Tanah Airku View RSS

The Agriculture Extension Blogger
Hide details



Titik Kritis Pelaksanaan Survey KSA 30 Sep 2024 7:57 PM (6 months ago)

 


Hingga saat ini pengumpulan  luas panen padi maupun palawija masih menggunakan metode konvensional dengan menggunakan dokumen statistik pertanian (SP). Pengumpulan data luas panen tersebut masih didasarkan pada hasil pandangan mata (eye estimate) petugas pengumpul data. Meskipun secara praktek, metode tersebut mudah diterapkan tetapi masih memiliki kekurangan. Rendahnya akurasi data dan waktu pengumpulan data yang cukup lama.
Saat ini BPS mencoba menggunakan tekonologi aplikasi yang mengintegrasikan data spasial dan data lapangan melalui Kerangka Sampel Area (KSA).

Survei KSA itu merupakan salah satu tugas dari BPS untuk mendapatkan data mengenai luas panen tanaman pangan padi dan jagung. Survei KSA ini juga untuk mengetahui perkembangan fase tanaman pangan padi dan jagung, serta sebagai rujukan dasar untuk sampel ubinan padi.

Berbeda dengan survei-survei lain yang pernah dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), survei tanaman pangan terintegrasi dengan metode kerangka sampel area (KSA)  muncul dengan pendataan yang modern. KSA memanfaatkan smartphone berbasis android  dan menggunakan aplikasi KSA yang dikembangkan oleh BPPT untuk pengumpulan datanya.

Survei KSA di Indonesia mulai dilaksanakan pada tahun 2017 untuk provinsi-provinsi di Pulau Jawa kecuali Provinsi DKI Jakarta, dan pada tahun 2018 ini dilaksanakan di seluruh provinsi.

Pelaksanaan Survei KSA diawali dengan pelatihan petugas , Pelatihan tersebut diadakan untuk melatih petugas lapangan agar memiliki pemahaman yang sama terkait konsep, tata cara pendataan dan cara menggunakan aplikasi KSA. Setelah pelatihan di kelas, diadakan try out di daerah persawahan agar petugas tidak hanya membayangkan pekerjaan yang akan dilakukan nantinya, tetapi tahu betul pekerjaan  petugas nantinya.

Pendataan survei KSA dilakukan setiap bulan, mulai Januari hingga Desember. Pendataan dilakukan setiap 7 (tujuh) hari terakhir setiap bulan sesuai beban tugas yang telah diberikan. Setiap petugas memiliki beban tugas berkisar 3 – 8 segmen, dan disetiap segmen petugas harus mengunjungi dan melaporkan  hasil pengamatan untuk 9 titik amat yang telah ditentukan. Bentuk laporannya adalah pengiriman data nilai pengamatan dan foto hasil pengamatan melalui aplikasi KSA.

Dalam kegiatan “KSA” dilakukan pengamatan fase tumbuh padi pada titik-titik pengamatan dalam sampel segmen berupa bujur sangkar. Luas kerangka sampel area (segmen) ditetapkan sebesar 300 m x 300 m agar dapat mengakomodir banyaknya segmen dan sebarannya untuk memperoleh estimasi hingga level kecamatan. Satu segmen terdiri dari sembilan subsegmen yang berukuran 100 m x 100 m dan memiliki titik tengah sebagai tempat titik pengamatan fase tumbuh padi. Dalam melakukan pengamatan petugas lapangan menggunakan handphone  dengan sistem operasi android yang didukung fitur kamera dan GPS dengan aplikasi KSA yang harus diinstal di dalamnya. Melalui aplikasi KSA ini petugas melakukan perekaman dan pengiriman data hasil pengamatan masing-masing segmen di lapangan.

Implementasi KSA dimulai dengan pembangunan kerangka sampling dengan memanfaatkan beberapa data spasial, yaitu peta administrasi, peta sawah, peta tutupan lahan, dan peta topografi. Kerangka sampel dibangun dengan meng-overlay peta-peta tersebut secara bersamaan. Kerangka sampel kemudian dikelompokkan menjadi empat strata sebagai berikut:

• Strata-0 (S-0) yang berisi poligon dari lahan yang tidak dapat ditanami, seperti hutan, perkebunan, kolam, badan air, dan pemukiman. Strata ini akan dikeluarkan dari pemilihan sampel.

• Strata-1 (S-1) memuat poligon sawah beririgasi, baik dibudidayakan setahun sekali, dua kali atau lebih. Segmen dalam strata ini akan dipilih sebagai sampel.

• Strata-2 (S-2) berisi poligon sawah non-irigasi atau tadah hujan. Segmen dalam strata ini juga akan dipilih sebagai sampel.

• Strata-3 (S-3) berisi poligon yang diduga sawah, yang dalam praktiknya sebenarnya adalah poligon lahan kering.

Setelah kerangka sampel area distratakan, kerangka sampel kemudian dibagi menjadi grid dan sub-grid berukuran 6 km x 6 km dan 300 m x 300 m. Sampling acak kemudian diterapkan untuk mendapatkan sampel segmen. Sampel segmen terpilih dilengkapi dengan informasi georeferensi dan informasi ID (kode provinsi, kabupaten, kecamatan, dan kode pengacakan) yang kemudian diamati secara periodik (bulanan) oleh surveyor.

Pengamatan lapangan Survei KSA dapat dianggap sebagai studi panel karena sampel segmen yang sama akan diamati setiap bulan tanpa penggantian sampel. Dalam melakukan pengamatan lapangan, surveyor menggunakan smartphone yang dilengkapi dengan aplikasi Android, yang secara khusus dikembangkan untuk KSA. Surveyor mengamati fase pertumbuhan dan mengambil gambar di titik pusat semua sub-segmen dalam segmen yang dipilih. Ada sembilan sub-segmen di setiap segmen berukuran 100 m x 100 m untuk diamati oleh seorang surveyor. Informasi fase pertumbuhan dan gambar yang diperoleh dari masing-masing sub-segmen kemudian dikirim ke pusat pengolahan data (server) secara online. Prosedur ini dapat meminimalisasi subjektivitas dalam mengidentifikasi fase pertumbuhan tanaman padi. Hasil akhir adalah estimasi luas tanaman padi sesuai dengan fase pertumbuhan, yaitu persiapan lahan, vegetatif, generatif, dan panen. Ilustrasi fase tumbuh tanaman padi yang yang diamati petugas lapangan. Selain fase tumbuh, petugas juga mengumpulkan hasil amatan lainnya, yaitu puso/rusak, bukan sawah, dan sawah yang tidak ditanami padi.

Titik Kritis Pelaksanaan Survey KSA

Beberapa aspek yang menjadi titik lemah dalam pelaksanaan Survei Kerangka Sampel Area (KSA) BPS adalah :

a)      Sulitnya menjangkau lokasi tertentu. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti: Lokasi berada di hutan yang lebat, Lokasi berada di tengah hutan dan harus melewati sungai, Lokasi sulit diakses.

b)     Selain itu dimungkinkan sampel KSA berada di luar batas administrasi sehingga menimbulkan potensi bias dalam perhitungan luas panen suatu daerah.

c)      Potensi ketidaksesuaian antara Lokasi sampel KSA berdasarkan kriteria polygon S1,S2 dan S3 dengan kondisi actual dilapangan. Hal ini menyebabkan titik Lokasi sampel KSA yang berada dalam suatu daerah yang tidak ada lahan sawahnya.  

Untuk mengatasi hal ini, BPS dapat mengusulkan penggantian sampel pada lokasi-lokasi yang sulit dijangkau. Penggantian sampel dapat dilakukan jika dalam satu segmen terdapat lebih dari lima subsegmen yang menunjukkan kenampakan lahan bukan sawah. Selain itu, penggantian sampel juga dapat dilakukan jika ada lebih dari satu subsegmen yang tidak dapat diakses.

Untuk mengusulkan penggantian sampel, petugas dapat melampirkan bukti foto subsegmen dan mengisi form usulan penggantian sampel segmen.

Penulis. Sept.2024

Referensi

https://rembangkab.bps.go.id/id/news/2017/06/07/103/pelaksanaan-survei-kerangka-sampel-area--ksa--2017-bps-kabupaten-rembang.html

Memperbaiki Data Pangan Indonesia Lewat Metode Kerangka Sampel Area. (Kadir Ruslan) Center for Indonesian Policy Studies. Juli 2019

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

MISTERI PENURUNAN PRODUKTIVITAS PADI 27 Sep 2024 3:28 AM (7 months ago)

 


Data perberasan merupakan data yang paling banyak mendapatkan atensi. Mengingat beras merupakan

komoditas vital bagi Bangsa Indonesia, mengingat beras merupakan bahan pangan utama bagi 270 juta Masyarakat Indonesia. Namun kerap kali persoalan beras terjadi manakala dihadapkan kepada tantangan ketahanan produksi. Yang mana ketahanan produksi beras merupakan factor utama untuk menuju swasembada pangan yang diharapkan.

Salah satu problem dalam kalkulasi produksi beras adalah persoalan peningkatan produktivitas padi. Seringkali aspek produktivitas menjadi bahan perdebatan antara BPS selaku otoritas yang menerbitkan data resmi produksi beras dan Kementerian Pertanian RI yang menggawangi persoalan pertanian khususnya perberasan.

Masalah produktivitas menjadi suatu hal penting yang sulit untuk ditingkatkan dalam Pembangunan ketahanan pangan nasional. Produktivitas produktivitas padi nasional sering mengalami fluktuasi bahkan relative stagnan. Padahal baik teknologi budidaya, maupun pasca panen telah diupayakan sedemikian rupa dengan gelontoran anggaran yang mencapai triyunan rupiah.

Lalu apakah yang menjadi sumber persoalan dalam masalah kenaikan produktivitas beras nasional. Sebagaimana yang dilansir dari Kompas.com ( 3 Juli 2020), Guru Besar Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin mengatakan bahwa Luas panen padi th. 2019 =  10,68 juta hektar (turun 6,15 % dibanding th 2018 = 11,28 juta hektar). Produksi padi th. 2019 = 54,60 juta ton GKG (turun 7,76 % dibanding th 2018 = 59,18 juta ton GKG). Produksi  beras th. 2019 = 31,31 juta ton (turun 7,75 % dibanding th 2018 = 33,94 juta ton)

Lebih lanjut Bustanul Arifin menearangkan penyebab utama turunnya produksi padi  : Konversi lahan sawah yang signifikan terutama disentra produksi padi seperti pantai utara jawa (jawa barat,tengah, dan timur).

Disamping itu Penurunan produktivitas padi dapat terjadi pada 3 dimensi yaitu :

1.Substansi teoritis

Penurunan provitas padi boleh jadi disebabkan oleh faktor kapasitas produksi pertanian  Indonesia yang memang telah menurun atau mendatar (levelling off). Provitas padi Indonesia 2019 sebesar 5,2 ton/ha sebenarnya lebih tinggi dari Thailand 3,1 ton/ha,Myanmar 3,8 ton/ha, Filipina 4 ton/ha, dan Malaysia 4,1 ton/ha. Akan tetapi lebih rendah dari  Vietnam 5,8 ton/ha, Jepang 6,6 ton/ha, dan China 7 ton/ha.

Artinya secara teori Indonesia masih memiliki kesempatan untuk meningkatkan provitas dan kapasitas produksi dengan perubahan teknologi yang lebih unggul.  

2.      Analitis metodologis

Penurunan provitas padi bisa saja terjadi karena luas baku sawah yang terlalu besar, sehingga luas panen padi juga besar.  Hal  ini mengacu kepada data luas baku sawah tahun 2019 sebesar 7,46 juta hektar. Selain itu pelaporan data padi yang menggunakan metode KSA dalam mencatat data fase pertumbuhan, belum diimbangi dengan akurasi pelaporan dalam sampel data produksi yang masih bias.

3.      Empiris kebijakan

Pada periode 2018-2019 pemerintah masih gencar dengan UPSUS PAJALE, hampir semua jajaran birokrasi pertanian seluruh Indonesia ditargetkan untuk meningkatkan LTT Padi, jagung dan kedelai. Peningkatan LTT tanpa perbaikan sistem produksi budidaya yang baik (GAP) jelas menurunkan provitas.

Ditengah persoalan peningakatan produktivotas padi Bustanul Arifin memberikan altenatif solusi pemecahannya diantaranya ;  Kombinasi peningkatan kapasitas produksi dengan, perubahan teknologi, perbaikan akurasi sampel pelaporan data LP dan produksi padi, dan integrasi manajemen usaha tani serta kebijakan pertanian yang mendukung. Dengan demikian persoalan peningakatan produktivitas padi dapat diselesaikan secara bertahap dan jangka panjang.

 

Dikutip dari

https://kompas.id/baca/opini/2020/07/03/misteri-penurunan-produktivitas-padi/


 


Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

PERUBAHAN PARADIGMA PERTANIAN AGRIBISNIS MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN (TINJAUAN SECARA FILSAFAT ILMU DI INDONESIA) Bagian IV 16 Sep 2024 11:53 PM (7 months ago)

 Konsep Dasar dan Penjabaran Pembangunan Pertanian Berkelanjutan


1. Keterbatasan Pertumbuhan (Limit to Growth)


Ad dua kelompok besar yang menaruh perhatian pada masalah pembangunan ekonomi (economic development)  yaitu kelompok pesimistis dan optimistisKelompoyanpesimistimendasarkan    pemikirapadhukum Entropy yang menghasilkan pandangan limit to growth, sedangkan kelompok yang kedua bersandar pada paradigma dissipative structure dari Ilya Progogeni yang menganggap bahwa pertumbuhan tidak terbatas. Kelompok yang pertama menyarankaperlunydilakukaperubahaparadigmekonomyanlama sebagai suatu sistem berdiri sendiri, digantikan dengan pandangan bahwa sistem ekonomi merupakan bagian dari subsistem biofisik dan menyarankan perlunya pembangunan  yang berkelanjutan (sustainable development).

 

2. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan implementasdarkonsepembangunaberkelanjuta(sustainable development) pada sektor pertanian. Konsep pembangunan berkelanjutan mulai dirumuskan pada akhir tahun 1980’an sebagai respon terhadap strategi pembangunasebelumnyyanterfokupadtujuapertumbuhaekonomi tinggi yang terbukti telah menimbulkan degradasi kapasitas produksi maupun kualitas lingkungan hidup. Konsep pertama dirumuskan dalam Bruntland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan PBB: “Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka (WCED, 1987).

Bedasarkan definisi pembangunan berkelanjutan tersebut, Organisasi Pangan Dunia mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai berikut :   …… manajemen dan konservasi basis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan   manusia   generasi   saat   ini   maupun   mendatang.   Pembangunan pertanian berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya genetik tanaman maupun  hewantidamerusalingkungantepagunsecarteknislayak secara ekonomis, dan diterima secara sosial (FAO, 1989).

Sejak akhir tahun 1980’an kajian dan diskusi untuk merumuskan konsep pembangunan bekelanjutan yang operasional dan diterima secara universal terus berlanjut.  Beberapa definisi konsep berkelanjutan dan pembangunan bekelanjutan, dan tentunya masih ada banyak lagi yang luput dari catatan tersebut. Walau banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan, termasuk  pertanian  berkelanjutanyanditerimsecarluaialayang bertumppadtigpilarekonomisosialdaekolog(Munasinghe1993). Dengan perkataan lain, konsep pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi keberlanjutan, yaitu: keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people), keberlanjutan ekologi alam (planet), atau pilar Triple-P

 

Penerapan pertanian organik merupakan salah satu dari pendekatan dalam pembangunan berkelanjutan, karena itu pengembangan pertanian organik tidak terlepas dari program pembangunan pertanian secara keseluruhan. Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan bukan berarti penggunaan bahan kimiawi pertanian (agrochemical) tidak diperbolehkan sama sekali, namun sampai batas tertentu masih dimungkinkan. Hal ini juga dipakai dalam penerapan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) selama ini. Masalah pembangunan pertanian berkelanjutan telah diintegrasikan dalam program pembangunan pertanian yang diterapkan dewasa ini. Dalam Grand Strategi Pembangunan Pertanian disebutkan bahwa pembangunan pertanian hasus dilakukan secara berkelanjutan, dengan memadukan antara aspek organisasi, kelembagaan, ekonomi, teknologi dan ekologis. Pembangunan agribisnis dilakukan dengan memberdayakan dan melestarikan keanekaragaman sumberdaya hayati, pengembangan produksi dengan tetap menjaga pelestarian dan konservasi sumberdaya alam (hutan, tanah dan air), menumbuh kembangkan kelembagaan lokal dan melegalkan hal ulayat masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam bagi kegiatan pertanian (communal resources management), serta dengan meningkatkan nilai tambah dan manfaat hasil pertanian.

 

 

Simpulan

 Defenisi dari teori Agribisnis menurut Davis dan Goldberg (1957)adalah Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture and distribution off-farm supplies, production activities on the farm, and storage, processing and distribution off-farm, commodities and items from them. Secara konsep agribisnis adalah suatu manajemen di bidang usaha pertanian dari hulu ke hilir dengan orientasi profit, dengan beberapa subsistem antara lain, ketersedian sarana prasarana pertanian, budidaya/usaha tani (on farm), pengolahan hasil pertanian (agroindustri), pemasaran hasil pertanian, dan subsistem kelembagaan pendukung. Secara aplikasi di lapangan belum semuanya berjalan sesuai konsep, sulitnya merubah pola pikir usaha pertanian masih subsisten komoditi dengan segala kekurangan sistem kelembagaan usaha tani pelaku utama dan kelembagaan pengambil kebijakan.

Manajemen dan konservasi basis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan   manusia   generasi   saat   ini   maupun   mendatang.   Pembangunan pertanian berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya genetik tanaman maupun  hewantidamerusalingkungantepagunsecarteknislayak secara ekonomis, dan diterima secara sosial (FAO, 1989). Secara konsep pembangunan pertanian berkelanjutan masih membutuhkan proses perubahan pola pikir, sikap dan keterampilan pelaku utama, pengambil kebijakan dan stakeholder karena kerusakan pembangunan pertanian itu sendiri yang dimulai dari revolusi hijau, agirbisnis orintasi profit tanpa memperhitungkan lingkungan sehingga secara aplikasi pertanian berkelanjutan adalah pelengkap dari pertanian agribisnis sebelumnya bahwa manajemen usaha tani dari hulu ke hilir dengan beberapa subsistem dengan orientasi profit tanpa melupakan lingkungan hayati sebagai media utama keberlangsungan sumber daya alam kita



DAFTAR PUSTAKA

 Burk, Monroe, 1994. Ideology and Morality in Economic Theory, dalam Lewis, Alan and Kare-Erek Warneryd (ed). Ethics and Economic Affairs, Routledge, London – New York.

Davis dan Goldberg, 1957. Perilaku Dalam Organisasi.  Jakarta : Erlangga. Davis, R. C. 1957. Industrial Organization and Management.

 Downey and Erickson, 1989.  Manajemen Agribisnis. Erlangga. Jakarta

Downey, David W dan John K.Trocke. 1981. Agribusiness Management.  McGraw-Hill, Inc. US of America

 FAO, 1989. Utilization of Tropical Foods : Tropical Oil-Seeds. Roma: Food and

            Agriculture Organization of the United Nations. Halaman 51-54.

 Kasrino dan Suryana, 1992. What is the Participatory Rural Appraisal. SIL International (www.sil.org, diakses 28 Mei 2012.

Munasinghe. M., 1993. Environmental Economics and Sustainable  Development.

 

Rustiadi, Eman, dkk., 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan YOI.

 WCED., 1987. Our Common Future (The Brundlandt Report). Oxford University Press


Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

PERUBAHAN PARADIGMA PERTANIAN AGRIBISNIS MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN (TINJAUAN SECARA FILSAFAT ILMU DI INDONESIA) Bagian III 16 Sep 2024 11:49 PM (7 months ago)

 Perubahan Paradigma Lama

Petani   di  Indonesia    tidaklah    homogen   ditinjau   dari  karakteristiknya. Ada  petani


   yang  dapat   digolongkan   sebagai   petani   komersial,   di mana ia menghasilkan    produk   untuk   sepenuhnya    dijual  ke pasar. Pada  sisi yang   lain,  ada  petani   yang  digolongkan   sebagai  petani   yang  subsisten ataupun     serni-subsistcn,    dimana     tidak     seluruh      produk     yang dihasilkannya         untuk       keperluan       dijual      ke pasar      melainkan sebagiannya    untuk   keperluan    konsumsi   sendiri.   Perilaku   pengambilan keputusan  kcdua  golongan  petani   ini diperkirakan  dapat  saja  berbeda, sehinugn   reaksi  pctani   terhadap    suatu   kebijakan   pcmerintah    mungkin saja  borbcda  di antara  pctani  dengan   karakteristik    yang  berbcda.    

Bagi petani    subsisten     ataupun    semisubsistcn.     keputusannya     sebagai rumahtangga       mungkin    tidak    dapat    dipisahkau     dengan    keputusan petani    sebagai    produscn.      Dengan   demikian    analisis   sosial-ekonomi rumah tangga   petani   di  Indonesia, perlu  terus  dikembangkan.       Tanpa adanva   pengetahuan    yang  tepat  terhadap  perilaku   petani  di Indonesia. Ini   akan   sulit   diharapkan     kebijakan    apapun   yang   ditujukan     bagi petani    dapat    mencapai     tujuannya, Pembangunan    agribisnis   di Indonesia   di masa  mcndatang    menghadapi tantangan      yang   lebih   kompleks    dibandingkan      masa   lalu.      Proses globalisasi     dalam    perekonomian,     yang    disertai    dengan    kesadaran demokrasi    yang    meningkat,     membawa    konsekuensi     berbeda     dalam praktek    pembangunan     maupun   dalam   praktek   bisnis.    Tuntutan    akan peningkatan      efisiensi    yang    disertai     dengan    tuntutan      pemerataan keadilan        menjadikan        konsep-konsep         agribisnis        yang       telah dikumandangkan         pada      masa      lalu     perlu      terus      diperbaharui.

Perusahaan-perusahaan  agribisnis,      yang     umumnya      bersentuhan langsung      dengan     usaha     petani     skala     kecil,   perlu    mempertajam maupun     mempraktekkan       {food   corporate  govermsnce     agar    dapat sustain  dalam  jangka   panjang.    Oleh  sebab  itu,  pengembangan     konsep agribisnis    maupun    konsep   pembangunan     agribisnis    di  masa   datang perlu     lebih     menekankan       pada     aspek     kelembagaan      dan     aspek govermance dan  responsibility dari  pihak-pihak    yang  ada  di dalamnya. petani,   perusahaan,    dan  pemerintah.


Analisis Peradigma Baru Pertanian Berkelanjutan Secara Filsafat Ilmu

-        Ontologi  (Teori/ Paradigma Baru)

Kini tidak mudah lagi menyepakati apa yang dimaksud dengan pembangunan Pertanian Berkelanjutan, karena berbagai peringatan dan “potensi penyimpangan” di masa lalu kurang mendapat perhatian. Pembangunan pertanian yang di atas kertas mendapat prioritas sejak Repelita I  kebijakan dan strateginya dengan mudah dilanggar, dan program-program “industrialisasi” lebih didahulukan. Sumber utama kekeliruan adalah lebih populernya model-model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan produksi dan pendapatan (GDP dan GNP), meskipun tanpa disertai pemerataan dan keadilan sosial.

Seharusnya kita tidak lupa peristiwa Malari Januari 1974 yang memprotes terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial padahal Repelita I pada saat itu baru berjalan 4,5 tahun, dan pertanian telah tumbuh rata-rata 5% per tahun. Pemerintah Indonesia yang waktu itu bertekad memulai dan meningkatkan program-program pemerataan “termanjakan” oleh minyak yang dengan sangat mudah membelokkan dana-dana yang melimpah untuk “membantu” pengusaha-pengusaha swasta yang leluasa membangun segala macam industri subsistitusi impor dan kemudian industri promosi ekspor, kebanyakan dengan bekerjasama dengan investor asing, khususnya dari Jepang.

Demikian sekali lagi telah terjadi ketidakseimbangan pembangunan antara industri dan pertanian, yang anehnya dianggap wajar, karena “model pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian.

