dan kebijakan baru khususnya maupun didalam menentukan arah pembangunan secara makro pada umumnya. Selama ini orientasi pembangunan yang dikejar adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sehingga kondisi demikian bukan saja mengacaukan efiesiensi dan produktifitas, tetapi juga mengacau peningkatan kualitas hidup manusia dengan segala dimensinya. Demikian juga dengan kebijakan dalam bidang alih teknologi, bukan saja mengarah kepada eksploitability, tetapi juga mengarah kepada apa yang bersifat peningkatan teknologi dengan menekankan konservasi, recycling dan renewability.
Langkah efektif dalam memecahkan permasalahan lingkungan hidup dan kependudukan adalah mengkaitkannya dengan perspektif kultural dan religius. Hal ini mengingat bahwa negara Indonesia mayoritas penduduknya adalah beragama yang terbingkai oleh berbagai macam kultur. Langkah ini akan dapat secara langsung membentuk arah filsafati, pandangan dan tingkah laku mereka, yaitu tidak hanya sebatas meletakkan kerangka instrumental etik dalam upaya pelestarian lingkungan, tetapi juga dapat menumbuhkan kesadaran dalam diri kita masing-masing akan pentinnya nilai instrinsik bagi alam atau lingkungan hidup sebagai hak asasi yang perlu dipelihara dan dilestarikan. Artinya bahwa dalam dimensi etik lingkungan yang bersifat instrinsik, sikap kesadaran ekologikal selalu mengembangkan “self transendent perspektif” (Sudjana, 1998:87-110). Yang menuntu adanya pengujian efek dari kegiatan manusia terhadap lainnya, seperti terhadap makhluk hidup, lingkungan alamiah, generasi mendatang dan keseimbangan ekosistem lainnya.
Kesadaran etik dan self transcending memberikan suatu dasar moralitas dan perspektif bagi terciptanya suatu masyarakat yang lebih adil, damai, lebih partisippatoris dan bersifat sustainable. Hingga akhirnya menimbulkan kesadaran bahwa kehidupan manusia dan lingkungan harus dilestarikan dan ditingkatkan kualitasnya karena nilai instrinsiknya.
Penutup
Persoalan kependudukan dan kerusakan lingkungan hidup adalah dua hal yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Terjadinya kerusakan lingkungan sehingga yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan sumber daya alam, dapat berdampak kepada kehidupan manusia secara makro. Sehingga dalam tataran selanjutnya, ketidakseimbangan antara laju pertumbuhan penduduk dan kualitas sumber daya alam dapat menyebabkan kehancuran seluruh kehidupan manusia. Oleh karena itu perlu adanya upaya kedepan secara bijak guna tetap mempertahan kelestarian dan kualitas lingkungan. Konsep good governance adalah alternatif yang tepat, karena dengan konsep ini coba dilakukan penyeimbangan antara kuantitas pertumbuhan penduduk dengan segala kebutuhannya, dengan tetap mempertahankan kualitas lingkungan. Hingga akhirnya diperoleh suatu keseimbangan yang ideal antara laju pertumbuhan penduduk dengan kelestarian lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Oekan. S. 2002. Tanggung Jawab Sosial Masyarakat Ilmiah Dalam Menata Lingkungan Masa Depan, Upaya Meniti Pembangunan Berkelanjutan, Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Alfi, Nurhadi. 1990. Islam dan Tradisi Jawa Tentang Lingkungan Hidup, Kependudukan, dan Kualitas Manusia, Dalam: Jurnal LPPM-UNS, Septembar.
Arkanudin. 2001. Perubahan Sosial Peladang Berpindah Dayak Ribun Parindu Sanggau Kalimantan Barat, Bandung: Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran
Brown, Lester R. 1992. Tantangan Masalah Lingkungan Hidup (Bagaimana Membangunan Masyarakat Manusia Berdasarkan Kesinambungan Lingkungan Hidup yang Sehat), Diterjemahkan oleh S. Maimoen, Jakarta: Yayasan Obor.
Geertz, Clifford. 1976. Involusi Pertanian (Proses Perubahan Ekologi di Indonesia), Jakarta: Bhrata Karya Aksara.
Jones, Gavin W. 1993. Population, Environment and Sustainable Development in Indonesia, Dalam: Warta Demografi, Tahun XX Nomor 40, Desember.
Soemarwoto, Otto. 1991. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Cetakan ke 5, Bandung: Penerbitan Djambatan
Soetaryono, Retno. 1998. Dalam Prakteknya Kebijakan Lingkungan Membebani Rakyat, Dalam: Warta Demografi, Tahun XXVIII, Nomor 1.
Sudjana, Eggi. 1998. HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup (Perspektif Islam), Bogor: Yayasan As-Syahidah.
Wijono, Nur Hadi. 1998. Interaksi Penduduk dan Lingkungan, Dalam Warta Demografi, Tahun XXVIII, Nomor 1.
Oleh:
Dr. Arkanudin, M.Si
Rektor Universitas Kapuas Sintang,
Dosen FISIP dan Program Magister Ilmu Sosial UNTAN
I. PENDAHULUAN
Penomena seiring dibukanya proyek ekonomi dari luar seperti pembangunan perkebunan Kelapa Sawit adalah masalah ganti rugi tanah. Bilamana dalam masalah gnti rugi tidak sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku dalam masyarakat Dayak, maka dalam proses pembangunan proyek perkebunan tersebut selalu mendapat hambatan dari masyarakat yang akhirnya menyebabkan timbulnya konflik antara masyarakat dengan pihak pengelola proyek perkebunan.
Konflik masalah pertanahan antara masyarakat sebagai pemilik dengan pihak pengelola proyek ekonomi dari luar, selama ini dilakukan melalui pranata legitasi, sehinga sering menimbulkan ketidakpuasan terutama dari masyarakat itu sendiri sebagai pemilik lahan. Pada masyarakat Dayak Ribun terdapat suatu pranata yang bersumber dari budaya dan kepercayaan yang dapat digunakan sebagai media dalam penyelesaian konflik pertanahan baik personal maupun sosial. Bagaimana pranata itu dapat berfungsi sebagai media dalam penyelesaian konflik pertanahan antara pihak pengelola ekonomi dari luar seperti HPH dan Perkebunan dengan masyarakat Dayak Ribun. Dalam kontek inilah maka pola-pola penyelesaian konflik pertanahan berdasarkan pranata adat masyarakat Dayak Ribun di Kecamatan Parindu Sanggau Kalimantan Barat dilakukan.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Konflik
Konflik adalah sebuah gejala social yang selalu terdapat di dalam setiap masyarakat atau dengan kata lain konflik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, hal ini karena konflik merupakan salah satu produk dari hubungan sosial (social relations).Rauf (2001:2) menyatakan hubungan sosial menghasilkan dua hal yaitu: pertama, hubungan social yang mendatangkan manfaat bersama adalah hubungan sosial yang didiamkan oleh setiap masyarakat yang dinamakan hubungan sosial positif, kedua, hubungan social yang negative yang menghasilkan konflik antara mereka yang terlibat di dalamnya karena adanya pandangan bahwa satu pihak dalam hubungan social tersebut menganggap bahwa pihak lain memperoleh manfaat yang lebih besar dari hubungan sosial ini menimbulkan rasa ketidakadilan di dalam diri pihak (atau pihak-pihak) yang terlibat di dalamnya sehingga terbentuk perbedaan mengenai manfaat dari hubungan sosial tersebut.
Selanjutnya menurut Galtung (2003:88-103) konflik social sebagai salah satu bentuk produk hubungan sosial dapat dibedakan dalam tiga jenis yaitu: (1) konflik kultural (kekerasan kultural); (2) konflik struktural (kekerasan struktural); dan (3) konflik kekerasan (kekerasan langsung). Dalam pandangan Galtung, kekerasan kultural adalah kekerasan yang melegitimasi terjadinya kekerasan struktural dan kekerasan langsung serta menyebabkan tindakan kekerasan dianggap wajar saja atau dapat diterima oleh masyarakat. Kekerasan struktural adalah kekerasan yang berbentuk eksploitasi sistematis disertai mekanisme yang menghalangi terbentuknya kesadaran serta menghambat kehadiran lembaga-lembaga yang dapat menentang eksploitasi dan penindasan itu. Kekerasan jenis ini lebih tersembunyi seperti ketidakadilan, kebijakan yang menindas, dan perundangan-undangan yang deskriminatif. Kekerasan struktural ini termanifestasi dalam bentuk ketimpangan kekuasaan dan ekonomi yang menyebabkan ketimpangan kesejahteraan hidup. Kekerasan langsung adalah kekerasan yang terlihat secara langsung dalam bentuk kejadian, sehingga kekerasan jenis ini sangat mudah diidentifikasi karena merupakan manifestasi dari kekerasan kultural dan struktural.
Sementara itu, Koentjaraningrat (1984:354) menyatakan bahwa konflik bias terjadi kalau: (1) persaingan antara dua atau lebih suku bangsa dalam hal mendapat lapangan mata pencaharian hidup yang sama; (2) pemaksaan unsur-unsur kebudayaan kepada warga satu suku bangsa lain; (3) pemaksaan terhadap suku bangsa lain yang berbeda agama untuk menganut agama tertentu; (4) usaha mendominasi suku bangsa lain secara politis; (5) adanya konflik terpendam antar suku-suku bangsa yang telah bermusuhan secara adat.
2.2. Konflik Pertanahan
Fenomena yang muncul seiring dengan pembukaan perkebunan dengan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), tersebut adalah telah terjadi perubahan lingkungan alam, yaitu semakin mempersempit kawasan hutan. Berdasarkan data Bappeda dan Biro Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Barat (1988) bahwa sejak pertama kali beroperasinya perusahaan HPH tahun 1967 kawasan hutan di daerah ini seluas 9.204.425 hektar. Sampai dengan tahun 1986/1987, dalam kurun waktu 20 tahun telah berkurang sebanyak 30,1 %. Keadaan ini menurut Alqadrie (1992) telah mengancam eksistensi penduduk daerah pedalaman yang memandang bahwa tanah dan hutan adalah sebagai basis utama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Nasikun (1999:9-10) menyatakan bahwa salah satu masalah sangat penting yang akan dihadapi Indonesia dimasa yang akan datang adalah hadirnya masalah pertanahan di dalam skala dan karakter yang belum pernah terjadi di Indonesia selama ini, yang sumbernya tidak lagi terletak dalam konflik kelas di pedesaan, melainkan konflik antara sektor agraria berupa peningkatan ekspansi dan dominan sektor industri atas sektor pertanian. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Widjono (1998:114) yang menyatakan bahwa semakin merebaknya masalah kasus sangketa pertanahan dewasa ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yang mengedepan adalah semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah, baik untuk kepentingan industri dan pembangunan, yang seringkali bersembunyi dibalik kata sakti “untuk kepentingan umum”.
2.3. Resolusi Konflik Pertanahan
Penanganan konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan. Setiap pilihan resolusi konflik yang diambil seharusnya selalu mempertimbangkan kesuaian budaya dan lingkungan dimana resolusi itu dipergunakan, sehingga dapat menghindari hambatan-hambatan kultural dan struktur sosial (Salahudin, 2002:34). Lebih lanjut menurut Salahudin (2002:35) bahwa resolusi konflik sebagai bidang spesialis tersendiri berakar dan berkembang di Negara-negara Barat, tetapi bidang ini seringkali memperoleh kritik, karena penyelesaian konflik yang didasarkan pada nilai-nilai internasionalisme justru seringkali gagal memahami konflik baru sebenarnya adalah produk sampingan dampak westernisasi atau internasionalisasi liberal diberbagai belahan dunia.
Tujuan mempelajari resolusi konflik lokal adalah untuk mendorong pemahaman tentang konflik kontenporer dan menunjukkan bagaimana praktek dan pemikiran resolusi konflik berubah dalam responnya. Dalam mengupayakan resolusi konflik terhadap persengketaan yang muncul tidak hanya mereduksi satu diantara sekian banyak model penyelesaian konflik yang telah ada. Mungkin ada konflik disuatu tempat memiliki persamaan materi konflik yang sama. Tetapi sebaliknya, umumnya perbedaan geografis menyebabkan adanya perbedaan budaya. Akibatnya model resolusi konflik yang sama tidak mesti menjamin dapat menyelesaikan kasus yang sama tetapi terjadi ditempat yang berbeda.
Berdasarkan uraian tersebut, meskipun dalam penyelesaian masalah konflik sudah banyak model namun tidak semua dapat diaplikasikan secara general, hal ini menurut Francis (2006) karena resolusi konflik meskipun sudah jadikan model juga masih memiliki kelemahan. Kelemahan-kelemahan itu menurut Francis terletak pada asumsi bahwa pihak-pihak yang bertikai dapat dibujuk untuk melihat ketergantungan mereka yang sifatnya mutual, terlepas dari kekuatan relatifnya.
Menurut Colleta (1987:9), salah satu sarana yang paling efektif untuk berkomunikasi dengan massa yang tengah berkonflik adalah dengan menggunakan saluran-saluran pengaruh informal tradisional dan pemimpin-pemimpin setempat. Peran kepemimpinan informal tradisional ini tidak selalu diakui secara resmi oleh pemerintah, peran-peran tersebut telah berurat berakar dlam kebudayaan asli dan memperoleh legitimasinya berdasarkan factor-faktor seperti keluarga, kedudukan sebagai orang tua dan tradisi.
Dengan demikian berdasarkan pendapat Colleta tersebut, menegaskan bahwa dalam mengatasi konflik termasuklah konflik dalam bidang pertanahan tidak hanya mengandalkan pendekatan yang bersifat administrative tetapi juga perlu memperhatikan saluran-saluran pengaruh pemimpin informal yang keberadaannya di tengah-tengah masyarakat sangat dihormati dan disegani.
2.4. Konsep Pranata Sosial
Dalam perspektif sosiologis dan antropologis, tindakan masyarakat secara resmi, dapat diartikan sebagai pranata social. Koentjaraningrat (1990:163-164) mengatakan bahwa pranata social adalah suatu system tata kelakuan dan hubungan yang terpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Setiap pranata menurut Suparlan (1997:223) menyajikan seperangkat pedoman dan wadah untuk bertindak sesuai dengan corak pranata tersebut dan sesuai dengan kebutuhan yang akan dipenuhi oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Dan pedoman yang ada dalam pranata sosial yang dipunyai oleh masyarakat mengacu pada kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan. Fungsi prnata social menurut Ihromi (1981:84) adalah untuk mengatur perilaku serta memelihara seluruh sistem kehidupan masyarakat melalui sanksi-sanksi yang berlaku serta pola-pola tingkah laku yang disepakati agar tercapai kohesi dan kelanjutan dari kebudayaan.
Banyak sedikitnya suatu pranata suatu masyarakat sangat tergantung kepada sifat sederhana atau kompleksnya kebudayaan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Artinya makin besar dan kompleksnya suatu masyarakat, maka jumlah pranata yang ada makin bertambah
III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk resolusi konflik pertanahan berdasarkan pranata adat pada masyarakat Dayak Ribun. Sedangkan manfaat dilakukan penelitian ini adalah untuk mendapatkan solusi dalam penyelesaian konflik pertanahan di daerah perkebunan menurut pranata adat Dayak Ribun.
IV. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitik, dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif analitik digunakan untuk menggambarkan status kelompok manusia yang sedang berlangsung. Pendekatan kualitatif menekankan pada prosedur penelitian dengan menggunakan data kualitatif.
V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Pijakan Hukum dan Perundang-undangan Pertanahan
Pijakan hukum tanah di Indonesia adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, yang bersifat utuh, terpusat dan modern. Undang-Undang ini mengubah klaim Belanda dan Klaim adat menjadi satuta-statuta hak ala Barat (Fitzpatrick, 1997). Stuta itu misalnya berupa hak milik, hak pakai, hak sewa dan hak guna bangunan.
Kemudian kelemahan yang paling serius UUPA tersebut adalah kurangnya pengakuan atas klaim adat. Memang benar kalau refrensi adat sudah banyak dijumpai di dalam dokumen tersebut, namun isi dari pembukaan menyatakan bahwa undang-undang agraria nasional berdasarkan atas hukum adat dan mengakui peran terus menerus hukum adat. Dapat dikatakan bahwa dasar dan pengakuan ini sangat terbatas, terkait dengan aspek dasarnya. Dalam pasal 5 menyatakan bahwa dasar UUPA ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Sadangkan terkait dengan aspek pengakuan, pasal 56 menyatakan bahwa pengakuan adat berlaku sepanjang hukum adat tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Senada dengan dengan hal itu, pasal 33 UUPA mengakui hak ulayat tetapi melarang pendaftarannya. Dalam konteks Indonesia kelemahan ini signifikan karena, seperti yang dapat dilihat dari kebanyakan studi kasus, sebagian besar tanah berada di bawah kendali masyarakat secara komunal. Clark (2004) dalam studinya menemukan bahwa hanya 11 % tanah di luar Jawa, dan 22 % tanah di pulau Jawa yang secara resmi terdaftar di bawah UUPA, hal ini menunjukkan betapa hukum tersebut tidak efektif dan tidak relevan.
Untuk memahami dinamika hukum di Indonesia, agaknya kita harus memfokuskan diri kepada peran hukum dalam menata dan membentuk diskursus serta perilaku daripada terlalu berkutat dengan hukum tertulis, keterbatasannya, kontradiksinya dan hirarkinya. Pelaksanaan hukun adalah tergantung kepada tatatan sosial – hukum dan politik lokal yang dengan sendirinya bersifat tidak stabil dan ambigu.
5.2. Persepsi Masyarakat Terhadap Tanah dan Proyek Ekonomi dari luar
Tidak dapat disangkal bahwa kehadiran proyek ekonomi dari luar yang berkaitan langsung dengan ekploitasi hutan di daerah pedalaman yang dikerjakan dengan menggunakan teknologi modern cenderung menghasilkan tidak saja dampak positif bagi proses pembangunan itu sendiri tetapi juga dampak negatif terhadap lingkungan hidup, dan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
Adanya persepsi yang negatif orang Dayak Ribun terhadap pembangunan perkebunan kelapa sawit, berdasarkan penelitian telah menyebabkan adanya keengganan sebagian warga masyarakat pada waktu itu menyerahkan lahan pertanian kepada proyek PIR-Bun karena: (1) mereka menganggap bahwa proyek PIR-Bun ini bertujuan untuk mendukung dan menunjang program transmigrasi, sehingga hal ini oleh mereka dianggap sebagai kebijaksanaan yang kurang adil; (2) merasa ragu akan keberhasilan proyek tersebut dan keraguan mereka itu terutama didasarkan atas luasnya lahan yang mereka olah yaitu tidak seluas ketika mereka mengelola lahan ladang berpindah yang mencapai 25-40 hektar, sedangkan setelah mereka menjadi peserta PIR-Bun hanya memiliki lahan kebun plasma sebanyak 2 hektar dan lahan pekarangan seluas 0,5 hektar.
Berdasarkan hasil penelitian Alqadrie (1995) di Kecamatan Tayan Hilir Sanggau, bahwa adanya penolakan dari warga masyarakat untuk menyerahkan tanahnya sebagai lahan perkebunan kelapa sawit, lebih dikarenakan oleh ketidak pahaman mereka tentang prospek PIR-Bun. Namun setelah ada penyuluhan secara intensif kepada mereka, maka banyak petani yang bersedia menyerahkan lahannya untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit. Menurut pemerintah Kecamatan Parindu, bahwa desa-desa yang berada di sekitar proyek PIR-Bun yang tidak mau menyerahkan tanahnya untuk kepentingan pembangunan perkebunan adalah warga masyarakat Dusun Empawek Desa Palem Jaya, sedangkan desa-desa lainnya bersedia menyerahkan lahan.
Persepsi lain dari masyarakat terhadap kehadiran proyek PIR-Bun adalah akan mendapat ganti rugi atas tanah dan tanam tumbuh yang ada di atasnya. Masyarakat yang tanahnya terkena areal perkebunan kelapa sawit beranggapan bahwa akan mendapat ganti rugi, karena mereka memandang bahwa hutan yang telah pernah dibuka menjadi lahan perladangan atau kebun karet rakyat, mereka menguasa tanah tersebut dengan status tanah hak milik individual dan telah mendapat pengakuan dari masyarakat setempat dan pemerintah lokal (kecamatan), walaupun tanpa dilengkapi dengan tanda bukti yang syah dalam bentuk sertifikat tanah. Dengan demikian mereka telah mendapat pengakuan hak milik secara adat, buat mereka tanah menjadi soal hidup mati, sebagai tulang punggung hidupnya. Karena itu setiap ada persoalan alih fungsi tanah selalu dibarengi dengan gejolak. Begitu pula dalam masyarakat di sekitar PIR-Bun kelapa sawit Parindu. Pada saat itu, tidak sedikit diantara mereka yang mengadakan protes, berbagai alasan yang melatari.
5.3. Konflik Pertanahan Yang Sering Terjadi
Masalah pertanahan dan sumber daya alam sering disebut-sebut sebgai akar penyebab konflik komunal atau bahkan konflik kekerasan yang bersifat separatis. Pemahaman umum yang bisa ditarik adalah kelangkaan tanah dan sumber daya alam ternyata menyebabkan meningkatnya persaingan, perpindahan penduduk yang selanjutnya menimbulkan pengelompokkan aktor dan ketidakcocokan antara satu orang dengan orang lain (Homer- Dixon, 2001; Swain, 1993; Markakis, 1989). Kasus tanah adalah kasus yang sering muncul tidak hanya terjadi di daerah perkotaan tetapi juga di daerah pedesaan. Paling tidak dalam setiap desa atau kota selalu ada kasus sangketa tanah. Biasanya konflik pertanahan muncul selain dalam bentuk sengketa batas tanah dan sengketa warisan juga muncul disebabkan tidak diterimanya ganti rugi oleh pemilik tanah.
Berdasarkan hasil penelitian pada masyarakat Dayak Ribun di Kecamatan Parindu, bahwa konflik pertanahan dalam masyarakat memang sering terjadi dalam bentuk persengketaan masalah batas tanah. Sebelum kehadiran proyek PIR-Bun kelapa sawit, jumlah penduduk desa relatif sedikit. Dalam komunitas kecil tersebut hubungan sosial antara sesama warga berlangsung sangat intensif karena saling mengenal satu sama lainnya. Sebenarnya mereka itu merupakan sekelompok masyarakat yang terikat oleh faktor genealogis dan teritorial yang mempunyai latar belakang sosial budaya dan bahasa daerah yang sama. Pola pemukiman yang berbentuk linier, yaitu rumah-rumah mereka dibangun berderet dan berdekatan bagaikan mata rantai yang memberi kesan untuk bentuk pemukiman rumah panjang pada masa lalu. Situasi desa yang ditandai dengan rumah-rumah tempat tinggal berdekatan dalam jumlah kecil menumbuhkan perilaku sosial yang harmonis.
Konflik yang terjadi setelah masuknya proyek PIR-Bun kelapa sawit, tidak hanya tentang tanah semata-mata, Konflik terbuka antara sesama warga maupun dengan pihak perkebunan dalam skala besar setelah masuknya perkebunan kelapa sawit yang menyangkut masalah tanah memang belum pernah terjadi, tetapi konflik individual dalam skala kecil yang menyangkut masalah batas tanah memang sering terjadi. Konflik seperti itu tidak berkembang luas karena dapat diatasi oleh orang Dayak secara musyawarah menurut pranata adat yang mereka miliki.
5.4. Resolusi Konflik Pertanahan Berdasarkan Pranata Adat
Menurut Ashari dalam Clark (2004), bahwa dalam konflik pertanahan, masyarakat sering menggunakan mekanisme resolusi konflik seperti pembagian tanah secara faraid (pembagian warisan menurut hukum Islam), penyelesaian sengketa berdasarkan hukum positif (hukum yang berlaku) atau penyelesaian masalah berdasarkan buku catatan desa. Jika tidak tercapai kesepakatan di tingkat desa, maka sengketa akan diteruskan sampai ke tingkat Camat dan Pengadilan.
Berdasarkn hasil wawancara dengan informan, bahwa di Kecamatan Parindu, bahwa konflik pertanahan yang sering terjadi antara sesama warga adalah masalah batas tanah. Hal ini terjadi karena orang Dayak Ribun memiliki kebiasaan memberi tanda dengan cara tanda alam sebagai batas yang memisahkan dengan tanah milik orang lain, misalnya bambu, bersamaan dengan proses penghutanan kembali secara alamiah bekas ladangnya, maka tanda-tanda alam yang menjadi batas pemilikan tanah menjadi berubah sulit dikenali, bahkan seringkali telah hilang. Pohon bambu sebagai batas, dalam beberapa tahun telah menjadi rumpun bambu yang meluas sehingga titik batas yang sebetulnya sulit ditemukan.