Inilah suasana awal kelahiran dan mulai populernya ajaran “agribusiness” (agribisnis) yang menggantikan agriculture (pertanian). Jika kita ingin mengadakan pembaruan menuju Pertanian Berkelanjutan justru harus ada kesediaan meninjau kembali konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis. Saya tidak sependapat agribisnis dimengerti sebagai “pertanian dalam arti luas” atau bahkan istilah pertanian sudah tidak lagi dianggap relevan dan perlu diganti agribisnis.

Jika konsekuen Kementerian Pertanian juga perlu diubah menjadi Kementerian Agribisnis atau Institut Pertanian diganti menjadi Insitut Agribisnis. Kami menolak kecenderungan yang demikian yang di kalangan Fakultas-fakultas Ekonomi kita juga sudah muncul keinginan mengganti nama Fakultas Ekonomi menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Memang di Amerika sudah banyak School of Business, dan Department of Economics hanya merupakan satu departement saja dalam School of Business. Kami berpendapat ini sudah kebablasan. Seharusnya kita di Indonesia tidak menjiplak begitu saja apa yang terjadi di Amerika jika kita tahu dan patut menduga hal itu tidak cocok bagi tatanan nilai dan budaya petani dan pertanian kita.

-        Epistemologi (Metode/Mencari Kebenaran)

Mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan yang dikeluarkan oleh angenberg, maka keberhasilan pembangunan tentunya juga harus dilihat dari capaian  keempat  dimensi  pembangunan  berkelanjutan,  sehingga  akan  terlihat kinerja pembangunan secara keseluruhan. Tidak cukup jika pembangunan hanya terkonsentrasi untuk meningkatkan kualitas ekonomi, tetapi dengan merusak lingkungan. Dalam jangka panjang kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian, karena boleh jadi biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan lebih besar dari manfaat ekonomi yang diperoleh.

Begitu pula dengan pembangunan yang  mengabaikan  pembangunakelembagaasehingga  memunculkan senjangan  ekonomi  dan  sosial.  Kesenjangan  sering  kali  menjadi  alasan jadinya konflik bahkan dalam bentuk yang paling ekstrim seperti separatisme. onflik seperti ini tentu akan memberikan dampak negatif bagi pembangunan di asa yang akan datang.

Fenomena kesenjangan pendapatan dan kerusakan lingkungan akan lebih pantau  bila  ukuran  pembangunan  yang  dipergunakan  juga  sensitif  terhadap uran    kesenjangan    dan    kualitas    lingkungan.    Indikator    pembangunan rkelanjutan yang berkembang selama ini di Indonesia belum mencakup empat mensi pembangunan berkelanjutan secara utuh. Penghitungan Produk Domestik uto (PDB) hijau hanya melibatkan dimensi ekonomi dan lingkungan. Penelitian ntang genuine saving hanya menyentuh dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. kuran pembangunan berkelanjutan berupa indeks komposit pernah pula digagas eh beberapa institusi dan peneliti. Namun indeks komposit ini juga masih elibatkan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Dimensi kelembagaan tidak munculkan sebagai dimensi tersendiri, namun secara implisit tergabung pada mensi sosial. Karena indikator kelembagaan hanya bagian kecil dari dimensi sial, maka bobot kelembagaan dalam indeks komposit menjadi sangat kecil, dahal  permasalahan  kesenjangan  yang  menjadi  salah  satu  indikator lembagaan cukup menonjol di Indonesia.

Pembangunan  berkelanjutan,  yang  memunculkan  dimensi  kelembagaan bagai  dimensi  tersendiri,  dipandang  sangat  tepat  untuk  kondisi  Indonesia. ondisi ini diharapkan berdampak pada meningkatnya perhatian pada dimensi lembagaan, tanpa mengabaikan dimensi yang lain. Sebagai dimensi tersendiri lembagaan akan memiliki bobot  yang lebih  besar dalam mengukur capaian mbangunan. Untuk itu, penyusunan indeks komposit yang memasukkan empat mensi  pembangunan  berkelanjutan  (ekonomi,  sosial,  lingkungan  dan lembagaan) akan menjadi bagian penting dari pembangunan berkelanjutan pada mumnya, dan khususnya untuk pembangunan kelembagaan.

Selain menjabarkan pembangunan berkelanjutan ke dalam empat dimensi, angenberg juga mengidentifikasi empat modal pembangunan. Keempat modal mbanguna tersebut   adalah   man-made   capital,   human   capital,   natural pitaldansocial  capital.  Keseimbangan  penggunaan  keempat  modal  tersebut akan  mendorong  terciptanya  pembangunan  berkelanjutan.  Hingga  saat  ini, rhatian terhadap tiga modal yang pertama lebih dominan dibandingkan dengan odal yang terakhir.

Padahal di sisi lain, modal sosial diduga dapat mereduksi rmasalahan  pembangunan  yang  telah  disebutkan  sebelumnya.  Modal  sosial harapkan akan mampu mengurangi terjadinya kesenjangan pendapatan dengan norma saling membantu.  Modal  sosial juga  diduga mampu  mencegah lingkungan dengan adanya kearifan lokal. Modal sosial juga menjadi ama untuk dapat mewujudkan kelembagaan yang kuat. Sebagai salah satu dalam   pembangunan,   sudah   sepatutny modal   sosia mendapatkan n yang seimbang dengan modal yang lain.

-        Aksiologi (Kesimpulan Yang Didapatkan)

Sistem ekonomi yang mengacu pada Pancasila yaitu Sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang memihak pada upaya-upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun pertanian berkelanjutan sudah dapat mencakup upaya-upaya mewujudkan keadilan namun pedoman-pedoman moralistik, manusiawi, nasionalisme, dan demokrasi/ ’kerakyatan’ secara utuh tidak mudah memadukannya dalam pengertian berkelanjutan.

Asas Pancasila yang utuh memadukan ke-5 sila Pancasila lebih tegas mengarahkan kebijakan yang memihak pada pengembangan pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, atau perikanan rakyat. Pertanian yang mengacu atau berperspektif Pancasila pasti memihak pada kebijakan yang mengarah secara kongkrit pada program-program pengurangan kemiskinan di pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani.

Misalnya dalam kasus distribusi raskin (beras untuk penduduk miskin), orientasi ekonomi Pancasila pasti tidak mengijinkan pengiriman raskin ke daerah-daerah sentra produksi padi karena pasti menekan harga jual gabah/padi petani. Demikian pula dalam kebijakan pengembangan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang kini sudah dicabut, orientasi ekonomi Pancasila tidak akan membiarkan terjadinya persaingan sengit di antara petani tebu dalam menjual tebunya ke pabrik, dan sebaliknya pemerintah seharusnya tidak membiarkan pabrik-pabrik gula bertindak sebagai monopsonis (pembeli tunggal) yang menekan petani tebu dalam menampung tebu yang dijual oleh petani tebu rakyat.

Tinjauan aspek sosial-ekonomi pembangunan pertanian dan pengelolaan sumber daya alam yang kami sampaikan di sini berbeda atau mungkin berseberangan dengan kerangka pikir yang mengarahkan semua topik pada pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kami berpendapat istilah pertanian tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani.

Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Apakah mereka ini semua sudah tidak ada lagi di pertanian dan perdesaan kita? Masih banyak sekali, dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian dan pemihakan para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian. Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Pembangunan pertanian Indonesia harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.


bersambung ........................

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

PERUBAHAN PARADIGMA PERTANIAN AGRIBISNIS MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN (TINJAUAN SECARA FILSAFAT ILMU DI INDONESIA) Bagian II 16 Sep 2024 7:33 PM (7 months ago)

 

Paradigma Pertanian Agribisnis       

   Mula-mula ilmu ekonomi (Neoklasik) dikritik pedas karena telah berubah menjadi ideologi (Burk.


dalam Lewis dan Warneryd, 1994: 312-334), bahkan semacam agama (Nelson: 2001). Kemudian pertanian dijadikan bisnis, sehingga utuk mengikuti perkembangan zaman konsep agriculture (budaya bertani) dianggap perlu diubah menjadi agribusiness (bisnis pertanian). Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk pertanian gurem atau subsisten sekalipun. Penggunaan sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan “produksi”, termasuk penggunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi.

           Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun jika kita kaji lebih mendalam, maka perlu ada beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma yang menjadi arah kebijakan tersebut.

Sebuah paradigma semestinya lahir dari akumulasi pemikiran yang berkembang di suatu wilayah dan kelompok tertentu. Jadi sudah sewajarnya jika kita mempertanyakan, apakah pengembangan paradigma agribisnis adalah hasil dari konsepsi dan persepsi para petani kita?. Lebih lanjut dapat kita kaji kembali apakah sudah ada riset/penelitian mendalam, yang melibatkan partisipasi petani, berkaitan dengan pola/sistem pertanian di wilayah mereka?. Hal ini sangat penting karena jangan-jangan paradigma agrisbisnis hanyalah dikembangkan secara topdown dari pusat, yang tidak sesuai dengan visi desentralisasi sistem lokal, atau lebih berbahaya lagi hanya mengadopsi paradigma dari luar (barat). Lebih tepat apabila pemerintah berupaya untuk membantu menemukenali segala permasalahan yang dihadapi petani dan bersama-sama mereka mengusahakan jalan keluarnya, dengan memposisikan diri sebagai kekuatan pelindung petani. Selama ini masalah yang muncul adalah anjloknya harga komoditi, kenaikan harga pupuk, dan persaingan tidak sehat, yang lebih disebabkan oleh kekeliruan atau tidak bekerjanya kebijakan atau peraturan (hukum) yang dibuat oleh pemerintah.

 Identifikasi Pertanian Agribisnis secara Filsafat Ilmu

- Ontologi (Teori Lama/Paradigma Lama Kita) 

Davis dan Goldberg (1957) mendefinisikan agribisnis sebagai berikut:

Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture and distribution off-farm supplies, production activities on the farm, and storage, processing and distribution off-farm, commodities and items from them.

Definisi di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud agribisnis mencakup keseluruhan kegiatan mulai dari memproduksi dan distribusi input sampai dengan distribusi hasil pertanian. Perhatikan bahwa on farm, atau usahatani, sebagai kegiatan yang sering disebut secara umum sebagai pertanian, hanya merupakan salah satu bagian dari agribisnis. Jika halnya demikian, agribisnis harus melihat pertanian secara menyeluruh, bukan hanya melihat kegiatan menghasilkan produk-produk pertanian di tingkat usahatani.

Pembangunan agribisnis yang dimaksud adalah  pembangunan agribisnis sebagai satu  kcsatuan sistcm secara sirnultan   dan  harmonis. Pembangunan     agribisnis    dcngan   demikian    mencakup    pembangunan subsistem  agribisnis  hulu,  yaitu kegiatan   ckonomi  yang  menghasilkan sarana  produksi    pertanian  seperti industri  bcnih   atau   bibit,   industri agrokimia,      dan     industri      agrootomotif:      pembangunan       subsistem agribisnis    usahatani     atau   primer   (on-farm),  yaitu   kegiatan    ekonomi yang   menggunakan     sarana    produksi    pertanian     untuk   menghasilkan komoditas   pertanian    primer;   subsektor   agribisnis    hilir  yaitu   kegiatan ekonomi  yang  mengolah   komoditas   pertanian    primer   menjadi   produk­ produk   olahannya,    baik  sebagai  produk   antara    maupun   produk   akhir, beserta      kegiatan       pemasaran       atau      perdagangannya:       subsektor agribisnis      pendukung,      yaitu     kegiatan      yang     menghasilkan       atau menyediakan       jasa      yang     dibutuhkan        oleh     subsistem-subsistem agribisnis    lainnya,    misalnya   perbankan,     transportasi,     penelitian    dan pengembangan,    kebijakan    pemerintah,     maupun    penyuluhan    dan  jasa konsultan.

Pembangunan     agribisnis    sebagai   suatu   sistem   merupakan     cara baru untuk memandang pembangunan pertanian maupun pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Berbagai masalah pembangunan. Seperti peningkatan pendapatan, pembukaan kesempatan kerja, pemerataan pembangunan dan pendapatan, penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan, stabilitas ekonomi, masalah kelestarian lingkungan dan lain-lainnya dapat dipecahkan melalui pembangunan sistem agribisnis. Dengan demikian strategi industrialisasi melalui pembangunan sistem agribisnis akan sesuai jiwa trilogi pembangunan.

-        - Epistemologi (Metode/Mencari Kebenaran)

Adanya backward linkages dan forward linkages sektor pertanian menunjukkan bahwa sektor pertanian tidak dapat dipisahkan dari sektor-sektor lainya. Peranan sektor pertanian menjadi lebih besar jika dinilai dalam konteks adanya keterkaitan ke belakang dan ke depan tersebut. Jika sektor pertanian tidak berkembang dengan baik, maka tidak akan ada kebutuhan terhadap pupuk, obat-obatan, dan peralatan pertanian. Hubungan ini yang disebut keterkaitan ke belakang (backward lingkages) dari sektor pertanian. Keterkaitan antara pertanian dengan pengolahan hasil, disebut sebagai keterkaitan ke depan (forward linkages).

Agribisnis memandang sektor pertanian secara utuh, bukan hanya sektor primer tetapi mulai dari kegiatan pertanian yang menyediakan input sampai dengan kegiatan pertanian dalam pengolahan hasil pertanian, pemasaran, dan jasa penunjang pertanian (agriservices). Dengan cara pandang seperti ini maka kontribusi sektor pertanian dalam pengertian agribisnis menjadi sangat besar. Di waktu yang akan datang, peran sektor pertanian dalam pengertian agribisnis menjadi semakin besar. Perubahan cara pandang di atas mempunyai konsekuensi bahwa pertanian bukan sebagai way of life atau gaya hidup. Pertanian merupakan bagian dari kegiatan bisnis besar yang mempunyai prospek yang baik. Pertanian merupakan kegiatan produktif menghasilkan produk pangan dan serat dengan memanfaatkan sumber daya pertanian seperti tanah, air, hara tanah, sinar matahari, dan lain-lain.

-        Aksiologi (Kesimpulan Yang Didapatkan)

Pengertian agribisnis yang paling banyak dijadikan acuan selama ini adalah pengertian agribisnis yang dikemukakan oleh John Davis dan Ray Goldberg (Davis and Goldberg, 1957). Menurut Davis dan Golberg (1957), agribisnis dipandang bukan hanya kegiatan produksi di usahatani (on-farm), tetapi termasuk kegiatan yang di luar usahatani (off-farm) yang terkait. Pemahaman yang sama juga dikemukakan oleh Downey and Erickson (1989), Downey and Trocke (1981), bahwa agribisnis meliputi kegiatan di usahatani dan di luar usahatani yang terkait dalam pengadaan input pertanian, pengolahan hasil dan pemasaran hasil.

Paradigma Agribisnis yang Keliru

Asumsi utama paradigma agribisnis bahwa semua tujuan aktivitas pertanian kita adalah profit oriented sangat menyesatkan. Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka sendiri. Mereka adalah petani-petani yang luas tanah dan sawahnya sangat kecil, atau buruh tani yang mendapat upah berupa pangan, seperti padi, jagung, ataupun ketela. Mencari keuntungan adalah wajar dalam usaha pertanian, namun hal itu tidak dapat dijadikan orientasi dalam setiap kegiatan usaha para petani.

Petani kita pada umumnya lebih mengedepankan orientasi sosial-kemasyarakatan, yang diwujudkan dengan tradisi gotong royong (sambatan/kerigan) dalam kegiatan mereka. Seperti di awal tulisan, bertani bukan saja aktivitas ekonomi, melainkan sudah menjadi budaya hidup yang sarat dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat lokal. Sehingga perencanaan terhadap perubahan kegiatan pertanian harus pula mempertimbangkan konsep dan dampak perubahan sosial-budaya yang akan terjadi.

Seperti halnya industrialisasi yang tanpa didasari transformasi sosial terencana, telah menghasilkan dekadensi nilai moral, degradasi lingkungan, berkembangnya paham kapitalisme dan individualisme, ketimpangan ekonomi, dan marjinalisasi kaum petani dan buruh. Hal ini yang nampaknya tidak terlalu dikedepankan dalam pengembangan paradigma pendekatan sistem agribisnis..Tidak semua kegiatan pertanian dalam skala petani kecil dapat dibisniskan, seperti yang dilakukan oleh petani-petani (perusahaan) besar di luar negeri, yang memiliki tanah luas dan sistem nilai/budaya berbeda yang lain sekali dengan Petani kita.

           Konsep dan paradigma sistem agribisnis tidak akan menjadi suatu kebenaran umum, karena akan selalu terkait dengan paradigma dan nilai budaya petani lokal, yang memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena itu pemikiran sistem agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah saatnya kita pertanyakan kembali. Paradigma agribisnis tentu saja sarat dengan sistem nilai, budaya, dan ideologi dari tempat asalnya yang patut kita kaji kesesuaiannya untuk diterapkan di negara kita. Masyarakat petani kita memiliki seperangkat sistem nilai, falsafah, dan pandangan terhadap kehidupan (ideologi) mereka sendiri, yang perlu digali dan dianggap sebagai potensi besar di sektor pertanian. Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke oreientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa dilandasi pada orientasi kesejahteraan petani.

Peningkatan pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan/hukum, persaingan, distribusi, produksi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik. Kisah suramnya nasib petani kita lebih banyak terjadi daripada sekedar contoh keberhasilan perusahaan McDonald dalam memberi “order’ kelompok petani di Jawa Barat. Industri gula dan usaha tani tebu serta usaha tani padi kini “sangat sakit” dengan jumlah dan nilai impor yang makin meningkat. Kondisi swasembada beras yang pernah tercapai tahun 1984 kini berbalik. Dan pemerintah mulai sangat gusar karena tanah-tanah sawah yang subur makin cepat beralih fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik, gedung-gedung sekolah, bahkan lapangan golf.

          Jika kesejahteraan petani menjadi sasaran pembaruan kebijakan pembangunan pertanian, mengapa kata pertanian kini tidak banyak disebut-sebut? Mengapa Departemen Pertanian rupanya kini lebih banyak mengurus agribusiness dan tidak lagi mengurus agriculture. Padahal seperti juga di Amerika departemennya masih tetap bernama Department of Agriculture bukan Department of Agribusiness? Doktor-doktor Ekonomi Pertanian lulusan Amerika tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming is business. Benarkah farming (bertani) adalah bisnis? Jawab atas pertanyaan ini dapat ya (di Amerika) tetapi di Indonesia bisa tidak.

Dari   sudut   pandang     kelembagaan,   struktur     agribisnis   di Indonesia untuk   hampir   semua   kornoditas  masih   tersekat·sekat.     Struktur    yang tersekat-sekat   ini tentunya    menjadi   penghambat   utama   pembangunan agribisnis   di  Indonesia.     Struktur     agribisnis   yang   tersekat-sekat    ini dicirikan     oleh    beberapa     hal   sebagai    berikut :     Pertama,     subsistem agribisnis  hulu  (produksi  dan  perdagangan  sarana   produksi   pertanian) dan    subsistem    agribisnis    hilir    (pengoIahan    hasil    pertanian      dan perdagangannya)   dikuasai    oleh  pengusaha   menengah  dan  besar  yang bukan    petani. Petani    sepenuhnya    hanya   bergerak    pada   subsistem agribisnis  penghasil  produk   primer.    Kedua,  antar   subsistem  agribisnis tidak    ada   hubungan    organisasi    fungsional   dan   hanya    diikat    oleh hubungan     pasar      produk      antara      yang     juga     tidak     sepenuhnya kompetitif.        Ketiga,     adanya      asosiasi     pengusaha     yang     bersifat horizontal  dan  cenderung  berfungsi  sebagai   kartel.     Berbagai   asosiasi pengusaha   ini  dapat   ditemui   pada   subsistem  agribisnis  hulu   maupun subsistem   agribisnis   hilir.     Keempat,  agribisnis   dilayani    oleh  paling sedikit   lima  departcmen   teknis   (Pertanian,   Kehutanan,   Perindustrian dan   Perdagangan,    Tenaga     Kerja   dan   Transmigrasi,    Koperasi    dan PPK).    Berbagai    departemen    ini   tentunya     memiliki    visi   ataupun mandat   yang   berlainan,   sehingga    berbagai   kebijakan  yang  ditujukan pada  agribisnis  belum  tentu   integratif   dan  selaras   satu  dengan   lainnya dipandang  dari  sudut   agribisnis  sebagai  suatu   sistem.

Struktur     agribisnis   yang   tersekat-sekat    tersebut    akan   menyulitkan upaya       pembangunan       pertanian         yang       dimaksudkan       untuk meningkatkan   pendapatan   petani.    Porsi  ekonomi  petani  yang  terbatas pada    subsistent      agribisnis      usahatani      rnenjadikan      peluang     untuk meningkatkan     pendapatannya     relatif  keeil.   Ada  beberapa   alasan   yang dapat   dikemukakan     untuk    itu,  yaitu:     (a)    Dalam   sistem   agribisnis, nilai  tambah   yang  terbesar   berada   pada  subsistem    agribisnis   hulu  dan subsistem    agribisnis    hilir.    (b) Petani   berada   di  an tara   dua  kekuatan eksploitasi      ekonomi,     yaitu     pada    pasar     sarana      produksi     petani monopsonistik.     Petani dalarn   menghadapi    kedua  pasar   tersebut   selalu dalam   posisi  yang   kalah.     Keadaan   yang  demikian    ini  me nyebabkan upaynupava     peningkatan    produktivitas    ditingkat   petani   tidak  secara otomatis    berarti    peningkatan     pendapatan.       Manfaat    pengernbangan teknologi   baru,   pengembangan     infrastruktur      pedesaan,    subsidi   harga produksi,     dan    subsidi    melalui    pcrkreditan      yang   ditujukan untuk       mcningkatkan         produktivitas         usahatani         relatif      sedikit manfaatnya  pada  petani.

Permasalahan       struktural       yang    dihadapi     agribisnis      tersebut     juga berakibat    pada   lernahnya    daya   saing   agribisnis,    Struktur    agribisnis yang    tersekatsekat       dapat     menciptakan       masalah      transrnisi    dan masalah    marjin   ganda. Masalah   transmisi    ini  terjadi   dalarn  berbagai bentuk,     sepcrti     rnisalnya      transmisi      harga     yang     tidak    sirnetris. informasi    perubahan     preferensi    konsumen    yang   tidak   dapat   sampai dengan   baik   ke  arah   subsistem    hulunya,    serta    adanya    inkonsistensi mutu   produk   sejak  dari   hulu  sampai   ke  hilir  dalam   sistem   agribisnis. Lebih   jauh    lagi,   struktur     yang   tersekat-sekat     menjadikan     inovasi berjalan    lambat    disetiap    subsistem    agribisnis. Sedangkan     marjin ganda  di agribisnis    terjadi   melalui   praktek   penetapan    harga  yang  jauh di  ata harga    pada   kondisi   kompetitifnya     di  setia subsistem    yang tersekat·sekat      tersebut. Dampak   nyata   dari   marjin   ganda   ini  adalah harga   pokok  penjualan    produk   akhir   agribisnis    menjadi   relatif  tinggi, sehingga    daya   saingnya     menjadi    rendah,       Masalah     transmisi     dan masala marjin   ganda  juga  berdampak    buruk   bagi  investasi   dibidang agribisnis,     karena     masalah     tersebut     dapat     menyebabkan      naiknya resiko  usaha.

Penataan      dan    pengembangan       struktur      agribisnis      nasional     perlu diarahkan    pada  dua  sasaran   pokok,  yaitu:  Pertama,     mengembangkan struktur    agribisnis    yang   terintegrasi     secara   vertikal    mengikuti   aliran produk,       Struktur      agribisnis     yang   terintegrasi      secara    vertikal    ini memungkinkan      subsistem    agribisnis    dari   hulu    sampai   hilir   dikelola dengs"      efisien     dan    saling     mendukung       satu     subsistem      dengan subsistem    lainnya. Intcrgrasi    vertikal   akan   memudahkan     penerapan sistem   manajemen    yang  ditujukan    pada   peningkatan     daya  saing   dan peningkatan      kualitas. Kedua,    mengembangkan      organisasi     bisnis pctani   agar    mampu   mcmperoleh     nilai  tambah   yang  ada  di  subsistcm hulu  maupun   hilir dari  sistem  ngribisnis.    Secara  individu  petani   akan sulit  merebut   nilai  tambah   tcrsebut.

Keberhasilan     pembangunan     agribisnis    di  Indonesia    ditentukan     juga oleh  arah   kebijakan    ekonomi   makro.     Pembangunan     yang  diarahkan pada  industriahsasi     yang  t.iriak memiliki   basis  sumbcrdaya    yang  kuat, seperti     md ustri     subst.itusi     impor,     sering     melahirkan      kebijakan­ kebijakan       mnkro     yang     mengharnbat       perkembangan        agribisnis. Berbagai     kebijakan     ekonomi     makro    diarahkan      untuk     menopang industrtalisasi      yang    kem ud ian   secara    langsung    atau    tak   langsung menyebabkan       distorsi      harga     yang     menghambat       perkernbangan agribisnis.

Kebijakan   nilai  tukar   Rupiah   yang  secara   artifisial   dibuat   kuat,   yaitu sebelum   Indonesia    mengalarni    krisis   moneter,   merupakan    salah   satu contoh    bagaimana      kebijakan     ekonomi    makro    dapat    menghambat agribisnis.     Nilai  tukar   Rupiah  yang  dibuat   kuat  akan  menguntungkan industri-industri     yang   menggunakan     bahan    baku   dari   irnpor   untuk dipasarkan     di  pasar   domestik.     Sebaliknya    bagi  industri    atau   sektor yang  menggunakan     bahan   baku  domestik   dan  diarahkan    untuk   pasar ekspor,    kuatnya     nilai   tukar    mata    uang   dapat    menyebabkan      daya saingnya    melemah,      Agribisnis    pada   dasarnya    menggunakan     bahan baku   yang   berasal    dari   dalam    negeri   dan   banyak    produknya    yang dimaksudkan    juga  untuk   melayani   pasar   internasional,     sehingga   nilai tukar      Rupiah      yang     secara      artifisial      dibuat      kuat     merugikan pembangunan     agribisnis,

Kebijakan    tarn   yang  tinggi  untuk   memberikan    proteksi   pada  industri yang  bersifat   substitusi    impor  ternyata    memberikan   dampak  juga  pada perkembangan      agribisnis. Proteksi    yang   berlebihan    yang   diberikan pada    industri-industri      tertentu     dapat    menyebabkan     distorsi    dalam alokasi    sumberdaya. Industri-industri      yang   memperoleh     proteksi menjadi   tampak    lebih   menarik    di  mata   investor,   sedangkan    industri yang  termasuk    ke  dalam   agribisnis   dianggap   kurang   menguntungkan, dan  juga  berusaha    di bidang   agribisnis    dianggap   memiliki   resiko  yang lebih  tinggi. Akibatnya,   sumberdaya    kemudian    lebih  banyak   mengahr ke   industri-industri      yang   memperoleh     proteksi    dan   bidang    usaha agribisnis    yang   memiliki   basis   kuat   sebaliknya    mengalami    kesulitan memperoleh      modal     untuk      investasi      ataupun      usaha.      Kebijakan industrialisasi       berspektrum      luas    ataupun     industrialisasi      substitusi irnpor yang  selarna   ini diterapkan     menimbulkan    struktur    insentif  yang diskrim  inasi   yang   merugikan    pernbangunan     agribisnis    dan   pertanian pe nghasil  produk   primer.

Kebijakan      ckonomi      makro     yang      diarahkan        untuk      menopang industrialisasi     yang  dilakukan    tcrnyata    tidak   saja  herdampak    negatif bagi    porkembangan       agribisnis,      melainkan      juga    berdampak     pada menguatnya      ketimpangan      pembangunan      perkotaan     dan    pedcsaan. Berbagai      infrastruktur         yang     dibangun      lcbih     diarahkan       untuk menopang    strategi     industr-ialisnsi     yang   ditujukan     untuk    substitusi impor.     ludustri-industri        ini  um um nya   bcrlokasi    di  perkotaan     atau daerah       sekitar       perkotaan.        Berbagai     sarana       dan      prasarana transportasi     dan   telekomunikasi      dibangun    untuk   memperlancar     dan memporrnudah    jalannya    bisnis  industri    ini.   Akibatnya,   perkembangan fasilitas    publik   di  perkotaan    jauh    melarnpaui    ya ng  dibangun    untuk daerah   pedcsaan.

Kebijakan      industrialisasi        yang     bersifat      spektrum      luas     maupun industri   substitusi    impor  umumnya    bertumpu    pada  upah   tenaga   kerja yang    murah.      Upah     tcnaga     kerja     ini    sering     dikaitkan      dengan kebutuhan    hid up  minimum.     Dengan   demikian   agar  upah   dapat   tetap rendah,   maka   harga-harga     berbagai   kebutuhan    pokok  (pangan)   harus dijaga  tetap   rendah.     Keadaan    ini  tentu   membuat   pembangunan     yang dilakukan    semakin    bias  ke  perkotaan    dan  mendiskriminasi      pedesaan dan  agribisnis.


....Bersambung...





Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

PERUBAHAN PARADIGMA PERTANIAN AGRIBISNIS MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN (TINJAUAN SECARA FILSAFAT ILMU DI INDONESIA) Bagian I 16 Sep 2024 7:26 PM (7 months ago)

 

Seiring perkembangan dan kemajuan ilmu dalam pembangunan pertanian mengalami beberapa


proses kemajuan. Filsafat ilmu dalam pertanian adalah  ilmu yang mempelajari bagaimana mengelola tanaman, hewan, dan ikan serta lingkungannya agar memberikan hasil secara maksimal. Berdasarkan spesifikasinya ilmu pertanian dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar yaitu ilmu tanaman yang mempelajari khusus tanaman, ilmu peternakan yang mempelajari khusus ternak, dan ilmu perikanan yang mempelajari khusus ikan dan hewan air. Pertanian dimulai pada saat manusia mulai mengamati perilaku tanaman, hewan, dan ikan serta faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya.

Paradigma pertanian subsisten yang awalnya hanya merupakan pertanian yang dilaksanakan dengan pendekatan komoditas (Kasrino dan Suryana, 1992). Pendekatan ini dicirikan oleh pelaksanaan pembangunan berdasarkan pengembangan komoditas secara sendiri-sendiri (parsial ) dan berorentasi pada peningkatan produksi. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa pembangunan sektor pertanian selama ini memberikan hasil yang sangat menakjubkan, terutama dalam memacu pertumbuhan produksi yang dibuktikan dengan tercapainya swasembada beras. Keberhasilan program peningkatan produksi pertanian terutama beras, kelapa sawit, kakao,udang, ayam buras dan pedaging serta telur antara lain disebabkan oleh: keadaan pasar berbagai komoditas tersebut dalam situasi exees demond, dukungan paket teknologi maju, sumber daya alam yang tersedia, sumber dana tersedia dengantingkat bunga disubsidi dan dana untuk investasi prasarana dan sarana ekonomi oleh pemerintah dan komitmen pemerintah. 

Namun pendekatan komoditi untuk masa yang akan datang kurang memadai lagi, karena adanya indikasi: kejenuhan atau keterbatasan pengembangan pasar (permintaan), keterbatasan ketersediaan sumber pertanian, dan investasi dan mulaimelandainya kenaikan produktivitas. Oleh karena itu diperlukan reorentasi pembangunan pertanian dimasa mendatang. Hal ini diperkuat lagi dengan pelaksanaan desentralisasi dan pemerataan pembangunan berkelanjutan yang lebih dimatangkan.

Berdasarkan uraian di atas, komoditas sudah tidak lagi cocok diterapkan dalam pembangunan pertanian selama ini, hal ini merupakan konsekuensi logis masuknya globalisasi yang dicirikan oleh persaingan perdagangan international yang sangat ketat dan bebas. Perekonomian nasional akan semakin diregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan hargadan berbagai prestasi lainnya. Kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisienmerupakan pijakan utana bagi kelangsungan hidup usahatani. Sehubungan dengan itu partisipasi dan kemampuan wirausaha petani merupakan kunci keberhasilan pembangunanpertanian. Disamping itu usahatani dan petani semakin tergantung dengan usaha lainnyamaupun dengan berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Dengan kata lain persaingan dengan berbagai komoditas terhadap penggunaan sumberdaya pertanian akan semakin tinggi.

Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar petani di Indonesia. Oleh karena itu pembahasan mengenai sektor dan sistem pertanian harus menempatkan subjek petani, sebagai pelaku sektor pertanian secara utuh, tidak saja petani sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo religius. Konsekuensi pandangan ini adalah dikaitkannya unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem pertanian.
Paradigma agribisnis yang dikembangkan oleh Davies dan Goldberg, yang berdasar pada lima premis dasar agribisnis.

Pertama, adalah suatu kebenaran umum bahwa semua usaha pertanian berorientasi laba (profit oriented), termasuk di Indonesia. Kedua, pertanian adalah komponen rantai dalam sistem komoditi, sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem komoditi secara keseluruhan. Ketiga, pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai alasan ilmiah yang positif, bukan ideologis dan normatif. Keempat, Sistem agribisnis secara intrinsik netral terhadap semua skala usaha, dan kelima, pendekatan sistem agribisnis khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang. Rumusan inilah yang nampaknya digunakan sebagai konsep pembangunan pertanian dari Departemen Pertanian, yang dituangkan dalam visi terwujudnya perekonomian nasional yang sehat melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi.

Sejarah Perkembangan Pertanian

Berdasarkan sejarah perkembangannya pertanian dapat diklasifikasikan menjadi 4 golongan yaitu :

1.       Pemburu dan pengumpul. Manusia pertama hidup di daerah hutan tropik di sekitar laut Cina Selatan yaitu bangsa Alitik (prapaleolitik) yang merupakan kelompok manusia pengumpul makanan dan berburu serta menangkap ikan. Sebagai contohnya adalah suku Semang, suku Kubu dan Sakad di Semenanjung Malaya, Sukum Andaman dan Aeta di Filiphina, suku Toala di Sulawesi, suku Punan di Kalimantan dan suku Tasadai di Mindanau Selatan. Manusia pengumpul dan pemburu bersifat nomadik (berpindah-pindah) tetapi tidaklah mengembara tanpa tujuan di dalam hutan. Setiap kelompok mempunyai wilayah tertentu antara 20-25 Km2 . Mereka bertempat tinggal di goa-goa atau tebing batu. Mereka juga telah banyak mengetahui jenis-jenis tanaman dan habitatnya serta kegunaannya. Pengetahuan untuk menghilangkan racun dari bahan makanan dan cara mengawetkannya juga sudah mereka kuasai. Sebagai contoh biji sebelum dimakan direndam dalam air kemudian dimasukkan ke dalam bambu dan dibenamkan ke dlaam tanah selama sebulan lebih.

2.       Pertanian Primitif .Ketika manusia pengumpul dan berburu mulai berusaha menjaga bahan makanan maka mulai terjadi suatu mata rantai antara periode pengumpul dan berburu dengan pertanian primitif. Orang-orang Semang yang suka makan buah durian akan tinggal di dekat pohon durian untuk mencegah monyet dan binatang-binatang lain menghabiskan buah durian. Mereka juga menanam kembali batang dan sulur umbi liar yang umbinya telah mereka ambil, sehingga dapat tumbuh kembali. Tindakan ini adalah satu langkah menuju pertanian primitif. Setelah berabad-abad lamanya wanita mendapatkan pengetahuan yang baik tentang kehidupan tumbuh-tumbuhan. Edward Han dan beberapa sarjana lainnya menganggap wanita adalah penemu cara penanaman dan penghasil bahan makanan yang pertama. Han menamai pertanian primitif sebagai Hackbau (Hoe Culture atau Hoe Tillage = pertanian pacul atau pertanian bajak). Dia menganggap pacul adalah alat kerja wanita, sedangkan bajak alat kerja pria. Teori Han yang pertama menyatakan wanita adalah yang pertama memulai penanaman mungkin dapat diterima tetapi pendapatnya tentang perbedaan antara pertanian primitif dan pertanian yang lebih maju berdasarkan alat kerja yang digunakan apalagi dihubungkan dengan jenis kelamin tidaklah dapat diterima meskipun di beberapa daerah atau negara banyak wanita yang bekerja sebagai petani.
Perbedaan yang fundamental antara pertanian primtif dengan pertanian yang lebih maju adalah dalam hal penggunaan lahan. Petani-petani primitif, bertani secara berpindah-pindah. Sebidang tanah ditanami sekali sampai 2 kali kemudian ditinggalkan dan mereka mencari tanah baru untuk ditanami dan seterusnya. Sehingga sistem pertanian ini disebut huma atau ladang berpindah.

3.       PertanianTradisional
Pada pertanian tradisional orang menerima keadaan tanah, curah hujan, dan varietas tanaman sebagaimana adanya dan sebagaimana yang diberikan alam. Bantuan terhadap pertumbuhan tanaman hanya sekedarnya sampai tingkat tertentu seperti pengairan, penyiangan, dan melindungi tanaman dari gangguan binatang liar dengan cara yang diturunkan oleh nenek moyangnya.
Peternakan merupakan penjinakan hewan-hewan liar untuk digunakan tenaga dan hasilnya. Sedangkan perikanan merupakan hasil penangkapan dan pemeliharaan secara sederhana serta tergantung pada kondisi alam.

4.       Pertanian Progresif (Modern). Manusia mengguanakan otaknya untuk meningkatkan penguasaannya terhadap semua yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hewan. Usaha pertanian merupakan usaha yang efisien, masalah-masalah pertanian dihadapi secara ilmiah melalui penelitian-penelitian, fasilitas-fasilitas irigasi dan drainase dibangun dan dimanfaatkan untuk mendapatkan hasil yang maksimum, pemuliaan tanaman dilakukan untuk mendapatkan varietas unggul yang berproduksi tinggi, respon terhadap pemupukan, tahan terhadap serangan hama dan penyakit serta masak lebih cepat. Susunan makanan ternak disiapkan secara ilmiah dan dikembangkan metode berbagai macam input dilakukan secara ilmiah dan didorong motivasi ekonomi untuk mendapatkan hasil dan pendapatan yang lebih besar. Hasil pertanian dalam bentuk bulk (lumbung) diolah untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi. Cara pengawetan hasil pertanian dikembangkan untuk menghindarkan kerusakan dan mendapatkan nilai yang tinggi.


......Bersambung 

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Konversi Gabah Menjadi Beras BPS 2018 3 Sep 2024 11:50 PM (7 months ago)

 

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, oleh karenanya penyediaan pangan yang memadai 


merupakan kewajiban negara. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) menegaskan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar itu merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan manusia yang berkualitas.

Terkait dengan pemenuhan kebutuhan pangan, bahwa ketahanan pangan merupakan salah satu prioritas nasional yang harus dilaksanakan. Prioritas nasional ketahanan pangan tersebut diuraikan menjadi program prioritas peningkatan produksi pangan, serta program prioritas pembangunan sarana dan prasarana pertanian. Salah satu kegiatan dalam program prioritas pembangunan sarana dan prasarana pertanian adalah kegiatan perbaikan data statistik pangan.

Ketersediaan data statistik pangan yang berkualitas sebagai rujukan dalam perencanaan, pemantauan, dan evaluasi menjadi sangat menentukan karena akan berdampak kepada efektivitas pengambilan keputusan yang dilakukan. Statistik produksi padi, salah satu statistik pangan paling strategis dan penting, diperoleh dari data luas panen dikali dengan data produktivitas dikalikan dengan angka konversi Gabah Kering Panen (GKP) ke Gabah Kering Giling (GKG).

Selain data produksi padi, data yang diperlukan pemerintah dalam perumusan kebijakan pangan adalah produksi dalam bentuk beras. Penghitungan produksi beras dilakukan dengan menggunakan angka konversi GKG ke beras.

Pengeringan gabah merupakan salah satu kegiatan pascapanen yang penting. Proses ini merupakan proses penurunan kadar air gabah hasil panen atau disebut Gabah Kering Panen (GKP) menjadi kualitas Gabah Kering Giling (GKG). Di samping itu, proses pengeringan juga dilakukan untuk mengurangi kadar hampa dan kotoran yang terdapat dalam gabah hasil panen (GKP). Umumnya, standar kadar air kualitas GKP adalah sekitar 25 persen, dan kadar air kualitas GKG sekitar 14 persen (Inpres RI Nomor 5 Tahun 2015).

Pengurangan kadar air dalam bijian seperti gabah dilakukan dengan cara penguapan air dari dalam gabah. Proses ini meliputi penguapan air dari permukaan biji dan perpindahan massa air dari dalam gabah ke permukaan secara difusi.

Pengeringan gabah hasil panen diperlukan untuk mengurangi kadar air sehingga memenuhi standar baik untuk disimpan ataupun untuk digiling menjadi beras. Selama proses pengeringan dilakukan akan terjadi penurunan berat gabah karena pengurangan kadar air dalam gabah dan juga kemungkinan terjadinya kehilangan gabah secara fisik (susut pengeringan) seperti tercecer atau dimakan ternak/ungags.

Penggilingan adalah proses pengolahan Gabah Kering Giling (GKG) menjadi beras. Angka konversi GKG ke beras merupakan persentase berat beras hasil penggilingan terhadap berat gabah (GKG) yang digiling. Pengukuran angka konversi GKG ke beras dilakukan di penggilingan padi yang dikelola oleh masyarakat, baik perorangan maupun badan hukum.

Konversi Gabah Kering Panen (GKP) ke Gabah Kering Giling (GKG)

Angka konversi dari GKP ke GKG dinyatakan dalam satuan persen. Angka ini menunjukkan persentase banyaknya GKG (Gabah Kering Giling) yang diperoleh setelah melalui proses pengeringan GKP (Gabah Kering Panen). Angka konversi pengeringan gabah dari GKP ke GKG hasil Survei Konversi Gabah ke Beras tahun 2018 secara nasional sebesar 83,38 persen. Jika dibandingkan dengan tahun 2005-2007 (86,02 persen), terjadi penurunan sebesar 2,64 poin.

Gambar. Perkembangan Angka Konversi GKP ke GKG (Persen), 2005- 2007, 2012, dan 2018

Konversi Gabah Kering Giling (GKG) ke Beras

Nilai rendemen merupakan angka konversi dari GKG ke beras. Semakin tinggi nilai rendemen menunjukkan bahwa semakin sedikit GKG yang mengalami penyusutanSecara nasional, angka konversi GKG ke beras berdasarkan hasil Survei Konversi Gabah ke Beras Tahun 2018 adalah sebesar 64,02 persen. Angka ini meningkat sebesar 1,17 persen dibanding hasil survei tahun 2012, dan meningkat sebesar 1,28 persen dibanding hasil survei tahun 2005-2007.

Gambar. Perkembangan Angka Konversi GKG ke Beras berdasarkan Hasil Survei Tahun 2005-2007, 2012, dan 2018


Secara terperinci berikut konversi GKP, ke GKG dan GKG ke Beras secara Nasional berdasarkan hasil survey BPS tahun 2018.

No

Uraian

Jumlah %

Faktor Pengurang

1

Jumlah GKP

100%

 

2

Konversi GKP ke GKG

83,38%

(Susut Kadar Air)

3

Konversi GKG ke GKG untuk Diolah

92,70% (dari Angka 2)

(Susut dan Penggunaan lain)

 

-  Penggunaan Benih

0,90%

 

 

-  Tercecer

5,40%

 

 

-  Pakan ternak

0.44%

 

 

-  Bahan industri

0,56%

 

4

Konversi GKG ke GKG untuk Diolah Ke Beras

62,02% (dari Angka 3)

 

5

Konversi Beras untuk Beras Siap Konsumsi

96,67% (dari Angka 4)

(Susut dan Penggunaan lain)

 

-  Tercecer

2,50%

 

 

-  Pakan ternak

0.17%

 

 

-  Bahan industri

0,66%

 

 

Sumber data : SKGB 2018 Konversi Gabah Ke Beras BPS 2018.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

PELANGGARAN INDIKASI GEOGRAFIS BERAS PANDANWANGI CIANJUR DITINJAU DARI ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM 3 Sep 2024 6:16 PM (7 months ago)

 

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah hak yang diberikan untuk mendapatkan perlindungan hukum atas kekayaan intelektual. Kekayaan intelektual sendiri adalah kekayaan yang tidak berwujud yang berasal dari hasil olah pikir dan kreativitas manusia.


Tidak kalah penting dengan kekayaan intelektual yang dimiliki perorangan, kekayaan intelektual dengan kepemilikan bersama oleh kelompok masyarakat menjadi aset yang sangat berharga untuk memajukan perekonomian bangsa. Kekayaan ini dimiliki oleh masyarakat umum dan bersifat komunal. Kekayaan intelektual komunal meliputi indikasi geografis, pengetahuan tradisional, sumber daya genetik, dan ekspresi budaya tradisional. Kekayaan intelektual komunal mengupayakan kemanfaatan dan kepentingan bagi banyak orang. Keuntungan kolektif inilah yang menjadi ciri khas. Keanekaragaman hayati dan kekayaan budaya bangsa Indonesia yang sangat kaya ragam menjadi potensi yang sangat besar akan kekayaan intelektual yang bersifat komunal.

Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki kondisi geografis yang beragam, adat istiadat berwarna, serta sumber daya budaya, termasuk pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang kaya. Kondisi geografis dan keragaman adat dan budaya menjadi potensi penting dalam proses produksi berkarakter khas.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dalam Pasal 1 angka 6  (selanjutnya disebut UU Merek dan Indikasi Geografis), Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.

Tanda yang digunakan sebagai Indikasi Geografis dapat berupa etiket atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda tersebut dapat berupa nama tempat, daerah, atau wilayah, kata, gambar, huruf, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.

Indikasi geografis digunakan pada produk yang memiliki asal geografis tertentu dan memiliki kualitas terkait dengan asal dimana barang tersebut berasal. Secara umum, indikasi geografis merupakan nama produk yang diikuti nama wilayah atau tempat asal

Indonesia menerapkan sistem penghindaran passing off dalam regulasi indikasi geografisnya. Indonesia mengintegrasikan secara inklusif pengaturan indikasi geografis dengan sistem merek yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Selain itu, terdapat peraturan sebelumnya yang juga terkait dengan pengaturan indikasi geografis yaitu Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 dan Pasal 1365 KUH Perdata. Dapat dikatakan bahwa pelanggara atas indikasi geografis masuk dalam ranah hukum perdata. Sehingga apabila terjadi Tindakan atau pelanggaran atas hal tersebut dapat dimintakan ganti rugi atau kompensasi. Pasal ini kemudian menjadi salah satu dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.

Indikasi Geografis merupakan suatu bentuk perlindungan hukum terhadap nama daerah asal barang. Inti daripada perlindungan hukum Indikasi Geografis ialah bahwa pihak yang tidak berhak, tidak diperbolehkan menggunakan Indikasi Geografis bila penggunaan tersebut cenderung dapat menipu masyarakat konsumen tentang daerah asal produk, disamping itu Indikasi Geografis dapat dipakai sebagai jembatan demi mencapai nilai tambah dalam komersialisasi terhadap produk Indikasi Geografis.

Perlindungan Indikasi Geografis menyasar berbagai tujuan, selain memberi proteksi terhadap potensi khas daerah dari peniruan atau penggunaan secara melawan hukum, juga dimaksudkan untuk memberikan manfaat ekonomi yang optimal bagi masyarakat penghasilnya, sekaligus memberikan keuntungan bagi konsumen karena adanya jaminan kualitas produk. Pada sisi konsumen, terdapat jaminan keaslian produk melalui label Indikasi Geografis yang ditempelkan pada produk sebagai penanda bahwa produk tersebut asli.  Indikasi Geografis mencerminkan keterhubungan antara produk dan wilayah, yang jika dilindungi oleh undang-undang mencegah penyalahgunaan atau peniruan nama terdaftar dan menjamin konsumen bahwa produk tersebut asli.

Hak Indikasi Geografis berdasarkan Pasal 1 Angka 7 UU Merek dan Indikasi Geografis merupakan sebuah hak eksklusif yang dimiliki pemegang hak Indikasi Geografis yang terdaftar. Hak eksklusif ini berasal dari Negara dan diberikan selama reputasi, kualitas, dan karakteristik khas Indikasi Geografis masih melekat. Disebut eksklusif karena secara limitatif hanya melekat pada kelompok masyarakat atau pihak yang berkepentingan (interested parties) sebagai perwakilan masyarakat daerah Indikasi Geografis dan hanya kelompok tersebut yang berhak untuk memperoleh semua kemanfaatan ekonomi dari Hak Indikasi Geografis tersebut. Hak eksklusif yang dimiliki oleh Pemegang Hak Indikasi Geografis meliputi pemanfaatan, penggunaan, serta upaya hukum terhadap pelanggar Indikasi Geografis oleh pihak yang tidak berhak memanfaatkan. Pemberian label Indikasi Geografis diharapkan dapat menghindarkan dan melindungi produsen maupun konsumen terhadap pemalsuan suatu produk, yang pada akhirnya menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.