Dalam menyelesaiakan konflik pertanahan yang terjadi antara sesama warga Dayak Ribun, berdasarkan hasil wawancara dengan informan bahwa selama ini selalu mereka lakukan menurut ketentuan Hukum adat. Hukum adat orang Dayak di seluruh Kalimantan, termasuk juga pada orang Dayak di Parindu, sesungguhnya sangat beraneka ragam menurut daerahnya masing-masing. Hukum adat yang beraneka corak ini, menurut Ahok (1980:15) adalah karena perkampungan masyarakat Dayak merupakan satu kesatuan masyarakat yang terikat oleh kesatuan wilayah hukum dan kesatuan genealogis, sehingga setiap perkampungan didominasi oleh satu rumpun suku atau subsuku Dayak tertentu. Karena itu mereka mempunyai satu hukum adat yang mengatur kehidupan bersama, yang merupakan aturan adat yang mengatur segala pelanggaran adat, yang dalam hukum nasional tergolong hukum perdata dan pidana (Sapardi, 1991:63).
Hukum adat menurut perkembangannya berasal dari adat yang mempunyai sanksi, kemudian berkembang menjadi keputusan-keputusan yang diambil oleh penguasa adat di dalam lingkungan masyarakat dan berkaitan dengan ikatan-ikatan struktural masyarakat (Koesnu, 1976:452). Menurut Anyang (2001:5) hukum adat dalam masyarakat Dayak merupakan bagian dari adat. Hukum adat orang Dayak menurut Sapardi (1991:63) tidak mengenal sanksi pelanggaran yang berwujud hukuman badan atau kurungan. Hukum adat yang dijatuhkan kepada para pelanggar adat disebut “denda adat” atau “kena adat”. Hal senada juga dikatakan oleh Lontaan (1975) bahwa hukum adat selain menentukan hukuman terhadap pelanggaran adat yang berupa denda secara material, juga mengharuskan si pelanggar membayar secara upacara, yaitu dengan maksud memulihkan keseimbangan alam dengan jalan mengambil hati para dewa agar tidak marah. Dengan demikian setiap denda dapat terdiri dari dua bagian, yaitu pembayaran berbentuk benda-benda material (benda-benda antik) dan berbentuk sajian binatang kepada para dewa.
Dalam masyarakat Dayak Ribun, besar kecilnya hukuman adat diukur dengan istilah tahil, untuk satu tahil memiliki nilai: (1) 20 singkap (buah) mangkok keramik Singkawang kecil, atau 7 singkap mangkok besar; (2) ayam satu ekor, minimal beratnya satu kilogram; (3) tuak sebanyak 3 botol bir atau arak putih/malaga; dan (4) gula pasir sebanyak 2 kilogram dan kopi 3 ons. Bila hukuman adat sampai tiga tahil atau lebih, maka ayam kampung harus diganti dengan babi, dengan berat 5 takah (satu takah setara dengan 5 kilogram babi hidup), dan bila si pelanggar adat itu ternyata pernah kena adat (residivis) maka denda adatnya dilipat berapa kali ia mengulang perbuatan pelanggaran adat tersebut.
Mereka yang berhak mengadili sidang adat termasuk juga dalm menangani masalah perkara persengketaan batas tanahi adalah dewan adat. Di tingkat dusun/kampung dewan adat terdiri dari kepala dusun, ketua RW dan RT, orang-orang tua yang mengetahui adat, dan ketua adat yang bertindak sebagai pemimpin sidang dan sekaligus sebagai jaksa dan hakimnya. Di tingkat Desa, Dewan adat terdiri kepala desa, kepala dusun, orang-orang tua yang mengetahui adat, dan dipimpin oleh seorang temenggong. Sebelum ada penggabungan dan penyatuan desa wilayah hukumnya adalah sejumlah desa atau kampung yang diikat oleh rumpun suku yang sama. Sehingga secara administratif bisa saja wilayah temenggong ini sampai di luar wilayah kecamatan. Tetapi juga sebaliknya bisa saja dalam wilayah satu kecamatan terbagi dalam beberapa wilayah hukum temenggong, karena tergantung berapa jumlah rumpun suku yang tinggal di kecamatan tersebut. Karena itu seorang temenggong sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Dayak.
Setelah masuknya proyek perkebunan kelapa sawit, konflik pertanahan sudah tidak hanya terbatas diantara sesama warga masyarakat tetapi sudah dengan pihak pengelola proyek. Konflik antara warga masyarakat dengan pihak perkebunan atau pengelola proyek biasanya dipicu oleh adanya ketidaktepatan janji dari pihak pengelola proyek bahwa tanah-tanah yang semula mereka serahkan akan mendapat ganti rugi, tetapi dalam kenyataannya hingga proyek tersebut beroperasi ganti rugi yang dijanjikan tidak ditepati, kalaupun ditepati menurut hasil penelitian ganti rugi yang diterima tidak sesuai dengan kesepkatan awal.
Untuk menuntut kejelasan, menurut informan dalam penelitian ini masyarakat menagih janji. Konflik pertanahan yang terjadi sudah bukan lagi bersifat individual personal tetapi sudah melibatkan seluruh masyarakat yang memiliki tanah yang terkena areal perkebunan atau proyek. Dalam menangani konflik pertanahan ini, berdasarkan hasil wawancara dengan informan bahwa mekanisme yang mereka tempuh pada tahap pertama mereka selesaikan melalui ketentuan adat, namun bilamana tidak menemui kesepakatan maka penyelesaiannya akan dibawa ke tingkat desa dan bahkan Kecamatan.
VI KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana yang telah dipaparkan dalam Bab pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Konflik pertanahan dalam masyarakat memang sering terjadi dalam bentuk persengketaan masalah batas tanah. Hal ini terjadi karena orang Dayak Ribun memiliki kebiasaan memberi tanda cara tanda alam sebagai batas yang memisahkan dengan tanah milik orang lain, misalnya bambu, bersamaan dengan proses penghutanan kembali secara alamiah bekas ladangnya, maka tanda-tanda alam yang menjadi batas pemilikan tanah menjadi berubah sulit dikenali, bahkan seringkali telah hilang. Pohon bambu sebagai batas, dalam beberapa tahun telah menjadi rumpun bambu yang meluas sehingga titik batas yang sebetulnya sulit ditemukan.
2. Konflik yang terjadi setelah masuknya proyek PIR-Bun kelapa sawit, biasanya dipicu oleh adanya ketidaktepatan janji dari pihak pengelola proyek bahwa tanah-tanah yang semula mereka serahkan akan mendapat ganti rugi, tetapi dalam kenyataannya hingga proyek tersebut beroperasi ganti rugi yang dijanjikan tidak ditepati.
3. Dalam menyelesaiakan konflik pertanahan yang terjadi antara sesama warga Dayak Ribun, diselesaikan menurut adat dan kepercayaan yang mereka anut yang dilakukan melalu pengurus adat. Sementara itu konflik pertanahan yang terjadi antara masyarakat dengan pihak perkebunan pada tahap pertama diselesaikan melalui ketentuan adat, jika tidak ada kesepakatan maka dilanjutkan pada tingkat Kecamatan.
Berdasarkan atas kesimpulan yang telah dikemukakan tersebut, maka disarankan bahwa pranata adat yang berkaitan dengan masalah penyelesaikan konflik pertanahan yang merupakan kearifan lokal budaya perlu dilestarikan sehingga dapat dijadikan sebagai bahan atau landasan untuk memecahkan masalah yang sama baik yang terjadi dalam komunitas etnik itu maupun etnik lain yang kasusnya sama.
DAFTAR PUSTAKA
Ahok, Pasifikus. 1980. Etnografi Masyarakat Dayak Ribun di kecamatan Parindu, Pontianak: Lembaga Penelitian Universitas Tanjungpura.
Alqadrie, Syarif. I. 1992. Dampak Perusahaan HPH Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya Penduduk Setempat di Pedalaman Kalbar, Pontianak: Balai Penelitian Untan.
-----------------------, A.B. Tangdililing, Arkanudin, Yulius Yohanes, Erdi. 1995. Pembangunan Pertanian Dan Kebudayaan Petani: Studi Kasus Perusahaan Inti Rakyat (PIR-BUN) Kecamatan Tayan Hilir Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat, Pontianak.
Biro Pusat Statistik. dan Bappeda. 1988; 1999; 1990 Kalimantan Barat Dalam Angka, Pontianak: Kantor Statistik Propinsi Kalimantan Barat.
Clark, Samuel. 2004. Bukan Sekedar Persoalan Kepemilikan, Sepuluh Studi Kasus Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam dari Jawa dan Flores, Jakarta: Bank Dunia.
Fitzpatrick, Daniel. 1997. Disputes and Pluralism In Modern Indonesian Land Law, Yale Journal of International Law, Vol. 22.
Francis, Diana. 2006. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial, Yogyakarta: Quill.
Galtung, Johan. 2003. Kekerasan Kultural, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Yogyakarta: Insist Press
Ihromi, TO. 1981. Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Gramedia
Koentjaraningrat. 1984. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
--------------------. 1990. Sejarah Teori Antropologi, Jilid 2, Jakarta:UI-Press
Koesnoe, Moh. I. 1976. Perkembangan Hukum Adat Setelah Perang Dunia II, Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Nasional: Dalam Berita Antropologi, Tahun VIII No 25 Januari.
Lontaan, JU. 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, Jakarta: Bumi Restu.
Nasikun. 1999. Perkembangan Konflik Pertanahan di Pedesaan Dalam era Pembangunan Indonesia, Bandung: Primaco Akademika
Rauf, Maswardi. 2001. Konsensus dan Konflik Politik, Sebuah Penjajagan Teoritis, Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Riwut, Tjilik. 1958. Kalimantan Memanggil, Tanpa Penerbit, Palangkaraya
Salahudin. 2002. Setawar Sedingin, Sebuah Model Resolusi KonflikMasyarakat Adat Bengkulu. Studi Kasus Penyelesaian Konflik Nelayan di Kota Bengkulu, Yogyakarta: Tesis Magister UGM.
Sapardi. 1991. Pengaruh Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Rumah Tangga Petani di Kecamatan Parindu, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Suparlan, Parsudi. 1984. Transmigrasi Dalam Pembangunan Wilayah dan Kelestariannya dengan Perspektif Budaya: Model untuk Irian Jaya, Dalam Jurnal CSIS, Nomor 5 Tahun XXVI, Oktober.
Widjono, Roedy Haryo. 998. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Gramedia.
Oleh: Arkanudin
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang berkebudayaan. Dengan kebudayaan yang dimilikinya manusia tidak hanya dapat menyelaraskan tetapi juga dapat merubah lingkungannya demi kelangsungan hidupnya. Hal ini karena kebudayaan itu, merupakan keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan kemampuan-kemampuan lainnya serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Garna, 1996:157). Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa dengan kebudayaan yang berisi seperangkat pengetahuan tersebut oleh manusia dapat dijadikan alternatif untuk menanggapi lingkungannya, baik fisik maupun sosial.
Seperangkat pengetahuan yang diperoleh oleh manusia merupakan suatu proses pembelajaran dari apa yang dilihat, diraba, dirasa dari lingkungannya, yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk perilaku serta diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Ketika manusia mengaktualisasikan perilaku yang didasarkan pada pengelaman-pengalaman yang positif terhadap lingkungannya maka manusia akan menjadi arif, dalam mengelola sistem kehidupan yang berwawasan lingkungan. Nilai-nilai kearifan mengelola sumber daya alam sangat penting, karena secara empiris salah satu aspek fenomena krisis yang paling menghawatirkan bilamana dalam pengeksploitasian sumber daya alam tidak dilakukan secara arif, maka lambat laun akan menjurus kepada kehancuran atau kepunahan. Salah satu contoh model kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan adalah kegiatan sistem perladangan berpindah yang dilakukan oleh orang Dayak di Kalimantan.
Sistem Perladangan merupakan bukti kearifan tradisional orang Dayak dalam mengelola sumber daya hutan
Ukur (dalam Widjono,1995:34), menjelaskan bahwa sistem perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak. Atas dasar inilah Widjono (1998:77) secara tegas menyatakan bahwa orang Dayak yang tidak bisa berladang boleh diragukan kedayakannya, karena mereka telah tercabut dari akar kebudayaan leluhurnya.
Ave dan King (dalam Arman,1994:129), mengemukakan bahwa tradisi berladang (siffting cultivation atau swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka yang merupakan sebagai mata pencaharian utama. Sellato (1989) dalam Soedjito (1999:115), memperkirakan sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua abad yang lalu. Bahkan Mering Ngo (1990), menyebutkan cara hidup berladang di berbagai daerah di Kalimantan telah dikenal 6000 tahun Sebelum Masehi.
Dalam kontek pengelolaan sumber daya hutan berwawasan kearifan tradisional, pada dasarnya dikalangan orang Dayak memiliki cara-cara tertentu dalam memperlakukan kawasan hutan. Menurut Bamba (1996:14), orang dayak memandang alam tidak sebagai asset atau kekayaan melain sebagai rumah bersama. Konsep rumah bersama ini terlihat dalam setiap upacara yang mendahului kegiatan tertentu yang berkaitan dengan memanfaatkan hutan, dimana selalu terdapat unsur permisi atau minta izin dari penghuni hutan yang akan digarap. Suara burung atau binatang tertentu menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan penghuni alam.
Menurut kepercayaan orang Dayak, bilamana dalam aktivitas berladang terutama dalam memilih lakosi yang akan digarap, bilamana menjumpai berbagai macam tanda-tanda, seperti suara burung dan binatang tertentu, maka perlu dilakukan upacara dengan mempersembah sesajen dengan maksud agar roh-roh halus yang memiliki kekuatan gaib tidak mengganggu kehidupan mereka baik secara individu ataupun kelompok dalam melakukan.
Berbagai kepercayaan sebagaimana yang digambarkan tersebut, menandakan bahwa orang Dayak memiliki persentuhan yang mendalam terhadap mitos, yakni suatu kejadian yang dipandang suci, atau peristiwa yang dialami langsung oleh para leluhur, meskipun waktu terjadinya peristiwa itu tidak dapat dipastikan secara historis, namun sejarah kejadian itu bagi orang Dayak berfungsi sebagai norma kehidupan. Pemikiran seperti itu melahirkan suatu persepsi mereka tentang kearifan pengelolaan sumber daya hutan (Widjono, 1995: 34).
Dalam berladang pada suku Dayak umumnya yang menjadi perioritas utama bukan produktivitas tetapi adanya keanekaragaman tanaman yang ditanam. Hal ini dapat dipahami karena suku dayak bersifat subsisten. Keanekaragaman ini diperlakukan dalam semua jenis usaha pertanian termasuk juga dalam usaha kebun karet. Dalam kegiatan berladang yang ditanam tidak hanya tanaman padi, tetapi juga ditanam berbagai jenis sayur-mayur yang umurnya relatif pendek dibandingkan dengan umur padi.
Disamping menanam berbagai jenis sayur mayur ditengah ladang, juga mereka menyempatkan diri untuk menanam berbagai jenis pohon buah-buahan di sekitar pondok Kalau diamati jenis tanaman yang ditanami antara lain tengkawang, durian, langsat, nangka, rambai, rambutan, kelapa, pinang, pisang dan lain-lain. Pohon-pohon itu juga merupakan sebagai pratanda bahwa hutan tersebut sudah ada yang mengolahnya dan jika orang lain ingin membuka ladang ditempat itu, haruslah minta izin kepada yang pertama kali membuka hutan itu. Kemudian setelah seluruh pentahapan dalam kegiatan berladang itu dilakukan hingga selesai panen, bekas ladang itu sebagiannya mereka tanam kembali dengan pohon karet. Sedangkan bagian lain dibiarkan tumbuh menjadi hutan kembali dengan maksud, suatu saat dapat dibuka kembali menjadi ladang.
Kearifan tradisional melalui penanaman kembali berbagai jenis pohon buah-buahan yang bermanfaat serta berbagai jenis tanaman keras pada bekas ladang ini, menurut Widjono (1998) telah mematahkan mitos tentang peranan orang Dayak dalam merusak lingkungan. Menurut Dove (1988); Mubyarto (1991) dan Widjono (1996:107), ada tiga mitos yang mendasari pikiran para ahli tentang para peladang Dayak ini: pertama para peladang memiliki tanah secara komunal dan mengkonsumsi hasilnya secara komunal pula dan tidak memiliki motivasi untuk melestarikannya, kedua mitos yang selalu menganggap bahwa perladangan merusak hutan dan memboroskan nilai ekonomi hutan, ketiga mitos yang menganggap bahwa sistem ekonomi mereka bersifat subsisten dan terlepas dari ekonomi pasar.
Secara tradisional sistem dan pola pengelolaan sumber daya hutan di Kalimantan masih dapat kita temukan, dimana masing-masing memiliki karakteristik yang belum tentu dapat diduplikasi di tempat lain, misalnya di Kalimantan Barat kita kenal adanya sistem pengelolaan sumber daya hutan yang disebut dengan istilah tembawang, sedangkan di Kalimantan Timur dikenal dengan istilah Simpukng Munan dan ragam simpukng lainnya. Sistem pengelolaan sumber daya hutan oleh orang Dayak tersebut secara ekonomis terbukti mampu memberikan kontribusi untuk pendapatan keluarga sekaligus melestarikan sumber daya hutan.
Berbagai tuduhan yang dialamatkan terhadap mereka sebagai perusak hutan tidaklah beralasan, hal ini karena dalam memanfaatkan hutan sebagai areal ladang peralatan yang digunakan hanyalah mengandalkan kapak dan parang. Berbeda dengan para pemegang HPH yang memobilisasi banyak pekerja dan memanfaatkan teknologi tinggi. Pengelolaan hutan dengan memanfaatkan teknologi tinggi membuat konsep berladang sebagai salah satu model kearifan suku Dayak semakin tergusur dan nampaknya hal ini hanya akan tinggal menjadi cerita sejarah orang Dayak dalam mengelola sumber daya alam.
Penutup
Kearifan tradisional orang Dayak dalam megelola sumber daya hutan, secara khakiki pada dasarnya berpangkal dari sistem religi yang menuntun dan meneladani masyarakat Dayak untuk senantiasa berperilaku serasi dengan dinamika alam semesta.
Meskipun apa yang dilakukan orang Dayak tersebut, ada yang tidak logis karena mereka masih percaya bahwa alam semesta ini penuh dengan kekuatan gaib, sehingga dalam setiap memulai sesuatu pekerjaan yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan selalu terdapat unsur permisi atau minta izin terhadap penghuni hutan. Namun secara sosiologis tradisi atau adat istiadat yang dilakukan orang Dayak tersebut adalah semata-mata merupakan upaya pelestarian dan pemeliharaan lingkungan, sehingga harapan yang lebih jauh adalah tercipta keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Kearifan tradisional yang dimiliki oleh orang Dayak, terutama dalam mengelola sumber daya hutan, memang perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak untuk melestarikannya, karena hal tersebut merupakan nilai-nilai tradisional yang berakar dari budaya bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Arman, Syamsuni. 1989. Perladangan Berpindah Dan Kedudukannya Dalam Kebudayaan Suku-Suku Dayak Di Kalimantan Barat, Pontianak: Makalah di Sampaikan Dalam Dies Natalis XXX Dan Lustrum VI Universitas Tanjungpura.
Bamba, John, 1996. Pengelolaan Sumber Daya Alam: Menurut Budaya Dayak Dan Tantangan Yang Di Hadapi, Dalam Kalimantan Review, Nomor 15 Tahun V, Maret-April 1996, Pontianak.
Dove, Michael R. 1988. Sistem Perladangan Di Indonesia: Studi kasus Di Kalimantan Barat, Yogyakarta: Gajahmada University Press.
-------------------. 1994. Kata Pengantar, Ketahanan Kebudayaan dan Kebudayaan Ketahanan, Dalam: Paulus Florus (ed), Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi, Jakarta: LP3S-IDRD dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.
Garna, Judistira. K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar-Konsep-Posisi, Bandung: Program Pascasarjana UNPAD
Ignatius. 1998. Pengelolaan Sumber Daya Alam di kampung Menyumbung (Sub Suku Dayak Rio), Dalam, Kristianus Atok, Paulus Florus, Agus Tamen (ed), Pem,berdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masayarakat, Pontianak: PPSDAK Pancur Kasih.
Mering, Ngo. 1990. Inilah Peladang, dalam: Prospek No 3 Tahun 1, 13 Oktober 1990.
Mudiyono. 1990. Perubahan Sosial dan Ekologi Peladang Berpindah, Pontianak:Dalam Suara Almamater Universitas Tanjungpura, No II Tahun V Nopember 1990.
Soedjito, Herwasono. 1999. Masyarakat Dayak: Peladang Berpindah dan Pelestarian Plasma Nutfah, Dalam Kusnaka Adimihardja (editor),Petani, Merajut Tradisi Era Globalisasi, Pendayaangunaan Sistem Pengetahuan Lokal Dalam Pembangunan, Bandung: Humaniora Utama Press.
Ukur, Pridolin. 1994. Makna Religi Dar Alam Sekitar Dalam Kebudayaan Dayak, Dalam Paulus Florus (editor), Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transfortasi, Jakarta: LP3S-IDRD dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.
Widjono, Roedy Haryo. 1995. Simpakng Munan Dayak Benuag, Suatu Kearifan Tradisional Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Pontianak: Dalam Kalimantan Review, Nomor 13 Tahun IV, Oktober- Desember.
------------------------. 1998. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Oleh: Dr. Arkanudin, M.Si
Dosen FISIP dan Program Magister Ilmu Sosial UNTAN Pontianak
PENDAHULUAN
Demokratisasi tidak dapat dipisahkan dari pembentukan civil society, karena demokrasi adalah mekanisme dari civil society. Eksistensi civil society dalam wacana demokrasi di Indonesia ketika rezim Orde Baru berkuasa dapat dikatakan sangat terbelenggu. Setelah rezim Orde Baru runtuh otomatis telah memutuskan belenggu yang selama ini mengungkungi demokrasai serta menghalangi aspirasi dan partisipasi politik masyarakat selama lebih dari tiga dekade.
Pada saat ini, bangsa Indonesia memiliki kesempatan dan kemungkinan yang lebih besar untuk menyelenggarakan reformasi politik menuju demokratisasi. Hal ini terlihat bahwa setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru, maka telah memberi kesempatan untuk membentuk partai baru dan dalam jangka waktu yang hanya kurang dari tiga bulan telah terbentuk delapan puluh partai baru, dan banyak kekuatan sosio politik yang menegaskan diri bahwa mendukung dan menghendaki sebuah era baru reformasi dalam berbagai kehidupan.
Reformasi merupakan upaya untuk mengganti tatanan sosial lama dengan tatatann sosial baru yang dijiwai oleh semangat reformasi yang berkembang dalam masyarakat dan sesuai pula dengan aspirasi rakyat. Semangat reformasi dilandasi oleh nilai-nilai transformasi menuju ke arah demokrasi. Menurut Dewanta (1996:277), bahwa transformasi ke arah demokrasi mengandung pengertian pergeseran dari suatu sistem nondemokratis (apapun bentuknya) ke arah sistem yang demokratis. Transformasi ke arah demokrasi selalu berkaitan dengan perubahan dari hubungan yang memiliki karakter zero-sum, dalam pengertian bahwa negara sangat kuat dan masyarakat sipil sangat lemah menjadi hubungan yang positive-sum. Untuk itu diperlukan strategi dan taktik untuk meningkatkan kekuatan masyarakat sipil sehingga memiliki bergaining position yang lebih kuat yang dapat memaksa negara mempertimbangkannya dalam suatu proses politik.
Posisi masyarakat yang sangat kuat ini, menurut Dewanta (1996:276), tidaklah berarti mengorbankan negara. Negara yang kuat dalam arti mampu menjalankan fungsi-fungsinya secara efektif yang ditandai oleh menguatnya peranan masyarakat tanpa diikuti menguatnya peran negara yang menimbulkan suatu bentuk tatanan yang anarkhis, yang ditandai oleh disorder bahkan disintegrasi. Sementara pada kutup ekstrem yang lain, menguatnya negara tanpaa diimbangi oleh menguatnya peran masyarakat akan memunculkan bentuk-bentuk hubungan seperti otoritarian, diktator, tirani dan semacamnya.