Indikasi Geografis memiliki kedudukan strategis karena menjadi potensi modal dasar bagi pembangunan nasional. Indikasi Geografis adalah indikator kualitas karena menjadi tanda daerah asal barang atau produk kepada konsumen. Perlindungan Indikasi Geografis memberikan manfaat yang sangat besar, berupa:

1)       Memberi proteksi terhadap produk dan produsen Indikasi Geografis dari kecurangan, penyalahgunaan dan pemalsuan tanda Indikasi Geografis

2)       Menerangkan identifikasi produk dan berperan sebagai standar produksi dan proses bagi para pemangku kepentingan Indikasi Geografis

3)       Mencegah adanya persaingan usaha tidak sehat dan melindungi konsumen dari penggunaan reputasi Indikasi Geografis secara salah

4)       Meningkatkan pendapatan ekonomi pelaku usaha

5)       Memberikan informasi tentang jenis, kualitas, dan asal produk yang dibeli kepada konsumen

6)       Menjadi sarana promosi dan kesempatan meraih reputasi yang lebih baik

7)       Meningkatkan posisi tawar untuk berkompetisi pada pasar nasional maupun internasional

8)       Mengangkat reputasi kawasan Indikasi Geografis melalui pengembangan agrowisata

Saat ini, berdasarkan data pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, terdapat 162 Indikasi Geografis Terdaftar. Setidaknya sebanyak 15 Indikasi Geografis berasal dari luar negeri.  Sebanyak  Produk Indikasi Geografis berasal dari Jawa Barat diantaranya ;

1)       Kopi Robusta Java Bogor,

2)       Kopi Arabika Java Preanger Sukabumi,

3)       Teh Java Preanger Bandung,

4)       Beras Pandanwangi Cianjur,

5)       Kopi Robusta Java Sanggabuana Karawang,

6)       Ubi Cilembu Sumedang,

7)       Tembakau Hitam Sumedang,

8)       Tembakau Mole Sumedang,

9)       Sawo Sukatali Sumedang.

Meskipun telah terdapat pengaturan, kasus-kasus pelanggaraan Indikasi Geografis yang berpotensi merugikan masyarakat sebagai konsumen bermunculan. Diperlukan upaya perlindungan hukum yang dapat melindungi kepentingan hak pemegang Indikasi Geografis maupun konsumen.

Perlindungan Indikasi Geografis bertujuan untuk melindungi kekhasan tersebut dari pemalsuan atau pemanfaatan yang tidak seharusnya sekaligus memberi kesempatan dan perlindungan kepada masyarakat wilayah penghasil produk khas untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari produk khas tersebut. Di samping itu, perlindungan Indikasi Geografis juga menguntungkan bagi konsumen karena memberi jaminan kualitas produk. Oleh karena itu sudah sepatutnya suatu kreatifitas mendapat perlindungan hukum yang memadai.

Pelanggaran atas Indikasi Geografis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 66 UU Merek dan Indikasi Geografis dapat berupa:

 

a)       pemakaian Indikasi Geografis, baik secara langsung maupun tidak langsung atas barang dan/atau produk yang tidak memenuhi Dokumen Deskripsi Indikasi Geografis;

b)       pemakaian suatu tanda Indikasi Geografis, baik secara langsung maupun tidak langsung atas barang dan/atau produk yang dilindungi atau tidak dilindungi dengan maksud untuk:

1)     menunjukkan bahwa barang dan/atau produk tersebut sebanding kualitasnya dengan barang dan/atau produk yang dilindungi oleh Indikasi Geografis;

2)     mendapatkan keuntungan dari pemakaian tersebut; atau

3)     mendapatkan keuntungan atas reputasi Indikasi Geografis

c)       pemakaian Indikasi Geografis yang dapat menyesatkan masyarakat sehubungan dengan asal-usul geografis barang itu;

d)       pemakaian Indikasi Geografis oleh bukan Pemakai Indikasi Geografis terdaftar;

e)       peniruan atau penyalahgunaan yang dapat menyesatkan sehubungan dengan asal tempat barang dan/atau produk atau kualitas barang dan/atau produk yang terdapat pada:

1)     pembungkus atau kemasan;

2)     keterangan dalam iklan;

3)     keterangan dalam dokumen mengenai barang dan/atau produk tersebut; atau

4)     informasi yang dapat menyesatkan mengenai asal-usulnya dalam suatu kemasan.

f)        tindakan lainnya yang dapat menyesatkan masyarakat luas mengenai kebenaran asal barang dan/atau produk tersebut

Salah satu contoh adalah Beras Cianjur yang diberi merek Beras Pandanwangi Cianjur.  Beras Cianjur sudah dikenal oleh banyak orang di tingkat nasional maupun di tingkat internasional, dengan citarasanya yang khas. Beras Cianjur memperoleh tempat dihati konsumen sebagai beras yang bermutu baik. Diantara berbagai jenis beras Cianjur, yang paling terkenal adalah Beras Pandanwangi hasil dari tanaman padi varietas Pandanwangi. Pandanwangi merupakan varietas padi unggul lokal kabupaten Cianjur yang termasuk jenis padi bulu.

Keunggulan Beras Pandanwangi Cianjur adalah rasanya yang enak, pulen dan beroma khas pandan. Untuk menghasilkan Beras Pandanwangi Cianjur yang bercitarasa khas, padi varietas Pandanwangi hanya dapat ditanam di tujuh kecamatan di kabupaten Cianjur, yaitu Warungkondang, Gekbrong, Cugenang, Cilaku, Cianjur, Cibeber, dan Campaka. Apabila varietas padi Pandanwangi ditanam diluar ketujuh kecamatan tersebut atau di daerah lain, maka kekhasan berasnya akan hilang terutama tekstur pulen dan aroma pandannya. Produksi Beras Pandanwangi Cianjur yang terbatas, tetapi banyak diminati konsumen, berdampak pada perilaku perdagangan yang tidak sehat. Banyak pedagang beras menyebut berasnya sebagai Beras Pandanwangi Cianjur tetapi sebenanrnya beras tersebut bukanlah Beras Pandanwangi Cianjur, melainkan beras hasil pencampuran/ pengoplosan dengan Beras Pandanwangi Cianjur, atau bahkan bukan Beras Pandanwangi Cianjur.

Beras Pandanwangi Cianjur yang palsu banyak beredar dipasaran, baik pasaran nasional maupun internasional. Hal tersebut sangat merugikan petani padi Pandanwangi Cianjur. Untuk itu perlu dilakukan upaya perlindungan hukum agar tercipta perdagangan yang sehat dan berkeadilan.

Pendaftaran Beras Pandanwangi Cianjur untuk memperoleh sertifikat Indikasi Geografis bertujuan untuk dapat menciptakan perdagangan beras yang sehat, memberikan perlindungan kepada produsen dan konsumen, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani padi Pandanwangi Cianjur. Beras Pandanwangi Cianjur merupakan Produk Indikasi Geografis yang telah mendapatkan Sertifikat Indikasi Geografis Beras Pandanwangi Cianjur dengan nomor ID G 000000034. Bahkan  diperjualbelikan juga di tanpa menyebut Indikasi Geografis yang dilindungi tersebut.

Beras Pandanwangi merupakan beras yang sangat terkenal di Indonesia yang berasal dari Kabupaten Cianjur, Jawa Barat karena nasinya yang beraroma pandan, enak rasanya dan pulen teksturnya. Benih Pandanwangi ditetapkan sebagai benih varietas lokal Kabupaten Cianjur melalui SK Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 163/Kpts/LB.240/3/2004 tertanggal 17 Maret 2004. Kepedulian Pemerintah Kabupaten Cianjur terhadap Padi Pandangwangi telah diwujudkan dengan terbitnya Perda No. 19 Tahun 2012 tentang pelestarian dan perlindungan Padi Pandanwangi Cianjur.

Beras Pandanwangi telah terdaftar Indikasi Geografis nomor ID G 000000034.  pada tanggal 16 September 2018 melalui Masyarakat Pelestarian Padi Pandanwangi Cianjur (MP3C) sebagai Masyarakat Pemegang Hak IG (MPIG)  Merek dan Indikasi Geografis menjadi sangat penting terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat, berkeadilan, pelindungan konsumen, serta pelindungan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan industri dalam negeri.

Konsumen Beras Pandanwangi adalah masyarakat  menengah ke atas karena harga yang mahal. Harga yang mahal ini, memunculkan oknum pedagang memanipulasi beras pendanwangi supaya dapat menjual dengan harga lebih murah. Hal ini menurunkan motivasi petani padi pandanwangi murni untuk tetap menanam padi varietas pandanwangi. Selain itu jumlah petani pembudidaya padi pandanwangi dan luas pertanaman kian tahun semakin menurun.

Berdasarkan penjelasan tersebut beberapa permasalahan yang terkait dengan produk Indikasi Geografis Beras Pandanwangi Cianjur  perlu dilakukan studi mendalam untuk mengetahui sejuahmana peran MPIG dan pemerintah daerah Cianjur dalam menjaga kualitas produk IG pasca terdaftar .

  

Bahan Pustaka

1)     Gusti Ayu Putu Eka Agustina, Taufik Yahya. Perlindungan Hukum Terhadap Produk Indikasi Geografis dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan. Hagoluan Law Review. Volume 1 Nomor 2 Nopember 2022

2)     Yoan Nursari Simanjuntak. Pelanggaran Indikasi Geografis ditinjau dari Aspek Perlindungan Konsumen. Perspektif Hukum. Fakultas Hukum, Universitas Surabaya. Vol 23 Issue 1: 58-81.

3)     Tatty A. Ramli, dan Yeti Sumiyati. Penyuluhan tentang perlindungan hukum Indikasi Geografis Beras Pandanwangi Cianjur Jawa Barat sebagai wujud sumbangsih perguruan tinggi dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). FH UNISBA. Jurnal Hukum dan Pembangunan Talum le-4J. 0.3 Mi-September 2012

4)     M. Rendi Aridhayandi. Focus Group Discussion mengenai pemahaman perubahan aturan hukum indikasi geografis bagi Masyarakat Pelestarian Padi Pandanwangi Cianjur (MP3C) sebagai Masyarakat Pemegang Hak Indikasi Gegrafis terdaftar. JOURNAL OF EMPOWERMENT. UNPAR Bandung . Desember 2017.

5)     Masyarakat Pelestarian Padi Pandanwangi Cianjur (MP3C). Buku Persyaratan Indikasi Geografis Beras Pandanwangi Cianjur. Cianjur. Juli 2015


 1.      listing produk IG DJKI KEMENHUKAM RI

https://dgip.go.id/menu-utama/indikasi-geografis/listing

https://pdki-indonesia.dgip.go.id/detail/b811f51c1748c5f5a7614f97d21a4fcc607fc85f4aea60bc8820c64ae1dd2f5d?nomor=IG.00.2014.000011&type=gi

 2.      mapping produk IG DJKI KEMENHUKAM RI

https://ig.dgip.go.id/


Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Ilmu-ilmu Pertanian Sebagai Ilmu Empirik 26 Sep 2023 5:26 PM (last year)

Dalam usaha bercocoktanam serta pemeliharaan hewan, manusia mengumpulkan berbagai pengalaman.


Salah satu pengalaman pertama manusia mengenai bercocoktanam yang tercatat dalam sejarah ialah mengenai ditemukannya pengetahuan tentang perkembangbiakan pohon kurma yang terjadi secara seksual. Pada zaman peradaban Babilonia telah diketahui bahwa satu pohon kurma tidak dapat berkembangbiak tanpa adanya pohon kurma lain yang berlainan jenis kelaminnya. Bagaimana caranya mereka mengetahui hal itu? Mungkin sekali dari pengalaman para petani menyingkirkan semua pohon kurma yang mandul dan tidak menghasilkan kurma, karena dianggap mubazir untuk dipelihara. Ternyata setelah semua pohon itu di¬singkirkan, pohon lainnya pun tidak mampu berproduksi, karena pohon yang tadinya menghasilkan kurma itu adalah pohon betina dan pohon yang disingkirkan itu adalah pohon jantan. Peristiwa tersebut tercatat dalam sejarah terjadi pada zaman Babilonia (Ronan, 1982).

Tampaklah bahwa pengetahuan muncul karena penga¬laman. Bahwa dalam pengembangan pengetahuan pengalaman itu diperlukan untuk mendukung atau menolak kebenaran suatu pendapat tercatat dalam sejarah dalam bentuk suatu hadis yang sahih (Muslim, Kitab 43 Bab 38, Hadis 140-141):

Melihat orang-orang yang sedang menyerbuki bunga kurma, Nabi bertanya: “Apa yang sedang kamu perbuat?” Setelah diberi¬tahu apa yang mereka kerjakan, Nabi berkata lagi: “Barangkali lebih baik jika tidak kamu lakukan itu.” Setelah ternyata kemu¬dian buah kurma itu berguguran dan Nabi diberitahu, Nabi berkata: “Aku hanya seorang manusia. Jika perintahku mengenai agama, ikutilah. Kalau yang kuperintahkan mengenai sesuatu itu dari pendapatku sendiri, aku hanya seorang manusia juga.”

Dalam peristiwa yang sama tetapi sedikit berbeda redaksi-nya, Nabi berkata (Ibn Majah IV:1259, Hadis 5830-5832): “Kamu lebih mengetahui soal duniamu.”

Hikmah yang dapat diperoleh dari kedua hadis ini ialah bahwa pendapat seseorang itu gugur kalau kenyataan yang diamati tidak sesuai dengan pendapat tersebut. Dari pola berpikir ini muncullah ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman atau empirisme (Yunani: empeira – pengalaman). Ilmu pengetahuan empirik ini pada mulanya adalah buah pikiran Ibnu Khaldun dan kemudian diserap menjadi milik orang Eropa dalam Zaman Kebangkitan Eropa serta dikembangkan menjadi tulang punggung sains modern oleh Francis Bacon.

Dalam bidang kegiatan pertanian juga banyak sekali pengetahuan yang telah dikumpulkan berdasarkan pengalaman dalam perjalanan sejarah. Pengalaman-pengalaman itu kemudian dihimpun menjadi sekumpulan ilmu terapan yang dinamakan ilmu-ilmu pertanian. Salah suatu ciri ilmu terapan ialah bahwa semua yang terdapat dalam ilmu itu akhirnya dapat diterangkan dengan menggunakan ilmu dasar. Dalam hal ilmu-ilmu pertanian, semua peristiwa yang menyangkut pengetahuan tentang alam dapat diterangkan oleh biologi, dan semua peristiwa biologi dapat diterangkan oleh ilmu kimia yang akhirnya dapat pula diterangkan dengan menggunakan ilmu fisika. Dalam hal ilmu pertanian yang berkaitan dengan perilaku manusia, semuanya dapat diterangkan oleh ilmu ekonomi dan ilmu sosial.

Apa yang dimaksudkan dengan ilmu-ilmu pertanian itu. Agar barangsiapa yang ingin mempelajarinya dapat memperoleh suatu gambaran menyeluruh mengenai ilmu-ilmu tersebut. Karena ilmu-ilmu tersebut menyangkut permasalahan yang luas dan saling berhubungan, tidak mungkin bagi orang yang ingin mempelajarinya untuk memahami semua aspek-aspeknya. Pada akhirnya ia harus mengambil keputusan bagian ilmu-ilmu pertanian yang mana yang akan dijadikannya menjadi keahliannya. Selain itu pula mungkin sekali yang menjadi minatnya akhirnya bukanlah ilmu-ilmu pertaniannya sendiri melainkan ilmu-ilmu dasar yang mendukung pengembangan ilmu-ilmu pertanian itu sebagai ilmu terapan.

Usaha pertanian pada dasarnya bersandar pada kegiatan menyadap energi surya agar menjadi energi kimia melalui peristiwa fotosintesis. Hasil fotosintesis ini kemudian menjadi bagian tumbuhan dan hewan yang dapat dijadikan manusia sebagai bahan makanan, bahan sandang dan papan, sumber energi, dan bahan baku industri. Untuk dapat menghasilkan bahan-bahan organik itu tumbuhan dan hewan harus dapat hidup di dalam suatu lingkungan yang terdiri atas tanah, air, dan udara pada suatu iklim yang sesuai. Karena itu ilmu-ilmu pertanian mencakup ilmu tanah, ilmu tataair, dan ilmu cuaca dan iklim yang tergolong ke dalam kelompok ilmu-ilmu lingkungan kehidupan dan budidaya.

Tumbuhan yang dipelihara manusia dengan sengaja agar dapat memberikan manfaat kita namakan tanaman, sedangkan hewan yang dipelihara untuk hal yang sama kita sebut ternak. Setelah lingkungan kehidupan dan budidaya yang sesuai untuk tanaman dan ternak tersedia, segala usaha pertanian belum dapat berjalan dengan baik tanpa adanya ilmu-ilmu yang memecahkan persoalan pembudi-dayaannya. Ilmu-ilmu yang termasuk dalam kelompok budi-daya ini ialah ilmu budidaya tanaman atau agronomi, hortikultura yang menyangkut budi-daya sayuran, buah-buahan, dan tanaman-hias, budidaya hutan, ilmu budi-daya ternak, ilmu budidaya perairan, proteksi tanaman, kedokteran hewan, keteknikan kelautan dan keteknikan pertanian.

Sebagian hasil usaha pertanian digunakan langsung sebagai makanan manusia atau pangan dan makanan ternak atau pakan. Penggunaannya sudah tentu haruslah dengan menganut azas manfaat. Karena itu dipandang dari segi kepentingan manusia harus diketahui cara menyajikan makanan yang baik dari segi kebersihan, kesehatan, dan dayabeli masyarakat. Itulah sebabnya ilmu-ilmu pertanian juga mencakup ilmu gizi masyarakat dan sumberdaya keluarga, sedangkan untuk permasalahan pakan diperlukan juga suatu ilmu yang berkenaan dengan hal itu dan disebut ilmu makanan ternak atau ilmu pakan. Hasil usaha pertanian itu sebagian juga tidak digunakan secara langsung tetapi diubah bentuknya sehingga lebih tahan lama atau lebih mudah dicerna. Untuk hal itu ilmu-ilmu pertanian juga mencakup teknologi pangan dan gizi, serta bioteknologi. Bioteknologi ini dapat dipelajari sebagai bagian teknologi pangan dan gizi atau juga sebagai bagian dari biologi, yaitu di dalam mikrobiologi.

Penggerak usaha pertanian adalah manusia. Karena itu kelancaran usaha pertanian sangat bergantung pada sikap dan perilaku manusia penggeraknya. Perilaku dan sikap manusia ini ditentukan oleh sikapnya dalam mencari nafkah bagi kehidupannya yang dibahas dalam ilmu ekonomi pertanian. Selain itu sikap hidup ini juga tergantung sekali pada caranya bermasyarakat. Oleh karena itu ilmu-ilmu pertanian juga mencakup sosiologi pedesaan. Permasalahan penting yang mencakup sikap hidup manusia penggerak usaha pertanian ini adalah juga bagaimana caranya mereka itu dapat dengan segera memahami perkembangan baru dalam berbagai teknik budi-daya dan pemasaran. Untuk itu ilmu komunikasi pertanian adalah faktor kunci yang penting yang menjembatani hasil penelitian pertanian dengan pengusaha pertanian sebagai manusia penggerak usaha pertanian.

Sumber : Pengantar Ke Ilmu-ilmu Pertanian, Andi Hakim Nasution 2009.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Alih Fungsi Lahan Sawah, Salah Siapa…..? 4 May 2023 7:07 PM (last year)

Adalah sebuah realitas jika dari tahun ke-tahun jumlah penduduk akan semakin meningkat. Dengan trend laju pertambahan penduduk yang meningkat, maka peningkatan ketersediaan pangan adalah suatu kebutuhan.


Robert Thomas Malthus (1766-1834) dalam bukunya yang paling terkenal Principle of Population (1798) mengungkapkan bahwa  "Laju pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan laju pertumbuhan bahan pangan mengikuti deret hitung". Artinya laju pertumbuhan penduduk lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhan pangan.

Dalam perspektif Ketahanan Pangan, jika kebutuhan pangan penduduk meningkat, maka konsekuensi kecukupan produksi pangan (khususnya pangan pokok)  adalah sebuah kepastian yang harus ditempuh. Bagaimana pun juga tidak bisa dipungkiri bahwa produksi pangan yang dihasilkan akan sangat tergantung terhadap daya dukung lahan pertanian. Baik secara kualitas (tingkat kesuburan) maupun secara kuantitas (luasan) ketersediaan lahan pertanian menjadi determinan utama dalam usaha menyediakan pangan pokok manusia.

Diantara sekian banyak hal dalam penataan ketahanan pangan, salah satu persoalan yang masih menjadi pusat perhatian kebijakan nasional dewasa ini yaitu  persoalan alih fungsi lahan pertanian khususnya Alih Fungsi Lahan Sawah (AFLS).

Kondisi umum tentang alih fungsi lahan sawah ini mudah untuk dicermati, yakni sejauhmana dan seberapa banyak kasus atau peristiwa dimana lahan sawah produktif berubah fungsinya menjadi lahan non pertanian. Apakah itu untuk fasilitas umum, permukiman, perkantoran, industri, atau untuk hal lainnya di luar fungsi utama lahan sawah sebagai “mesin” penghasil pangan,

Semudah itulah kita memahami sebuah kenyataan tentang apa yang disebut dengan AFLS. Sebuah konsekuensi yang harus diterima bahwa ada relasi kuat antara pertumbuhan penduduk dengan segala aktivitasnya terhadap tekanan pemanfaatan sumberdaya alam khususnya lahan pertanian.

Berangkat dari asumsi diatas, kita meyakini bahwa kondisi alih fungsi lahan pertanian khususnya AFLS adalah sebuah keniscayaan, atau dengan kata lain keniscyaan yang berujung pada sebuah “keadaan yang memaksa”.

Kalau kita dekati dari pola AFLS yang terjadi saat ini, maka akan ditemukan dua pola, yaitu AFLS yang bersifat sistematis dan bersifat sporadis. Alih fungsi yang bersifat sistematis terjadi dalam skala luasan yang besar (puluhan bahkan ratusan hektar), dan lazimnya dilaksanakan oleh korporasi. Alih fungsi lahan sawah untuk pembangunan kawasan industri, perkotaan, kawasan pemukiman (real estate), jalan raya, komplek perkantoran, dan sebagainya mengakibatkan terbentuknya pola alih fungsi yang sistematis. Lahan sawah yang beralih fungsi pada umumnya mencakup suatu hamparan yang cukup luas dan terkonsolidasi.

 Di sisi lain, AFLS yang dilakukan sendiri oleh pemilik lahan sawah umumnya bersifat sporadis. Luas lahan sawah yang terkonversi kecil-kecil dan terpencar. Alih fungsi lahan sawah dilakukan secara langsung oleh petani pemilik lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain sebelumnya diawali dengan transaksi jual beli lahan sawah.

Setidaknya ada empat hal yang melatarbelakangi atau menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian (AFLS ) yaitu ;

1.  Faktor Kependudukan.

Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah untuk perumahan, jasa, industri, dan fasilitas umum lainnya. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan akibat peningkatan intensitas kegiatan masyarakat, seperti lapangan golf, pusat perbelanjaan, jalan tol, tempat rekreasi, dan sarana lainnya. Kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian yang memerlukan lahan yang luas, sebagian diantaranya berasal dari lahan pertanian termasuk sawah.

Hal ini dapat dimengerti, meningat lokasinya dipilih sedemikian rupa sehingga dekat dengan pengguna jasa yang terkonsentrasi di perkotaan dan wilayah di sekitarnya (sub urban area). Lokasi sekitar kota, yang sebelumnya didominasi oleh penggunaan lahan pertanian, menjadi sasaran pengembangan kegiatan non pertanian mengingat harganya yang relatif murah serta telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang seperti jalan raya, listrik, telepon, air bersih, dan fasilitas lainnya.

Selain itu, terdapat keberadaan “sawah kejepit” yakni sawah-sawah yang tidak terlalu luas karena daerah sekitarnya sudah beralih menjadi perumahan atau kawasan industri, sehingga petani pada lahan tersebut mengalami kesulitan untuk mendapatkan air, tenaga kerja, dan sarana produksi lainnya, yang memaksa mereka untuk mengalihkan atau menjual tanahnya.

2.  Faktor ekonomi,

Tingginya  land rent value  yang diperoleh aktivitas sektor non pertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk berusaha tani disebabkan oleh tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu, karena faktor kebutuhan keluarga petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya (pendidikan, mencari pekerjaan non pertanian, atau lainnya), seringkali membuat petani tidak mempunyai pilihan selain menjual sebagian lahan pertaniannya.

3.  Faktor sosial budaya,

Terjadi antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan.

4.  Degradasi lingkungan,

Dampak perubahan iklim seperti kemarau panjang yang menimbulkan kekurangan air untuk pertanian terutama sawah; penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan yang berdampak pada peningkatan serangan hama tertentu akibat musnahnya predator alami dari hama yang bersangkutan, serta pencemaran air irigasi; rusaknya lingkungan sawah sekitar pantai mengakibatkan terjadinya instrusi (penyusupan) air laut ke daratan yang berpotensi meracuni tanaman padi.

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang beralih fungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi dan sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju.

Proses alih fungsi lahan sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) jauh lebih tinggi (misalnya untuk pembangunan kawasan industri, kawasan perumahan, dan sebagainya) atau untuk pemenuhan kebutuhan mendasar (prasarana umum yang diprogramkan pemerintah, atau untuk lahan tempat tinggal pemilik lahan yang bersangkutan).

Proses alih fungsi lahan sawah cenderung berlangsung lambat jika motivasi untuk mengubah fungsi terkait dengan degradasi fungsi lahan sawah, misalnya akibat kerusakan jaringan irigasi sehingga lahan tersebut tidak dapat difungsikan lagi sebagai lahan sawah.

Secara empiris, instrumen kebijakan yang selama ini menjadi andalan dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah adalah aturan pelaksanaan yang terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Akan tetapi proses penyusunan RTRW yang pada umumnya cukup alot ternyata juga belum menghasilkan petunjuk teknis yang benar-benar operasional.

Berbagai upaya untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah telah banyak dilakukan. Beragam studi yang ditujukan untuk memahami proses terjadinya alih fungsi, faktor penyebab, tipologi alih fungsi, maupun estimasi dampak negatifnya telah banyak pula dilakukan.

Beberapa rekomendasi telah dihasilkan dan sejumlah kebijakan telah dirumuskan. Setidaknya  telah ada lebih dari 12 produk hukum tingkat pusat, baik dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden, Peraturan Menteri ataupun Keputusan Bersama tingkat Menteri. Akan tetapi sampai saat ini berbagai kebijakan tersebut belum berhasil mencapai sasaran. Efektivitasnya masih terkendala oleh belum terwujudnya konsistensi dalam perencanaan, serta lemahnya koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan.

Kita tentu ingat bagaimana retorika Ir.Soekarno (1952) memberikan akronim untuk istilah petani sebagai Penyangga Tatanan Negara Indonesia.
Arti dari kepanjangan petani sebagai penyangga tatanan Negara Indonesia ini memang dinilai pas dan cocok dengan profesi petani. Peran mereka memang seperti penyangga, dimana tanpa mereka rakyat Indonesia tentu akan mengalami krisis pangan. Hal ini tentu akan mengganggu tatanan negara Indonesia.

Lalu bagaimana dan siapa yang akan memikirkan nasib sang penyangga negara tatkala dihadapkan dengan situasi keadaan yang memaksa seperti ini…?

 

 

Cianjur, 5 Mei 2023

Penulis

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Cianjur Gelar Acara Panen Padi Nusantara 1 Juta Hektar 14 Mar 2023 12:00 AM (2 years ago)

Padi masih merupakan komoditi andalan Kabupaten Cianjur, seabagai salah satu sentra produksi gabah di Provinsi Jawa Barat kontribusi produksi gabah Cianjur memang menjadi layak untuk di perhitungkan.

Produksi gabah kering giling antara Januari – Februari 2023 Cianjur telah menghasilkan 246.069 ton, dengan jumlah luas tanam mencapai 22.401 ha.



Dalam rangka menjaga ketahanan pangan baik secara regional maupun nasional peningkatan dan perluasan tanaman padi di Kabupaten Cianjur terus mengalami peningkatan. Sebagai salah satu upaya yang diperlu dilakukan adalah menjaga stabiitas produksi dengan intensifikasi pertanaan padi sawah.

Dengan pendekatan pengelolaan tanaman padi terpadu diharapkan dapat mendukung keberlangsungan produksi secara optimal.

Dengan pencanangan Kegiatan Panen Padi Nusantara 1 juta hektar yang dilaksanakan secara serempak di seluruh Indonesia. Untuk Cianjur kegiatan tersebut di pusatkan di Poktan Tani Mekar Desa Cibarengkok Kecamatan Bojongpicung Cianjur.

Acara yang dilaksanakan pada Hari Kamis 9 Maret 2023 di helat dengan acara panen padi seluas 240 hektar di Desa Bojongpicung dengan luas lahan sawah di kecamatan Bojongpicung seluas 2661 hektar.

Hasil plot ubinan terhadap lahan sawah yang dipanen menunjukan hasil produksi GKP kurang lebih 6 ton per hektar. Hasil ini belum maksimal. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan mendapat atensi dari pihak berwenang dalam hal ini BPP Bojongpicung dan Dinas Tanaman Pangan Hortikultuta Perkebunan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Cianjur.


Mengingat potensi luas tanam Bulan Maret 2023 seluas 37.634 hektar, diharapkan akan dipanen selama bulan Maret ini seluas 11.172 hektar.

Keluhan petani khususnya berkaiatan dengan sstabilitas produksi ini terkait dengan ketersediaan pupuk, pengendalian OPT, dan system pengolahan lahan yang berimbang masih menjadi kendala.

Diharapkan ke depannya persoalan teknis dan non teknis menyangkut peningkatan produksi dan produktivitas padi di Kecamatan Bojongpicung dan Kabupaten Cianjur dapat berangsur diatasi.

 

Penyusun.Bid.TP DTPHPKP Cjr.

14/03/23

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Analisis Sebab dan Dampak Gempa Bumi Cianjur 5.6 Mangnitudo (21 Nopember 2022) 13 Feb 2023 1:22 AM (2 years ago)

Indonesia menempati zona tektonik yang sangat aktif karena tiga lempeng besar dunia dan sembilan lempeng kecil lainnya saling bertemu di wilayah Indonesia dan membentuk jalurjalur pertemuan lempeng yang kompleks (Bird, 2003). Keberadaan interaksi antar lempeng lempeng ini menempatkan wilayah Indonesia sebagai wilayah yang sangat rawan terhadap gempa bumi (Milson et al., 1992). Permasalahan utama dari peristiwa peristiwa gempa adalah sangat potensial mengakibatkan kerugian yang besar, merupakan kejadian alam yang belum dapat diperhitungkan dan diperkirakan secara akurat baik kapan dan dimana terjadinya serta magnitudenya dan gempa tidak dapat dicegah. Karena tidak dapat dicegah dan tidak dapat diperkirakan secara akurat, usaha-usaha yang biasa dilakukan adalah menghindari wilayah dimana terdapat patahan atau sesar, kemungkinan tsunami dan longsor, serta bangunan sipil harus direncanakan dan dibangun tahan gempa.

Dalam beberapa tahun terakhir telah tercatat berbagai aktivitas gempa besar di Indonesia, yaitu Gempa Aceh disertai tsunami tahun 2004 (Mw = 9,2), Gempa Nias tahun 2005 (Mw = 8,7), Gempa Jogja tahun 2006 (Mw = 6,3), Gempa Tasik tahun 2009 (Mw = 7,4) dan terakhir Gempa Padang tahun 2009 (Mw = 7,6). Gempagempa tersebut telah menyebabkan ribuan korban jiwa, keruntuhan dan kerusakan ribuan infrastruktur dan bangunan, serta dana trilyunan rupiah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi.

Berdasarkan data dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) bahwa dalam kurun waktu tahun 1828 – 2017 di seluruh provinsi di Indonesia tercatat 515 kejadian gempabumi dimana jumlah kejadian gempabumi yang paling tinggi yaitu pada tahun 2009 sebanyak 54 kejadian dan jumlah korban jiwa yaitu sebanyak 1286 orang, sedangkan jumlah korban jiwa yang paling tinggi yaitu pada tahun 2006 sebanyak 5700 orang dengan jumlah kejadian sebanyak 33 bencana gempabumi.

Kabupaten Cianjur merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Menurut data BNPB Kabupaten Cianjur pernah dilanda bencana gempa bumi pada tahun 2009 (http://dibi.bnpb.go.id/). Berdasarkan informasi tersebut kejadian gempabumi yang melanda Kabupaten Cianjur mengakibatkan 28 orang meninggal, 42 hilang dan 21 orang luka-luka serta 10047 penduduk mengungsi. Kejadian gempabumi tersebut telah merendam rumah penduduk, akses jalan serta areal lahan pertanian warga.

Gempa bumi terbaru yang melanda Kabupaten Cianjur terjadi pada Tanggal  21 Nopember 2022, siang hari (13:21:10 WIB) dengan kekuatan Mw 5.6. Berdasarkan data BMKG, hingga tanggal 22 November 2022 telah tercatat 140 gempa-gempa susulan (aftershocks) dengan magnitudo 1.2-4.2 dan kedalaman rata-rata sekitar 10 km, dimana 5 gempa diantaranya dirasakan oleh masyarakat sekitar.

Gempabumi utama (mainshock) Mw 5.6 berdampak dan dirasakan di kota Cianjur dengan skala intensitas V-VI MMI (Modified Mercalli Insensity); Garut dan Sukabumi IV-V MMI; Cimahi, Lembang, Kota Bandung, Cikalong Wetan, Rangkasbitung, Bogor dan Bayah dengan skala intensitas III MMI; Tangerang Selatan, Jakarta dan Depok dengan skala intensitas II-III MMI.


Analisis Gempa Bumi Cianjur

Gempabumi yang terjadi di daerah Cianjur ini termasuk jenis gempa tektonik kerak dangkal (shallow crustal earthquake) dengan tipe mainshock-aftershocks, yaitu gempabumi utama yang kemudian diikuti oleh serangkaian gempabumi susulan (Mogi, 1963). Berdasarkan sebaran episenter dan hiposenter hasil relokasi (Gambar 1), gempabumi ini sangat menarik, dimana gempa utama (mainshock) berlokasi di arah utara Sesar Cimandiri segmen Rajamandala, sementara gempa-gempa susulannya (aftershocks) berada di sebelah Timur Laut relatif terhadap gempa utama.

Mekanisme fokus gempa utama Mw 5.6 ini menunjukkan sesar geser mengiri (sinistral strike-slip fault) pada arah Barat Daya-Timur Laut yang mirip dengan dominasi pergerakan dari Sesar Cimandiri segmen Rajamandala. Jika kita melihat sebaran episeter gempa-gempa susulan hasil relokasi pada Gambar 1, cluster (kumpulan) gempabumi susulan tersebut berarah Barat Daya-Timur Laut pada jarak sekitar 15 km sebelah utara dari Sesar Cimandiri segmen Rajamandala.

Berdasarkan mekanisme fokus gempa utama dan sebaran hiposenter hasil relokasi, kami membuat interpretasi sesar penyebab gempa Mw 5.6 ini dan area sesarnya (garis putus-putus warna biru dan kotak putus-putus warna biru pada Gambar 1 bagian bawah) yang merupakan sesar geser mengiri dan memiliki dip ke arah Barat Laut. Untuk interpretasi lebih lanjut diperlukan validasi dari lapangan dan data pendukung lainnya.


Gambar 1. Episenter dan hiposenter gempabumi Cianjur hasil relokasi tanggal 21 November 2022. Bulatan merah menunjukkan episenter gempa berdasarkan kedalaman. Garis warna merah adalah sesar aktif dari Irsyam dkk. (2017). Mekanisme fokus gempa dari https://inatews.bmkg.go.id/. Garis putus-putus warna biru pada gambar kiri bawah adalah interpretasi sesar penyebab gempa Mw 5.6 dan kotak putus-putus warna biru pada gambar kanan bawah adalah interpetasi area sesar berdasarkan sebaran gempa-gempa susulan.



Akibat dan Dampak Bencana


Pengkajian akibat merupakan pengkajian atas akibat langsung dan tidak langsung kejadian bencana terhadap seluruh aspek penghidupan manusia. Ketentuan mengenai unsur-unsur yang membangun komponen akibat bencana dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.

Tabel 1. Komponen Akibat Bencana

Komponen

Keterangan

Kerusakan

Perubahan bentuk pada aset fisik dan infrastruktur milik pemerintah, masyarakat, keluarga dan badan usaha sehingga terganggu fungsinya secara parsial atau total sebagai akibat langsung dari suatu bencana. Misalnya, kerusakan rumah, sekolah, pusat kesehatan, pabrik, tempat usaha, tempat ibadah dan lain-lain dalam kategori tingkat kerusakan ringan, sedang dan berat.

Kerugian

Meningkatnya biaya kesempatan atau hilangnya kesempatan untuk memperoleh keuntungan ekonomi karena kerusakan aset milik pemerintah, masyarakat, keluarga dan badan usaha sebagai akibat tidak langsung dari suatu bencana. Misalnya, potensi pendapatan yang berkurang, pengeluaran yang bertambah selama periode waktu hingga aset dipulihkan.

Gangguan Akses

Hilang atau terganggunya akses individu, keluarga dan masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan dasarnya akibat suatu bencana. Misalnya, rumah yang rusak atau hancur karena bencana mengakibatkan orang kehilangan akses terhadap naungan sebagai kebutuhan dasar. Rusaknya rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan mengakibatkan orang kehilangan akses terhadap pelayanan kesehatan sebagai kebutuhan dasar. Kerusakan sarana produksi pertanian membuat hilangnya akses keluarga petani terhadap hak atas pekerjaan.

Gangguan Fungsi

Hilang atau terganggunya fungsi kemasyarakatan dan pemerintahan akibat suatu bencana. Misalnya, rusaknya suatu gedung pemerintahan mengakibatkan terhentinya fungsi-fungsi administrasi umum, penyediaan keamanan, ketertiban hukum dan pelayanan-pelayanan dasar. Demikian juga bila proses-proses kemasyarakatan dasar terganggu, seperti proses musyawarah, pengambilan keputusan masyarakat, proses perlindungan masyarakat, proses-proses sosial dan budaya.

Meningkatnya Risiko

Meningkatnya kerentanan dan atau menurunnya kapasitas individu, keluarga dan masyarakat sebagai akibat dari suatu bencana. Misalnya, bencana mengakibatkan perburukan terhadap kondisi aset, kondisi kesehatan, kondisi pendidikan dan kondisi kejiwaan sebuah keluarga, dengan demikian kapasitas keluarga semakin menurun atau kerentanannya semakin meningkat bila terjadi bencana berikutnya.

Komponen pengkajian dampak meliputi pengkajian dampak bencana terhadap aspekaspek ekonomi-fiskal, sosial-budaya-politik, pembangunan manusia dan infrastrukturlingkungan secara agregat (total). Pengkajian dampak bencana merupakan pengkajian yang bersifat jangka menengah dan jangka panjang. Pengkajian dampak bencana berguna untuk memandu agar pengkajian kebutuhan pemulihan pascabencana memiliki orientasi strategis dalam jangka menengah dan jangka panjang.

 Tabel 2. Komponen Dampak Bencana

Komponen

Keterangan

Ekonomi dan Fiskal

Dampak ekonomi adalah penurunan kapasitas ekonomi masyarakat di tingkat kabupaten/kota setelah terjadi bencana yang berimplikasi terhadap produksi domestik regional bruto. Kapasitas ekonomi masyarakat tersebut meliputi tingkat inflasi, tingkat konsumsi masyarakat, tingkat kesenjangan pendapatan, tingkat pengangguran, angka kemiskinan dan lain-lain. Penurunan terhadap investasi, impor serta ekspor juga dapat diidentifikasi sebagai dampak bencana terhadap perekonomian.

Dampak fiskal adalah penurunan terhadap kapasitas keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai dampak bencana dalam jangka pendek hingga menengah. Kapasitas keuangan pemerintah meliputi kapasitas pendapatan yang bersumber dari pajak, retribusi dan pendapatan bagi hasil atas kekayaan negara yang dipisahkan. Penurunan kapasitas ini berimplikasi pada menurunnya kemampuan anggaran pemerintah untuk menjalankan fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasinya.

Sosial, Budaya dan Politik

Dampak budaya adalah perubahan sistem nilai, etika dan norma dalam masyarakat setelah bencana. Contoh dampak terhadap budaya adalah menurunnya kegiatan-kegiatan kebudayaan, berubahnya standar nilai dalam masyarakat dan lain-lain. Dampak budaya berimplikasi pada perubahan struktur sosial dalam jangka menengah dan panjang. Perubahan ini mencakup perubahan cara dan perilaku kehidupan sosial di masyarakat setelah bencana. Meningkatnya masalah-masalah sosial setelah bencana dapat menjadi tolok ukur adanya dampak sosial akibat bencana.

Misalnya meningkatnya konflik sosial, meningkatnya kekerasan berbasis gender, meningkatnya jumlah pekerja anak dan meningkatnya perceraian. Dampak politik adalah perubahan struktur kuasa dan perilaku politik dalam jangka menengah dan panjang setelah terjadi bencana. Contoh dampak politik adalah bencana berimplikasi pada peningkatan konflik berbasis politik karena perebutan sumber daya setelah bencana. Atau menurunnya kepercayaan publik terhadap pemimpin yang dipilih secara demokratis karena salah kelola dalam penanganan bencana.

Pembangunan Manusia

Dampak pembangunan manusia adalah dampak bencana terhadap kualitas kehidupan manusia dalam jangka menengah dan jangka panjang yang diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Ketimpangan Gender dan Indeks Kemiskinan Multidimensional. Kualitas pembangunan manusia diatas dapat diprediksi dari indikator-indikator jumlah anak yang bisa bersekolah, jumlah perempuan dan laki-laki yang bisa bekerja, jumlah keluarga yang memiliki akses terhadap air bersih serta tingkat akses terhadap pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, kependudukan dan lain-lain.

Lingkungan

Dampak terhadap lingkungan adalah penurunan kualitas lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia dan membutuhkan pemulihan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Penurunan ini misalnya penurunan ketersediaan sumber air bersih, kerusakan hutan dan kerusakan daerah aliran sungai serta kepunahan spesiesspesies langka setelah bencana

Pengkajian Kebutuhan Pascabencana/Post Disaster Need Asessment (PDNA) adalah suatu rangkaian kegiatan pengkajian dan penilaian akibat, analisis dampak, dan perkiraan kebutuhan, yang menjadi dasar bagi penyusunan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi. Pengkajian dan penilaian meliputi identifikasi dan penghitungan kerusakan dan kerugian fisik dan non fisik yang menyangkut aspek pembangunan manusia, perumahan atau pemukiman, infrastruktur, ekonomi, sosial dan lintas sektor.

Analisis dampak melibatkan tinjauan keterkaitan dan nilai agregat (total) dari akibat-akibat bencana dan implikasi umumnya terhadap aspek-aspek fisik dan lingkungan, perekonomian, psikososial, budaya, politik dan tata pemerintahan. Perkiraan kebutuhan adalah penghitungan biaya yang diperlukan untuk menyelenggarakan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. PDNA bertujuan agar upaya-upaya pemulihan pascabencana berorientasi pada pemulihan harkat dan martabat manusia secara utuh. Semangat ini tertuang pada ketiga komponen PDNA sebagai berikut. 1. Pengkajian akibat bencana; 2. Pengkajian dampak bencana; dan 3. Pengkajian kebutuhan pascabencana.

Komponen-komponen dalam PDNA diatas memiliki kesaling-terhubungan dalam rangka memandu proses penyusunan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi maupun untuk melakukan upaya pemulihan pascabencana. Hubungan antar komponen-komponen dalam PDNA tampak pada diagram dibawah ini:

Diagram 1. Alur Proses PDNA

Perkiraan kebutuhan pemulihan dalam PDNA berorientasi pada pemetaan kebutuhan untuk pemulihan awal , rehabilitasi dan rekonstruksi.

a)      Kebutuhan pemulihan awal adalah rangkaian kegiatan mendesak yang harus dilakukan saat berakhirnya masa tanggap darurat dalam bentuk pemulihkan fungsi-fungsi dasar kehidupan bermasyarakat menuju tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Kebutuhan pemulihan awal ini dapat berupa kebutuhan fisik maupun non fisik. Pemenuhan kebutuhan pemulihan awal harus berorientasi pada pembangunan yang berkelanjutan. Pemenuhan kebutuhan ini misalnya penyediaan kebutuhan pangan, penyediaan sekolah sementara, pemulihan layanan pengobatan di PUSKESMAS dengan melibatkan dokter dan paramedik di PUSKESMAS tersebut sehingga pemulihannya bisa lebih cepat termasuk penyediaan layanan psiko-sosial.

b)     Kebutuhan rehabilitasi adalah kebutuhan perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. 

c)    Kebutuhan rekonstruksi adalah kebutuhan pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat

Dengan demikian, komponen pembangunan, penggantian, penyediaan akses, pemulihan proses dan pengurangan risiko harus dipilah-pilah dalam kerangka pemulihan awal, rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Berikut ini adalah tabel komponen perkiraan kebutuhan dalam PDNA.

 Tabel 3. Komponen Perkiraan Kebutuhan

Komponen

Keterangan

Pembangunan

Kebutuhan pembangunan bertujuan untuk memulihkan aset milik pemerintah, masyarakat, keluarga dan badan usaha setelah terjadi bencana. Pembangunan kembali ini harus mengutamakan prinsip pembangunan kembali yang lebih tahan bencana sehingga pengurangan risiko bencana wajib menjadi pertimbangan dalam memperkirakan kebutuhan pascabencana.

Penggantian

Kebutuhan penggantian bertujuan untuk mengganti kerugian ekonomi yang dialami oleh pemerintah, masyarakat, keluarga dan badan usaha sebagai akibat dari bencana. Penggantian juga harus berorientasi pada pemulihan kapasitas ekonomi dalam jangka panjang sehingga harus efektif, efisien dan berkelanjutan.

Penyediaan bantuan akses

Kebutuhan penyediaan bantuan yang bertujuan untuk membantu memulihkan akses individu, keluarga dan masyarakat terhadap hakhak dasar seperti pendidikan, kesehatan, pangan, jaminan sosial, perumahan, budaya, pekerjaan, kependudukan dan lain-lain. Penyediaan ini harus dilakukan dalam rangka pemulihan sistem pelayanan dasar yang ada.

Pemulihan fungsi

Kebutuhan pemulihan fungsi merupakan kebutuhan yang bertujuan untuk menjalankan kembali fungsi atau proses pemerintahan dan kemasyarakatan. Fungsi pemerintahan misalnya memulihkan fungsi pemerintahan desa yang terganggu akibat bencana atau memulihkan fungsi PUSKESMAS dalam melayani kebutuhan kesehatan masyarakat. Pemulihan proses kemasyarakatan misalnya pemulihan organisasi RT dan RW, kelompok posyandu, kelompok tani dan organisasi berbasis masyarakat lainnya.

Pengurangan risiko

Kebutuhan pengurangan risiko meliputi kebutuhan mencegah dan melemahkan ancaman, kebutuhan mengurangi kerentanan terhadap bencana dan kebutuhan meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi kemungkinan bencana di masa datang. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan pemulihan awal dan kebutuhan pemulihan jangka panjang untuk merespon peningkatan risiko akibat bencana.