Menguatnya posisi masyarakat disini dapat juga diartikan bahwa masyarakat menjadi subyek, dan bukan obyek, dengan ikut menentukan dalam setiap kegiatan yang menyangkut dirinya baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial.
HUBUNGAN ANTARA NEGARA DAN CIVIL SOCIETY
Menurut Kuntowijoyo (1996:29), setidak ada empat pendapat mengenai hubungan antara negara dan civil society yaitu: pertama, menurut Hegel negara adalah sebuah aktualitas yang lahir karena dalam masyarakat selalu terjadi konflik, sehingga kemerdekaan sejati tidak pernah akan timbul dalam masyarakat. Dalam negaralah kemerdekaan itu terwujud; kedua, adalah kebalikan dari pertama. Marx berpendapat bahwa negara adalah alat represi dari kelas penguasa. Satu-satunya harapan bagi kemanusian terletak pada hapusnya negara. Dengan hapusnya negara tidak ada lagi alat represi, dan masyarakat dapat hidup tanpa kelas penguasa; ketiga, seperti yang dikemukakan Antonio Gramsci, yang membedakan antara negara dan masyarakat, antara political society dan civil society, negara mewakili paksaan, dominasi dan koersi, maka masyarakat mewakili budaya ideologi, dan konsensus; keempat, ada hubungan fungsional antara masyarakat dan negara. Masyarakat terpecah antara kepentingan yang berlawanan, antara sektor pribadi dan umum, antara individu dan masyarakat, antara kenyataan dan kesadaran. Negara memberi pengawasan dan peraturan. Secara konkrit negara bekerja melalui pemungutan pajak, pelaksanaan hukum, peraturan, birokrasi, diplomasi, sistem keamanan dan perang. Semua itu disatukan melalui hukum dan hak.
Di dalam masyarakat sipil, demokrasi yang berkembang niscaya bercorak pluralistik, yang ditandai dengan banyaknya pranata politik yang terbentuk atas prakarsa masyarakat sebagai penyalur aspirasi mereka sendiri. Menurut Dahl (dalam Silaen, 2000:8), pada masyarakat sipil society selain itu juga terdapat ciri-ciri lain yaitu: tingginya tingkat partisipasi politik masyarakat; terbukanya ruang-ruang publik yang luas dan bebas; terbentuknya masyarakat yang kritis (critical society).
Untuk membentuk masyarakat yang kritis sebagai mana yang dikemukakan diatas, menurut Silaen (2000:8) adalah mustahil dapat tercapai manakala tanpa melalui proses pencerahan yang mentransformasi budaya masyarakat menjadi modernis, yang berciri rasional, universal, menekankan achievement, dan imparsial. Di dalam masyarakat demikian, nilai-nilai yang berkembang niscaya mencakup kebebasan , kesataraan, individualistik, indenpendensi dan tolenrasi. Proses menuju kearah itu, menurut Lipset (dalam Silaen, 2000:9) masyarakat dapat didukung pencapaiannya melalui pendidikan, dengan instrumen-instrumen pendukung: urbanisasi (disebabkan industrialisasi); literacy, pers dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam teori politik, demokrasi sebagaimana yang dijelaskan di atas bukan hanya demokrasi electoral, yang hanya berurusan dengan mekanisme pemilihan para elit politik belaka. Pula bukan hanya demokrasi prosedural yang terkait dengan cara-cara pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan politik, melainkan yang utama adalah demokrasi liberal yang memberi peluang sebesar-besarnya kepada setiap warga untuk berpartisipasi secara politik melalui pelbagai saluran yang tersedia.
EXISTENSI CIVIL SOCIETY ERA ORDE BARU
Lahirnya rejim Orde Baru merupakan akibat dari kejatuhan rezim Orde Lama. Dilihat dari awal perkembangannya, rejim Orde Baru muncul dengan apa yang disebut critical mass (massa kritis), yaitu golongan terpelajar: intelektual, akademisi, pengacara, wartawan, tokoh-tokoh agama, mahasiswa, pelajar, seniman. Di Barat menurut Kusumowidagdo (1986:160) kelompok ini di golongkan dalam orang-orang yang liberal minded.
Lahirnya rejim Orde Baru selain telah mengubah orientasi ekonomi politik kekuasaan, juga telah memunculkan Soeharto sebagai pengganti sekaligus mengubah tatanan ekonomi politik Indonesia yang dulunya sosialis ke dalam sistem kapitalisme internasional. Karena proses pembangunan di zaman Orde Baru menempatkn modal sebagai sebuah logika sentral, maka negara-negara kapitalis metropolis (internasional) diundang untuk memperbaiki sistem ekonomi Indonesia. Merekapun meminta syarat, diantaranya jaminan keamanan, bahwa modal bisa saja ditanamkan namun ada jaminan agar modal itu menjadi aman, yakni sistem politik harus aman dan konflik-konflik sosial ditekan seminim mungkin.
Dalam pada itu, agar keamanan tetap terjamin Indonesia dibawah rezim Orde Baru telah didesain secara sistematis untuk tidak memberi tempat penting bagi partisipasi politik massa, apalagi bagi politik aliran. Rezim Orde Baru berusaha mempertahankan status quo dan memberi jamiman keamanan, serta menerapkan sistem politik yang benar-benar menekan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dihilangkan, yang muncul adalah floating state atau dalam kontek sosiologis disebut “negara otonomi”. Negara membayangkan dirinya sebagai representasi paling sejati dari seluruh kehendak individu, kelompok, atau golongan. Negara semacam ini relatif steril terhadap dinamika dan kekuatan-kekuatan yang tumbuh ditengah masyarakat.
Dengan corak seperti itu rezim Orde Baru kemudian mewariskan masyarakat yang memperlihatkan kejanggalan diberbagai segi. Artinya ada lembaga-lembaga penunjang demokrasi seperti partai politik, pers, lembaga swadaya masyarakat, tetapi semua itu tidak memiliki otonomi dan sangat tergantung pada negara. Warisan tersebut ternyata menimbulkan komplikasi serius, ketika bangsa ini hendak melangkah menuju demokrasi.
Salah satu diantara warisan itu adalah hilangnya ketrampilan sosial yang diperlukan dalam suatu civil society akibat dihancurkannya secara sistematis segala forum dan media yang dikuasai masyarakat. Akibatnya masyarakat kehilangan kesanggupan menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka sendiri secara santun dan damai. Eksesnya penyelesaian segala persoalan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat kita lihat selalu menggunakan cara kekerasan (violence).
Terjadinya kekuasaan yang demikian pada saat rezim orde baru berkuasa menurut para ahli ilmu sosial dikarenakan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan strukturalis. Kelompok ilmuan yang beraliran ini adalah O’Donnel sendiri, Immanuel Wellerstein, Arief Budiman, Sritua Arief dan Adi Sasano. Sementara itu pada ilmuan sosial beraliran kultural, lebih memposisikan kultur atau budaya sebagai sentral analisa. Menurut mereka terdapat suatu sistem budaya yang doniman dalam suatu sistem sosial masyarakat dan budaya ini mempengaruhi perilaku ekonomi politik elit kekuasaan maupun masyarakat sipil kita, sistem pemerintahan yang berlangsung dalam negara tadi berdasar pada pola dan tradisi kebudayaan yang dominan tadi. Jika direduksi bahwa dalam negara Orde Baru sistem pemerintahannya cenderung otoriter, budaya Jawa sebagai sistem sosial yang dominan dan memiliki pengaruh kuat dalam elit kekuasaan memiliki nilai-nilai otoriter. Masyarakat sipil memiliki kecendrungan untuk tidak tampil menjadi institusi pengimbang dalam masyarakat, ini juga akibat dari terdapatnya kultur masyarakat yang nrimo, tidak memiliki tradisi pemberontakan, beberapa ilmuan sosial penganut teori ini antara lain Clifford Geertz, Koentjaraningrat, Budi Santoso, SJ. Ben Anderson.
Perseteruan para penganut teori diatas telah lama berlangsung, dalam masyarakat intelektual tradisi ilmu-ilmu sosial yang dipengaruhi oleh filsafat Weberian (budaya) sebagai alat analisa utama begitu dominan, sementara mereka yang mendasari analisanya pada filsafat Marxian (historis) masih begitu minim. Belakangan ini mencul beberapa aliran yang menamakan dirinya sebagai mahzab Marxis Revisionis. Mereka tidak lagi membuat pertentangan antara kultur dan struktur, karena bagi mereka kedua pendekatan ini masing-masing memeliki relevansi di dalam menjelaskan realitas masyarakat setempat. Ilmuan Marxian seperti Gramsci, Nicos Paulantzas, Perry Anderson, melihat bahwa budaya juga merupakan sebuah identitas yang dipakai oleh penguasa untuk memproduksi sistem kekuasaan yang hemegomik . Bagi Gramsci yang dianggap sebagai intelektual besar yang beraliran Marxis revisionis, memahami bahwa negara jangan hanya dilihat sebagai institusi yang mempertahankan berlangsungnya formasi sosial yang otoriter, sebagaimana pendapat kaum Marxis klasik, masyarakat sipil (civil society) menstinya juga dilihat sebagai faktor kunci untuk memahami sistem otoritarian tadi. Ia terbentuk dari hubungan-hubungan budaya dan idiologi yang kompleks kehidupan intelektual dan spiritual, serta ekspresi politik dari hubungan-hubungan itu yang harus ditekan daripada struktur. Lebih jauh ketika ia menganalisa mengapa masyarkat sipil di Italia menjadi sangat tunduk kepada kekuasaan. Menurutnya, kekuasaan telah berhasil menterjemahkan budaya masyarakat setempat sebagai perangkat kekuasaan untuk melakukan pressur terhadap masyarakat sipil sendiri. Sementara Perry Anderson pada saat menganalisa tulisan Gramsci memberi kesimpulan bahwa model hemegoni Gramsci adalah kepemimpinan moral dan kebudayaan yang dilaksalanakan oleh masyarakat politik (negara) kepada masyarakat sipil.
Studi politik dalam perspektif demikian lebih banyak memakai pendekatan dalam analisa kelas dari kalangan Marxis revisionis tadi, artinya fokus pendekatannya diarahkan pada state dalam hubungannya dengan masyarakat. (state and society) pada periode inilah muncul apa yang disebut dengan perspektif neo statist. Yaitu pendekatan yang memusatkan analisanya pada negara (state centred). Dalam pendekatan ini paling tidak terdapat tiga ciri utama (Subakti 1989:4). Pertama, negara dipahami sebagai aktor yang memiliki peran dalam mempengaruhi dan mentukan perkembangan masyarakat. Kedua penjelasannya berupa perspektif kelembagaan, ketiga negara tidak lagi dikaji secara das solen (apa dan bagaimana negara dijalankan), tetapi secara das sein (bagaimana negara dijalankan pada tataran empirisnya).
Pendekatan negara muncul setidaknya dengan dua alasan. Yang pertama, timbul rasa ketidakpuasan dari kalangan ilmuan sosial terhadap pendekatan yang selama ini digunakan yang lebih berfokus pada analisa tradisional yang melihat negara dalam perspektif normatif ideal, kedua, semua aktivitas kelas-kelas sosial dalam masyarakat telah masuk dalam yurisdiksi dan wewenang negara, hal demikian dengan sendirinya terimplikasi ke dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat sipil.
Menurut Hikam(1999:66), masyarakat dunia ketiga, keterlibatan negara tidak hanya dalam bidang politik saja tetapi telah merasuk ke dalam lapangan ekonomi, sosial maupun budaya. Nicos Poulantzas (1987:60), sehingga posisi negara yang dulunya secara statis dan netral, sekarang telah berkembang menjadi sebuah institusi yang memiliki kemandirian relatif.
Orde Baru sebagai sebuah tatanan politik dimana negara diletakan ke dalam sebuah bingkai yang relatif otonom, institusi politik ini juga melakukan praktek kekuasaan yang represif dan otoriter, kemudian negara menjadi sebuah institusi pelaksana tunggal dari otoritarianisme tadi. Dengan demikian maka terdapat tiga ciri yang mendasari negara Orde Baru, sebagai negara yang kuat, relatif otonom dan otoriter. Sementara masyarakatnya cenderung bersifat pasif, apatis, lembaga-lembaga politik masyarakat sebagian besar tidak menjalankan fungsinya sebagai alat bagi pendidikan politik rakyat. Setiap kali ada gejala yang memperlihatkan sikap akomodatif dari civil society terhadap negara maka ini dipahami sebagai indikasi semakin menguatnya struktur politik yang dibangun oleh negara.
Sebagai kelanjutan dari sebuah rejim Orde Lama, Orde Baru juga mewarisi sistem politik dengan menempuh jalan mobilisasi negara. Artinya, semua perangkat ekonomi, sosial, budaya, politik di upayakan untuk masuk dalam kerangka kooptasi negara. Negara menciptakan satu bentuk institusi-institusi baru dan tunggal sebagai perwakilan dari organisasi yang ada dalam masyarakat.
Untuk memperlemah sekaligus melakukan kontrol terhadap berbagai institusi seperti misalnya aktivitas buruh, negara membentuk dan hanya mengizinkan satu-satu organisasi yang bernama Serikat Buruh Pekerja Indonesia (SPSI), tetapi organisasi sejenisnya, seperti Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) tidak diperbolehkan berdiri. Demikian pula dengan organisasi Pers yang diizinkan hanya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sementara Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) bukan hanya tidak diberi izin, tetapi para anggotanya justru mengalami kesulitan politik dan operasional profesi.
Dalam institusi keagamaanpun negara membentuk satu perangkat organisasi tunggal yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) oleh pemerintah dianggap sebagai representasi dari semua ulama yang ada di Indonesia, sementara HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) sekalipun sampai saat ini belum ada organisasi tandingannya, namun pemerintah melakukan intervensi politik ketika terjadi rekruitmen kepemimpinan di dalam lembaga tersebut. HKBP pimpinan Nababan tidak direstui oleh kekuasan. Begitu kuatnya intervensi negara dalam tubuh institusi Kristen Protestan ini mengakibatkan HKBP mengalami konflik internal berkepanjangan, dan ongkos yang dibayar dari konflik itu sangatlah besar.
Demikian pula dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pimpinan Megawati Soekarno Putri, direkayasa untuk tidak kembali memimpin PDI. Soeryadi sendiri sebagai aktivis partai yang loyal kepada pemerintah direstui. Hal yang menarik justru datang dari peristiwa Muktamar NU, K.H. Abdurrahman Wahid yang meneguhkan diri sebagai simbol oposisi kekuasaan mendapat rintangan yang begitu kuat untuk kembali memimpin, namun peristiwa ini, negara tidak berhasil menggusur Gus Dur, ketidak berhasilan pemerintah menggusur Gus Dur karena mengalir dukungan dari sipil society disamping itu juga kepiawaian Gus Dur dalam menjalan politik praktis.
Kasus-kasus politik di atas memberi gambaran betapa kekuasaan Orde Baru sama sekali tidak menginginkan munculnya kekuatan alternatif dalam masyarakat, apalagi yang mengarah kepada oposisi politik terhadap negara. Dan untuk mengimbangi kekuasaan politik dari masyarakat negara melakukan intervensi kekerasan dengan menggunakan militer dengan alasan menjaga agar stabilitas politik tetap berjalan untuk menjaga kesinambungan pembangunan ekonomi, terutama investasi modal dari luar.
Kebijaksanaan politik demikian, membuat civil society (masyarakat sipil) kehilangan kemandiriannya, partisipasi politik hanya sebatas pengesahan dari kebijakan negara yang diturunkan kemasyarakat agar terkesan ada proses partisipasi dari bawah, padahal secara substansial negara justru melakukan tekanan politik kepada masyarakat untuk mengiyakan segala bentuk kebijakan ekonomi politik negara. Hikam (1999:5), menyatakan bahwa penetrasi negara yang kuat dan jauh terutama lewat jaringan birokrasi dan aparat keamanan telah mengakibatkan semakin menyempitnya rung-ruang bebas yang dulunya pernah ada.
Begitu kuatnya penetrasi kekuasaan terhadap lembaga-lembaga masyarakat sipil sehingga Pierre James (dalam Budiman1996:61) mengatakan bahwa,………the single most important actor in the economic, society and polity……… Sementara Fattah (1994:85-86), menyatakan bahwa memahami negara telah menjadi sebuah kekuatan politik dominan yang mempengaruhi perkembangan masyarakat. Perubahan logika kekuasaan negara yang lebih cepat dari perubahan politik masyarakat mengakibatkan masyarakat sipil mengalami pertumbuhan yang tidak signifikan, hal tersebut sangat jauh berbeda dengan sejarah masyarakat sipil yang ada di Barat, dimana yang terakhir peran aktif masyarakatnya sangat menentukan pengambilan kebijakan politik maupun ekonomi dalam kekuasan. Problem kultural dari masyarakat sipil kita berlanjut terus seiring dengan realitas politik yang berkembang di Indonesia.
Masa pemerintahan orde baru bukan berarti tidak muncul praktek oposisi terhadap negara. Organisasi-organisasi non pemerintah. Tokoh agama, aktivis petani dan buruh, mereka mampu melakukan konsolidasi politik untuk memperkuat basis struktur masyarakat, sepanjang dekade 1990-an masyarakat sipil melakukan praktek perlawanan terhadap kebijakan pemerintah, dimulai dengan peristiwa pemberedelan terhadap beberapa media massa, Tempo, Editor dan Detik, demontrasi besar-besar kaum buruh baik di Jakarta, Surabaya, dan Medan, meninggalnya Marsinah dan Udin serta tragedi penyerangan kantor PDI di jalan Diponegoro. Namun menurut Nasikun (1999:432), perlawanan atau tuntutan yang selama ini tidak ada henti-hentinya diajukan oleh masyarakat, selalu disudutkan sebagai tindakan anti pembangunan atau upaya pihak ketiga untuk mendiskreditkan pemerintah, dan yang tidak jarang harus berhadapan dengan tindakan kekerasan oleh aparat Kamtibmas atas nama kesetian kepada Pancasila, UUD 1945 dan kesinambungan pembangunan.
Maraknya praktek oposisi yang dilancarkn oleh kaum civil society terhadap pemerintahan Orde Baru, dalam konteks proses menuju demokratisasi terutama pendidikan politik bagi masyarakat sipil. Dalam tatanan masyarakat demokrasi politik terdapat dua kekuatan sosial yang harus dilihat secara terpisah, ini bukan hanya dalam konteks metodologi, tetapi juga secara substansial sangat signifikan. Yakni, State atau negara dan civil society atau masyarakat. Dua komponen demokrasi ini akan selalu berhadapan satu dengan lainnya. Agar institusi negara tidak terlalu kuat dan jauh mengintervensi kelas-kelas masyarakat, maka civil society harus mampu melakukan pengimbangan kekuatan. Karena prasyarat dari sebuah sistem politik yang demokratis adalah terjadinya proses perimbangan ekonomi politik antara civil society dengan negara, masyarakat harus berfungsi sebagai lembaga pengontrol terhadap kekuasaan.
Namun demikian, tidak tepat juga jika dikatakan bahwa proses demokratisasi hanya ditentukan oleh faktor politik saja seperti yang selama ini banyak dipakai sebagai metode analisis para ilmuan sosial. Pada hal faktor lain seperti ekonomi dan pertumbuhan dunia usaha belumlah banyak mendapat kajian yang memadai. Jika kita menengok bahwa orde baru telah menciptakan suatu mekanisme sistem politik yang menempatkan empat pilar utama secara riil merupakan kekuatan politik; yakni Islam, Militer, Soeharto dan keluarganya kemudian modal (dunia usaha).
Dalam hal yang terakhir di atas, suka atau tidak suka, negara telah memberi kontribusi yang cukup besar dalam menciptakan kaum pengusaha yang handal dimana secara riil mereka juga memiliki potensi dalam proses perubahan politik di Indonesia. Bahwa mereka belumlah menjadi sebuah institusi kapitalis yang handal dan memiliki kekuatan politik itu masalah lain, karena negara memang menghendaki agar para pemilik modal tidak memiliki kekuatan politik riil, tetapi secara potensial merekaa ada. Kasus kaum pemilik modal di Thailand yang terkenal dengan peristiwa kudeta lewat telpon genggam. Bagaimana pemilik modal dengan masing-masing telpon genggam di tangan turun kejalan menuntut agar Jenderal Chucinda yang telah membesarkan mereka lewat fasilitas kekuasaan, dituntut untuk segera meletakkan jabatan, intelektual dan kaum kapitalis kembali memainkan peran pentingnya. Sekalipun mereka tidak secara langsung turun melakukan protes, namun pembiayaann politik (dukungan ekonomi) dan psikologis turut mempercepat kejatuhan Soeharto.
Runtuhnya pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 atas desakan civil society, terutama mahasiswa yang dilakukan hampir di semua kampus di seluruh Indonesia selama beberapa bulan sebelum jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan, belumlah dapat diartikan sebagai keberhasilan civil society, karena dalam kurun waktu demikian berbagai peristiwa ekonomi politik sedang berlangsung, seperti munculnya polarisasi ditubuh politik, tekanan-tekanan internasional akibat dari krisis moneter yang berlanjut dengan krisis ekonomi dan terakhir dengan krisis kepercayaan, adalah dua faktor utama yang harus dilihat sebagai pendorong proses berakhirnya rezim Orde Baru.
Disamping hal-hal tersebut di atas yang menyebabkan cepat runtuhnya pemerintahan Orde Baru menurut Nasikun (1999:433), bahwa ketika krisis nasional sudah mencapai titik tertinggi dan belum pernah terjadi sepanjang era Orde Baru, ditanggapi oleh pihak pemerintah dengan tindakan-tindakan baik secara psykologis maupun fisik yang bersifat refresif, bahkan mirip dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dari suatu negara Kepolisian, seperti melakukan penculikan-penculikan secara sistematik atas para aktivis mahasiswa dan lemabga swadaya masyarakat (LSM) yang dilakukan oleh aparat keamanan dengan maksud untuk mencegah semakin meluasnya reformasi.
Konsekwensi logis atas tindakan-tindakan yang dilakukan menjelang beberapa bulan jatuhnya pemerintah Soeharto tersebut adalah eskalasi berkembangnya suatu situasi yang sangat rawan, yaitu suatu situasi yang revolusioner yang menurut Chaimers Jhonson (dalam Nasikun,1999:433), ditandai oleh tiga hal yaitu: (1) terjadinya “deflasi kekuasaan” (fower deflation), ketika tekanan-tekanan yang diciptakan oleh disekuilibrium atau disinkronisasi sistem sosial menuntut perubahan-perubahan sangat mendasar untuk kelangsungan eksistensinya, dan ketika integrasi sistem sosial semakin bergantung pada pemeliharaan dan penggunaan instrumen-instrumen kekerasan; (2) kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemegang kekuasaan untuk mengembalikan ekuilibrium atau sinkronisasi sistem sosial justru menghasilkan terjadinya “kebangkrutan otoritas” (a loss of authority) dari pusat kekuasaan, ketika penggunaan alat-alat kekerasan oleh pemegang kekuasaan tidak lagi dianggap absah, bukan hanya oleh para aktivis akan tetapi juga oleh masyarakat yang semakin luas; (3) bertemunya suatu kombinasi berbagai situasi yang muncul oleh karena berbagai kejadian yang tidak dapat dikendalikan, yang akumulasinya dapat menyebabkan terjadinya kelumpuhan organisasi instrumen kekerasan yang berada dibawah kontrol pusat kekuasaan, untuk menyebut perpecahan atau pemberontakan militer sebagai bentuknya yang paling penting.
Gerakan mahasiswa yang menjadi ujung tombak dalam mendobrak kekuasaan Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun, jelas mendapat energi dari kalangan pengusaha. Menurut Fachry Ali (dalam Ridwan dan Gunawan, 1999:XXXV), bahwa dalam puncak-puncak masa krisis kekuasaan Orde Baru energi itu semakin bertambah dari bergabungnya aktor-aktor pengusaha bekas klien negara dimasa lalu ----- yang terdorong keluar arena baik karena terjadinya sirkulasi kekuasaan di kalangan elit maupun munculnya orientasi budaya politik baru di kalangan Cendana yang berbeda dari sebelumnya. ---- karena lambat atau cepat aspirasi-aspirasi mereka akan berbeda jalan dengan kehendak atau apa yang diidealisasikan oleh negara. Karena bagi mereka yang telah terkayakan ini akan senantiasa merasa kian terusik, bahkan mungkin terancam dengan kontinuitas kekuasaan hampir menyeluruh Negara Orde Baru.
Peristiwa jatuhnya Soeharto mengingatkan kita pada saat rejim Orde Baru muncul sebagai penguasa. Rejim ini juga dibangun lewat aliansi militer dan kelas menengah (kaum pemilik modal) kemudian saat Orde Baru berkuasa kaum pemilik modal juga banyak mendapat tempat dalam kekuasaan. Dan ketika terjadi krisis ekonomi maupun kekuasaan, dimana lagi negara tidak mampu lagi menanganani sendiri krisis ekonomi maupun kekuasaan secara sendiri, dan kaum kapitalis yang telah berbeda kepentingan dengan kekuasaan begitu cepat melakukan konsolidasi diri untuk berbalik menyerang kekuasaan. Peristiwa politik yang tidak menentu seperti itu bagi Karen Remmer (1995), ketika menganalisa proses demokrasi di Amerika Latin mengatakan bahwa situasi demikian adalah suatu periode tak menentu yang ditandai dengan kehancuran rejim-rejim mapan, baik otoriter maupun demokratik.
Sementara O’Donnel (dalm Hikam, 1999:33), sendiri memahami mengenai peristiwa yang terjadi tersebut adalah sebagai periode dimana sebuah episose politik sedang bergeser dari sebuah rejim otoriter ke periode transisi. Dalam periode transisi tidak berarti masyarakat sipil akan sampai pada masa demokrasi, bisa saja jarum jam akan berputar kembali kearah semula. Pada satu sisi oleh upaya penghacuran rejim otoriter dan disisi yang lain oleh penciptaan sejenis demokrasi, kembalinya jenis rejim otoriter yang lain, atau munculnya suatu alternatif revolusioner.
Sekalipun Orde Baru telah runtuh, itu tidak berarti bahwa kekuasaan otoriter tidak akan kembali lagi berkuasa, karena situasi transisi politik menurut Hikam (1999), memiliki sifat dasar, yaitu kecairan dalam situasi demikian tidak tidak ada satupun kekuatan politik dominan yang bebas dari tantangan-tantangan. Penguasa politik yang lama maupun yang baru masih saling bertentangan satu dengan lainnya.
Kekuasaan politik setelah Orde Baru runtuh tidak dengan sendirinya hilang sama sekali, Pemerintahan yang ada masih memiliki kecenderungan untuk berganti strategi dengan kembali ke paradigma yang lama, belum lagi bayangan militer yang setiap saat siap tampil menjadi penguasa. Karena proses demokrasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia di tandai oleh dilema adanya hubungan sipil dan militer, entah itu bersifat mesra atau terjadi konsesi politik ekonomi secara paksa. Bisa saja terjadi pengaktifan di sektor sipil dan pengunduran militer dari jabatan-jabatan politik, tetapi proses politik yang terjadi di belakang semua keputusan itu dibayangi oleh ancaman-ancaman dan tawar-menawar militer yang lebih berpihak pada konservatisme politik.
Fenomena ditunjukkan pada dua pemerintahan setelah kekuasaan Orde Baru runtuh adalah adanya keengganan kaum pemilik modal untuk melakukan investasi di Indonesia semestinya juga dilihat sebagai situasi potensial yang bisa dijadikan sebagai alasan untuk kembali berkuasanya sebuah rejim yang oteriter. Oleh karena itu yang terpenting dilakukan dalam sebuah realitas politik transisi adalah memunculkan sebuah proses penciptaan demokrasi yang sebenarnya, dan jangan hanya dipandang selesai ketika rejim otoriter runtuh, seperti para penganut paradigma pluralis-liberal yakni, proses itu lebih diarahkan pada penciptaan suatu kerangka pranata-pranata khusus yang dapat mewadahi kemampuan berbagai macam kelompok politik masyarakat untuk mengejewantahkan kepentingan-kepentingan civil society. Proses pemberdayaan politik seperti itu dibutuhkan satu perangkat yang oleh Hubermas (1979:34), disebut sebagai kemampuan komunikasi para aktor.
Dua model peristiwa politik yang berlangsung pasca Soeharto, merupakan sebuah kesalahan besar sepanjang sejarah dari para kelompok oposan kita selama ini, ketika rejim, Habibie berkuasa segala aktivitas kekuasaan ditafsirkan sebagai sebuah kebijakan yang salah dan harus dilawan disamping itu juga kehadirannya di panggung politik memiliki ikatan historis dengan pemerintahan Soeharto, walaupun tuntutan agenda reformasi yang diinginkan masyarakat sudah banyak yang menyenangkan banyak orang, namun keputusan apapun yang dilakukan oleh pemerintah Habibie tidak akan pernah memadai untuk meyakinkan masyarakat ditengah krisis ekonomi.
Sementara rejim Abdurrahman Wahid, praktek oposisi memiliki kecenderungan untuk turun secara drastik. Padahal ideologi kaum oposon adalah melakukan sebuah tekanan politik terhadap berbagai kebijakan politik yang sedang berlangsung tanpa harus membedakan mana rejim yang harus dikontrol mana yang tidak. Perlakuan politik dari sebagian besar kelompok intelektual kita terhadap dua masa pemerintahan tadi hendaknya menjadi bahan renungan yang mendalam bagi kaum oposan kita.
Kelemahan lain yang mendasar dari pemerintahan pasca Orde Baru, adalah kebijakan para elit politik untuk melakukan praktek mobilisasi massa untuk tujuan-tujuan politik jangka pendek, kasus-kasus seperti pengerahan massa yang diperuntukan sebagai pressor politik ketika berlangsung pemilihan Presiden merupakan sebuah pendidikan politik yang semestinya tidak terjadi penciptaan strategi pemberdayaan politik masyarakat arus bawah hendaknya jangan diarahkan kepada mobilisasi politik langsung yang mengikuti model revolusioner, tetapi lebih diarahkan pada revitalisasi kesadaran diri dan pengembangan kamandirian politik yang merupakan ciri dari model pendekatan masyarakat sipil. Artinya dengan kesadaran yang cukup tinggi masyarakat sipil kita melakukan kontrol politik terhadap kekuasaan dan itu dimungkinkan jika sipil society kita berkembang menjadi sebuah institusi yang modern kuat dan mandiri bebas dari pengaruh dan kepentingan kelompok politik manapun.
Sehubungan dengan uraian di atas menurut Stepan (1978:65-66), bilamana kelompok strategi dalam masyarakat tidak bisa dicapai, maka menurut ada empat jalan yang diciptakan bagi berlangsungnya kehidupan redemokratisasi dalam masyarakat yaitu yang pertama, penghentian rejim otoriter atas prakarsa masyarakat; kedua, fakta yang dibuat oleh partai politik; ketiga, pemberontakan terorganisasi yang dipelopori oleh partai-partai reformis; keempat, adalah perang revolusiner dibawah ideologi Marxisme.
P E N U T U P
Gerakan moral mahasiswa yang mendapat dukungan dari hampir seluruh komponen bangsa berhasil menurunkan Soeharto dari singasana kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998. Turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan bukan hanya pertanda runtuhnya kekuasaan Orde Baru setelah 32 tahun berkuasa dan lahirlah Orde Reformasi, tapi sekaligus bukti kemenangan kekuatan moral rakyat atas kekuatan politik penguasa yang otoriter dan manifulatif dan bangkitnya kekuatan rakyat dalam percaturan politik nasional.
Keruntuhan Orde Baru telah membuka jalan bagi dilakukan reformasi kehidupan masyarakat secara menyeluruh sebagaimana dituntut oleh mahasiswa dan kaum cendekiawan. Disamping itu juga telah memutuskan belenggu yang selama ini mengungkung demokrasi serta menghalangi aspirasi politik masyarakat. Sekarang bangsa Indonesai telah memiliki kesempatan dan kemungkinan yang jauh lebih besar untuk menyelenggarakan reformasi politik menuju demokratisasi. Sudah barang tentu dalam menuju suatu proses demokratisasi diperlukan waktu yang cukup lama yang ditandai dengan negosiasi dan bergaining yang melibatkan berbagai pelaku politik dan ekonomi dalam masyarakat. Atau dengan kata lain, tidak ada instan democracy. Akan tetapi, demokrasi bukanlah suatu proses yang terjadi dengan sendirinya dalam kevakuman, melainkan harus dimulai dan diupayakan agar berlangsung dan bertahan, tanpa harus terperosok ke dalam anarkhi dan revolusi penuh kekerasan. Dan sejak jatuh kekuasaan Orde Baru kemudian lahirnya Orde Reformasi, maka sekarang bangsa Indonesia telah memiliki kesempatan dan kemungkinan yang jauh lebih besar untuk menyelenggarakan reformasi politik.
Konsekwensi logis atas atas hal tersebut diatas, maka lebih dari delapan puluh partai baru telah lahir dan atau muncul kembali dalam jangka waktu yang hanya kurang dari tiga bulan, dan banyak kekuatan sosio politik yang menegaskan diri mendukung dan menghendaki sebuah era baru reformasi politik. Salah satu dari kekuatan sosio politik tersebut adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Runtuhnya pemerintahan orde baru tidak berarti kekuasaan otoriter runtuh juga dan barangkali bisa saja kembali berkuasa lagi, karena situasi transisi politik. Dalam situasi yang demikian tidak ada satu kekuatan politik yang dominan yang bebas dari tantangan-tantangan. Penguasa politik yang lama maupun yang baru masih saling bertentangan satu sama lainnya. Pemerintah yang ada sekarang masih memiliki kecendrungan untuk berganti strategi dengan kembali ke paradigma yang lama, keengganan kaum pemilik modal untuk melakukan investasi di Indonesia juga merupakan suatu alasan yang masuk akal untuk kembali berkuasanya sebuah rejim yang otoriter.
Untuk itu yang terpenting dilakukan dalam upaya mengantisipasi munculnya kekuatan otoriter, perlu dimunculkan sebuah proses penciptaan demokrasi yang sebenar-benar dan jangan hanya dipandang selesai ketika pada saat selesai menumpas rezim otoriter yang berkuasa pada saat itu. Proses itu lebih diarahkan pada penciptaan suatu kerangka pranata-pranata khusus yang dapat mewadahi kemampuan berbagai macam kelompok politik masyarakat. Sehingga dengan demikian akan tumbuh kesadaran yang cukup tinggi masyarakat sipil melakukan kontrol politik terhadap kekuasaan dan hal ini dapat berlangsung manakala sipil society berkembang menjadi sebuah institusi yang modern kuat dan mandiri bebas dari pengaruh kepentingan kelompok politik manapun.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arief. 1996. Teori Negara-Negara Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: Gramedia.
-------------------. (ed). 1991. State and Civil Society in Indonesia, Monas University, Clyton, Victoria.
Budiman, F. Hardiman. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius.
Dewanta, Awan S. 1996. Transformasi Menuju Demokrasi, Dalam: Demokrasi Indonesia Kontemporer, Jakarta: Rajawali Press.
Fattah, Eep Saefullah. 1994. Managemen Konflik Politik dan Demokratisasi Orde Baru, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan No 5-6 Vol, V, Jakarta, LSAF dan ICMI.
Gramsci, Antonio. 1971. Selection From The Prison Notebooks, London: Lawrence and Wishart.
Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gellner, Ernest. 1995. Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju Kebebasan,(di terjemah oleh Ilyas Hasan), Bandung: Mizan.
Hikam, Muhammad AS. 1999. Demokratisasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES.
Hubermas, Jurgen. 1979. Communication and the Evalution Society, New York: Beacon Press.
Kusumowidagdo, Sigit Putranto.1986. Pembangunan Politik Orde Baru dan Krisis Partisipasi, Dalam: Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta:LP3ES.
Kuntowijoyo. 1996. Agama dan Demokratisasi di Indonesia, Dalam: Demokrasi Indonesia Kontemporer, Jakarta: Rajawali Press.
Nasikun. 1999. Reformasi, Jalan Berliku Menuju Transisi Demokrasi, Dalam: Kritik Sosial Dalam Wacana Pembangunan, Yogyakarta:UII Press.
O’Donnel, Guillermo. 1973. Modernazation and Bureucratic Authoritarianisme: Studies in South American Politics, Berkeley, CA University of Caliofornia, Berkeley.
Silaen, Victor. 2000. Masyarakat Sipil dan Negosiasi Demokrasi, Jakarta: Media Indonesia.
Surbakti, Ramlan, 1989. Perspektif Kelembagaan Baru Mengenai Hubungan Negara dengan Masyarakat, Jurnal Ilmu Politik No 14, Jakarta: Gramedia.
Stepan, Alfred. 1989. The State and Society Peru In Comparative Perspective, Princeton: Princenton University Press.
Ridwan, Deden dan Asep Gunawan, (ed). 1999. Demokratisasi Kekuasaan Wacana Ekonomi dan Moral untuk Membangun Indonesia Baru, Jakarta: LSAF.
Oleh: Arkanudin
Pendahuluan
Sudah banyak didengar komentar tentang mutu pendidikan akhir-akhir ini. Pada umumnya komentar itu tidak dapat dikatakan hanya sebatas wacana, karena anggota masyarakat melihat dan merasakan namun sulit untuk membuktikannya. Hal ini disebabkan karena tidak ada data yang menunjukkan apa dan bagaimana kelemahan yang dikeluhkan masyarakat.
Keluhan atau banyaknya komentar masyarakat sebagai pemakai jasa pendidikan terhadap mutu pendidikan (guru) saat ini, setidaknya seperti yang diungkapkan oleh Prof.Dr. Fuad Hasan dalam dialog interaktif TVRI menyatakan bahwa hanya 30 % guru-guru masa kini yang layak mengajar (http://wwww.mentawai.org/pot9.htm). Terlepas dari pro dan kontra terhadap kebenaran ungkapan tersebut, bahwa eksistensi atau keberadaan dan keprofesionalan guru di sekolah dalam mengajar telah dipertanyakan, lebih-lebih bila dihubungkan dengan merosotnya kualitas pendidikan nasional yang dirasakan hampir setiap lini pendidikan. Secara garis besar tidaklah wajar penyebab rendahnya mutu pendidikan kita ditimpahkan kepada guru, tentunya banyak indikator (purituker) lainnya, yakni ibarat mata rantai satu dengan lainnya.
Dipihak lain ada pendapat yang menyatakan bahwa rendahnya mutu pendidikan saat ini tidak hanya disebabkan oleh faktor yang berasal dari internal guru itu sendiri tetapi juga berasal dari luar. Faktor-faktor tersebut antara lain penghasilan yang diperoleh guru belum mampu memenuhi kebutuhan hidup. Disamping itu minat guru untuk menambah pengetahuan dan informasi sebagai upaya meningkatkan mutu masih kurang, sebab ada anggapan bertambah atau tidaknya pengetahuan serta kemampuan dalam melaksanakan tugas tidak berpengaruh terhadap pendapatan (gaji) yang diterima dalam tiap bulannya. Konsekwensi logis atas hal ini akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas guru itu sendiri, sehingga dengan kondisi yang demikian sebaik apapun kurikulum yang akan diterapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional kita tampaknya masih kurang berhasil.
Menurut Usmeidi (1999) setidaknya ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan pendidikan selama ini kurang berhasil yaitu: (1) strategi pembangunan pendidikan selama ini bersifat input oriented, yaitu pemenuhan semua input pendidikan seperti penyediaan materi untuk belajar dan mengajar dan alat-alat, akan dapat menghasilkan out put yang sama mutunya, namun sampai sekarang ini tidak sesuai seperti yang diharapkan; (2) pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat makro oriented, artinya lebih orientasi pendidikan banyak diatur oleh pusat, pada hal banyak yang semestinya dapat dilakukan ditingkat mikro atau sekolah (http://wwww.mentawai.org/pot9.htm).
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka tulisan ini bermaksud membicarakan masalah bagaimana potret kualitas dan kesejahteraan guru secara keseluruhan. Diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi perbaikan mutu pendidikan dan kesejahteraan guru.
Potret Kualitas Guru
Salah satu cara melihat kualitas guru dilakukan dengan melihat kualifikasi akademik yang diperoleh oleh guru. Menurut Undang-undang Guru dan Dosen bahwa kualifikasi akademik adalah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru dan dosen sesuai dengan jenis jenjang dan satuan pendidikan formal ditempat penugasan. Menurut Feisal (2000) apabila kita ingin memperbaiki salah satu ranah kegiatan masyarakat dan atau pemerintahan, maka yang harus diperbaiki pertama kali adalah sumber daya manusianya, baru sarana dan prasarana lainnya apakah itu biaya, struktur organisasi, metodelogi, mekanisme dan sistem eveluasinya. Silverius (1977:84); Zulfadli (2006) dengan kualitas manusia yang cerdas dan handal akan mampu bertarung dalam era kompetitif. Kamajuan dan persaingan di dunia yang semakin terbuka tidak mungkin dihadapi dengan kualitas manusia yang serba pas-pasan.
Untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga mampu bersaing secara kompetitif hanya mungkin dicapai dengan pendidikan yang baik dan berkualitas. Pendidikan yang berkualitas hanya mungkin dilakukan apabila orang-orang yang terlibat dalam dunia pendidikan (guru) harus berkualitas, sebab tanpa guru yang berkualitas, sulit menghasilkan murid yang berkualitas. Lalu seperti apa guru yang berkualitas, menurut Muchtaridi (2004) guru yang berkualitas memiliki ciri-ciri antara lain mengajar dimengerti oleh siswa, wawasan keilmuannya baik, suri tauladan bagi pendidikan moral siswanya, dan punya keinginan untuk meng-uprade dirinya, dan totalitas bagi pendidikan. Tilaar (1999) dalam Sihombing (2001:48) mengatakan bahwa dalam kehidupan abad 21 menuntut manusia unggul dan hasil karya unggul. Hanya manusia unggul yang dapat survice. Dengan demikian hanya manusia yang unggul atau berkualitas yang mampu menghasilkan sesuatu yang berkualitas. Oleh karena itu masalah sumber daya manusia perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak. Bahkan Aswandi menyatakan bahwa dalam era globalisasi guru yang berkualitas sudah merupakan tuntutan dalam pendidikan (Pontianak Post, 25 April 2006).
Dalam hubungan itu, maka tidaklah berlebihan bilamana Muchtaridi (2004) menyatakan bahwa guru adalah ujung tombak dalam preoses pembelajaran. Meskipun ada sejumlah faktor lainnya yang ikut menentukan efektivitas dan efisiensi kualitas pembelajaran, faktor guru tetap menempati posisi yang strategis. Bahkan Bloom (1976) dalam Tangyong (1996) menyatakan bahwa guru berada digarda paling depan yang paling bertanggungjawab dalam transfer of knowledge kepada muridnya. Tugas guru mendidik siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Maka dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika para gurunya banyak yang tidak berkualitas. Bagaimanapun sistem pendidikannya, jika guru kurang siap melaksanakannya tetap saja hasilnya sama jelek.
Di sekolah swasta bonafit, guru benar-benar dikontrol kualitasnya dengan berbagai program yang diadakan Yayasan demi menjaga kualitas sekolah tersebut dan kepercayaan dari orang tua murid, sehingga hasilnya sangat memuaskan. Sementara di sekolah negeri yang gurunya pegawai negeri sipil (PNS) sudah terlanjur terjebak oleh kalimat pahlawan tanpa pamrih, sehingga akibat posisi guru dimasyarakat terasa dipinggirkan dan tersisihkan. Banyaknya kasus pemalsuan ijazah akhir-akhir ini yang dilakukan baik oleh oknum guru itu sendiri maupun pihak luar merupakan salah satu indikator bahwa posisi guru diremehkan. Atas dasar ini, maka yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana potret kualifikasi dan kualitas guru-guru saat ini.
Berdasarkan data Bappenas bahwa jumlah guru SD hingga SMA saat ini tercatat 2,7 juta orang yang terdiri atas 1,7 juta orang guru PNS dan 1 juta orang guru swasta (Kompas, 13 April 2006). Dari jumlah tersebut Depdiknas mencatat kualifikasi guru mulai dari jenjang SD hingga SMA sebagai berikut: yaitu pendidikan guru untuk jenjang SD yang memiliki kualifikasi ijazah SLTP dan SLTA sebanyak 31,3 %; D-1,D-2 dan D-3 sebanyak 53,5 %; Sarjana (S-1) sebanyak 15,2 % Tingkatan pendidikan guru SMP yang memiliki kualifikasi ijazah D-1, D-2 dan D-3 sebanyak 32,9 %; Sarjana Muda sebanyak 6,5 % dan yang berijazah sarjana (S-1) sebanyak 60,6 %; Sementara untuk tingkat pendidikan Guru SMA yang memiliki kualifakasi ijazah D-1, D-2 dan D-3 sebanyak 10, 2 %; Sarjana Muda sebanyak 8,6 % dan Sarjana (S-1) sebanyak 81,2 %.
Selanjut berkaitan dengan kualitas guru, berdasarkan hasil penelitian Lembaga Pengujian Mutu pendidikan (LPMP) pada bulan Januari 2005 menemukan bahwa sekitar 60 % guru di Kalimantan Barat tidak layak mengajar (Warta Pemprovinsi, 23 Januari 2006). Bahkan menurut Aswandi (Pontianak Post, 25 April 2006) sebagian besar guru di Kalimantan Barat belum memenuhi kualifikasi akademik yang dipersyaratkan oleh sebuah profesi guru yaitu minimal S1 atau D4. Jumlah guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik di semua jenjang pendidikan adalah sebagai berikut: TK/RA/BA sebesar 94, 41 %; SD/MI sebesar 96,79 %; SMP/Mts sebesar 46,55 % dan SMA/SMK sebesar 35,72 %. Kualifikasi guru yang telah menempuh pendidikan strata S1 tersebut sangat beragam, terdiri dari sarjana kependidikan dan non kependidikan.
Berpijak pada realitas sebagaimana yang digambarkan diatas, sebenarnya untuk meningkatkan kualifikasi guru pemerintah telah menetapkan standar latar belakang pendidikan guru Taman Kanak (TK) dan SD ditingkatkan menjadi minimal lulusan Diploma Dua (D2), lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGTK/PGSD), latar belakang pendidikan guru SMP minimal lulusan Diploma Tiga (D3), sementara untuk guru SMA minimal Sarjana (S1). Belum tuntas program peningkatan pendidikan guru dan calon guru tersebut, lahirlah Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 yang menetapkan standar pendidikan guru minimal D4 atau S1 untuk guru dan calon guru mulai dari jenjang pendidikan SD hingga SMA.
Potret Kesejahteraan guru
Salah satu persoalan klasik dalam dunia pendidikan yang dirasakan selama bertahun-tahun dan sampai kini belum terpecahkan adalah masalah kesejahteraan khususnya yang menyangkut masalah rendahnya gaji guru. Keluhan tentang rendahnya gaji guru sudah dikemukakan berulangkali pada setiap pembicaraan pendidikan, tetapi belum memperoleh tanggapan serius untuk perbaikan. Sejak Presiden BJ. Habibie menjadi Presiden, hingga Presiden Susilo Bambang Yudoyono, selalu ada janji untuk melakukan perbaikan kesejahteraan/gaji guru, tetapi hasilnya belum signifikan dalam pengertian tidak seimbang antara hak dan kewajiban, menurut Ellis (dalam Husin, 2003:458) hak dan kewajiban guru bersifat fungsional, hal ini berarti bahwa bila hak yang diperoleh guru memenuhi kepuasan, maka ia akan memenuhi kewajibannya dengan baik. Sebaliknya, bila hak tidak sesuai dengan harapannya, maka kewajiban dilaksanakan kurang optimal. Hal ini akan berdsampak negatif terhadap kualitas kinerja guru dan hasil belajar siswa.
Bila dibandingkan dengan gaji guru-guru di negara lain, bahkan dengan Malaysia, gaji guru di Indonesia amat rendah karena nilai tukarnya tidak cukup untuk kebutuhan hidup sebulan dengan empat-lima anggota keluarga. Kalau seorang guru dapat membeli pesawat televisi, radio tape, sepeda motor, dan barang-barang mewah lainnya atau mengangsur perumahan, hal itu karena utang dengan menggunakan agunan gaji mereka setiap bulan dipotong. Sedangkan gaji guru di negara lain cukup untuk kebutuhan satu bulan, berekreasi, membeli buku, dan menabung.