Dampak Bencana Gempa Bumi Cianjur 

Berdasarkan infografis https://gis.bnpb.go.id/ penananganan bencana Gempa Bumi Cianjur 5.6 Magnitudo, data cut off pada tanggal 21 Desember 2022 Pkl. 17.00 WIB, kondisi yang diakibatkan adalah :

Tabel 5. Komponen Akibat dan Dampak Bencana

No

Komponen

Keterangan

1

Korban Meninggal Dunia 

338

Jiwa

2

Korban Luka Dirawat  

2

Jiwa*

(*di Cianjur)

3

Korban Dalam Pencarian

5

Jiwa

4

Korban Pengungsi

114.683

Jiwa

5

Kerusakan

59.574

Total Rumah Rusak

(Data Sementara)

14.537

Rumah Rusak Berat

17.097

Rumah Rusak Sedang

27.940

Rumah Rusak Ringan

 

Fasilitas Pendidikan Rusak

701 Unit

Kantor/Gedung Rusak

18 Unit

Fasilitas Ibadah Rusak

281 Unit

6

Lokasi Terdampak

16 Kecamatan

180 Desa

 

Sumber data Gempabumi Cianjur 2022 (bnpb.go.id)

1.      Update data : Posko Penanganan Bencana Gempabumi Cianjur

2.      Skahemaps dan epicentre gempabumi : BMKG

3.      Titik Pengungsi : Assessmen KPPPA, DPPKBP3A Kab. Cianjur, BNPB

4.      Data citra UAV (Drone) : Kolaborasi BNPB dan Fly for Humanity

5.      Pendataan Rumah Rusak : Rutena (KemenPUPR) dan BNPB







Gambar.2  Dokumentasi Visual Kerusakan Lahan Sawah Dampak Bencana Gempa Bumi Cianjur 
21 Nopember 2022.


Perkiraan Kebutuhan Pangan Pokok Beras (Pemulihan Awal Bencana Gempa Bumi Cianjur)

Kebutuhan pemulihan awal ini dapat berupa kebutuhan fisik maupun non fisik. Pemenuhan kebutuhan pemulihan awal harus berorientasi pada pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu aspek pemenuhan kebutuhan pemulihan awal yang penting dan dianggap mendesak adalah pemenuhan kebutuhan pangan pokok (beras) bagi korban pengungsi.

Tabel 6. Data Pengungsi Terpilah

No

Komponen

Keterangan

1

Jumlah Pengungsi

114.683 Jiwa

2

Jumlah Pengungsi Laki Laki

54.781 Jiwa

3

Jumlah Pengungsi Perempuan

59.902 Jiwa

4

Jumlah KK Pengungsi

41.166 KK

5

Jumlah Titik Pengungsi Mandiri

119 titik

6

Jumlah Titik Pengungsi Terpusat

375 titik

7

Jumlah Titik Pengungsian

494 titik


Tabel 6. Perkiraan Kebutuhan Pangan Pokok Beras

(Pemulihan Awal Bencana Gempa Bumi Cianjur) 

No

Komponen

Keterangan

1

Jumlah Pengungsi

114.683 Jiwa

2

Konsumsi Rata Rata /jiwa/bln

9,23 kg*

3

Kebutuhan Pangan Pokok Beras / 1 bulan

1.058,52 ton

4

Kebutuhan Pangan Pokok Beras / 2 bulan

2.117,04 ton

5

Kebutuhan Pangan Pokok Beras / 3 bulan

3.175,56 ton

6

Kebutuhan Pangan Pokok Beras / 4 bulan

4.234,08 ton

7

Kebutuhan Pangan Pokok Beras / 5 bulan

5.292,60 ton

8

Kebutuhan Pangan Pokok Beras / 6 bulan

6.351,12 ton

Keterangan * ; Hasil Susenas BPS Tahun 2021 Konsumsi beras 110,8 kg per kapita per tahun Kabupaten Cianjur

Dengan demikian pemenuhan kebutuhan pangan pokok (beras) bagi korban pengungsi Bencana Gempa Bumi Cianjur diperlukan antara 1.058,52 ton sampai dengan 6.351,12 ton untuk jangka waktu pemulihan awal antara 1 bulan sampai dengan 6 bulan. 


By.Admin

Sumber referensi 

1)     Gempabumi Cianjur 2022 (bnpb.go.id)   https://gis.bnpb.go.id/
2)     Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) No.15 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengkajian Kebutuhan Pascabencana/Post Disaster Need Asessment (PDNA)
3)     Sumardani Kusmajaya, dan Riskyana Wulandari, KAJIAN RISIKO BENCANA GEMPABUMI DI KABUPATEN CIANJUR, Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Institut Pertanian Bogor, 2 Lembaga Sertifikasi Profesi Penanggulangan Bencana. Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 10, No. 1 Tahun 2019 Hal. 39-51.
4)     Pepen Supendi* , Priyobudi, Jajat Jatnika, Dimas Sianipar, Yusuf Haidar Ali, Nova Heryandoko, Daryono, Suko Prayitno Adi, Dwikorita Karnawati, Suci Dwi Anugerah, Iman Fatchurochman, Ajat Sudrajat. Analisis Gempabumi Cianjur (Jawa Barat) Mw 5.6 Tanggal 21 November 2022. Kelompok Kerja Sesar Aktif dan Katalog Gempabumi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Jakarta 10720, Indonesia.
















 









Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Contoh Media Penyuluhan Pertanian ; GAMBAR SINGKAP 31 Aug 2021 6:54 AM (3 years ago)

 Gambar Singkap Dengan Judul 

KOMPOS MANFAAT DAN CARA MEMBUATNYA 


COVER DEPAN


HALAMAN 1

HALAMAN 2

HALAMAN 3

HALAMAN 4

HALAMAN 5

HALAMAN 6

HALAMAN 7

HALAMAN 8

HALAMAN 9

HALAMAN 10

HALAMAN 11

HALAMAN 12

HALAMAN 13

HALAMAN 14

HALAMAN 15

HALAMAN 16

HALAMAN 17

HALAMAN 18

HALAMAN 19

HALAMAN 20

HALAMAN 21

HALAMAN 22

HALAMAN 23

HALAMAN 24

HALAMAN 25

HALAMAN 26

HALAMAN 27

HALAMAN 28

HALAMAN 29

HALAMAN 30

HALAMAN 31

HALAMAN 32

HALAMAN 33

HALAMAN 34


Sumber : 
Balai Penelitian Tanah (Balitbangtan) 2018.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

BLPP CIHEA DARI MASA KE MASA 29 Aug 2021 7:21 AM (3 years ago)

 


KAWASAN Cihea, Kabupaten Cianjur, dikenal sebagai salah satu sentra produksi padi di wilayah Jawa Harat. Pada lokasi ini terdapat sejumlah balai lingkup pertanian, salah satunya adalah Balai Pelatihan Pertanian (Bapeltan) Cihea, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat yang berada di kawasan Bojongpicung Cianjur.

Keberadaan kawasan Cihea-Bojongpicung tersebut sebenarnya memiliki sejarah panjang karena sejak zaman kolonial belanda. Lokasi tersebut diketahui dahulunya bernama Regeering Rijsthoeve Cihea yang menurut catatan sejumlah surat kabar yang tersimpan di Koninklijke Bibliothbek Belanda dan arsip BBPP Cihea, mulai berdiri tahun 1919.


Sisa-sisa kejayaan Regeering Rijsthoeve Cihea yang pada zamannya merupakan perusahaan pertanian padi milik pemerintah Hindia Belanda, masih terlihat sampai kini.Selain hamparan suwah yang masih luas,juga terdapat sejumlah aliran saluran irigasi yang cukup terawat dan menjadi pemandangan khas kawasan Cihea yang melintasi sampai Jalan Raya Ciranjang-Cianjur.





 

Berdasarkan arsip Koninklijke Bibliotheek Belanda pula disebutkan Regeering Rijsthoeve Tjihea merupakan kawasan perusahaan pertanian padi milik pemerintah Hindia Belanda. Dalam operasionalnya, Reguering Rijsthoeve berfingsi sebagai penyuplai pasokan padi untuk willayah Jawa Barat.

Diberitakan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie terbitan 15 April 1920, sebagai administratur Regeering Rijsthoeve Tjihea yang pertama adalah Reinders, yang dari namanya, Reinders adalah orang Jerman. Kawasan Regeering Rijsthoeve Tjihea dilengkapi satu pabrik penggilingan gabah untuk kemudian menghasilkan padi dan benih padi yang digunakan untuk

memasok kebutuhan di wilayah Jawa Barat.

De Indische Courant pada 4 Juli 1929 memberitakan, pada masa itu jumlah pemukiman di Cihea masih sedikit. Bahkan, kemudian terjadi wabah penyakit malaria yang mengakibatkan banyak orang tewas, terutama para pekerja di lingkungan Regeering Rijsthoeve Tjihea.

Kisah perjalanan Regeering Rijsthoeve Tjihea baru kembali diketahui pihak Belanda saat berupaya kembali menguasai lokasi tersebut selepas kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Pihak Belanda memandang keberadaan Regeering Rijsthoeve Tjihea sebagai instalasi vital bagi pasokan padi dan benih padi untuk Jawa Barat.

 





Diberitahukan, Nieuwe courant terbitan 14 Agustus 1946, dengan mengutip Kantor Berita Aneta dari Bandung, pihak Belanda kembali memasuki kawasan Regeering Rijsthoeve Tjihea dalam keadaan kosong tanpa penghuni. Dari luasan total 7.500 hektare, hanya sepertiganya yang ditanami padi tetapi mengalami kondisi kekeringan besar karena saat itu pada Agustus sedang puncak kemarau.

Dalam kondisi tersebut, kata berita itu, Regeering Rijsthoeve Tjihea mengalami serangan hama tikus tapi belum membahayakan. Sementara jaringan irigasinya masih utuh dan masih berfungsi dengan baik.

 

Disebutkan, pihak Belanda segera melakukan perbaikan kawasan Regeering Rijsthoeve Tjihea dalam target harus cepat selesai. Sejumlah penduduk disepanjang jalur Padalarang dan Cianjur kemudian dikerahkan untuk mengolah tanah agar segera dapat ditanami kembali oleh tanaman pangan.  

ALGEMEEN Indisch Dagblad pada 16 Mei 1947 memberitakan, kawasan Cihea sebenarnya dikenal sebagai daerah sentra produksi beras yang sehat dan kawasan pertanian yang subur. Namun kemudian kondisinya menjadi merana saat pendudukan Jepang pada Perang Dunia II tahun 1942-1945, lalu kemudian segera dipulihkan oleh pihak Belanda.

Diceritakan, beberapa wartawan asal Amerika, Australia, Prancis, dan Belanda membuat perjalanan dari Bandung ke Batavia. Mereka memberitakan, ada salah satu daerah yang paling subur di Pulau Jawa, yaitu Cihea, sekitar 20 km dari arah timur Cianjur.

Para Wartawan tersebut menuliskan, merasa kagum dengan keindahan alam daerah Cianjur, khusunya Cihea yang merupakan hamparan sawah yang luas. Mereka membayangkan, kondisinya berbeda dengan tahun 1920-an, di mana kawasan Cihea asalnya hanya lahan basah dan rawa yang dipenuhi nyamuk malaria yang kemudian dihuni sekitar 3.000 orang Indonesia dalam kondisi buruk yang semuanya terserang penyakit malaria.

 

Diberitahukan pula, oleh Pemerintah Hindia Belanda, kawasan Cihea kemudian diubah menjadi kawasan pertanian produktif. Bahkan sejak tahun 1920, Cihea dijadikan lumbung pangan sejati untuk Pulau Jawa.

Diceritakan pula, pada tahun 1941 di Cihea kemudian terdapat lebih dari 40.000 petani sehat yang menggarap lebih dari 5.200 hektare sawah intensif. Produktifitas padi di Cihea pada masa itu adalah 6 ton/hektare pada sawah irigasi. Bersamaan dengan masa itu pula wabah penyakit malaria mulai menghilang di Cihea.

De Locomotief terbitan 16 Juni 1950 memberitakan, sehari sebelumnya ada kelompok tak dikenal dalam jumlah besar menyerang kawasan Regeering Rijsthoeve Tjihea yang sudah berganti nama menjadi Perusahaan Pertanian Cihea. Dalam kejadian itu, sebanyak 12 personel Perusahaan Pertanian Cihea tewas dan salah seorang penyerang kemudian ditangkap.

 

Keberadaan BLPP Cihea

Balai Latihan Pegawai Pertanian Cihea (BLPP Cihea), merupakan balai latihan yang di khususkan bagi


para pegawai pertanian (penyuluh pertanian). BLPP Cihea  ini didirikan pada tahun 1978 dengan peresmian yang dilaksanakan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 28 Januari 1978. Gedung BLPP Cihea sendiri di resmikan 4 tahun kemudian tepatnya pada tanggal 5 Maret 1982 oleh Menteri Pertanian saat itu Ir.Soedarsono Hadisaputro. BLPP  Cihea sekarang statusnya sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) yang berada di bawah wewenang Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Jawa Barat. BLPP Cihea  sekarang berganti nama menjadi Balai Pelatihan Pertanian Tanaman Pangandan Hortikultura (BPPTPH) Propinsi Jawa Barat.  Balai Pelatihan Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPPTPH) beralamat di JL. Terusan Moch. Ali Bojongpicung, Neglasari, Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat 43283. 


by.admin 

sumber referensi : 

http://distan.jabarprov.go.id/distan/blog/detail/3710-mengenang-kejayaan-kawasan-pertanian-cihea


Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Jaringan Irigasi Cihea “ Heritage” (warisan) Kolonial Yang Masih Kokoh 25 Aug 2021 11:12 PM (3 years ago)

 Daerah Irigasi Cihea merupakan salah satu daerah irigasi yang berada di Propinsi Jawa Barat, tepatnya di

Kecamatan Bojongpicung Kabupaten Cianjur. Merujuk kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum danPerumahan Rakyat Nomor 14/PRT/M/2015 Tahun 2015 tentang Kriteria dan Penetapan Status Daerah Irigasi, Irigasi Cihea masuk dalam katagori Daerah Irigasi Kewenangan Pusat di bawah Kementerian PUPR.

Daerah Irigasi Cihea  (DI Cihea) dibangun untuk mengairi lahan sawah seluas 5483,71 ha, Wilayah pengairannya meliputi Kecamatan bojongpicung, Kecamatan Ciranjang dan Kecamatan Haurwangi. Sumber air utama DI ini diperoleh dari Sungai Cisokan melalui Bendung Cisokan dan Sungai Ciranjang melalui Bendung Ciranjang. Bagian hulu sungai Cisokan terdapat di DI Cililin sedangkan DI Cihea terdapat di bagian hilir sungai yang bendungnya berada di Desa Sukarama Kecamatan Bojongpicung Kabupaten Cianjur.

NO.

KECAMATAN

LUAS LAHAN SAWAH IRIGASI NON-IRIGASI (Ha)

JUMLAH

IRIGASI

NON-IRIGASI

1

BOJONGPICUNG

2556.89

104.84

2661.73

2

CIRANJANG

1794.98

37.21

1832.19

3

HAURWANGI

1299.66

5.44

1305.10

JUMLAH

5651,53

147,49

5799,02

 

DI Cihea yang bersumber dari sungai Cisokan merupakan peninggalan Belanda yang didirikan pada tahun 1816. Sumber Air irigasi ini adalah dengan cara membendung aliran Sungai Cisokan berlokasi di Kp.Cisuru. Bendungan peninggalan pemerintah kolonial Belanda sampai saat ini banyak yang masih berdiri kokoh dan berfungsi dengan baik.



Bendungan yang terletak sekitar 30 km ke arah tenggara dari pusat kota Cianjur itu berusia lebih dari 100 tahun, tapi kondisinya masih kokoh, bahkan diperkirakan masih akan kokoh hingga beberapa puluh tahun ke depan.

 





Kalaupun karena satu dan lain hal bendungan itu roboh, misalnya karena bencana alam, pemerintah mau tidak mau harus membangunnya kembali. Sebab, menurut Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air danPertambangan (PSDAP) Kabupaten Cianjur, Bendungan Cisokan merupakan sumber pengairan utama bagi lebih dari 5.500 ha sawah di dataran Cihea, tepatnya bagi 18 desa Kecamatan Bojongpicung dan Ciranjang. Tanpa Bendungan Cisokan, persawahan di dataran Cihea dipastikan berubah menjadi sawah tadah hujan.

Data Jaringan Irigasi :
1. Bendung                                      :     2 buah
2. Bangunan Bagi                            :     3 
3. Bangunan Bagi/Sadap                :   10 buah
4. Bangunan sadap                          : 101 buah
5. Bangunan Terjun                         :   96 buah
6. Bangunan ukur                             :   11 buah
7. Bangunan Talang                         :     9 buah
8. Bangunan Suplisi                         :   22 buah
9. Petak Tersier                                 : 146 buah
10.Bangunan Sypon                        :     3 buah
11. Gorong-gorong                          :   23 buah

Panjang Saluran
1. Sal. Terowongan                          :    1,200 km
2. Sal. Induk Cisokan                       :  20,146 km
3. Sal. Induk Ciranjang                    :    6,340 km
4. Sal. Sekunder                               : 29,579 km
5. Sal. Tersier                                     :  10,827 km
6. Sal. Pembuang                             :  16,420 km

Jalan
1. Jalan Inspeksi                                :  19,840 km





Wajar bila Bendungan Cisokan berikut puluhan kilometer saluran irigasinya merupakan salah satu infrastruktur penting yang dibangun pemerintah kolonial Belanda di Cianjur. Bahkan sejarahwan Reiza D Dienaputra (dosen Unpad) dalam Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, Sejarah Cikal Bakal Cianjur dan Perkembangannya Hingga 1942 (Bandung 2004) menyebutkan, pembangunan sarana irigasi Cihea berhasil mengubah Cianjur menjadi daerah penghasil beras di Priangan.

Pembangunan irigasi di dataran Cihea itu dilakukan sejak akhir abad ke-19 dan selesai pada awal abad ke-20. "Hingga akhir dasawarsa kedua abad ke-20, irigasi Cihea masih menjadi satu-satunya sistem pengairan yang relatif sangat baik untuk seluruh Keresidenan Priangan," tulis Reiza dalam buku yang diterbitkan atas kerja sama Pemkab Cianjur dengan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) Unpad Bandung itu.

Meski begitu, di tahun-tahun awal keberadaannya, irigasi tersebut sempat merugikan penduduk Cianjur, yakni adanya wabah malaria. Wabah ini timbul karena saluran pengairan di seputar irigasi Cihea kurang dipelihara dengan baik. Akibatnya muncul rawa-rawa yang menjadi tempat bersarangnya nyamuk malaria.






Wabah malaria itu bukanlah tumbal pertama dari pembangunan irigasi Cihea. Justru korban lebih banyak terjadi ketika Bendungan Cisokan yang berlokasi di Cisuru mulai dibangun.

Korban tewas terjadi terutama di saat rakyat membangun terowongan air berdiameter 3 m sepanjang 1.200 m. Karena memang terowongan yang mengalirkan air dari Bendungan Cisokan ke saluran irigasi Cihea itu merupakan bagian paling berat dari proyek tersebut. Terowongan ini dibuat dengan melubangi tebing Sungai Cisokan yang merupakan daerah berbatu cadas.


TEROWONGAN AIR: Seperti inilah kondisi terowongan ‘Irigasi Cihea’ Bojongpicung sepanjang 1.200 meter

Ribuan rakyat, yang sebagian di antaranya didatangkan dari luar Cianjur, dikerja-paksa untuk melubangi tebing cadas itu dengan peralatan sederhana: belincong, linggis, dan pacul. Sedangkan makanan sangat kurang. Tak heran bila banyak rakyat yang tewas karena kalaparan.

Usai membuat terowongan air, rakyat kembali dikerja-paksa membuat saluran irigasi dengan lebar 5-10 m menelusuri tebing bukit hingga ke daerah dataran Cihea. Jumlah korban meninggal saat membuat saluran irigasi yang sekarang disebut warga setempat sebagai Walungan (Sungai) Cisuru itu kabarnya juga tidak sedikit, terutama diakibatkan serangan penyakit malaria.

"Pengorbanan ribuan rakyat waktu itu tidaklah sia-sia. Karena Bendungan Cisokan berikut saluran irigasinya sampai sekarang masih berfungsi dengan baik. Sekalipun di musim kemarau, ribuan hektare sawah di Bojongpicung dan Ciranjang tetap bisa ditanami padi dua sampai tigakali dalam setahun.

 

By.admin

Referensi :

http://bpsda-wilayah.blogspot.com/2012/03/sejarah-bendungan-cisuru.html

https://www.journalnews.co.id/2021/05/sejarah-bendungan-legendaris-cisuru-di.html

Laporan Informasi Lahan Pertanian Kab.Cianjur (Dinas Pertanian Kab.Cianjur 2018)

http://balaiwilayahiiiciranjang.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html


Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Pengertian jarak dan metode pengukuran 24 Aug 2021 4:10 AM (3 years ago)

 Jarak antara dua buah titik dapat berupa jarak miring yaitu panjang langsung yang menghubungkan kedua titik tersebut, jarak vertikal atau tegak yang merupakan beda tinggi antara kedua titik, dan jarak


horisontal
atau datar yaitu panjang di bidang proyeksi dari kedua titik tersebut. Dalam ilmu ukur tanah bidang proyeksi yang digunakan adalah bidang datar, sehingga jarak yang digunakan adalah jarak horisontal. Jarak horisontal antara dua titik yang berbeda tingginya dapat ditentukan dengan mengukur bagian demi bagian jarak datarnya, atau mengukur langsung jarak miringnya dan dihitung jarak datarnya dari sudut miringnya atau beda tingginya.

Beberapa metode pengukuran jarak adalah: (a) langkah, (b) roda ukur, (c) takhimetri, (d) subtense bar, (e) pita ukur, (f) EDM, dan (g) sistem satelit. Ketelitian, penggunaannya dan peralatan yang digunakan dapat dilihat pada tabel berikut. Sedangkan sistem satelit dapat juga digunakan untuk menentukan jarak, misalnya GPS (Global Positioning System) dapat menentukan jarak karena dengan alat GPS akan diketahui koordinat suatu titik, dan jarak dihitung dari koordinatnya.

Sudut dibedakan dalam dua macam yaitu sudut horisontal dan sudut vertikal. Sudut horisontal adalah sudut di bidang horisontal yang dibentuk oleh perpotongan dua bidang vertikal, dan vertex atau titik sudut terletak pada garis vertikal di perpotongan dua bidang. Dalam ilmu ukur tanah sudut horisontal juga merupakan selisih antara dua buah arah yaitu arah depan (foresight) dan arah belakang (backsight).

Sudut horisontal dapat diukur secara langsung yaitu dengan mengukur arah belakang dan arah depan dengan alat teodolit yang dipasang di titik sudut, dan dapat pula diukur secara tidak langsung yaitu dengan penggukuran jarak-jarak horisontalnya.

 

Sumber : MK.Dasar Pemetaan Jurusan Teknik Sipil FTSP-USAKTI

 

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Jenis Jenis Alat Ukur Tanah 24 Aug 2021 4:06 AM (3 years ago)

 

Alat ukur tanah yang utama adalah: teodolit dan level atau penyipat datar atau waterpas, serta alat  pengukur jarak.

 


Teodolit

 

Fungsi Teodolit  :

1. mengukur arah/ sudut

2. mengkur beda tinggi/ tinggi

3. mengukur jarak

 




Keterangan:

1. Okuler teropong

2. Obyektif teropong

3. Pengatur focus

4. Alat pembaca micrometer

5. Alat pemutar micrometer

6. Penggerak halus horizontal atas

7. Penggerak halus horizontal bawah

8. Penggerak halus vertical

9. Pengunci putaran horizontal atas

10. Pengunci putaran horizontal bawah

11. Pengunci putaran vertikal

12. Nivo tabung

13. Nivo kotak

14. Skrup penyetel

15. Lingkaran horizontal

16. Lingkaran vertikal

17. Loop centering optic

18. Kaca pemantul cahaya

 

Level/ waterpas/ penyipat datar

fungsi : mengukur beda tinggi/ tinggi

Keterangan:


1. Okuler teropong

2. Obyektif teropong

3. Tombol pemfokus

4. Penggerak halus horizontal

5. Nivo kotak

6. Skrup penyetel

7. Lingkaran horizontal

 

Alat pengukur jarak

pita ukur

- dibedakan menurut bahannya: kain, fiberglas, steelon, steel/ baja, dan invar. Invar tape terbuat dari campuran nickel (36%) dan baja, dan mempunyai koefisien muai panas/ thermal expansion yang sangat rendah (0,000000122 per 1o C).

altimeter: alat pengukur ketinggian; clinometer: alat pengukur lereng/ slope; kompas: alat penunjuk arah dengan magnit; optical square/ prisma (pentagonal prism dan double prism): alat untuk membuat sudut siku-siku; planimeter: alat pengukur luasan; pantograf: alat untuk memperbesar atau memperkecil peta/ gambar; curvimeter: alat untuk mengukur panjang kurva/ garis di peta; plane table: alat ukur tanah (mirip teodolit) yang dilengkapi meja gambar untuk membuat peta yang digambar langsung di lapangan.