Bila dibandingkan dengan kesejahteraan PNS lain di Indonesia, secara nominal gaji guru lebih tinggi untuk golongan yang sama, misalnya sama-sama golongan III C antara PNS guru dan non guru, karena guru mendapat tambahan tunjangan fungsional. Tetapi jam kerja PNS non guru terbatas, sehari hanya delapan jam atau seminggu 42 jam. Sedangkan jam kerja guru tidak terbatas. Memang mengajarnya hanya pukul 07.00-12,45, tetapi sebelum mengajar harus menyiapkan bahan, administrasi (SAP), dan setelah mengajar mereka harus mengoreksi hasil pekerjaan murid.
Peluang untuk memperoleh pendapatan tambahan diluar gaji bagi PNS non guru lebih terbuka karena sering ada proyek-proyek atau urusan lain dengan masyarakat. Sedangkan guru, peluangnya untuk memperoleh tambahan pendapatan hanya bila melakukan penjualan buku kepada murid dengan mendapat diskon atau persenan dari penerbit. Namun hal itu tidak jarang mendapat respon negatif dari masyarakat. Hal ini karena harapan masyarakat terhadap guru memang bukan hanya peranannya di dalam kelas saja, tetapi juiga di luar kelas juiga dapat memberi teladan. Tetapi peran memberi teladan ini tidak pernah diharga secara material dan sosial.
Sebenarnya perbaikan kualitas dan gaji guru telah termuat dalam amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, kemudian diperbaharui lagi Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang tercantum pada pasal 40 ayat 1 butir a, menyebutkan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Dalam penjelasan atas pasal-pasal yang dimaksud dengan penghasilan yang pantas dan memadai adalah penghasilan yang mencerminkan martabat guru sebagai pendidik yang profesional di atas kebutuhan hidup minimum (KHM). Yang dimaksud dengan jaminan kesejateraan sosial yang pantas dan memadai, antara lain jaminan kesehatan dan jaminan hari tua.
Komitmen pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan guru tidak hanya diamanat dalam UU Sisdiknas tetapi dipertegas lagi dalam Undang-undang Guru dan Dosen. Dengan demikian telah mendapat kekuatan yuridis dalam Undang Nomor 14 Tahun 2005. Dimana dalam pasal 15 mengamanatkan agar guru mendapat penghasilan minimum diatas kebutuhan hidup minimum, maka guru menerima penghasilan yang meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus dan maslahat tambahan. Sehingga dengan jaminan kesejahteraan itu guru diharapkan dapat lebih bersemangat dan mempunyai produktivitas yang tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan
Dalam hal pemberian kesejahteraan, menurut Undang-undang Guru dan Dosen tidak membedakan antara guru PNS dan Guru Swasta. Juga tak dibedakan jenjang sekolah tempat mengajar. Berdasarkan pasal 17 Undang-undang Guru dan Dosen, tunjangan fungsional berlaku umum. Artinya, setiap guru PNS maupun Swasta berhak mendapatkannya dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah meskipun besarnya tidak tersurat. Adapun tunjangan profesi, berdasarkan pasal 16 Undang-undang guru dan dosen, diberikan kepada guru yang telah meraih sertifkat pendidik. Khusus bagi guru PNS, besarnya tunjangan profesi ditetapkan setara satu kali gaji pokok. Tunjangan Khusus, berdasarkan pasal 18 UU ini, diberikan kepada guru yang bertugas di daerah dengan tingkat kesulitan khusus, seperti daerah terpencil. Bagi PNS, besarnya tunjangan khusus juga setara gaji pokok.
Penutup
Sebagai penutup tulisan ini, dapat dikemukakan bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan dan kesejahteraan guru, maka strategi yang harus dilakukan antara lain: (1) adanya komitmen semua tenaga pendidik dan kependidikan untuk sungguh-sungguh menunaikan kewajiban sebagai seorang guru, yang memiliki tanggungjawab, dedikasi dan loyalitas tinggi di dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik, pengajar dan pelatih; (2) adanya komitmen Propinsi, Kabupaten dan Kota untuk menganggarkan alokasi dana untuk sektor pendidikan 20 % seperti amanat UU; (3) adanya komitmen semua semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, sekolah, orang tua, dan murid untuk bersama-sama meningkat mutu pendidikan; (4) Mengangkat tenaga guru benar-benar yang berasal dari guru yang tamatan dari LPTK, bukan yang berasal dari tenaga yang tamatan non LPTK dengan berbekal AKTA IV; (5) meningkatkan kualifikasi guru disemua jenjang pendidikan, baik melalui penyataraan pendidikan, maupun diklat-diklat dan lain-lain.
BAHAN RUJUKAN
Aswandi. 2006. Sekilas Wajah Pendidikan Kalimantan Barat, Pontianak Post, tanggal 25 April.
Feisal, Jusuf Amir. 2000. Kebijakan Pendidikan Nasional Menghadapi Tantangan Global, Dalam: Bulletin Penabur, Nomor 10 Th XXVII.
Guru Tunggu Tunjangan Fungsional, Suara Pembaharuan, 1 Mei 2006
Hamdani. 2006. Rekruetmen Guru Demi Masa Depan Bangsa,http//www.freeligts.org/archives/ppi//02-06.
Husin, H. Zulkifli, H. Rambat Nur Sasongko, 2003. Menata Manajemen Pendidikan, Antara Perbaikan Kualitas dan gaji Guru di Era Otonomi Daerah, Dalam: Jurnal Pendidikan dan kebudayaan, Nomor 043, Tahun ke 9, Juli.
Muchtaridi. 2004. Beda Guru Sekolah Negeri, Sekolah Swasta dan Bimbel. Homepage Pendidikan network
Pasti, Y. Priyono. 2006. Kurikulum (Baru) atau Guru Bermutu, Pontianak Post, 13 Maret.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005, Tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: Depdiknas.
Persoalan Guru Di Pertengahan Masyarakat. http://www.mentawai.org/pot9.htm
Silverius, Suke. 1997. Indikator dan Strategi Pendidikan Menuju Pembangunan Nasional Demi Kesejahteraan Masyarakat, Dalam: Jurnal Pendidikan dan kebudayaan, Nomor 009 Tahun III, Juni.
Sihombing, Umberto. 2001. Pendidikan Luar Sekolah Dalam menyongsong Otonomi Daerah, Dalam: Jurnal Pendidikan dan kebudayaan, Nomor 028 Tahun ke 7, Maret.
Tangyong, Agus. F. 1996. Pengembangan Pendidikan (Pelaksanaan Kurikulum 1994), Dalam : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Nomor 007 Tahun II, Nopember.
Tilaar, HAR. 1999. Beberapa agenda Reformasi Pendidikan Nasional
Tunjangan Fungsional Guru diusulkan Naik menjadi Rp. 500.000,-Harian Kompas, 4 Pebruari 2006.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen.
Zulfadli. 2006. Komitmen Memajukan Pendidikan, Pontianak Post, 4 Mei 2006
Oleh: Arkanudin
Budaya seseorang akan tercermin dalam berkomunikasi dengan orang lain. Karena itu, komunikasi akan berlangsung damai apabila masing-masing komunikan memiliki pengertian yang mendalam tentang latar budaya masing-masing. Ada banyak hal yang dapat dipelajari diantaranya persepsi, serta bentuk-bentuk komunikasi baik verbal maupun nonverval.
Kata Kunci: Perbedaan budaya, komunikasi, antarbudaya
PENDAHULUAN
Setiap hari dimanapun kita berada tidak bisa terlepas dari komunkasi. Namun dalam melakukan komunikasi tidak setiap orang terampil melakukannya dengan efektif. Hal ini terlebih lagi bila orang yang terlibat dalam komunikasi itu berbeda budaya, kesalahan dalam memahami pesan, perilaku atau peristiwa komunikasi tidak bisa dihindari. (Khotimah, 2000:47). Kesalahan ini dapat smenyebabkan terjadinya suasana yang tidak diharapkan bahkan dapat menimbul pertikaian yang menjurus munculnya konflik sosial.
Budaya yang dimiliki seseorang sangat menentukan bagaimana cara kita berkomunikasi, artinya cara seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain apakah dengan orang yang sama budaya maupun dengan orang yang berbeda budaya, karakter budaya yang sudah tertanam sejak kecil sulit untuk dihilangkan, karena budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi (Tubbs-Sylvia Moss, 1996:237). Dengan demikian konstruksi budaya yang dimiliki oleh seseorang itu, diperoleh sejak masih bayi sampai ke liang lahat, dan ini sangat mempengaruhi cara berpikir, berperilaku orang yang bersangkutan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya. Bahkan benturan persepsi antar budaya sering kita alami sehari-hari, dan bilamana akibatnya fatal kita cenderung menganggap orang yang berbeda budaya tersebut salah, aneh tidak mengerti maksud kita. Hal ini terjadi karena, kita cenderung memandang perilaku orang lain dalam konteks latar belakang kita sendiri dan karena bersifat subyektif.
Untuk menghindari kesalahpahaman sehingga tidak menimbulkan benturan persepsi antarbudaya diantara orang yang berbeda budaya, maka kita dituntut secara obyektif untuk mengenali perbedaan dan keunikan budaya sendiri dan orang lain dengan mempelajari berbagai karakteristik budaya, diantaranya yaitu: (1) komunikasi dan budaya; (2) penampilan dan pakaian; (3) makanan dan kebiasaan makan; (4) waktu dan kesadaran waktu (5) penghargaan dan pengakuan; (6) nilai, dan norma; (7) rasa diri dan ruang; (8) proses mental dan belajar, dan; (9) kepercayaan dan sikap (Khotimah, 2000:52). Sementara itu menurut Mulyana (2003:34) bahwa untuk menghindari kesalahpahaman dalam melakukan komunikasi dengan orang yang berbeda budaya, kita harus menjadi komunikator yang efektif, karena hubungan dalam konteks apapun harus dilakukan lewat komunikasi. Lebih lanjut dijelaskan oleh Mulyana (2003) untuk menjadi komunikator yang efektif, seseorang harus memahami proses komunikasi dan prinsip-prinsip dasar komunikasi yang efektif.
Menurut Mulyana (2002:36) bahwa untuk mencapai komunikasi yang efektif, khususnya dengan orang yang berbeda budaya yang harus kita lakukan adalah: (1) kita harus selalu menunda penilaian kita atas pandangan dan perilaku orang lain, karena penilaian kita tersebut seringkali bersifat subyektif, dalam spengertian berdasarkan persepsi kita sendiri yang dipengaruhi oleh budaya kita atau dengan kata lain, jangan biarkan stereotif menjebak dan menyesatkan kita ketika kita berkomunikasi dengan orang lain; (2) kita harus berempati dengan mitra komunikasi kita, berusaha menempatkan diri kita pada posisinya. Gunakan sapaan yang layak sesuai dengan budayanya; (3) kita dituntut untuk selalu tertarik kepada orang lain sebagai individu yang unik, bukan sebagai anggota dari suatu kategori rasial, suku, agama atau sosial tertentu; (4) kita harus menguasai setidaknya bahasa verbal dan nonverbal dan sistem nilai yang mereka anut.
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Berbicara masalah komunikasi antar budaya tidak dapat pisahkan dari pengertian kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan tidak hanya sekedar dua kata tetapi dua konsep yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan untuk merumuskan budaya saja, Godykunts dan Yun Kim (1992:3) menyebut bahwa “ more than one hundred defenition of the term have been sugeested”. Sementara komunikasi itu sendiri begitu beragam dan kontroversi dalam pendefenisiannya, atau dengan kata lain di antara para ahli komunikasi belum ada keseragaman. Tapi yang jelas menurut William B. Hart II (dalam Liliweri, 2003:8) menyatakan bahwa studi komunikasi antar budaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi. Bahkan Edward T Hall (dalam Khotimah, 2000:48) dengan tegas menyatakan bahwa “culture is communication and is cultur”.
Komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosioekonomi)(Mulyana, 2001:v). Sedangkan menurut Liliweri (2003:9) komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seseorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan efek tertentu. Sementara itu menurut Dodd (1991:5) bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.
Berdasar pendapat yang dikemukakan oleh Mulyana dan Liliweri tersebut memberi pemahaman bahwa komunikasi antar budaya terjadi antara orang-orang yang berbeda budaya, ras, bahasa, agama, tingkat pendidikan, status sosial, atau bahkan jenis kelamin, serta berkaitan erat dengan komunikasi insani (human communication), sebagaimana yang diungkapkan oleh Somavar dan Porter (1991:10), yang menyatakan bahwa “ to understands intercultural interaction one must first understand human communication”
Dalam hal komunikasi antar budaya Fisher (dalam Mulyana dan Rakhmad, 2001:45) juga mengemukakan bahwa selain memandang kedudukan komunikator dan komunikan maka terhadap faktor lain yaitu pesan. Pesan ditujukan dalam perilaku komunikasi antar budaya bukan sekedar pesan karena pengaruh folkways pribadi tetapi pengaruh folkways masyarakatnya. Pesan itu sama dengan simbol budaya masyarakat yang melingkupi suatu pribadi tertentu ketika ia berkomunikasi antarbudaya. Dengan demikian sikap, perilaku, tindakan seseorang dalam komunikasi antar budaya bukan merupakan sikap, perilaku, tindakan pribadi melainkan simbol dari masyarakatnya. Pesan dalam komunikasi antar budaya merupakan simbol-simbol yang di dalamnya terkandung karakteristik komunikator yang terdengar atau terlihat dalam pengalaman proses komunikasi antar pribadi di antara mereka yang berbeda etniknya.
Dalam konunikasi antarbudaya menurut Liliweri (2003:12) semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif, jadi harus ada jaminan terhadap akurasi interpretasi pesan-pesan verbal maupun nonverbal. Hal ini disebabkan ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam peramalan, derajat ambiguitas, kebingungan, suasana misterius yang tak dapat dijelaskan, tidak bermanfaat bahkan tidak bersahabat.
Karena itulah menurut Schraman (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2001:6-7), untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, yaitu: (1) menghormati anggota budaya lain sebagai manusia; (2) menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang dikehendaki; (3) menghormati hak anggota budaya lain untuk bertindak berbeda dari cara bertindak; dan (4) komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya lain.
Selanjutnya DeVito (1997:480-481), menggunakan istilah komunikasi antarbudaya secara luas untuk mencakup semua bentuk komunikasi di antara orang-orang yang berasal dari kelompok yang berbeda selain juga secara sempit yang mencakup bidang komunikasi antar kultur yang berbeda, sebagai berikut: (1) Komunikasi antarbudaya – misalnya, antar orang Cina dan Portugis, atau antara orang Perancis dan Norwegia; (2) Komunikasi antarras yang berbeda (kadang-kadang dinamaka komunikasi antarras), - misalnya, antara orang kulit putih dangan orang kulit hitam; (3) Komunikasi antar kelompok etnis yang berbeda )kadang-kadang dinamakan komunikasi antar etnis) – misalnya, antara orang Amerika keturunan Italia dengan orang Amerika keturunan Jerman; (4) Komunikasi antar kelompok agama yang berbeda – misalnya, antara orang katolik Roma dengan Epsikop, atau antara orang Islam dan orang Yahudi; (5) Komunikasi antara bangsa yang berbeda (kadang-kadang dinamakan komunikasi internasional)- misalnya, antara Amerika Serikat dan Meksiko, atau antara Perancis dan Italia; (6) Komunikasi antara subkultur yang berbeda dan kultur yang dominan-misalnya, antara kaum homeseks dan kaum heteroseks, atau antara kaum manula dan kaum muda; (7) Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda – antara pria dan wanita.
Dari berbagai uraian itu, dapat memberi pemahaman bahwa orang-orang yang dipengaruhi kultur dan subkultur yang berbeda akan berkomunikasi secara berbeda. Perbedaan kultur dan subkultur menjadi sumber untuk memperkaya pengalaman komunikasi dan bukan sebagai penghambat dalam interaksi. Untuk itu perlu memahami dan menghargai perbedean-perbedaan tersebut.
Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam memahami kominikasi antarbudaya, yaitu persepsi, komunikasi verbal, dan komunikasi nonverbal. Ketiga elemen ini merupakan bangunan dasar yang menyebabkan kegagalan, sekaligus keberhasilan komunikasi antar budaya.
1. Persepsi
Persepsi adalah proses mengungkap arti objek-objek sosial dan kejadian-kejadian yang kita alami dalam lingkungan kita. Setiap orang akan memiliki gambaran yang berbeda mengenai realitas di sekelilingnya. Persepsi sosial tidaklah sesederhana persepsi terhadap lingkungan fisik. Persepsi sosial, yang muncul dalam komunikasi mengandung beberapa prinsip penting (Mulyana, 2003:176), yaitu: (a) persepsi berdasar pengalaman; (b) persepsi bersifat selektif; (c) persepsi bersifat dugaan; (d) persepsi bersifat evaluatif; dan (e) persepsi bersifat kontekstual.
a. Persepsi berdasarkan pengalaman
Persepsi manusia terhadap seseorang, objek, atau kejadian dan reaksi mereka terhadap hal-hal itu berdasarkan pengalaman/pembelajaran masa lalu mereka berkaitan dengan orang, objek atau kejadian serupa. Cara seseorang menilai wanita ideal, suami ideal, pekerjaan, sekolah, perilaku yang pantas, cara berpakaian yang lazim dan lain sebagainya sangat tergantung pada apa yang telah di ajarkan oleh budaya dimana orang tersebut berada.
Ilustrasi berikut ini memperjelas prinsip ini. Orang Barat yang terbiasa makan dengan sendok, garpu dan pisau akan menganggap orang Timur yang makan dengan tangan sebagai hal jorok, meskipun alat-alat makan yang mereka gunakan sudah sering digunakan orang lain, semantara orang Timur yang makan yang selalu menggunakan tangannya sendiri yang belum pernah digunakan orang lain. Di Barat umumnya, juga sebagian besar wilayah Indonesia, bersendawa ketika atau setelah makan adalah perilaku yang tidak sopan, bahkan di Swedia seorang tamu yang bersendawa seusai makan dapat membuat nyonya rumah pingsan, sementara di Arab, Cina, Jepang, dan Fiji, juga di Aceh dan Sumatera Barat, bersendawa malah di anjurkan karena hal itu menanamkan penerimaan makanan dan kepuasan makan. Demikian juga dalam berbicara dengan intonasi yang tinggi, bagi orang Jawa dinilai kurang begitu sopan, namun beberapa kultur seperti orang Sulawesi, Sumatera, Kalimantan adalah sebuah kewajaran.
b. Persepsi Bersifat Selektif
Setiap saat seseorang akan diberondongi oleh jutawan rangsangan inderawi. Untunglah ada atensi pada manusia, sehingga orang hanya akan menangkap rangsangan-rangsangan yang menarik perhatiannya saja. Ada dua faktor yang mempengaruhi atensi ini, yaitu (1) faktor internal; dan (2) faktor eksternal. Faktor internal antara lain dipengaruhi oleh faktor biologis (lapar, haus dan sebagainya); faktor fisiologis (tinggi, pendek, gemuk, kurus, sehat, sakit, lelah, penglihatan atau pendengaran kurang sempurna, cacat tubuh dan sebagainya); dan faktor-faktor sosial budaya seperti gender, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, peranan, status sosial, pengalaman masa lalu, kebiasaan dan bahkan faktor-faktor psikologis seperti kemauan, keinginan, motivasi, pengharapan dan sebagainya. Semakin besar perbedaan aspek-aspek tersebut secara antar individu, semakin besar perbedaan persepsi mereka mengenai realitas.
Faktor eksternal yang mempengaruhi orang dalam melakukan persepsi terhadap suatu obyek, yakni atribut-atribut objek yang dipersepsi seperti gerakan, intensitas, kontras, kebaruan, dan perulangan objek yang dipersepsi. Suatu obyek yang bergerak lebih menarik perhatian dari pada objek yang diam. Misalnya kita lebih menyenangi televisi sebagai gambar bergerak dari pada komik sebagai gambar diam. Demikian juga dengan suatu rangsangan yang intensitasnya menonjol juga akan menarik perhatian, seseorang yang bersuara paling keras, yang tubuhnya paling gemuk, yang kulitnya hitam, atau yang wajahnya paling cntik akan menarik perhatian kita.
Dalam pada itu, terhadap orang atau objek yang penampilannya lain dari pada yang lain (kontras), juga akan menarik perhatian, seperti seorang bule, orang berkulit hitam di antara orang-orang yang berkulit putih, seorang wanita yang berjilbab, wanita berbikini di antara wanita-wanita lain yang berpakaian lebih sopan di pantai, pemuda yang sebelah telinganya beranting di antara teman-temannya yang tidak berpenampilan demikian. Demikian juga dengan hal kebaruan merupakan suatu unsur objek yang menimbulkan perhatian, tampak jelas ketika kita melihat seorang mahsiswa baru yang lebih menarik perhatian dari pada mahasiswa lama yang sudah dikenal. Pun kita cenderung memperhatikan sesuatu yang baru misalnya baju baru yang dipakainya, mobil baru yang dibawanya.
Suatu peristiwa yang selalu berulang-ulang jelas lebih potensial untuk diperhatikan, sehingga memungkinkan untuk mudah mengingat terhadap objek yang menjadi perhatian. Seperti iklan-iklan sebuah produk yang ditayangkan secara berulang-ulang di televisi, akan lebih mendorong untuk membeli barang yang di iklankan.
c. Persepsi Bersifat Dugaan
Data yang diperoleh mengenai objek lewat penginderaan tidak pernah lengkap, seringkali menyebabkan persepsi merupakan loncatan langsung pada kesimpulan. Proses ini menyebabkan orang menafsirkan suatu objek lebih lengkap. Misalnya kita melihat sebuah pesawat terbang di angkasa, kita tidak melihat awak pesawat dan penumpangnya. Namun kita telah berulangkali melihat pesawat terbang di angkasa yang menunjukkan bahwa setidaknya terdapat awak pesawat yang menerbangkan pesawat itu. Demikian juga ketika kita melihat bila ada sebuah kapal laut dari kejauhan, kita langsung membayangkan ada sejumlah orang di dalamnya, ada sejumlah mobil dan peralatan kapal seperti skoci dan sebagainya.
d. Persepsi Bersifat Evaluatif
Kebanyakan orang menjalani hari-hari mereka dengan perasaan bahwa apa yang mereka persepsi adalah nyata. Mereka beranggapan bahwa menerima pesan dan menafsirkannya sebagai suatu proses yang alamiah. Sehingga derajat tertentu anggapan itu benar, akan tetapi kadang-kadang alat-alat indra dan persepsi kita menipu kita sehingga kita juga ragu seberapa dekat persepsi dengan realitas yang sebenarnya. Atau dengan kata lain bahwa dalam mempersepsi suatu objek tidak akan pernah terjadi secara objektif, hal ini karena dalam mempersepsi sangat dipengaruhi pengalaman masa lalu dan kepentingan pribadi.
Persepsi bersifat pribadi dan subyektif. Menurut Andrea I. Rich (dalam Mulyana, 2003:189) persepsi pada dasarnya mewakili keadaan fisik dan psikologis undividu alih-alih menunjukkan karakteristik dan kualitas mutlak objek yang dipersepsi. Misalnya bila kita pendiam, kita cenderung menilai orang yang periang sebagai orang yang supel dan mudah bergaul, dan sebaliknya.
e. Persepsi Bersifat Kontekstual
Sutau rangsangan dari luar harus di organisasikan. Dari semua pengaruh yang ada dalam persepsi kita, konteks merupakan salah satu pengaruh paling kuat. Konteks yang melingkupi kita ketika dalam melihat suatu kejadian atau objek sangat mempengaruhi struktur kognitif, pengharapan dan oleh karenanya juga persepsi kita. Persepsi besifat kontekstual ini menggunakan prinsip-prinsip: (1) kontekstual dalam pengertian struktuir objek, atau kejadian berdasarkan prinsip kemiripan atau kedekatan dan kelengkapan; (2) kontekstual dalam arti, kita cenderung mempersepsi suatu rangsangan, atau kejadian misalnya ketika kita mengisi teka-teki silang (TTS), prinsip ini jelas berlaku.
Menurut Somavar dan Porter (1991:106); Mulyana (2003:197) bahwa ada enam unsur budaya yang secara langsung mempengaruhi persepsi kita ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, yaitu: (1) kepercayaan (beliefs), nilai (values), dan sikap (attitudes); (2) pandangan dunia (worldview); (3) organisasi sosial (social organization); (4) tabiat manusia ( human nature); (5) orientasi kegiatan (activity orientation); (6) persepsi tentang diri dan orang lain (perception of self and others).
Kepercayaan adalah anggapan subjektif bahwa suatu objek atau peristiwa punya ciri atau nilai tertentu, dengan atau tanpa bukti. Kepercayaan sifatnya tidak terbatas, misalnya Tuhan itu Esa, Adam adalah manusia pertama di muka bumi, AID adalah penyakit berbahaya atau kemampuan berbahasa Inggris itu penting untuk meniti karier. Nilai adalah komponen evaluatif dari kepercayaan yang mencakup kegunaan, kebaikan, estetika, dan kepuasan. Jadi nilai bersifat normatif, memberitahu suatu anggota budaya mengenai apa yang baik dan buruk, benar dan salah, siapa yang harus dibela, apa yang harus diperjuangkan, apa yang mesti kita takuti, dan sebagainya.
Nilai biasanya bersumber dari isu filosofis yang lebih besar yang merupakan bagian dari lingkungan budaya, karena itu nilai bersifat stabil dan sulit berubah. Misalnya, berdasarkan pandangan mereka yang individualis, orang Barat lebih mengagung-agungkan privasi dari pada orang-orang Timur.
Pandangan dunia adalah orientasi budaya terhadap Tuhan, kehidupan, kematian, alam semesta, kebenaran, materi (kekayaan), dan isu-isu filosofis lainnya yang berkaitan dengan kehidupan (Somavar dan Porter, 1991:84). Pandangan dunia mencakup agama dan ideologi. Berbagai agama dunia punya konsep ketuhanan dan kenabian yang berbeda. Ideologi-ideologi berbeda juga punya konsep berbeda mengenai bagaimana hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Maka pandangan dunia merupakan unsur penting yang mempengaruhi persepsi seseorang ketika berkomunikasi dengan orang lain, khususnya yang berbeda budaya (Mulyana, 2003:202).
Organisasi sosial apakah yang sifatnya formal ataupun informal, juga mempengaruhi kita dalam mempersepsi dunia dan kehidupan ini yang pada gilirannya mempengaruhi perilaku kita. Menurut Mulyana (2003:204) lembaga informal yang mempengaruhi persepsi dan perilaku kita adalah keluarga, sedangkan lembaga formal adalah pemerintah. Perangkat aturan meskipun tidak tertulis yang di tetapkan keluarga sangat mempengaruhi kita dalam berkomunikasi. Demikian juga perangkat aturan yang di keluarkan oleh pemerintah baik tertulis maupun tidak juga memiliki pengaruh yang sama dalam persepsi dan perilaku kita. Pemerintah melalui aturan-aturannya, himgga derajat tertentu menetapkn norma komunikasi warganya baik komunikasi langsung maupun komunikasi bermedia, termasuk komunikasi massa.
Setiap negara biasanya memiliki suatu sistem komunikasi tertentu, di negara Barat umumnya menganut sistem komunikasi lebertarian yaitu orang-orang berkomunikasi lebih bebas. Negara-negara otoriter media massa masih dikendalikan pemerintah, orang tidak bebas menyiarkan informasi kepada masyarakat luas, bahkan penulisan sejarahpun harus disetujui oleh pemerintah yang sah.
Di samping kedua lembaga tersebut menurut Mulyana (2003:205) yang juga dapat mempengaruhi persepsi kita adalah lembaga pendidikan (sekolah, universitas), komunitas agama (dalam islam terdapat Sunni, Syiah, Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis dan dalam Kristen terdapat Katolik, Protestan, Advent, Pantekosta, Saksi Yohava), komunitas atnik (Jawa, batak Minangkabau, Sunda, Melayu), kelas sosial dan partai politik.
Pandangan kita tentang siapa kita, bagaimana sifat atau watak juga mempengaruhi cara kita mempersepsi lingkungan fisik dan sosial kita. Kaum muslim misalnya, berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya seperti malaikat, jin, hewan dan tumbuh-tumbuhan, karena manusia diberkahi oleh akal. Namun kemuliaan itu menurut Mulyana (2003:206) hanya dapat diperoleh bilamana manusia beriman dan beramal saleh (mempergunakan akalnya dengan cara benar), sebaliknya bilamana dalam kegiatannya selalu menurut hawa nafsu, maka mereka adalah makhluk yang paling rendah derajatnya.
Demikian juga dalam memandang manusia, bahwa kaum muslim berpendapat bahwa manusia lahir dalam keadaan suci bersih, sementara golongan Kristen berpendapat bahwa manusia itu mewarisi dosa Adam dan Hawa. Sebagian kelompok lagi punya pendapat yang berebeda-beda tentang manusia, misalnya ada golongan yang berpendapat bahwa manusia pada dasarnya baik, atau pada dasarnya jahat. Dan ada juga yang punyai teori yang berbeda-beda mengenai apa yang membuat manusia memiliki watak tertentu. Pandangan manusia mengenai hal ini akan mempengaruhi persepsi, dari pandangan yang primitif-irasional, ilmiah hingga yang religius.
Orientasi manusia mengenai bagaimana hubungan manusia dengan alam juga mempengaruhi persepsi dalam memperlakukan alam. Mereka yang memandang manusia sebagai penguasa alam dan penakluk alam akan memanfaatkan alam demi kesejahteraan, sedangkan mereka yang percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam atau bersatu dengan alam, akan berusaha bertindak selaras dengan alam, memanfaatkan alam, namun berupaya memeliharanya agar tidak rusak atau punah.
Aspek lain yang juga mempengaruhi persepsi kita adalah pandangan kita tentang aktivitas, misalnya dalam budaya-budaya tertentu pandangan terhadap siapa seseorang itu (raja, anak presiden, pejabat, bergelar) lebih penting dari pada apa yang dilakukannya. Sebaliknya ada budaya yang memandang prestasinya lebih penting ketimbang siapa dia, misalnya di Barat.
Masyarakat Timur, pada umumnya adalah masyarakat kolektivitas. Dalam budaya kolektivitas, diri (self) tidak bersifat unik atau otonom, melainkan lebur dalam kelompok (keluarga, klan, kelompok kerja, suku bangsa dan sebagainya). Sedangkan dalam budaya individualis (Barat) bersifat otonom. Akan tetapi suatu budaya sebenarnya dapat saja memiliki kecenderungan individualis dan kolektivis, seperti orientasi kegiatan salah satu biasanya lebih menonjol (Mulyana, 2003:208).
Lebih lanjut dikatakan oleh Mulyana (2003) bahwa dalam masyarakat kolektivis, individu terikat oleh lebih sedikit kelompok, namun keterikatan pada kelompok lebih kuat dan lebih lama. Selain itu hubungan antarindividu dalam kelompok bersifat total, sekaligus di lingkungan domestik dan di ruang publik. Konsekwensinya perilaku individu sangat dipengaruhi kelompoknya. Individu tidak dianjurkan untuk menonjol sendiri. Keberhasilan individu adalah keberhasilan kelompok.
Berbeda dengan manusia individualis, orang individualis kurang terikat pada kelompoknya, termasuk keluarga luasnya. Manusia individualis lebih terlibat dalam hubungan horisontal dari pada hubungan vertikal. Mereka lebih membanggakan prestasi dari pada askripsi, seperti jenis kelamin, usia, nama keluarga dan sebagainya (Landis & Brislin, 1988 : 269). Hubungan diantara sesama mereka sendiri tampak lebih dangkal dibandingkan dengan hubungan antara orang-orang kolektivitas, juga kalkulatif. Hubungan akan bertahan lama sejauh menguntungkan mereka secara material (Mulyana, 2003:210).
2. Komunikasi Verbal
Mulyana (2003:237-238) mengatakan bahwa bahasa sebagai sistem kode verbal, terbentuk atas seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Andrea L. Rich (dalam Mulyana, 2003:251) mengatakan bahwa bahasa sendiri terikat oleh budaya. Karenanya, menurut hipotesis Sapir-Whorf, sering juga disebut Teori Relativitas Linguistik, sebenarnya setiap bahasa menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas, yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman bathin, dan kebutuhan pemakainya. Jadi bahasa yang berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk berpikir, melihat lingkungan, dan alam semesta di sekitarnya dengan cara yang berbeda, dan karenanya berperilaku secara berbeda.
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Andrea L Rich tersebut, menurut Ohoiwutun (1997:99-107) dalam komunikasi antarbudaya yang harus diperhatikan yaitu: (1) kapan orang berbicara; (2) apa yang dikatakan; (3) hal memperhatikan; (4) intonasi; (5) gaya kaku dan puitis; dan (6) bahasa tidak langsung.
Banyak kejadian sehari-hari karena kurang memperhatikan perebedaan tersebut misalnya akibat mengucapkan kata-kata tertentu, yang dimaknai berbeda oleh orang yang berbeda budaya, menyebabkan kesalahanpahaman, kebencian, dan keretakan hubungan antarmanusia.
3. Komunikasi Nonverbal
Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata (Mulyana,2003:308). Sebagai kata-kata kebanyakan isyarat nonverbal juga tidak universal, melainkan terikat oleh budaya, jadi dipelajari, bukan bawaan. Sedikit saja isyarat nonverbal yang merupakan bawaan. Kita semua lahir dan mengetahui bagaimana tersenyum, namun dimana, kapan, dan kepada siapa kita menunjukkan emosi ini dipelajari, dan karenanya dipengaruhi konteks dan budaya.
Simbol-simbol nonverbal sangat sulit untuk ditafsirkan bila dibandingkan dengan simbol-simbol verbal. Walaupun demikian kita sering melihat bahwa bahasa nonverbal cenderung selaras dengan bahasa verbal, misalnya setiap gerakan sinkron dengan ucapan, seperti kita menyatakan setuju selalu disertai dengan anggukan kepala.
Menurut Liliweri (2003:98-101) ketika berhubungan dengan menggunakan pesan nonverbal ada beberapa faktor yang mempengaruhi komunikasi antarbudaya yaitu:
1. Kinestik, adalah yang berkaitan dengan bahasa tubuh, yang terdiri dari posisi tubuh, orientasi tubuh, tampilan wajah, gambaran tubuh. Tampaknya ada perbedaan antara arti dan makna dari gerakan-gerakan tubuh atau anggota tubuh yang ditampilkan
2. Okulesik, adalah gerakan mata dan posisi mata. Ada perbedaan makna yang ditampilkan alis mata diantara manusia. Setiap variasi gerakan mata atau posisi mata menggambarkan suatu makna tertentu, seperti kasih sayang, marah dan sebagainya.
3. Haptik, adalah tentang perabaan atau memperkenankan sejauhmana seseorang memegang dan merangkul orang lain.
4. Proksemik, adalah tentang hubungan antar ruang, antar jarak, dan waktu berkomunikasi, misalnya makin dekat artinya makin akrab, makin jauh artinya makin kurang akrab.
5. Kronemik, adalah tentang konsep waktu, sama seperti pesan non verbal yang lain maka konsep tentang waktu yang menganggap kalau suatu kebudayaan taat pada waktu maka kebudayaan itu tinggi atau peradabannya maju. Ukuran tentang waktu atau ketaatan pada waktu kemudian yang menghasilkan pengertian tentang oramg malas, malas bertanggungjawab, orang yang tidak pernah patuh pada waktu.
6. Tampilan, Appearance yaitu bagaimana cara seorang menampilkan diri telah cukup menunjukkan atu berkorelasi sangat tinggi dengan evaluasi tentang pribadi. Termasuk di dalamnya tampilan biologis dan tampilan yang dicari atau di bentuk. Tampilan biologis misalnya warna kulit, warna dan pandangan mata, tekstur dan warna rambut, serta struktur tubuh. Ada stereotip yang berlebihan terhadap perilaku seorang dengan tampilan biologis. Model pakaian juga mempengaruhi evaluasi kita terhadap orang lain.
7. Posture, adalah tampilan tubuh waktu sedang berdiri dan duduk. Cara bagaimana orang itu duduk dan berdiri dapat diinterpretasi bersama dalam konteks antarbudaya. Misalnya kalau orang Jawa merasa tidak bebas jika berdiri tegak di depan orang yang lebih tua sehingga harus merunduk hormat, sebaliknya duduk bersila di depan orang yang lebih tua merupakan sikap yang sopan.
8. Pesan-pesan paralinguistik antarpribadi adalah pesan komunikasi yang merupakan gabungan antara perilaku verbal dan non verbal. Paralinguistik terdiri dari satu unit suara, atau gerakan yang menampilkan maksud tertentu dengan makna tertentu. Paralinguistik juga berperan besar dalam komunikasi antarbudaya.
9. Simbolisme dan komunikasi non verbal yang pasif, beberapa diantaranya adalah simbolisme warna dan nomor.
PENUTUP
Setiap orang dari kita adalah unik, artinya sekalipun dibesarkan dalam lingkungan budaya yang sama, belum tentu setiap orang dalam kelompok tersebut itu akan persis sama dalam berpikir dan berperilaku, karena akan ada sub-sub kultur yang lebih spesifik yang sangat berpengaruh terhadap perilakunya dalam berkomunikasi. Budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya (Mulyana, 2003:4). Apa yang kita bicarakan, bagaimana kita membicarakannya, apa yang kita lihat, perhatikan, atau abaikan, bagaimana kita berpikir, dan apa yang kita pikirkan dipengaruhi oleh budaya. Pada gilirannya, apa yang kita bicarakan, bagaimana kita membicarakan, apa yang kita lihat turut membentuk, menentukan, dan menghidupkan budaya kita. Sehingga Edward T. Hall (dalam Mulyana, 2003:4-5) menyatakan bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Bahkan Porter dan Samovar (dalam Mulyana dan Rakhmat, 2001:34) menyatakan bahwa budaya tak hidup tanpa komunikasi dan komunikasi pun tak hidup tanpa budaya.
DAFTAR PUSTAKA
De Vito, Josep A. 1997. Komunikasi Antar Manusia, Terjemahan Agus Maulana, Jakarta: Profesional Books.
Dodd, Charley, H. 1991. Dynamics of intercultural Communication, Wm. C.Brown Publishers, Dubuque, IA/USA.
Effendi, Onong Uchjana. 1993. Dinamika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.
-------------------------------. 1995. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Gudykunst, W.B, & Yun Yun, Kim 1992. Communicating with strangers: An approach to intercultural communication (Ed), New York: McGraw Hill, Inc
Khotimah, Emma. 2000. Memahami Komunikasi Antarbudaya, Dalam: Jurnal Editor, Vol, 1 No. 1, Bandung: Unisba.
Landis, D. & Brislin, R. (Ed). 1988. Handbook of intercultural training, Vols 1-3, New York: Pergamon Press.
Liliweri, Alo. 203. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyana, Deddy. 1996. Mengapa Kita Mempelajari Komunikasi: Sebuah Pengantar, Dalam: Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi, Buku Pertama, Bandung: Remaja Rosdakarya.
----------------------. 2001. Mengapa dan Untuk Apa Kita Mempelajari Komunikasi Antar Budaya, Dalam: Komunikasi Antar Budaya, Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Oang Berbeda Budaya, Editor: Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Bandung: Remaja Rosdakarya.
----------------------. 2003. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar, cetakan kelima, Bandung: Remaja Rosdakarya.
---------------------. 2002. Komunikasi Jenaka, Parade Anekdot, Humor, dan Pengalaman Konyol, Cetakan kedua, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ohoiwutun. 1997. Sosiolinguistik, Memahami Bahasa Dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan, Jakarta: Visipro.
Somavar, Larry and Porter, Richard E, 1991. Communication Between Cultures, Belmont: C.A. Wadsworth.
Schramm, Wilbur. 2001. Perihal Membangun Jembatan, Dalam: Komunikasi Antar Budaya, Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, Editor: Deddy Mulyana dan Jalalluddin Rakhmat, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Oleh: Arkanudin
(Staf Pengajar Fisip dan Program Magister Ilmu Sosiall Universitas Tanjungpura Pontianak)
ABSTRAK
Kehadiran perkebunan kelapa sawit berpengaruh terhadap perubahan pola pekerjaan, yang diikuti dengan peningkatan penghasilan masyarakat. Konsekwensi lain adalah berpengaruh terhadap pola hidup dan hubungan sosial yang ditandai dengan pergeseran berbagai irama kehidupan, perubahan pola interaksi sosial yang sederhana dan bercorak lokal berubah ke pola interaksi yang kompleks serta menembus batas pedesaan, bertambahnya penduduk sehingga berbagai pola kehidupan saling mempengaruhi.
Kata kunci: perubahan, masyarakat, perkebunan
Pendahuluan
Di Kalimantan Barat pengembangan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit mulai dibuka pada 1980, dengan pola PIR sejak tahun 1982. Daerah pengembangannya terdapat di Kabupaten Pontianak, Sanggau, Sintang dan Sambas. Fenomena yang muncul seiring dengan dibukanya perkebunan kelapa sawit dengan pola PIR-Bun tersebut adalah terjadinya perubahan lingkungan alam, yaitu semakin mempersempit kawasan hutan. Hal ini berarti juga mempersempit areal cadangan lahan perladangan, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya perubahan luas sumber daya alam yang masyarakat miliki, dan memaksa masyarakat harus menyesuaikan atau mengembangkan teknologi baru untuk eksploitasi sumber daya dan akan mempengaruhi aspek sosial budayanya.
Kehadiran kantong-kantong HPH dan perkebunan, selain dapat menggeser infrastruktur ekonomi masyarakat, lingkungan sosial dan kebudayaan juga telah memicu meningkatnya jumlah penduduk, baik yang datang dibawa oleh pihak proyek perkebunan maupun para migran yang datang dengan maksud memperoleh lapangan kerja, sehingga masyarakat yang hidup di sekitar wilayah perkebunan menjadi cukup beragam atau majemuk secara sosial budaya. Hal ini berarti, masyarakat yang berada di sekitar perkebunan kelapa sawit yang pada mulanya merupakan masyarakat homogen (suku Dayak) berubah menjadi masyarakat majemuk.
Dengan meningkatnya intensitas interaksi, interelasi dan komunikasi antara masyarakat setempat dengan pihak perkebunan dan dengan masyarakat pendatang lainnya cepat atau lambat akan mempengaruhi pula pola pikir, cara hidup dan pola hubungan social serta tingkah laku masyarakat setempat, yang pada gilirannya akan berakibat pada perubahan system nilai dalam masyarakat, yang selanjutnya akan berakibat pada seluruh sistem perekonomian masyarakat terutama dalam ketenagakerjaan, pola konsumsi, system menyimpan kekayaan dan proses sosialisasi dalam masyarakat. Dalam konteks inilah, penelitian tentang perubahan sosial masyarakat di sekitar daerah perkebunan kelapa sawit dilakukan.
Tinjauan Pustaka
Alqadrie (1994) menyatakan bahwa dengan adanya pembangunan subsektor perkebunan bagi masyarakat pedalaman tidak hanya menyebabkan terbatasnya ruang gerak tetapi juga tanah-tanah adat yang dimiliki penduduk diambil alih atau dikuasai oleh pihak perusahaan. Sebagai konsekuensi logis menurut Hood (dalam Garna, 1995) bahwa kehidupan masyarakat yang demikian akan mengalami: (1) kehilangan tanah warisan nenek moyang; (2) status atau kedudukan sosial ekonomi yang rendah; (3) perubahan lingkungan hidup menjadi lingkungan yang banyak dimusnahkan atau diganti baru.
Kondisi masyarakat sebagaimana yang digambarkan oleh Hood tersebut memang sudah terjadi khususnya pada daerah-daerah yang letaknya berada di sekitar lokasi HPH dan perkebunan besar. Berdasarkan data Bappeda dan Biro Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Barat (1988), bahwa sejak pertama kali beroperasinya perusahaan HPH tahun 1967 kawasan hutan di daerah ini seluas 9.204.425 hektar. Sedangkan pada tahun 1986/1987, dalam waktu 20 tahun telah berkurang sebanyak 30,1 %. Keadaan ini menurut Alqadrie (1992) telah mengancam eksistensi petani ladang berpindah ataupun penduduk daerah pedalaman yang memandang bahwa hutan adalah sebagai basis utama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pembangunan perkenunan kelapa sawit sebagai bagian dari proses modernisasi dan proses ini tidak hanya menyangkut pola perubahan ekonomi dan teknologi semata, namun berdampak pada perubahan kehidupan masyarakat. Salah satu akibat penting dari kehadiran proyek perkebunan adalah terbentuknya komunitas baru, perubahan dan pertumbuhan cepat dari komunitas baru. Kehadiran perkebunan juga menciptakan suatu kendala struktural terhadap karakteristik pada masyarakat maju sehingga akan memiliki pekerjaan yang sama, diferensiasi pendapatan, dan meningkatkan mobilitas sosial dalam memenuhi berbagai masalah kebutuhan hidup.
Perubahan sosial disatu pihak dapat mengandung arti proses perubahan dan pembaharuan struktur sosial, sedangkan dipihak lain mengandung makna perubahan dan pembaharuan nilai (Alfian,1986). Perubahan sosial yang bagaimana yang terjadi sebagai akibat adanya proses pembangunan proyek perkebunan. Karena pembangunan perkebunan dengan menggunakan teknologi modern berarti adanya penggantian teknik bertani dari cara yang tradisional ke cara modern, akibatnya terjadi proses perubahan masyarakat dalam segala segi kehidupan.
Demikian juga halnya dengan pembangunan proyek perkebunan yang berskala besar yang dikelola secara modern bagi masyarakat terutama yang berada di sekitarnya telah menyebabkan pergeseran alih fungsi lahan yang berakibat perubahan pola hubungan kerja, pola lapangan kerja dan peluang kerja yang pada gilirannya akan berimplikasi pada perubahan status sosial, hubungan sosial, dan pola kehidupan masyarakat. Di samping itu juga akan menimbulkan masalah penduduk dan lingkungan akibat semakin meningkatnya jumlah pendatang. Bahkan Garna (1992) menyatakan bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat sebagai akibat kehadiran proyek perkebunan, tidak hanya berupa perubahan fisik oleh proses alami dan perubahan kehidupan manusia oleh dinamika kehidupan, tetapi juga menyangkut kehidupan manusia atau terkait dengan lingkungan kehidupannya yang berupa fisik, alam dan sosial.
Pandangan optimistik tentang perubahan sosial sebagai mana yang dikemukakan di atas mungkin beralasan mengingat kebijaksanaan yang melandasi kehadiran perusahaan HPH maupun perkebunanan telah digodok dan dirumuskan oleh lembaga legislatif (Algadrie, 1994). Dengan demikian kehadiran proyek perkebunan akan menyebabkan perubahan sosial pada masyarakat tidak dapat dihindarkan sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Mudiyono et al., (1990), berpendapat bahwa pengembangan perkebunan dengan pola PIR termasuk dalam upaya untuk lebih mempercepat perubahan cara bertani dan cara hidup masyarakat terutama masyarakat di sekitar lokasi perkebunan.
Metode Penelitian
Secara kronologis, penelitian ini dilakukan dengan metode survei, wawancara dan studi dokumentasi. Untuk memperoleh data yang tidak dapat dilakukan melalui observasi, peneliti lakukan dengan metode wawancara. Studi dokumentasi digunakan untuk menggali data sekunder. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat yang berada di sekitar daerah perkebunan kelapa sawit akan dideskripsikan serta dianalisis secara kualitatif.
Hasil dan Pembahasan
Persepsi Terhadap Kehadiran proyek Perkebunan Kelapa Sawit
Persepsi terhadap kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit umumnya popsitif, walaupun ada diantaranya yang memiliki persepsi negatif. Hal ini tidak berarti, pembangunan proyek perkebunan kelapa sawit adalah bentuk ideal bagi masyarakat. Persepsi negatif terhadap pembangunan perkebunan kelapa sawit, selain dipengaruhi oleh kesan terhadap program transmigrasi yang kurang berhasil, juga nasib para transmigran lokal yang ikut serta dalam program transmigrasi tidak mendapat perlakuan yang sama seperti transmigran dari luar daerah. Karena itu, mereka hawatir akan mengalami nasib yang serupa. Berangkat dari realitas sosial yang mereka alami tersebut, ada sebagian masyarakat yang tidak mau menyerahkan tanahnya untuk dijadikan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit itu, sehingga ketika pertama proyek ini mulai digarap pada tahun 1982 ditemukan beberapa daerah enklave (adanya lahan perladangan atau jamih dan kebun karet rakyat) ditengah-tengah lingkungan perkebun kelapa sawit.