 

Sumber : MK.Dasar Pemetaan Jurusan Teknik Sipil FTSP-USAKTI

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Pengertian Dasar Ilmu Surveying dan Perpetaan Bidang Pertanian 24 Aug 2021 3:52 AM (3 years ago)

  Definisi, lingkup, dan jenis surveying

Surveying didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk menentukan posisi titik-titik diatas, pada, atau di bawah permukaan bumi; atau sebaliknya, yaitu memasang titik-titik tersebut di lapangan. Metode pelaksanaan di darat (survai terestris) paling sering dilakukan, tetapi metode survai di udara (aerial surveying) dan survai dengan satelit (satellite surveying) juga umum digunakan.


Surveying dapat dibagi dalam: (a) Geodetic surveying, disini memperhitungkan adanya kelengkungan bumi, sehingga dibutuhkan pengetahuan ilmu ukur sferis (spherical geometry) untuk perhitungannya; dan (b) Plane surveying, disini tidak memperhitungkan adanya kelengkungan bumi, sehingga semua hasil ukuran akan digambarkan pada bidang datar berdasarkan rumusan ilmu ukur bidang datar. Plane surveying inilah yang dikenal sebagai ilmu ukur tanah, dan geodetic surveying sebagai ilmu geodesi.

Di dalam Ilmu ukur tanah jarak-jarak yang diukur dianggap sebagai garis lurus dan sudut antara dua garis dianggap terletak pada bidang datar. Ilmu ukur tanah digunakan hanya untuk daerah yang relatif sempit yaitu kurang dari 260 km2, karena perbedaan jarak lurus dan lengkung di permukaan bumi sejauh 18,2 km hanya sekitar 0,10 meter (Agor, 1982). Dengan demikian untuk bidang enjiniring yang biasanya dibutuhkan peta-peta skala besar dan cakupan wilayahnya relatif sempit, lebih tepat menggunakan rumusan ilmu ukur tanah ini.

Hasil pengukuran dewasa ini digunakan untuk: (a) memetakan bumi diatas dan dibawah permukaan laut; (b) menyiapkan peta navigasi untuk penggunaan di udara, darat dan di laut; (c) penentuan batas-batas pemilikan tanah; (d) pengembangan bank data informasi geografi; (e) penentuan ukuran, bentuk, gravitasi, medan magnit bumi, dan (f) menyiapkan peta-peta bulan dan planet.

Surveying atau metode surveying sering digunakan dan sangat membantu di bidang geografi, geologi, astronomi, pertanian, kehutanan, archeologi, arsitektur dan teknik sipil. Di bidang teknik sipil, surveying memainkan peranan penting selama dan sesudah tahap perencanaan, dan pada tahap pelaksanaan konstruksi dalam berbagai proyek jalan raya, jalan rel, gedung, perumahan, jembatan, terowongan, irigasi, bendungan, pekerjaan pipa, dll.

 

Jenis survai

Ada beberapa jenis survai yang masing-masing jenis mempunyai kekhususan tersendiri terutama dalam hal maksud dan tujuannya. Dari tujuan survai akan dapat ditentukan mengenai metode pelaksanaan, ketelitian atau toleransi yang diperbolehkan, dan jenis alat yang akan digunakan.

Jenis survai ini antara lain: (a) 'control survey' yaitu penentuan titik kontrol horisontal dan vertikal yang berguna sebagai kerangka acuan untuk pengukuran lain; (b) 'property survey' atau 'cadastral survey' yaitu pengukuran batas pemilikan dan luas persil tanah; (c) 'topographic survey' yaitu survai untuk pembuatan peta yang menggambarkan kenampakan alamiah dan buatan serta 4ketinggian tanahnya; (d) 'construction survey' atau 'engineering survey' yaitu menetapkan titik-titik dan elevasi untuk bangunan; (e) 'route survey' yaitu survai untuk proyek jalan raya, jalan rel, jalur pipa, jalur listrik, saluran, dll.; (f) 'hydrographic survey' yaitu pembuatan peta garis pantai dan kedalaman danau, sungai, waduk, dan massa air lainnya; (g) 'photogrammetric surveying' yaitu pengukuran melalui media foto atau citra yang direkam oleh kamera atau sensor lainnya dari pesawat udara atau satelit.

 

Arti dan jenis peta

Peta adalah gambaran dari permukaan bumi pada bidang datar yang digambarkan dengan sistem proyeksi dan skala tertentu. Sistem proyeksi ini diperlukan karena permukaan bumi berbentuk lengkung, sedangkan permukaan peta merupakan bidang datar. Dengan demikian setiap peta sebenarnya mengandung distorsi.

Bidang proyeksi yang digunakan dalam proyeksi peta adalah bidang-bidang yang bisa didatarkan yaitu kerucut, silinder dan bidang datar. Ilmu ukur tanah menganggap bahwa bidang permukaan bumi berbentuk datar, kerena itu bidang proyeksi yang digunakan adalah bidang datar dan dengan sistem (garis proyeksi saling sejajar), dan posisi titik-titik digambarkan dengan sistem koordinat tegaklurus ().

Skala selalu dicantumkan didalam peta dan merupakan informasi yang sangat penting guna mengetahui gambaran sebenarnya dilapangan. Skala adalah perbandingan antara jarak di peta dan jarak di lapangan, dan cara penulisannnya dapat dengan cara menuliskan perbandingan angka yang disebut skala angka (numerical scale), atau dengan cara grafik yang disebut skala grafik (graphical scale). Skala angka dapat dibagi dalam dua jenis yaitu: (a) 'Engineer's scale' yaitu pernyataan 1 cm di peta menggambarkan berapa meter di lapangan, misalnya: 1 cm = 10 m; (b) 'Fraction scale' yang menyatakan perbandingan jarak di peta dan di lapangan dalam satuan yang sama, misalnya: 1:500, 1:1.000.

Peta bisa dibagi dalam dua bagian umum yaitu peta planimetri dan peta topografi. Peta planimetri menggambarkan kenampakan alami dan buatan seperti sungai , danau, batas-batas, sawah, jalan, pemukiman, dll. Sedangkan peta topografi selain menggambarkan kenampakan alami dan buatan manusia, juga menggambarkan keadaan relief atau tinggi-rendah permukaan tanah. (Anderson, 1985).

Peta yang menyangkut daerah luas seperti negara dan menggambarkan kota, sungai, danau, dan batas administrasi pemerintahan disebut peta geografi. Selain itu ada lagi jenis peta yang menggambarkan obyek-obyek tertentu atau dengan kata lain mempunyai tema tertentu seperti peta irigasi yang menggambarkan jaringan irigasi yang ada, peta pariwisata yang menggambarkan obyek-obyek wisata yang ada. Peta jenis ini yang merupakan peta dengan tema khusus disebut peta tematik.

Peta dapat digolongkan pula dalam: (a) peta garis ('line-drawn map') yaitu peta yang digambarkan dengan simbol garis, dan (b) peta foto ('pictorial map') yaitu peta yang dihasilkan dari foto udara atau foto satelit.

Bila ditinjau dari jenis survainya, peta dapat dikelompokkan dalam: (a) peta topografi, (b) peta kadaster, (c) peta enjiniring, (d) foto udara. Peta kadaster adalah peta planimetri yang terutama menggambarkan batas-batas pemilikan lahan, batas-batas pemerintahan dan kenampakan penting lainnya seperti: jalan, sungai, dan lain-lain, dan biasanya digambar dengan skala besar. Peta enjiniring merupakan peta kerja yang dipersiapkan untuk proyek enjiniring yang biasa digunakan pada tahap perencanaan, disain, ataupun pada tahap konstruksi. Peta enjiniring biasa digambar dengan skala besar, ketelitian tinggi, garis kontur dan menggambarkan batas-batas pemilikan tanah dan obyek atau kenampakan yang penting.

 

Sumber : MK.Dasar Pemetaan Jurusan Teknik Sipil FTSP-USAKTI

 

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

KAPASITAS KERJA PENGOLAHAN TANAH 24 Aug 2021 1:12 AM (3 years ago)

 Yang dimaksud dengan kapasitas kerja adalah kemampuan kerja suatu alat atau mesin memperbaiki


hasil (hektar, kg, lt) per satuan waktu. Jadi kapasitas kerja pengolahan tanah adalah berapa hektar kemampuan suatu alat dalam mengolah tanah per satuan waktu.

Sehingga satuannya adalah hektar per jam atau jam per hektar atau hektar per jam per HP traktor. Kapasitas kerja suatu alat pengolahan tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1.     Ukuran dan bentuk petakan

2.     Topografi wilayah : datar, bergelombang atau berbukit,

3.     Keadaan traktor : lama dan baru

4.     Keadaan vegetasi (tumbuhan yang ada) dipermukaan tanah : alang-alang atau

semak belukar

5.     Keadaan tanah : kering, basah, atau lembap, liat atau berlempung, atau keras

6.     Tingkat keterampilan operator : sudah berpengalaman, terampil atau belum

berpengalaman

7.     Pola pengolahan tanah : pola spiral, pola tepi, pola tengah, dan pola alfa.

Pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kapasitas kerja alat adalah:

1.     Ukuran dan bentuk petakan: Ukuran dan atau bentuk petakan sangat mempengaruhi efisiensi kerja dari pengolahan tanah yang dilakukan dengan tenaga tarik hewan ataupun dengan traktor. Dengan pengaruhnya terhadap pencangkulan tidak begitu besar. Ukuran petakan yang sempit akan mempersulit beloknya hewan penarik atau traktor, sehingga efisiensi kerja dan kapasitas kerjanya rendah. Untuk mencapai efisiensi kerja dan kapasitas yang tinggi, maka ukuran luas petakan harus disesuaikan dengan tenaga penarik yang digunakan.

2.     Topografi wilayah: Keadaan topografi wilayah meliputi keadaan permukaan tanah dalam wilayah secara keseluruhan. Misalnya keadaan permukaan wilayah tersebut datar atau berbukit atau bergelombang. Keadaan ini diukur dengan tingkat kemiringan dari permukaan tanah yang dinyatakan dalam (%). Kemiringan yang baik untuk penggunaan tenaga hewan dan traktor dalam pengolahan tanah adalah sampai 3 persen (relatif datar). Kemirngan tanah yang lebih dari 3 persen yang masih bisa dikerjakan tractor adalah 3 sampai 8 persen dimana pengolahan tanahnya dilakukan dangan mengikuti garis ketinggian (contour farming system ). Bagi daerah yang berbukit-burkit diamana bentuk petakan yang tidak teratur dan luasnya yang kecil, maka cangkul sangat cocok untuk daerah ini. Pola terahir ini disebut dengan sistem penterasan, dimana sawah-sawah berbentuk teras-teras yang mengikuti garis ketinggian. Bentuk petakan teratur akan memudahkan pekerjaan pekerjaan pengolahan tanah sehingga efisiensinya akan lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak teratur.

3.     Keadaan traktor: Keadaan traktor juga akan dipengaruhi kapasitas kerja pengolahan tanah. Keadaan traktor disini berarti apakah traktor masih baru atau sudah lama. Jadi menyangkut umur ekonomi traktor itu sendiri. Traktortraktor sudah lama dipakai berarti umur ekonominya sudah habis atau malah sudah terlewatkan, sehingga sudah banyak bagian traktor yang sudah aus sehingga sering timbul kerusakan. Kerusakan–kerusakan akan menyangkut masalah waktu, tenaga serta biaya. Sehingga pekerjaan tidak akan efisien lagi.

4.     Keadaan vegetasi: Keadaan vegetasi permukaan tanah yang diolah juga dapat mempengaruhi efektivitas kerja dari bajak atau garu yang digunakan. Tumbuhan semak atau alang-alang memungkinkan kemacetan akibat penggumpalan pada alat karena tertarik atau tidak terpotong. Pengolahan tanah pada alang-alang atau bersemak akan lebih efektif bila digunakan bajak piringan atau garu piring. Karena bajak atau garu ini memiliki konstruksi yang berupa piringan dan dapat berputar sehingga kecil kemungkinan untuk macet.

5.     Keadaan tanah: Keadaan tanah meliputi sifat-sifat fisik tanah, yaitu keadaan basah (sawah), kering, berlempung, liat atau keras. Keadaan ini menentukan jenis alat dan tenaga penarik yang digunakan. Disamping itu juga mempengaruhi kapasitas kerja dari pengolahan tanah. Tanah yang basah memberikan tahanan tanah terhadap tenaga penarik relatif lebih rendah dibanding dengan tanah kering. Akan tetapi pada tanah basah (sawah) memungkinkan terjadi slip yang lebih tinggi dibandingkan pada tanah kering. Penggunaan traktor tanah pada tanah sawah dan tanah kering biasanya digunakan roda besi tambahan pada kedua rodanya agar dapat memperkecil slip roda yang terjadi. Akhir-akhir ini IRRI Filipina (International Rice Research Institute ) telah mengembangkan traktor dengan kedua rodanya terbuat dari besi yang terdiri dari lempeng-lempeng besi yang khususdirancang untuk pengolahan tanah sawah. Demikian juga traktor 4 roda, bila digunakan pada tanah sawah kedua roda belakangnya dipasang roda besi tambahan guna memperkecil slip rodanya. Bajak piring atau garu piring lebih efektif bekerja pada tanah kering dibanding pada tanah basah. Sedangkan bajak singkal lebih efektif bila digunakan pada tanah yang basah, agak liat dibanding pada tanah kering.

6.     Tingkat keterampilan operator: operator yang berpengalaman dan terampil akan memberikan hasil kerja dan efisiensi kerja yang lebih baik dibanding operator yang belum terampil dan belum berpengalaman. Oleh karena itu dalam penggunaan traktor untuk pengolahan tanah, perlu terlebih dahulu memberikan latihan terampil kepada operator yang menjalankannya. Usaha ini untuk memberikan hasil pekerjaan yang lebih efisien dan lebih efektif.

7.     Pola pengolahan tanah: Pola pengolahan tanah erat hubungannya dengan waktu yang hilang karena belokan selama pengolahan tanah. Pola pengolahan harus dipilih dengan tujuan untuk memperkecil sebanyak mungkin pengangkatan alat. Karena pada waktu diangkat alat itu tidak bekerja. Oleh karena itu harus diusahakan bajak atau garu tetap bekerja selama waktu operasi dilapangan. Makin banyak pengangkatan alat pada waktu belok, makin rendah efisiensi kerjanya. Pola pengolahan tanah yang banyak dikenal dan dilakukan adalah pola spiral, pola tepi, pola tengah dan pola alfa (pada gambar 28). Pola spiral yang paling banyak digunakan karena pembajakan dilakukan terus menerus tampa pengangkatan alat. Dari uraian dimuka jelas menunjukkan bahwa faktor-faktor yang disebutkan tadi sangat besar pengaruhnya terhadap kapasitas kerja pengolahan tanah. Oleh karena itu, dalam rencana melaksanakan pembukaan lahan atau pencetakan sawah keenam faktor tersebut harus dipertimbangkan dan diperhatikan. Pada tabel 1. berikut ini diberikan beberapa kasus kapasitas kerja pengolahan tanah menurut jenis alat penarik. Satuan kapasitas kerja pada Tabel ini adalah hektar per jam per Hp traktor untuk tenaga penarik dan hektar per musim untuk tenaga ternak.

 


Dengan menggunakan angka kapasitas kerja (Ha/Jam/Hp) dapat ditentukan kapasitas kerja dari suatu traktor yang diketahui tenaga mesinnya. Misalnya terdapat suatu unit traktor tangan dengan tenaga mesinnya 8 HP dan bajaknya adalah bajak rotary. Jika traktor ini mengolah tanah sawah sebanyak 2 kali bajak sampai siap tanam, maka kapasitas kerja (Ha/jam) adalah :

8 Hp x 0,007 Ha/jam Hp = 0,056 Ha/jam

 

Sumber referensi :

MK.Mekanisasi Pertanian (Zulfikar, S.P., M.P)

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

PERENCANAAN IRIGASI DAN BANGUNAN AIR 24 Aug 2021 12:51 AM (3 years ago)

DEFINISI IRIGASI

Irigasi didefinisikan sebagai suatu cara pemberian air, baik secara alamiah ataupun buatan kepada tanah dengan tujuan untuk memberi kelembapan yang berguna bagi pertumbuhan tanaman.

Secara alamiah :

1.       Secara alamiah air disuplai kepada tanaman melalui air hujan.

2.       Cara alamiah lainnya, adalah melalui genangan air akibat banjir dari sungai, yang akan menggenangi suatu daerah selama musim hujan, sehingga tanah yang ada dapat siap ditanami pada musim kemarau.

 

Secara buatan :

Ketika penggunaan air ini mengikutkan pekerjaan rekayasa teknik dalam skala yang cukup besar, maka hal tersebut disebut irigasi buatan (Artificial Irrigation).

Irigasi buatan secara umum dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu :

1.       Irigasi Pompa (Lift Irrigation), dimana air diangkat dari sumber air yang rendah ke tempat yang lebih tinggi, baik secara mekanis maupun manual.

2.       Irigasi Aliran (Flow Irrigation), dimana air dialirkan ke lahan pertanian secara gravitasi dari sumber pengambilan air.

 

TUJUAN dan MANFAAT  IRIGASI

Tujuan Irigasi.

Sesuai dengan definisi irigasinya, maka tujuan irigasi pada suatu daerah adalah upaya rekayasa teknis untuk penyediaaan dan pengaturan air dalam menunjang proses produksi pertanian, dari sumber air ke daerah yang memerlukan serta mendistribusikan secara teknis dan sistematis.

Manfaat Irigasi.

Adapun manfaat dari suatu sistem irigasi, adalah :

a.        Untuk membasahi tanah, yaitu pembasahan tanah pada daerah yang curah hujannya kurang atau tidak menentu.

b.       Untuk mengatur pembasahan tanah, agar daerah pertanian dapat diairi sepanjang waktu pada saat dibutuhkan, baik pada musim kemarau maupun musim penghujan.

c.        Untuk menyuburkan tanah, dengan mengalirkan air yang mengandung lumpur dan zat-zat hara penyubur  tanaman pada daerah pertanian tersebut, sehingga tanah menjadi subur.

d.       Untuk kolmatase, yaitu meninggikan tanah yang rendah / rawa dengan pengendapan lumpur yang dikandung oleh air irigasi.

e.        Untuk pengelontoran air , yaitu dengan mengunakan air irigasi, maka kotoran / pencemaran / limbah / sampah yang terkandung di permukaan tanah dapat digelontor ketempat yang telah disediakan (saluran drainase) untuk diproses penjernihan secara teknis atau alamiah.

f.        Pada daerah dingin, dengan mengalirkan air yang suhunya lebih tinggi dari pada tanah, sehingga dimungkinkan untuk mengadakan proses pertanian pada musim tersebut.

 

KELEBIHAN IRIGASI

Kelebihan dari pada dibangunannya suatu sistem irigasi dan bangunan-nya, secara umum adalah sebagai berikut :

a.      Mengatasi kekurangan pangan.

b.     Meningkatkan produksi dan nilai jual hasil tanaman.

c.      Peningkatan kesejahteraan masyarakat.

d.     Pembangkit Tenaga Listrik.

e.      Transportasi Air (Inland Navigation).

f.      Efek terhadap Kesehatan.

g.     Supply Air Baku.

h.     Peningkatan Komunikasi / Transportasi.

 

Flowchart Perencanaan Jaringan Irigasi

 


PERENCANAAN PETAK

Ada dua jenis petak yang akan dialiri yaitu petak tersier sebanyak 5 petak dan petak sekunder sebanyak 3 petak.

2.1 Petak Tersier

Petak tersier yang kami bangun adalah sebanyak 5 petak sawah dengan  perencanaan sebagai berikut :

1)     Ukuran luas petak  masing – masing yaitu , 113,462 Ha, 54,869 Ha, 128,803 Ha, 57,365 Ha dan 100,439 Ha.

2)     Letak petak berada dibelakang pintu sadap dan hanya menerima air dari bangunan sadap.

3)     Rencana petak secara keseluruhan dapat mudah untuk dialiri air dan mudah pula air buangan mengalir ke saluran drainasi.

4)     Bentuk petaknya tidak sama antara lebar dan panjangnya.

 

 2.1 Petak Sekunder

Petak sekunder yang kami bangun adalah sebanyak 3 petak sawah dengan  perencanaan sebagai berikut :

1)     Ukuran luas petak  masing – masing yaitu , 97,059 Ha, 62,112 Ha, dan 59,828 Ha.

2)     Setiap petak sekunder  hanya menerima air dari satu  bangunan bagi yang terletak di saluran induk atau saluran sekunder lainnya, serta tidak mendapat air suplesi dari saluran lain.

3)     Rencana saluran sekunder terletak melalui punggung, untuk memudahkan mengalirnya air irigasi ke sebelah kanan dan kiri, dan air dapat mengairi keseluruh daerah yang akan diairi.

Gambar 2.1 Denah petak sawah beserta keterangan

Dimana :

-        Petak sawah 1 = petak sekunder 1

-        Petak sawah 2 = petak sekunder 2

-        Petak sawah 3 = petak sekunder 3

-        Petak sawah 4 = petak tersier 1

-        Petak sawah 5 = petak tersier 2

-        Petak sawah 6 = petak tersier 3

-        Petak sawah 7 = petak tersier 4

-        Petak sawah 8 = petak tersier 5


PERENCANAAN DEBIT SALURAN

Mencari Debit air irigasi di setiap petak sawah :

Untuk menghitung besarnya debit air yang dibutuhkan untuk setiap petak, data yang dibutuhkan adalah data luas (A) dari masing-masing petak dan besarnya kebutuhan air semua petak sawah (Ir). Dimana diketahui nilai kebutuhan air semua petak sawah (Ir) = 1,38 lt/dt.ha

Rumus untuk mencari debit air pada petak sawah yaitu:

Qsawah = A . Ir

 

Dimana :

Qsawah           = kebutuhan air / debit air irigasi di petak sawah

A                     = luas petak sawah yang aliri

            Ir                     = kebutuhan air irigasi di tiap petak sawah 

Tabel 2.1. Kebutuhan air irigasi di setiap petak sawah

SAWAH

A (Ha)

Q (lt/dtk)

Q (m3/dtk)

1

107,834

148,824

0,148824

2

69,013

95,238

0,095238

3

66,475

91,736

0,091736

4

126,069

195,722

0,195722

5

63,739

98,955

0,098955

6

60,695

94,649

0,094649

7

143,114

222,185

0,222185

8

111,599

173,257

0,173257

Untuk menghitung besarnya debit air  yang mengalir pada setiap saluran irigasi data yang dibutuhkan yaitu nilai efisiensi (e) dan debit air yang mengalir pada tiap petak (Qp). Untuk efisiensi debit saluran irigasi dipakai standar efisiensi debit saluran atau factor kehilangan, yaitu :

1.               Pada petak tersier, e = 0,8

2.               Pada saluran sekunder, e = 0,9

3.               Pada saluran primer, e = 0,9

Rumus mencari debit air (Qs) untuk tiap saluran irigasi yaitu :

 

Qs = Qp/e

 

Contoh Perhitungan:

Debit Aliran Irigasi di Saluran Sekunder 6

Luas Sawah petak tersier 5 : 111,599 ha

                        A = 111,599 x 90% = 100,439 ha

                        Efisiensi Tersier = 0,8

                        Efisiensi Sekunder = 0,9

Ir = 1,38

Q = (100,439 x 1,38 ) / 0,8

    =  173, 257 lt/det

           Q saluran Sekunder = Q tersier / 0,9

                                 = = 192, 508 lt/det = 0,192608 m³

Data perhitungan debit air pada setiap saluran irigasi dapat dilihat pada Tabel 2.2

 Tabel 2.2 Debit aliran air irigasi di setiap saluran

Saluran

Nilai Efisiensi

(e)

Q (m³/det)

Primer 1

0,9

0,12348

Primer 2

0,9

0,9637

Primer 3

0,9

0,87196

Sekunder 1

0,9

0,14882

Sekunder  2

0,9

0,09524

Sekunder 3

0,9

0,09174

Sekunder 4

0,9

0,54933

Sekunder 5

0,9

0,30246

Sekunder 6

0,9

0,19251

Tersier 1

0,8

0,19572

Tersier 2

0,8

0,09465

Tersier 3

0,8

0,22219

Tersier 4

0,8

0,09896

Tersier 5

0,8

0,17326

PERENCANAAN PENAMPANG SALURAN

Didalam perhitungan dimensi suatu saluran baik itu saluran pembawa (saluran primer, sekunder, tersier dan kwartener) maupun saluran pembuangan, pada dasarnya sama.