Persepsi lain adalah akan mendapat ganti rugi atas tanah dan tanam tumbuh yang ada di atasnya. Namun dalam kenyataannya persepsi masyarakat ini berbeda dengan persepsi pihak pemerintah yang memandang bahwa hutan adalah milik negara diperuntukan untuk kemakmuran rakyat, karena itu terhadap tanah-tanah masyarakat yang terkena areal perkebunan kelapa sawit tersebut pihak pemerintah tidak memberi ganti rugi kepada masyarakat setempat. Harapan lain adalah dapat diterima sebagai karyawan tetap proyek perkebunan, dengan alasan untuk mendapatkan uang tunai secara tetap setiap bulan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dalam keluarganya. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Dove (1986 dalam Sapardi, 1991) bahwa msyrkat pedalaman (baca: orang Dayak) berusaha meminimkan resiko, yaitu menginginkan jaminan atas tersedianya pekerjaan tetap untuk mendapatkan sumber uang tunai secara teratur dan tetap. Namun dalam kenyataan mereka hanya dapat menjadi tenaga buruh perkebunan atau pekerja kasar, sementara itu tenaga karyawan banyak diisi oleh penduduk yang berasal dari daerah lain. Karena untuk menjadi karyawan dituntut persyaratan administratif yang ketat dan kaku.
Perubahan Lapangan Kerja dan Diversifikasi Pekerjaan
Lapangan pekerjaan setelah kehadiran proyek Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan kelapa sawit, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: pertama yang sementara dan; kedua yang tetap. Pekerjaan yang sementara yaitu membangun sarana perumahan di lingkungan proyek perkebunan kelapa sawit. Pekerjaan ini berlangsung tidak begitu lama sebab dalam beberapa bulan kemudian bangunan yang digunakan untuk perumahan karyawan proyek perkebunan kelapa sawit jadi dan bisa ditempati, para tukang itu keluar. Jenis pekerjaan yang tetap antara lain, adalah tenaga buruh perkebunan, karyawan pabrik, staf karyawan proyek perkebunan, usaha angkutan buah kelapa sawit, dan angkutan pupuk serta obat hama penyakit tanaman. Lapangan pekerjaan baru dari luar antara lain bengkel kendaraan bermotor, kios bensin, warung atau toko, kiostel, warung kopi, rumah makan, dan pembangunan sarana jalan. Tenaga kerja sebagian besar adalah masyarakat setempat, bahkan diantara mereka ada yang menjadi pedagang besar.
Perubahan Sistem Hubungan Kerja
Kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit, beberapa aspek kehidupan seperti sistem gotong royong masih berlaku, tetapi perkembangan dan perbedaan fungsi dalam masyarakat dewasa ini cenderung mengubah bentuk gotong royong itu. Kenyataan ini sesuai dengan teori solidaritas organik dan mekanik Durkheim (dalam Veeger, 1992) menyatakan bahwa pada bentuk solidaritas organik, terintegrasi karena adanya keseragaman pola-pola relasi sosial, yang dilatar belakangi oleh kesamaan pekerjaan dan kedudukan semua anggotanya, sedangkan solidaritas mekanik, dimana masyarakat mulai berubah, setelah pertambahan penduduk memaksa masyarakat untuk merundingkan suatu pembagian kerja. Pembagian ini mengakibatkan perbedaan kepentingan, status dan pikiran yang menjurus kepada pola interaksi yang parsial dan fungsional, untuk mencapai kesatuan dibutuhkan undang-undang, peraturan-peraturan, kontrak atau perjanjian, dan suatu ideologi atau seperangkat nilai-nilai yang bersifat lebih umum dan abstrak.
Perubahan sistem hubungan kerja tersebut, sejalan dengan semakin intensifnya peredaran uang di lingkungan mereka, karena proyek perkebunan menganut managemen modern yang dalam imbalan tenaga selalu dibayar dalam bentuk uang kontan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sayogyo (1985), bahwa kehadiran proyek ekonomi dari luar yang dikerjakan secara modern telah menghacurkan pranata desa tradisional berazaskan tolong menolong yang diganti dengan sistem upah yang dibayar dengan uang.
Dengan demikian sistem upah modern pada umumnya berorientasi pada keuntungan yang sebesar-besarnya, karena itu dasar kerja yang dugunakan adalah pembagian kerja yang jelas dan menuntut dilakukan secara profesionalisme. Sistem upah yang rasional yang dipraktekkan secara modern oleh pihak perkebunan kelapa sawit, sudah berpengaruh terhadap sistem upah tradisional. Pada saat ini, akibat masuknya proyek perkebunan kelapa sawit, prinsip kebersamaan secara tradisional yang sejak dulu menjadi sistem nilai hidup bermasyarakat untuk menjamin kelangsungan kehidupan bergeser menjadi sistem nilai yang berbentuk konkrit dalam bentuk imbal jasa berupa upah, terutama aktivitas dalam memelihara perkebunan.
Peralihan dari sistem upah tradisional ke arah sistem upah modern telah mumunculkan struktur sosial baru di dalam masyarakat pedalaman yakni adanya golongan pencari upah atau pekerja diperkebunan yang hidup berdampingan dengan para pendatang.
Perubahan Pola Hubungan Sosial Masyarakat
Kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan kerja sama tidak hanya terbatas dalam lingkungan komunitas mereka sendiri, tetapi sudah melibatkan orang luar terutama dengan pihak perkebunan. Dalam hal persaingan yang sangat kentara adalah persaingan dalam memperoleh kesempatan untuk dapat bekerja pada proyek perkebunan kelapa sawit. Demikian juga dalam memugar dan memperbaiki rumah yang diganti dengan bangunan yang lebih kuat, besar dan permanen serta adanya persaingan dalam membeli barang-barang konsumtif seperti televisi, VCD, radio tape recorder, sepeda, dan sepeda motor. Barang konsumtif seperti ini dengan mudah mereka miliki, karena dapat diperoleh dengan kredit yang pembayarannya dipotong dari hasil penjualan buah kelapa sawit.
Dengan demikian kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit, telah menyebabkan munculnya kompleksitas persaingan tidak hanya persaingan ekonomi tetapi juga persaingan sosial dan politik. Suparlan (1998) mengemukakan bahwa persaingan di dalam kehidupan bermasyarakat itu selalu ada dan tidak dapat diingkari lagi kehadirannya. Ini berarti setelah kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit persaingan yang terjadi tidak hanya terbatas pada perebutan sumber daya alam, tetapi juga persaingan dalam pendidikan dan politik.
Dalam pada itu, konflik yang terjadi setelah masuknya proyek perkebunan kelapa sawit, tidak hanya tentang tanah semata-mata, tetapi juga sudah menyangkut pergaulan anak-anak muda, antara tetangga dan, warga yang kurang sehat. Menurut Rauf (2001) karena masyarakat terdiri dari sejumlah besar hubungan sosial, selalu saja terjadi konflik antara warga masyarakat yang terlibat dalam hubungan sosial. Dalam kaitan itu, konflik atau pertikaian yang terjadi di lokasi penelitian secara perorangan antara tetangga pada umumnya disebabkan oleh masalah-masalah yang berkisar pada kehidupan ketetanggaan. Seperti adanya kecemburuan sosial terhadap tetangga yang hidupnya lebih maju, adanya tetangga yang tidak menepati janji. Konflik terbuka antara sesama warga dalam skala besar setelah masuknya perkebunan kelapa sawit memang belum pernah terjadi, tetapi konflik individual dalam skala kecil memang sering terjadi. Konflik seperti itu tidak berkembang luas karena dapat diatasi oleh orang Dayak secara musyawarah. Perselisihan cukup sering terjadi umumnya antar remaja pada saat kompetisi olahraga atau dalam pergaulan sehari-hari, tetapi tidak sampai meluas menjadi konflik antar suku bangsa, agama atau antar golongan.
Perubahan Pola Kehidupan
Perubahan pola kehidupan terfokus pada pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari tidak mengalami perubahan yang menyolok. Kebiasaan menyuguhkan tamu dengan minuman tuak sudah diganti dengan minuman teh atau kopi, demikian juga dengan jenis rokok yang terbuat dari nipah yang diisi dengan tembakau sulit ditemukan, rokok yang dikonsumsi adalah buatan pabrik. Dengan demikian kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan perubahan dalam pola konsumsi masyarakat. Kenyataan ini memperkuat teori yang perubahan sosial yang dikemukakan oleh Ogbur (dalam Lauer, 1993) yang menyatakan bahwa perubahan disatu pihak akan mengakibatkan perubahan dipihak lain.
Demikian juga dalam hal berpakaian. Fungsi pakaian tidak lagi dipandang hanya sebagai penutup badan, tetapi sudah dianggap sebagai sesuatu yang dapat memperindah badan, hal itu terlihat dari jenis dan model pakaian yang dipakai mereka, terutama di kalangan anak-anak muda sudah tidak ada bedanya lagi dengan jenis dan model pakaian yang biasa dipakai oleh para pendatang dari luar. Di kalangan anak muda baik pria maupun wanita sudah biasa mengenakan celana jeans, dengan penampilan yang rapi. Zulkarnaen (2000) berdasarkan hasil penelitiannya menemukan hal yang sama, yaitu dikalangan orang pedalaman, mereka juga akrab menggunakan celana jeans. Tampilan rambut dipotong dan disisir trendy.
Kehidupan bidang agama hampir tidak mengalami perubahan yang berarti. Jauh sebelum dibangunnya mereka sudah menganut agama Katolik dan Protestan. Agama itu diperkenalkan oleh para misionaris kristen Katolik dan Protestan. Para misionaris Kristen mulai menyebarkan agama di daerah pedalaman Kalimantan sejak awal abad ke 20 (Day, 1995). Adat istiadat dan hukum adat masyarakat setempat masih tetap berlaku sebagai kontrol sosial, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ajaran agama dan perkembangan masyarakatnya. Menurut Garna (1999) masih kuatnya adat istiadat dan hukum adat, karena dianggap sebagai pedoman hidup bagi masyarakat.
Perubahan dalam peranan keluarga. Bentuk keluarga batih relatif tetap terdiri ayah, ibu dan anak-anaknya. Fungsi keluarga adalah satuan pengasuhan anak, tampaknya masih belum mengalami perubahan yang esensial. Ibu tetap merupakan orang yang paling penting kedudukannya dalam proses enkulturasi dan sosialisasi anak-anak demikian pula ayah dan beberapa anggota keluarga dekat lainnya. Perubahan justru terjadi sebagai suatu bentuk fenomena sosial yang berubah ialah ruang gerak anak-anak perempuan makin luas yang diakibatkan oleh orientasi nilai budaya, sehingga tampak lebih leluasa dan fleksibel. Anak perempuan boleh berjalan berduaan dengan laki-laki tanpa merasa bersalah dan takut dimarahi orang tua.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit telah memberikan kontribusi yang positif terhadap peningkatan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya, yang pada gilirannya telah mendorong perubahan sosial dalam. aspek status sosial ditandai dengan pergeseran pekerjaan. Perubahan sosial dalam aspek hubungan sosial ditandai dengan perubahan perubahan pola hubungan yang sederhana serta bercorak lokal berubah kepada pola hubungan yang kompleks dan lebih luas dari batas desa.
2. Perubahan sosial dalam aspek pola hidup juga mengalami perubahan yang ditandai dengan pergeseran orientasi kepemilikan harta untuk memperoleh penghargaan dan pengakuan masyarakat yang berkenaan dengan status sosial.
3. Makna kegiatan tolong menolong dan pertukaran sosial telah mengalami pergeseran, hal ini tampak dari pola hubungan yang bersifat kontraktual dan rasional telah mereduksi yang sifatnya pribadi.
Saran-Saran
1. Untuk mengantisipasi pola hidup yang konsumtif akibat peningkatan kehidupan sosial ekonomi yang dapat merusak tatanan nilai masyarakat yang sudah dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, maka perlu ditanamkan sejak dini nilai-nilai kebersamaan terutama kepada generasi muda melalui lembaga keluarga dan agama.
2 Sosialisasi kepada masyarakat terhadap kehadiran proyek ekonomi dari luar seperti HPH maupun perkebunan pada masyarakat pedalaman adalah patut dipertimbangkan, untuk mencegah terjadinya konflik sosial antara penduduk setempat dengan penduduk yang datang sehingga dengan demikian kehadiran mereka dapat dipahami sebagai upaya membangun daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, 1986. Transformasi Sosial Budaya Dalam Pembangunan Nasional, UI-Press, Jakarta.
Alqadrie, Syarif. I. 1992. Dapak Peresahaan HPH Terhadap kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya Penduduk Setempat di Pedalaman Kalbar, Balai Penelitian Untan, Pontianak, 248-253.
------------------------1994. Dampak Perusahaan HPH Dan Perkebunan Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Dan Budaya Penduduk Setempat di Daerah Pedalaman Kalimantan Barat: Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Grashindo Utama, Jakarta.
Biro Pusat Statistik dan Bappeda. 1988; 1999; 1990. Kalimantan Barat Dalam Angka, BPS, Pontianak.
Day, C. L. 1995. Perubahan Sosial dan Dampaknya Terhadap Organisasi Pertanian di Desa Long Pujungan dan Long Alango Kalimantan Tengah, WWF Kayan Mentarang Conservation Project, Palangkaraya.
Dove, M. R. 1986. Plantation Development in West Kalimantan II: Perception of indigenous population, Dalam Borneo Research Bulettin, 18 (1).
Garna, J. K. 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial, Program Pascasarjana Unpad, Bandung, 7-
-------------------------. 1995. Kearifan Masyarakat Dalam budidaya Dan Penggunaan Lahan: Makalah Dalam Seminar Budaya Dan Budidaya Pertanian: Pelestarian, Perubahan, Dan Pertukaran (Culture dan Agriculture: Preservation, Change and Exchange), Departemen Pertanian dan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan- Direktorat Jenderal Kebudayaan RI, Bukit Tinggi.
-------------------------. 1999 Tradisi Transformasi Modernisasi dan Tantangan Masa Depan di Nusantara, Primaco Akademika, Bandung.
Lauer,R.H.1993. Perspektif Tentang Teori Perubahan Sosia l(Terjemahan oleh Alimandan ), Rineka Cipta, Jakarta.
Mudiyono et.al., 1990. Dampak PIR-Bun Terhadap Perubahan Ekologi Peladang Berpindah di Kecamatan Parindu Sanggau Kalbar, Lembaga Penelitian Untan, Pontianak; 2-3.
Rauf, M. 2001. Konsensus dan Konflik Politik, Sebuah Penjajagan Teoritis, Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta
Sapardi. 1991. Pengaruh Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Rumah Tangga Petani di Kecamatan Parindu, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
Sayogyo, P. 1985. Sosiologi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Suparlan, P. 1989. Ineraksi Antar Etnik di Beberapa Propinsi di Indonesia, Depdiknas RI, Jakarta
Veeger, K.J. 1992. Sosiologi, buku Panduan Mahasiswa, APTIK dan Gramedia, Jakarta
Zulkarnaen. 2000. Hubungan Birokrasi Pemerintahan dan Lembaga Adat Dalam pembangunan, Suatu Pola Kerjasama Birokrasi Pemerintah dengan Lembaga Adat Dalam Implementasi Program Pembangunan pada Masyarakat Dayak Kalimantan Barat, Disertasi Doktor, Program Pascasrajana UNPAD, Bandung.
Dr. Arkanudin, M.Si
(Staf Pengajar FISIP dan Program Magister Ilmu Sosial
Universitas Tanjungpura Pontianak)
ABSTRAK
Kalimantan Barat merupakan salah satu Pripinsi di Indonesia yang diwarnai dengan bermacam suku bangsa. Hal ini ditandai dengan berbagai macam agama yang dianut, bahasa, logat, pola kebudayaan, serta sistim nilai budaya yang terdapat dalam masyarakat sangat beragam. Meskipun tingkat keragaman masyarakatnya cukup tinggi, namun toleransi kehidupan masyarakat yang berbeda agama maupun suku bangsa cukup terpeliharan dengan baik. Konflik sosial yang pernah terjadi antara tahun 1999-2002 hanya melibatkan suku tertentu yang bermula dari masalah pribadi berdampak pada kelompok atau suku dan belum pernah melibat seluruh suku bangsa yang yang mengarah pada konflik bernuansa SARA.
Kata Kunci: Pluralisme, Suku dan Agama
Pendahuluan
Penduduk yang mendiami wilayah Indonesia terdiri dari berbagai macam etnik yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Keanekaragaman etnik tersebut merupakan salah satu ciri khas bangsa Indonesia. Dengan adanya keanekaragaman etnik tersebut disatu pihak merupakan kekayaan kebudayaan nasional, dilain pihak tidak jarang keadaan tersebut merupakan salah satu faktor penghambat kearah terciptanya integrasi nasional. Menurut Martodirdjo (2000), terjadinya pluralitas masyarakat Indonesia secara horizontal dalam bentuk keanekaragaman suku bangsa, pertama terpulang pada kondisi atau karakteristik lingkungan fisik geografis dan klimatologis keseluruhan wilayah Indonesia sangat bervariasi, disamping arealnya yang terdiri atas ribuan buah pulau besar dan kecil, kedua bersumber pada manusia Indonesia yang pada dasarnya merupakan migran dari luar yang datang secara bergelombang sejak ribuan tahun sebelum masehi dari daerah dan cara-cara serta periodesasi waktu yang tidak sama, ketiga bersumber pada latar belakang sejarah masuk dan berkembangnya pengaruh kebudayaan-kebudayaan besar dari luar yang beragam dalam periode waktu serta strategi dan penentuan pusat-pusat persebaran yang saling berbeda.
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Suparlan (1999), perbedaan yang ada diantara kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa di Indonesia pada hakekatnya adalah perbedaan yang di sebabkan oleh perbedaan sejarah perkembangan kebudayaan masing-masing dan oleh adaptasi terhadap lingkungan masing-masing. Sedangkan puncak-puncak kebudayaan tersebut, yaitu konfigurasi dari masing-masing kebudayaan tersebut, memperlihatkan adanya prinsip-prinsip kesamaan dan saling persesuaian satu dengan lainnya yang menjadi landasan bagi terciptanya kebudayaan nasional Indonesia. Sehingga kemajemukan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya menjadi ucapan penghias bibir saja, tetapi betul-betul menjadi landasan dan pedoman hidup bagi bangsa Indonesia.
Penduduk yang bersifat plural ini dalam perkembangannya tersebar ke seluruh pelosok tanah air dengan melalui mobilitas sosial, terutama melalui mobilitas horizontal. Hal ini menyebabkan timbulnya berbagai corak interaksi sosial yang terjadi baik antar individu dengan individu di dalam kelompok maupun antar sesama kelompok di dalam masyarakat. Di daerah Kalimantan Barat komposisi penduduk berdasarkan kelompok etnik pada kenyataannya sangat heterogen, antara lain terdapat etnik Melayu, Dayak, Jawa, Sunda, Bugis, Batak, Padang, Madura dan lain-lain. Keberadaan kelompok etnik tersebut tidak hanya terdapat di daerah perkotaan tetapi juga sudah banyak tinggal di daerah pedesaan. Dari berbagai kelompok etnik tersebut ternyata etnik Dayak dan Melayu merupakan kelompok mayoritas bila dibandingkan dengan etnik lainnya, dimana etnik Dayak merupakan penduduk asli (Indigenous people) Pulau Kalimantan.
Pluralisme Suku dan Agama
Dilihat dari perspektif etnisitas (kesukubangsaan) yang mendiami daerah Kalimantan Barat adalah sangat unik khususnya di daerah perkotaan. Hal ini dikarenakan tidak ada suku bangsa yang dominan dalam pengertian bahwa penduduk yang mendiami daerah ini sangat beranekaragam. Bruner (1974) dalam Suparlan (2004) menyatakan secara suku bangsa wilayah perkotaan di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu wilayah perkotaan yang secara kebudayaan didominasi oleh sesuatu suku bangsa, contoh Bandung oleh suku bangsa dan kebudayaan Sunda dan wilayah perkotaan yang tidak didominasi oleh sesuatu suku bangsa serta kebudayaannya dengan contoh kota Medan. Di kota Bandung para pendatang dari berbagai asal suku bangsa di Indonesia harus beradaptasi terhadap budaya Sunda, sebaliknya di Kota Medan yang secara kebudayaan tidak didominasi oleh suatu suku bangsa sehingga para pendatang bebas menggunakan kebudayaannya sendiri dibandingkan dengan kota Bandung.
Sepertihalnya Medan, di Kalimantan Barat juga tidak terdapat kultur dominan seperti di Bandung dimana etnik Sunda merupakan kelompok dominan yang menempati posisi-posisi tertentu, baik dalam birokrasi maupun lembaga pendidikan. Para pendatang menurut Suparlan (1999) ketika mereka berada di Bandung tunduk dan menyesuaikan diri dengan kultur dominan. Di Kalimantan Barat, khususnya di daerah pedalaman kultur dominan memang ada tapi lebih cenderung bersifat lokal dominan. Suparlan (2000) berdasarkan hasil penelitiannya di daerah Kabupaten Sambas melihat kecenderungan ke arah itu. Dimana menurut Suparlan Kabupaten Sambas dapat dilihat sebagai dua wilayah kebudayaan yang berbeda. Di daerah pantai Barat terdapat wilayah Kebudayaan melayu yang Islam, yang merupakan kebudayaan suku bangsa Dominan yang dimasa lampau terpusat di Kesultanan Sambas. Sedangkan daerah pedalaman di bagian Timur Kabupaten Sambas adalah wilayah Kebudayaan Dayak yang bercorak egaliter, yang merupakan kebudayaan dominan di wilayah tersebut. Baik orang-orang Melayu maupun orang-orang Dayak menyadari keberadaan dan dominasi dari kebudayaan suku bangsa mereka masing-masing dan mereka itu saling menghormati.
Menurut Suparlan berbagai suku bangsa pendatang yang menetap di Kabupaten Sambas menyadari adanya dua kebudayaan suku bangsa yang dominan tersebut, dan mereka menghormatinya dan cenderung menjadi seperti Melayu atau seperti Dayak, tergantung pada di mana wilyah tempat kehidupan para pendatang tersebut. Orang-orang Bugis, misalnya cenderung menjadi seperti Melayu dan bahkan menjadi Melayu. Kebiasaan membawa badik di tempat umum dan menggunakannya bilamana rasa harga diri mereka tersinggung tidak dilakukan lagi karena bertentangan dengan adat Melayu yang berlaku. Mereka juga menjadi seperti orang Melayu, yaitu lebih senang menyelesaikan persengketaan dengan cara musyawarah dan berdamai, dan bila perlu meminta maaf. Namun menurut penulis, hal seperti ini tidak terjadi di daerah perkotaan khusus Pontianak, meskipun secara kuantitas keberadaan Suku Melayu cukup besar yaitu mencapai 30,98 % (Kota Pontianak Dalam Angka, 2000) dari total penduduk Kota Pontianak tetapi tidak memiliki kekuatan sehingga mampu membuat budaya budaya lain yang dibawa para pendatang tunduk dan menyesuaikan diri terhadap kultur Melayu dan bahkan di Kota Pontianak terlihat dengan jelas bahwa masing-masing suku bangsa yang ada menciptakan keteraturan sosial dalam lingkungan masyarakat suku bangsanya..
Di Propinsi Kalimantan Barat, dilihat dari perspektif etnisitas sangat beranekaragam, tidak hanya dihuni oleh etnik Dayak dan Melayu sebagai penduduk asli tetapi juga terdapat etnik pendatang lainnya seperti etnik Jawa, Sunda, Madura, Bugis, banjar, Padang, Batak, Bali, Ambon dan Keturunan Cina. Berdasarkan data jumlah suku Dayak yang disebut sebagai kelompok etnik utama (the orginal, first indigenous population) dan dianggap sebagai penduduk asli ini, tercatat kurang lebih 41 % dari total penduduk Kalbar (Polda Kalbar, 2006). Mereka ini, dengan meminjam taksonomi dari King (1975) dalam Arkanudin (2005) dibagi ke dalam empat kelompok etnik utama seperti Dayak Darat (Land Dyak), Dayak Campuran Melayu (Malayic Dyak), Dayak Laut (Sea Dyak) dan kelompok etnik Dayak yang dikaitkan dengan Iban (Iban-related groups). Namun Riwut (1958 dan 1979); Hudson (1967); Ukur (1972); Lontaan (1975) dalam Arkanudin (2005) membedakan kelompok etnik Dayak in i ke dalam tujuh sub kelompok etnik utama dan lebih lanjut membaginya menjadi 17 sub kelompok kecil, dan kemudian dari sejumlah ini dibagi lagi ke dalam 405 suku kekeluargaan.
Menurut Mudiyono (1994); Widden (2004) bahwa nama-nama sub etnik ini pada umumnya dibuat sendiri oleh masing-masing sub kelompok etnis berdasarkan ciri-ciri tempat tinggal seperti daerah aliran sungai dan daerah pedalaman. Karena itu menurut Widden (2004) tidak heran banyak nama sub etnik Dayak yang berhubungan dengan nama sungai dan berkonotasi udik atau pedalaman. Misalnya nama suku yang diawali dengan kata Batang................., Long................., Lepo.................., semuanya berarti sungai, sedangkan Makam Ulu, Ot-Danum, Ngaju, Maanyan, Bukit, dan lain-lain, semuanya berarti udik atau pedalaman.
Kelompok etnik utama lainnya yang bermukim di Kalimantan Barat adalah etnik Melayu yang berjumlah kurang lebih 39 % (Polda Kalbar, 2006). Kelompok utama kedua ini menurut Alqadrie (1997) dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok besar yaitu Melayu Pontianak, yaitu umumnya orang-orang Melayu yang berdomisili Kabupaten Pontianak dan Kota Pontianak , Melayu Sambas, yaitu orang-orang Kabupaten Sambas baik yang berada dalam wilayah tersebut maupun yang berada dimanapun di Propinsi ini, Melayu Ketapang, yaitu orang-orang yang berdomisili di kabupaten tersebut, dan Melayu Pedalaman, yaitu orang-orang Melayu dan mereka mengidentifikasikan diri mereka sebagai Melayu (khususnya orang Dayak yang memeluk agama Islam) yang berdomisili di daerah pedalaman seperti di Kabupaten Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu.
Menurut Sellato (1989) dalam Anyang (1998) ; Arkanudin (2005) kira-kira 90 % dari yang dinamakan orang Melayu itu adalah orang Dayak yang sudah masuk Islam. King (1993) dalam Anyang (1998) juga mencatat bahwa pada umumnya nenek moyang orang Melayu yang kini terdapat di Brunei, Sarawak, Kapuas, Banjar, dan Kutai adalah orang Dayak yang masuk Islam. Hasil penelitian Anyang (1998) di daerah pedalaman Sintang dan Kapuas Hulu bahwa orang Dayak yang masuk Islam populer disebut dengan ”turun melayu atau masuk senganan”. Kata Singanan ini, menurut Anyang (1998) diperkirakan berasal dari kata ”singgah”. Orang Melayu yang datang dengan perahu ke kampung orang Dayak untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam mengucapkan kata ”singgah” yang berarti berhenti dan mampir. Mereka yang singgah disebut ”singgahnan” kemudian biasa disebut ”singanan”. Suparlan (2000) berdasarkan penelitiannya Sambas juga menemukan hal yang sama tetapi dengan istilah yang berbeda yaitu orang Dayak yang mengikuti agama nenek moyangnya dan masuk Islam dinamakan ” Masuk Melayu” dan bukan ”Masuk Islam”.
Kelompok etnik lain yang berada di daerah ini dan merupakan etnik pendatang adalah etnik Cina kurang lebih 12 %, Etnik Bugis kurang lebih 05 %, Etnik Jawa, Madura, Sunda, Banjar, Minangkabau, Batak, Bali dan Ambon yang sama menduduk kurang lebih 03 % (Polda Kalbar, 2006). Kehadiran berbagai kelompok etnik tersebut di atas membuat penduduk Kalimantan Barat sebagai penduduk yang multi etnik dan heterogen.
Konsekwensi logis atas keberagaman etnik yang mendiami wilayah Propinsi ini, maka agama yang dianut oleh penduduknya juga sangat bervariasi. Interaksi sosial antar kelompok penganut agama yang berbeda di Kalimantan Barat berjalan lancar dengan dilandasi oleh semangat hormat-menghormati. Lancar dala arti tidak terjadi intervensi dari anggota kelompok masyarakat pemeluk agama. Bahkan Mudiyono (1990) dan Alqadrie (1997); berdasarkan hasil penelitiaanya melihat bahwa kelompok masyarakat pemeluk agama yang berbeda, mereka dapat hidup berdampingan secara harmonis tanpa menimbulkan gejolak . Bahkan saat perayaan hari besar agama oleh satu kelompok etnik lain terjadi keakraban diantara mereka. Meskipun bukan hari raya agamanya, diantara mereka saling memberikan ”ucapan selamat”. Bahkan pada hari raya imlek, baik etnik Dayak yang beragama Kristen Protestan maupun Kristen Katolik maupun Melayu (Islam) memberikan ucapan selamat dengan bersalaman saling menggoncangkan tangan beberapa kali. Makna esensial ketika bersalaman menurut Tockary (2002) adalah saling mendoakan agar kita semua kelak menjadi bagian dari rahmat Tuhan yang abadi. Agama diciptakan untuk manusia. Fungsinya adalah transformatif.Maksudnya agar manusia duniawi ini dapat berkembang menjadi manusia surgawi yang kelak berada dalam Rahmad Tuhan.
Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Barat, bahwa jumlah penduduk yang menganut agama Islam tercatat sebanyak 2.220.034 orang (Kalbar Dalam Angka, 2006). Para penganut Islam di daerah ini tidak hanya etnik Melayu. tetapi juga terdapat etnik Jawa, Sunda, Madura, Banjar Minagkabau, Bugis dan sebagian kecil etnik Dayak dan Cina. Pemeluk Kristen Protestan tercatat 463.841 orang Para penganutnya antara lain adalah etnik Dayak, Batak, Ambon dan Jawa, pemeluk Agama Kristen Katolik tercatat sebanyak 909.201 orang. Para penganutnya antara lain etnik Dayak, Cina, Jawa dan Ambon, pemeluk Agama Budha tercatat sebanyak 296.176 orang. Para pemeluknya adalah etnik Cina. Agama Hindu tercatat sebanyak 15.440 orang. Para penganut adalah orang-orang Bali yang ada di daerah ini. Disamping itu juga, untuk melihat seberapa banyak jumlah penganut agama tertentu juga dapat diidentifikasi dari keberadaan rumah ibadahnya seperti Masjid atau Surau bagi pemeluk agama Islam, Gereja atau Kopel bagi pemeluk agama Kristen Protestan dan Katolik, Vihara atau Kelenteng bagi pemeluk agama Budha dan Pura bagi pemeluk Hindu. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Barat Jumlah rumah ibadah bagi pemeluk agama Islam tercatat sebanyak 3.020 buah Masjid dan 2.658 buah Surau, bagi pemeluk agama Kristen tercatat sebanyak 3.644 buah Gereja dan 841 buah Kopel, bagi pemeluk agama Budha tercatat sebanyak 161 buah dan bagi pemeluk agama Hindu tercatat sebanyak 20 buah Pura.
Memperhatikan komposisi penduduk menurut agama yang dianut tersebut, maka terlihat dengan jelas bahwa agama Islam memiliki penganut jauh lebih besar bila dibandingkan dengan agama lainnya. Penganut yang terbanyak pada Agama Islam ini adalah berasal dari etnik Melayu. Hal ini menurut Saputra (2005) ada kaitannya yang mengatakan bahwa orang Melayu beragama Islam, bahkan apabila tidak beragama Islam maka dipandang bukan Melayu.
Dilihat dari etnisitas, penganut agama tidak hanya didomninasi oleh etnik tertentu, tetapi sangat beragam, hal ini karena agama yang dianut oleh setiap individu merupakan hak azasi yang paling mendasar dan harus dihormati oleh setiap orang. Untukl melihat agama yang dianut oleh seseorang dapat diamati dari identitas individu pemeluk agama masing-masing melaui atribut yang dipakai, ucapan ataupun kebiasaan dalam berbicara juga dapat diamati melalui ciri dan penampilan atau ornamen rumah tangga masing-masing pemeluk agama seperti rumah bagi keluarga pemeluk agama Islam ditandai dengan adanya tulisan atau kaligrafi ayat-ayat Alqur’an, rumah bagi pemeluk agama Kristen ditandai dengan penampilan Salib atau gambar Yesus. Demikian juga bagi penganut agama Budha yang umumnya dianut oleh orang Cina, biasanya diatas pintu terdapat secarik kertas merah yang bertuliskan huruf Cina, atau ada sisa bakaran setanggi. Para penganut agama Budha ini di Kalimantan Barat secara realita peribadatannya mereka melakukan ritual agama sesuai dengan ajaran Kong Hu Chu yang lebih menyakini akan arwah para leluhur melalui penyembahan di Kelenteng-Kelenteng. Hal ini karena Agama Budha dianggap agama yang lebih dekat dengan keyakinan Kong Hu Chu. Tetapi dalam realitas politik dan administrasi sebagai mana tertera dalam identitas kartu tanda penduduk (KTP) mereka tercatat sebagai penganut agama Budha. Hal ini mereka lakukan guna mendapat pengakuan bahwa agama yang dianggap sah oleh pemerintah hanya ada lima yaitu agama Islam, Protestan, Katolik, Budha dan Hindu.
Konflik Sosial Yang Pernah Terjadi
Dalam masyarakat plural (majemuk) seperti Indonesia, konflik sosial yang dilatar belakangi perbedaan suku (etnik), agama dan golongan tetap selalu ada dan bahkan tidak mungkin dihindari. Menurut Rauf (2001) konflik adalah sebuah gejala sosial yang selalu terdapat didalam setiap masyarakat dalam setiap kurun waktu. Konflik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat karena konflik merupakan salah satu produk dari hubungan sosial (social relatuons). Karena masyarakat terdiri sejumlah besar hubungan sosial, selalu saja terjadi konflik antara warga-warga masyarakat yang terlibat dalam hubungan sosial.
Dalam masyarakat plural menurut Koentjaraningrat (1984), penyebab terjadinya konflik bermacam-macam yaitu: (1) adanya persaingan antara dua atau lebih suku bangsa dalam mendapatkan lapangan mata pencaharian kehidupan yang sama; (2) adanya pemaksanaan unsur-unsur kebudayaan kepada warga satu suku bangsa lain; (3) adanya pemaksaan terhadap sukubangsa lain yang berbeda agama untuk menganut agama tertentu; (4) adanya usaha mendominasi suku bangsa lain secara politis; (5) adanya konflik terpendam antar suku bangsa yang telah bermusuhan secara adat.
Keragaman suku bangsa dan agama yang ada di Kalimantan Barat, tidak membawa daerah ini pada konflik yang bernuansa SARA dan juga belum pernah terjadi dan terdengar misalnya agama Islam dan Kristen saling mengkapling wilayah masing-masing. Konflik sosial yang pernah terjadi di daerah ini tidak sampai membawa masyarakatnya pada konflik dalam eskalasi yang besar yang melibat seluruh etnik yang ada di daerah ini. Konflik sosial tersebut terjadinya hanya sebatas konflik antar etnis yang pada awalnya bermula dari perselisihan antar individu yang kemudian melibatkan etnis. Menurut catatan Polisi Daerah Kalimantan Barat (2006), bahwa konflik sosial yang pernah terjadi antara tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 di daerah Kalimantan Barat adalah:
1. Kerusuhan etnis antara suku Dayak dan Madura pada tahun 1997 di Kabupaten Sambas. Kerusuhan ini dipicu oleh perkelahian antara suku Dayak dan Madura dalam acara hiburan orkes dangdut di desa Isabela Kecamatan Ledo Kabupaten Sambas. Kemudian kerusuhan ini melebar ke Kota Pontianak, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sanggau.
2. Kerusuhan antar etnis suku Melayu dengan Madura tahun 1999 di Kabupaten Sambas. Kerusuhan ini dipicu oleh penumpang angkot (suku madura) yang tidak mau membayar ongkos angkot dan korban (suku Melayu) memandanginya sehingga pelaku (suku Madura) merasa tersinggung, dan mencegat korban serta melakukan penganiayaan dengan menggunakan senjata tajam (clurit) yang akhirnya bewrkembang menjadi konflik terbuka antara suku Melayu dan Madura.
3. Kerusuhan antar etnis suku Melayu dengan Madura tahun 2000 di Kota Pontianak. Faktor pemicu konflik ini adalah telah terjadi serempetan antara Bis Kota yang dikemudikan oleh Suku madura dengan kendaraan Sepeda Motor yangdikemudikan oleh Suku Melayu yang mengakibatkan pertengkaran, kemudian supir dan karnet Bis Kota Mengejar suku Melayu sehingga terjadi perkelahian.
4. Kerusuhan antar etnis suku Melayu dengan Madura pada bulan Juni 2001 di Kota Pontianak. Pemicunya adalah telah terjadi penganiayaan terhadap suku Melayu oleh empat orang suku Madura yang kebetulan melintasi lokasi penampungan pengungsi GOR Bulu Tangkis Pontianak. Pada saat itu pelaku mencegat korban kemudian menganiaya dengan menggunakan kayu dan mengenai anaknya yang kemudian keesokan harinya meninggal dunia.
5. Kerusuhan antar etnis suku Melayu dengan Madura tahun 2002 di Kabupaten Bengkayang. Pemicu terjadinya konflik adalah korban dari suku Melayu ketika pulang dari bermain judi dicegat ditengah jalan dan ditusuk perutnya oleh pelaku dari suku Madura dengan pisau sedalam 10 cm.
Berdasarkan fakta yang dikemukakan tersebut, terlihat bahwa konflik antara etnik Dayak - Madura, Melayu - Madura di Kalimantan Barat selalu terjadi berulang-ulang, sehingga menimbulkan pertanyaan mengapa antara etnik Dayak dan Madura sering terjadi sementara dengan etnik pendatang lainnya tidak pernah terjadi, kalaupun ada dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Bahkan menurut penelitian Pelly (1999) pada tahun 1987 di daerah pedalaman Kabupaten Sambas (Duginang dan Romo), menemukan bahwa keserasian sosial antara orang Dayak (suku bangsa Minso) dan orang Melayu dengan orang Jawa dan Sunda di kedua daerah itu telah berkembang kearah kerjasama, akomodasi, akulturasi dan asimilasi. Dalam bentuk awal menurut Pelly diantara mereka telah tumbuh kehidupan simboitik dalam bentuk pertukaran tehnologi (exchange tecnology) pertanian saling menguntungkan. Orang Jawa mengajar orang Dayak dan Melayu tentang bagaimana mengembangkan tehnologi pertanian sawah dengan memakai bajak dan pengairan sederhana. Orang Dayak dan Melayui mengajarkan orang Jawa dan Sunda menanam tanam lada dan tanaman keras lainnya.
Konflik antara Dayak – Madura, serta Melayu – Madura di Kalimantan Barat, telah menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Menurut salah seorang peneliti asing pada saat seminar yang membahas “ Konflik Kekerasan Internal” di Jakarta pada tahun 2005, menyebutkan bahwa konflik kekerasaan suku di Kalimantan telah memperlihatkan masyarakat yang terlibat konflik telah mengalami kemunduran budaya. Perilaku mereka yang terlibat langsung dalam konflik telah memperlihatkan perilaku budaya keterbelakangan yang telah melampaui batas keberadaban manusia (Isman, 2006).
Untuk mengantisipasi terjadinya konflik Etnis di Kalimantan Barat, Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat melalui program Perencanaan Daerah (PROPEDA) tahun 2001-2005 telah mencanangkan suatu kebijakan untuk mewujudkan kembali kerukunan antar etnis yaitu dengan ditetapkannya motto “harmonis dalam etnis” untuk mewujudkan “Kalimantan Barat Bersatu”. Melalu motto ini diharapkan keragaman suku bangsa yang ada bukanlah menjadi hambatan atau kendala, justru eksistensinya merupakan kekuatan dan merupakan modal sosial dalam pembangunan.
Konsep pembangunan mewujudkan “Kalbar Bersatu” adalah sebuah komitmen seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama meredam gejolak sosial dan politik yang dapat memunculkan disintegrasi dalam masyarakat, saling bekerjasama secara harmonis, sinergis, efisiensi dalam membangunan Kalimantan Barat. Menurut Ja’far (2006) implementasi kebijakan “Kalbar Bersatu” dalam mengantisipasi terulangnya kembali konflik lantar etnis lebih dikonkritkan lagi penanganannya melalui pendekatan kultural dan struktural. Penanganan melalui aspek kultural lebih diarahkan untuk membangun komunikasi atau menjalin kontak-kontak person dengan tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki legitimasi dan mempunyai hubungan ditingkat massa, seperti para elit-elit yang terlibat menjadi penggerak komunal di bawah atau secara kelembagaan yang memungkinkan terjadinya negosiasi atau perundingan untuk meredam konflik serta upaya mengembalikan kehidupan masyarakat yang normal dalam semangat kebersamaan secara alamiah.
Kerusuhan dan pertikaian yang terjadi beberapa kali di daerah Kalimantan Barat selama ini menunjukkan kurangnya kemampuan aparat dan pemerintah dalam mengatasi secara cepat penyebab terjadinya koinflik sosial yang dimulai hanya dari persoalan pribadi. Untuk mengantisipasi agar pertikaian yang bersifat pribadi tersebut tidak meluas, maka menurut Ja’far (2006) langkah-langkah yang ditempuh Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat adalah dengan melakukan pendekatan struktural, yaitu memberikan kepastian hukum sebagai sanksi sosial terhadap aktor-aktor yang menjadi pemicu meledaknya konflik komunal. Disamping itu juga menyelesaikan secara cepat terhadap pertikaian yang bersifat personal dengan memberikan tindakan hukum yang memenuhi hasrat keadilan dan juga memberi jaminan keamanan kepada seluruh masyarakat untuk dapat melaksanakan aktivitasnya sehari-hari seperti biasanya, dan tidak rasa takut dan cmas atau rasa terancam jiwanya.
Konsep pembangunan “Kalbar bersatu” yang merupakan kristalisasi dari motto “harmonis dalam etnis” dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat dalam mengantisipasi terjadinya konflik antar etnis tampaknya telah tersosialisasi dengan baik dan efektif kepada seluruh lapisan masyarakat, hal ini terlihat dari kehidupan masyarakatnya semakin kondusif dan stabil, kalaupun ada pertengkaran yang bersifat pribadi tidak sampai meluas kepada konflik antar suku karena dapat diatasi oleh mereka sendiri secara musyawarah.
Penutup
Berdasarkan atas pemaparan sebagaimana yang telah diulas pada bagian terdahulu, dapatlah disimpulkan bahwa Kalimantan Barat yang memiliki luas wilayah 146.807 kilometer persegi dihuni 3.945.300 jiwa dengan komposisi etnik sangat beragam tidak hanya dihuni oleh penduduk asli yaitu etnik Dayak dan Melayu tetapi juga banyak terdapat etnik pendatang seperti Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Padang, Bali, Ambon dan keturunan Cina. Keberadaan mereka di daerah ini sudah cukup lama bahkan diantara mereka telah terjadi proses amalgamasi.
Keragaman etnik yang terdapat di daerah ini, tidak membawa pada konflik yang bernuansa SARA, serta tidak melibatkan seluruh etnik. Konflik yang pernah terjadi antara tahun 1999 – 2002 hanya terjadi antara etnik Madura – Dayak dan Madura – Melayu pada umumnya berawal dari kesalahanpahaman perorangan yang berdampak ke kelompok atau suku. Untuk mengantisipasi terulangnya kembali konflik sosial antar etnik ini, langkah yang telah ditempuh oleh pihak Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat dengan melekaukan pendekatan secara kultural yaitu berupaya membangunan komunikasi baik dengan piohak-pihak yang bertikai sampai kepada tingkat akar rumput maupun pendekatan secara struktural, yaitu dengan memberi kepastian hukum serta pihak-pihak yang bertikai diambil tindakan secara tegas.
DAFTAR PUSTAKA
Alqadrie, Syarif Ibrahim. 1997. Kondisi Sosiologis Daerah Kalimantan Barat, Makalah yang disampaikan kepada para peserta Pendidikan dan Pelatihan Juru Kampanye Golkar di Pontianak, 2-8 Januari, Pontianak: DPD Golkar Tinmgkat I Kalbar.
Anyang, Y.C. Thambun. 1998. Kebudayaan dan Perubahan Dayak Taman Kalimantan Dalam Arus Modernisasi, Jakarta: Grasindo.
Arkanudin. 2005. Perubahan Sosial Masyarakat Peladang Berpindah, Studi Kasus Pada Orang Dayak Ribun yang Berada di Sekitar PIR-Bun Kelapa Sawit Parindu Sanggau Kalbar, Bandung: Disertasi Program Doktor Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Biro Pusat Statistik. 2006. Kalimantan Barat Dalam Angka, Pontianak:Kantor Statistik Propinsi Kalbar.
--------------------------. 2000. Kota Pontianak Dalam Angka, Pontianak:Kantor Statistik Kota Pontianak.
Hudson, Alfred Bacon.1967. Paju Epat: The Ethnography and Social Structure of Maanyan Dayak Group In Soputhern Borneo, Unpublished Doctoral Disertation, New York: Cornell University.
Isman, Zainuddin. 2006. Memahami Konflik Etnik Dalam Masyarakat, Makalah disampaikan pada Workshop Jaringan Sistem Peringatan Dini (Networking of Early Warning System) di Pontianak 29 Juli, Pontianak: Jaringan Sistem Peringatan Dini Kalimantan Barat.
Ja’far, Usman. 2006. Kebijakan Pemerintah Dalam Mengantisipasi Konflik Etnis di Kalimantan Barat, Makalah disampaikan pada Workshop Jaringan Sistem Peringatan Dini (Networking of Early Warning System) di Pontianak 29 Juli, Pontianak: Jaringan Sistem Peringatan Dini Kalimantan Barat.
King, V.T. 1975. Main Outlines Of Taman Oral Tradition, SMJ 23, 149-86
Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa Di Indonesia Masa Kini, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Lontaan, JU. 1975. Sejarah Hukum Adat Dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, Pontianak: Pemda Tingkat I Kalbar.
Martodirdjo, Haryo. 2000. Hubungan Antar Etnik, Lembang: Sespim POLRI
Mudiyono. 1990. Perubahan Sosial dan Ekologi Peladang Berpindah, Pontianak:Dalam Suara Almamater Universitas Tanjungpura, No II Tahun V Nopember.
-------------------------1994. Perubahan Struktur Pedesaan Suku Bangsa Dayak: Perubahan Dari Rumah Panjang Ke Rumah Tunggal, Dalam: Paulus Florus (ed). Kebudayaan dayak, Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Institut Of Dayakology Research And Development, bekerja sama dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.
Saputra, Sayhrial De. 2005. Kepribadian Suku Bangsa Melayu Kepulauan Riau, Tanjungpinang: Balai kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang – Kepualau Riau.
Tockary, R. 2002. Kemana Arah dan Tujuan Dialog Antar Iman, Makalah disampaikan dalam Forum Refliksi Antar-Iman se- Indonesia, Malino Goa Sulsel 23-27 Januari, Goa: Institut Dialog Antar Iman Indonesia.
Parsudi, Suparlan. 1999. Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukuabangsaan, Dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th XXXIII No.58 Januari – April, Jakarta: FISIP UI.
-------------------------. 2000. Kerusuhan Sambas,, Dalam Jurnal Polisi Indonesia, Tahun 2 April – September, Jakarta: Mabes Polri
------------------------.2004. Hubungan Antar Suku Bangsa, Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
Pelly, Usman. 1999. Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia, Jakarta: Jurnal Antropologi Indonesia, Nomor 58 Tahun XXIII, Januari-April.
Polda Kalbar. 2006. Upaya Polri Dalam Mengantisipasi Secara Dini Konflik Etnis di Kalimantan Barat, Makalah disampaikan pada Workshop Jaringan Sistem Peringatan Dini (Networking of Early Warning System) di Pontianak 29 Juli, Pontianak: Jaringan Sistem Peringatan Dini Kalimantan Barat.
Rauf, Maswardi. 2001. Konsensus dan Konflik Politik, Sebuah Penjajagan Teoritis, Jakarta: Dirjen Depdiknas.
Riwut, Tjilik. 1958. Kalimantan Memanggil, Palangkaraya:Tanpa Penerbit
---------------------. 1979. Kalimantan Membangun, Alam dan Kebudayaan, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sellato, Bernard. 1989. Naga dan Burung Enggang, Hornbill and Dragon, Aquitaire Indonesia: ELF
Ukur, Fridolin. 1971. Tantang Djawab Suku Dayak, Jakarta: Gunung Mulia.
Widden, Kumpiady. 2004. Karakteristik Masyarakat Kalimantan Tengah, http://www.