Rumus yang saat ini biasa digunakan adalah rumus Strickler :


Tabel 2.3 Debit aliran air irigasi di setiap saluran

Q

(m3/detik)

b : h

Kecepatan air (v) untuk tanah lempung biasa (m/detik)

m

Keterangan

0,000 – 0,050

1,0

Min. 0,25

1:1

Catatan :

0,050 – 0,150

1,0

0,25 – 0,30

1:1

*bmin = 0,30 m

0,150 – 0,300

1,0

0,30 – 0,35

1:1

*Q = A*V

0,300 – 0,400

1,5

0,35 – 0,40

1:1

Q = debit air, m3/det

0,400 – 0,500

1,5

0,40 – 0,45

1:1

A = luas basah, m2

0,500 – 0,750

2,0

0,45 – 0,50

1:1

V = kecepatan air, m/det

0,750 – 1,500

2,0

0,50 – 0,55

1:1

V = k*R2/3*I1/2

1,500 – 3,000

2,5

0,55 – 0,60

1:1,5

R = jari-jari hidrolis = A:O

3,000 – 4,500

3,0

0,60 – 0,65

1:1,5

O = keliling basah

4,500 – 6,000

3,5

0,65 – 0,70

1:1,5

I = kemiringan saluran

6,000 – 7,500

4,0

0,70

1:1,5

 


Saluran

K

(koefisien kekasaran)

T

(talud)

h/b

W

(waking-jagaan)

Lahar

Tanggul-tanggul

Tersier-kuartier

40

1:1

1

0,30

1,00

Sekunder

Q = 0,50 m3/det

40

1:1

1

0,40

1,00

Primer + sekunder

Q = 0,5 – 1 m3/det

40

1:1

2

0,50

1,50

Q = 1 - 2 m3/det

40

1:1

2,5

0,60

1,50











Menghitung Perencanaan Bangunan Pintu Air Irigasi

Lebar Meja (m)

Tinggi Energi

(m)

Besar Debit (m³/det)

0,50

0,33

0,00-0,16

0,50

0,50

0,03-0,30

0,75

0,50

0,04-0,45

1,00

0,50

0,05-0,60

1,25

0,50

0,07-0,75

1,50

0,50

0,08-0,90

Contoh Perhitungan:

1.     Saluran Primer 1 dengan Pintu Romijn

Untuk Perencanaan dibatasi dengan syarat teknis sebagai berikut:

·       Untuk satu pintu biasa diambil :

-        Lebar pintu (b)                                                = 1.5 m

-        Qmaks                                                            = 1,23488 m3/dtk

-        Hmaks (tinggi muka air diatas ambang)        = 0.5 m

Maka :

Jika diambil 1 pintu :

Q                    = 1,71*b*h3/2  à b = 1.5 m

1,23488         = 1,71*(0.5)*h3/2

h                    = (1,23488/(1,71*1.5))2/3

                      = 0,614 m

h                    = 0,614 m ≥ hmaks     = 0,5 m   (No OK à Tidak memenuhi syarat)

 

Jika diambil 2 pintu :

Q                    = Q/2 = 1,23488/2 = 0,61744 m3/dtk

Dicoba dengan tinggi muka air (h) = 0,5 m

Q                    = 1,71*b*h3/2  à h = 0,5 m

0,61744         = 1,71*b*0,53/2

b                    = 1,02 m  à diamil b = 1,1 m < b mks = 1,5 m àoke

 

Dicek :

·       Tinggi h : 

Q               = 1,71*b*h3/2  à b = 1,1 m

0,61744     = 1,71*1,1*h3/2

h                        = 0,476 < h maks =0,5 m àoke

 

·       Debit : Q = 1,71*(1,1)*(0.5)3/2

               = 0.665034 m3/dtk  > 0,61744 m3/dtk àOK

Untuk 2 pintu

Q = 2 * 0.665034 = 1,330068 > 1,23488 m3/dtk àOK

Jadi, dimensi pintu air untuk saluran saluran Primer 1 adalah :

Dua buah pintu romijn dengan ketentuan masing-masing pintu:

Lebar pintu (b) = 1,1 m

Qmak = 1,23488 m3/dtk

Tinggi muka air diatas ambang (h maks) = 0,5 m

 

2.     Saluran Sekunder 1 dengan Pintu Romijn adalah sbb :

Rumus Pintu Romijn :

Q = 1,71 * b*

 

Untuk Perencanaan dibatasi dengan syarat teknis sbb:

·       Untuk satu pintu biasa diambil :

-        Lebar pintu (b)                                                = 0.5 m

-        Qmaks                                                            = 0.148824.m3/dtk

-        Hmaks (tinggi muka air diatas ambang)        = 0.33 m

Maka :

Jika diambil 1 pintu :

Q                    = 1,71*b*h3/2  à b = 0.5 m

0.148824       = 1,71*(0.5)*h3/2

h                    = (0.148824/(1,71*0.5))2/3

                      = 0.312 m

h                    = 0.312 m ≤ hmaks     = 0.33 m          (OK à ambil 1 pintu)

h                    ~ 0,32

dicek : untuk 1 pintu :

·       Debit : Q = 1,71*(0.5)*(0.32)3/2

               = 0.1620828351 m3/dtk  > 0.154771532 m3/dtk àOK

 Jadi, dimensi pintu air untuk saluran saluran sekunder 1 adalah :

Satu buah pintu romijn dengan ketentuan :

Lebar pintu (b) = 0,5 m

Qmak = 0,16208 m3/dtk

Tinggi muka air diatas ambang (h maks) = 0,32

*Perhitungan pintu air untuk saluran yang lainnya sama seperti diatas, dan hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4.5

Tabel 4.5 Perencanaan Dimensi Bangunan Pintu Air Irigasi

Saluran

Q (m³)

B (m)

H

Cek Debit

Hitung

Rencana

Qpasang

Ket

Primer 1

1.23488

1.1

0.476

0.5

1.33007

Ok ( 2 pintu)

Primer 2

0.9637

1.1

0.521

0.4

1.19210

Ok ( 2 pintu)

Primer 3

0.87196

1.5

0.487

0.4

0.90686

Ok ( 1 pintu)

Sekunder 1

0.14882

0.5

0.312

0.32

0.15477

Ok ( 1 pintu)

Sekunder  2

0.09524

0.5

0.232

0.3

0.14049

Ok ( 1 pintu)

Sekunder 3

0.09174

0.5

0.226

0.3

0.14049

Ok ( 1 pintu)

Sekunder 4

0.54933

1

0.469

0.5

0.60457

Ok ( 1 pintu)

Sekunder 5

0.30246

1

0.315

0.4

0.43260

Ok ( 1 pintu)

Sekunder 6

0.19251

0.5

0.37

0.4

0.21630

Ok ( 1 pintu)

Tersier 1

0.19572

0.5

0.37

0.3

0.21630

Ok ( 1 pintu)

Tersier 2

0.09465

0.5

0.231

0.3

0.14049

Ok ( 1 pintu)

Tersier 3

0.22219

0.5

0.407

0.5

0.30229

Ok ( 1 pintu)

Tersier 4

0.09896

0.5

0.237

0.3

0.14049

Ok ( 1 pintu)

Tersier 5

0.17326

0.5

0.345

0.4

0.21630

Ok ( 1 pintu)




Sumber Referensi : YOGI OKTOPIANTO ( Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Teknik Sipil Universitas Gunadarma, 2011)


Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Falsafah Bajak dan Cangkul 23 Aug 2021 7:45 AM (3 years ago)

 Penulis dan pujangga dahulu kala banyak menuliskan karyanya dalam bentuk sandi atau


simbolis yang mana isi dan maksud yang terkandung di dalam hati serta sanubarinya diekspresikan dalam bentuk cerita yang berupa sanepa atau lambang yang nantinya kesemuanya diserahkan kepada para pembaca atau pemerhati untuk menafsirkan tentang makna atau artinya. Lebihlebih para penulis dan pujangga yang menuliskan karyanya di dalam bahasa Jawa, mereka lebih pandai lagi dalam olah sandi.


Harus diingat dan disadari bahwa menulis dan membuat cerita dalam bentuk sandi adalah merupakan suatu seni, apalagi tulisan atau cerita sandi ini memang membutuhkan suatu energi yang ekstra karena karya ini bersifat ganda atau berlipat (reflection on reflection). Dalam artikel ini akan dikemukakan pendapat pakar syariah yaitu Umar Hisyam (1974) dalam bukunya Sunan Kalijaga tentang Falsafah Cangkul dan Bajak.

Lebih lanjut menurutnya, pada suatu hari Sunan Kalijaga sedang berjalan-jalan bersama-sama dengan muridnya melewati beberapa hutan kecil dan sawah ladang pada daerah Kadilangu, Demak, yaitu suatu daerah di mana beliau berdomisili dan berada.

Di dalam perjalanan itu beliau menjumpai seorang petani yang sedang bekerja menggarap sawahnya, lalu Sunan Kalijaga bertanya: 
"Dengan apa kau mengerjakan sawahmu itu, Pak?" 
"Dengan linggis tuanku" jawab petani.
"Berapa lama kamu dapat menyelesaikan satu petak sawah?" 
"Sepuluh hari tuan".
"Begitu lama sekali", jawab Sunan Kalijaga sambil mengerutkan keningnya tanda berfikir keras dan sangat iba akan perjuangan petani tersebut, sesaat kemudian Sunan Kalijaga berkata: 
"Kalau kamu mau Pak, ajaklah kawan-kawanmu bertandang ke rumahku, nanti akan kuberi alat-alat pertanian, supaya kamu sekalian bisa dengan cepat menyelesaikan pekerjaanmu dalam menggarap sawah yang satu harinya bisa menyelesaikan satu petak sawah".

Beberapa hari kemudian setelah berembuk / bermufakat maka masyarakat berbondong-bondong ke tempat Sunan Kalijaga dan di sana Sunan Kalijaga meminta waktu untuk mengheningkan cipta serta berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa atau berupaya minta pertolongan agar rakyat seluruhnya mendapat jalan yang cepat dan terbaik di dalam mengerjakan sawahnya. Dalam sekejap saja terciptalah beribu-ribu alat pertanian antara lain cangkul dan bajak, kemudian alat itu dibagi-bagikan kepada para petani.

Akhirnya Sunan Kalijaga menjadi terkenal di kalangan masyarakat dan menjadi buah bibir di seluruh pelosok desa dan kampung se kabupaten Demak, bahkan sebagai ilustrasi murid dan pengikutnya makin banyak pula yang berasal dari daerah sana. 

Dari cerita sandi di atas mari kita berenung sejenak untuk menafsirkan makna bajak dan cangkul yaitu:

1. Bajak 
Terdiri dari beberapa bagian yang kesemuanya itu mempunyai makna-makna tersendiri, yaitu:

a. Pegangan
Penafsiran yang bisa disampaikan bahwa kepada kita di dalam usaha mencapai cita-cita hidup ini, manusia haruslah mempunyai pegangan dan pedoman hidup atau dasar falsafah hidup yang kuat, agar tidak mudah digoda atau diombang-ambingkan suasana atau dengan kata lain mempunyai ketenangan jiwa dan stabil.

b. Pancadan
Berasal dari kata mancad = bertindak. Artinya, bila manusia telah mengetahui akan pedoman-pedoman hidup di atas tadi, haruslah mereka berbuat yang sesuai dengan ilmu yang dimiliki. Jadi ilmu hendaknya diamalkan, bila tidak, maka tidak akan bisa mencapai cita-cita hidup yang telah didambakan dengan kata lain tidak akan mendapat keberkahan.

c. Tanding
Artinya membanding-bandingkan. Walaupun telah memiliki, mengetahui atau mempunyai ilmu tinggi, janganlah kita fanatik buta. Berlapang dadalah,
yaitu dengan cara memperbandingkan atau mengujinya serta belajar lagi dan mengikuti perkembangannya karena tidak ada kehidupan yang statis tapi dinamis.

d. Singkal
Berasal dari bahasa Jawa yang berarti sugih atau kaya akan akal fikiran. Bila kita pandai akan bisa dan piawai membandingkan antara satu dengan yang lain, maka akan memperofeh ilmu dan pengalaman hidup yang sangat briliant.

e. Kejen
Dari kata ke-ijen, kepada satu, hanya untuk satu, yaitu satu pikiran yang dipusatkan kepada satu tujuan, yakni cita-cita hidup manusia untuk bisa
dicapai masyarakat adil dan makmur.

f. Olang-aling
Rintangan, artinya segala sesuatu yang menuju kebaikan dan keutamaan pasti mengalami rintangan akan tetapi semua bisa dilalui dengan selamat sentosa.

g. Racuk
Berarti ke arah pucuk, yaitu setelah rintangan-rintangan dapat diatasi, maka masyarakat sampailah pada cita-cita mulia yaitu adil dan makmur serta
tentram.

2. Cangkul
Terdiri dari tiga bagian, yakni: pacul, bawak dan doran.

a. Pacul
Adapun makna atau tafsiran yang terkandung dari pacul yaitu sebagai berikut:
Ngipatake prakara kang muncul, artinya melemparkan segala sesuatu yang nongol ke permukaan, segala sesuatu yang tidak beres, segala sesuatu yang
menonjol yang tidak benar dan mengganggu dalam kehidupan harus dihilangkan dan dihindarkan supaya mendapatkan kehidupan yang aman dan tenteram.

b. Bawak
Obahing awak, artinya bergeraknya anggota badan. Di dalam mencapai cita-cita manusia haruslah rajin. Obahing awak artinya bekerja giat dan rajin, tidak hanya menanti taqdir saja, tetapi hendaknya dengan usaha yang nyata, artinya dengan segala ikhtiar. Penulis ingatkan kepada kita seluruhnya bahwa "usaha tanpa doa adalah takabur dan doa tanpa usaha adalah sia-sia".

c. Doran
Ndedonga marang Pangeran, artinya memohon kepada Tuhan. Agar mencapai ke arah cita-cita, juga dengan jalan berdoa kepada Tuhan, karena hanya kepada Tuhanlah tempat segala meminta pertolongan dan siapapun kita dan apapun pangkat kita, akhirnya Tuhan jualah yang menentukan.

Berdasarkan falsafah di atas yang sudah dituliskan oleh para penulis pendahulu kita, maka penulis juga akan ingatkan karya pujangga Raden Ngabehi Ronggowarsito yang dianggap dan terkenal sebagai ramalan Jayabaya pada bait sebagai berikut:

Amenangi zaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan ora tahan
Yen ora milu anglakoni
Boya kaduman melik, kaliran weksanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kanglali
Luwih begja kang eling Ian waspada


Terjemahannya lebih kurang sebagai berikut:
Hidup di jaman gila
Memang susah
Mencoba ikut tidak sampai hati
Malau tidak mengikuti
Tak memperoleh apapun, akhirnya menderita kelaparan
Namun sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa
Meskipun yang lupa hidup makmur
Masih lebih bahagia yang senantiasa ingat dan waspada

Itulah yang bisa penulis sampaikan terutama buat diri kami semoga bisa bermanfaat dan menambah nuansa kita mengenang falsafah dan sejarah bangsa kita sendiri dewasa ini.

Oleh : Ir. Dasril Munir, MM dan Didit Eko Setiawan, ST.
Penulis adalah auditor Itjen DKP
Sumber: Majalah Sinergi, 2005

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Perbedaaan Agriculture versus Agribisnis 19 Aug 2021 6:17 AM (3 years ago)

 Berdasarkan sejarah perkembangannya pertanian dapat diklasifikasikan menjadi 4 golongan yaitu :

1.     Pemburu dan pengumpul. Manusia pertama hidup di daerah hutan tropik di sekitar laut Cina Selatan yaitu bangsa Alitik (prapaleolitik) yang merupakan kelompok manusia pengumpul makanan dan berburu serta menangkap ikan.

2.     Pertanian Primitif .Ketika manusia pengumpul dan berburu mulai berusaha menjaga bahan makanan maka mulai terjadi suatu mata rantai antara periode pengumpul dan berburu dengan pertanian primitif.

3.     Pertanian tradisional orang menerima keadaan tanah, curah hujan, dan varietas tanaman sebagaimana adanya dan sebagaimana yang diberikan alam. Bantuan terhadap pertumbuhan tanaman hanya sekedarnya sampai tingkat tertentu seperti pengairan, penyiangan, dan melindungi tanaman dari gangguan binatang liar dengan cara yang diturunkan oleh nenek moyangnya.

4.     Pertanian Progresif (Modern). Manusia mengguanakan otaknya untuk meningkatkan penguasaannya terhadap semua yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hewan.

 

Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar petani di Indonesia. Oleh karena itu pembahasan mengenai sektor dan sistem pertanian harus menempatkan subjek petani, sebagai pelaku sektor pertanian secara utuh, tidak saja petani sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo religius.

Konsekuensi pandangan ini adalah dikaitkannya unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem pertanian.

Paradigma agribisnis yang dikembangkan oleh Davies dan Goldberg, yang berdasar pada lima premis dasar agribisnis.

1.     Pertama, adalah suatu kebenaran umum bahwa semua usaha pertanian berorientasi laba (profit oriented), termasuk di Indonesia.

2.     Kedua, pertanian adalah komponen rantai dalam sistem komoditi, sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem komoditi secara keseluruhan.

3.     Ketiga, pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai alasan ilmiah yang positif, bukan ideologis dan normatif.

4.     Keempat, Sistem agribisnis secara intrinsik netral terhadap semua skala usaha, dan

5.      kelima, pendekatan sistem agribisnis khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang.

Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk pertanian gurem atau subsisten sekalipun. Penggunaan sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan “produksi”, termasuk penggunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi.

Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun jika kita kaji lebih mendalam, maka perlu ada beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma yang menjadi arah kebijakan tersebut.

Asumsi utama paradigma agribisnis bahwa semua tujuan aktivitas pertanian kita adalah profit oriented sangat menyesatkan. Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka sendiri.

Mereka adalah petani-petani yang luas tanah dan sawahnya sangat kecil, atau buruh tani yang mendapat upah berupa pangan, seperti padi, jagung, ataupun ketela. Mencari keuntungan adalah wajar dalam usaha pertanian, namun hal itu tidak dapat dijadikan orientasi dalam setiap kegiatan usaha para petani. Petani kita pada umumnya lebih mengedepankan orientasi sosial-kemasyarakatan, yang diwujudkan dengan tradisi gotong royong dalam kegiatan mereka.

Paradigma sistem agribisnis tidak akan menjadi suatu kebenaran umum, karena akan selalu terkait dengan paradigma dan nilai budaya petani lokal, yang memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena itu pemikiran sistem agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah saatnya kita pertanyakan kembali.

Masyarakat petani kita memiliki seperangkat sistem nilai, falsafah, dan pandangan terhadap kehidupan (ideologi) mereka sendiri, yang perlu digali dan dianggap sebagai potensi besar di sektor pertanian. Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke oreientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa dilandasi pada orientasi kesejahteraan petani.

Peningkatan pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan/hukum, persaingan, distribusi, produksi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik.

Dari   sudut   pandang     kelembagaan,   struktur     agribisnis   di Indonesia untuk   hampir   semua   kornoditas  masih   tersekat·sekat.     Struktur    yang tersekat-sekat   ini tentunya    menjadi   penghambat   utama   pembangunan agribisnis   di  Indonesia.     

Struktur     agribisnis   yang   tersekat-sekat    ini dicirikan     oleh    beberapa     hal   sebagai    berikut :     

1.   Pertama,     subsistem agribisnis  hulu  (produksi  dan  perdagangan  sarana   produksi   pertanian) dan    subsistem    agribisnis    hilir    (pengoIahan    hasil    pertanian      dan perdagangannya)   dikuasai    oleh  pengusaha   menengah  dan  besar  yang bukan    petani. Petani    sepenuhnya    hanya   bergerak    pada   subsistem agribisnis  penghasil  produk   primer.    

2.  Kedua,  antar   subsistem  agribisnis tidak    ada   hubungan    organisasi    fungsional   dan   hanya    diikat    oleh hubungan     pasar      produk      antara      yang     juga     tidak     sepenuhnya kompetitif.        

3.  Ketiga,     adanya      asosiasi     pengusaha     yang     bersifat horizontal  dan  cenderung  berfungsi  sebagai   kartel.     Berbagai   asosiasi pengusaha   ini  dapat   ditemui   pada   subsistem  agribisnis  hulu   maupun subsistem   agribisnis   hilir.     

4.     Keempat,  agribisnis   dilayani    oleh  paling sedikit   lima  departcmen   teknis   (Pertanian,   Kehutanan,   Perindustrian dan   Perdagangan,    Tenaga     Kerja   dan   Transmigrasi,    Koperasi    dan PPK).    Berbagai    departemen    ini   tentunya     memiliki    visi   ataupun mandat   yang   berlainan,   sehingga    berbagai   kebijakan  yang  ditujukan pada  agribisnis  belum  tentu   integratif   dan  selaras   satu  dengan   lainnya dipandang  dari  sudut   agribisnis  sebagai  suatu   sistem.

Permasalahan       struktural       yang    dihadapi     agribisnis      tersebut     juga berakibat    pada   lemahnya    daya   saing   agribisnis,    Struktur    agribisnis yang    tersekatsekat       dapat     menciptakan       masalah      transmisi    dan masalah    marjin   ganda.

Masalah   transmisi    ini  terjadi   dalarn  berbagai bentuk,     sepcrti     misalnya      transmisi      harga     yang     tidak    sirmetris. informasi    perubahan     preferensi    konsumen    yang   tidak   dapat   sampai dengan   baik   ke  arah   subsistem    hulunya,    serta    adanya    inkonsistensi mutu   produk   sejak  dari   hulu  sampai   ke  hilir  dalam   sistem   agribisnis.

Lebih   jauh    lagi,   struktur     yang   tersekat-sekat     menjadikan     inovasi berjalan    lambat    disetiap    subsistem    agribisnis. Sedangkan     marjin ganda  di agribisnis    terjadi   melalui   praktek   penetapan    harga  yang  jauh di  atas   harga    pada   kondisi   kompetitifnya     di  setiap   subsistem    yang tersekat·sekat      tersebut.

Dampak   nyata   dari   marjin   ganda   ini  adalah harga   pokok  penjualan    produk   akhir   agribisnis    menjadi   relatif  tinggi, sehingga    daya   saingnya     menjadi    rendah,       Masalah     transmisi     dan masalah   marjin   ganda  juga  berdampak    buruk   bagi  investasi   dibidang agribisnis,     karena     masalah     tersebut     dapat     menyebabkan      naiknya resiko  usaha.

 

Penataan      dan    pengembangan       struktur      agribisnis      nasional     perlu diarahkan    pada  dua  sasaran   pokok,  yaitu:  Pertama,     mengembangkan struktur    agribisnis    yang   terintegrasi     secara   vertikal    mengikuti   aliran produk,       Struktur      agribisnis     yang   terintegrasi      secara    vertikal    ini memungkinkan      subsistem    agribisnis    dari   hulu    sampai   hilir   dikelola dengan      efisien     dan    saling     mendukung       satu     subsistem      dengan subsistem    lainnya.

Kedua,    mengembangkan      organisasi     bisnis pctani   agar    mampu   mcmperoleh     nilai  tambah   yang  ada  di  subsistcm hulu  maupun   hilir dari  sistem  ngribisnis.    Secara  individu  petani   akan sulit  merebut   nilai  tambah   tcrsebut.

Keberhasilan     pembangunan     agribisnis    di  Indonesia    ditentukan     juga oleh  arah   kebijakan    ekonomi   makro.     Pembangunan     yang  diarahkan pada  industrialisasi     yang  tidak memiliki   basis  sumbcrdaya    yang  kuat, seperti     industri     substitusi     impor,     sering     melahirkan      kebijakan­ kebijakan       makro     yang     mengharnbat       perkembangan        agribisnis.  

Pembangunan pertanian Indonesia harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan./***

 

 

Di kutip dari ; Makalah ANALISIS PERUBAHAN PARADIGMA PERTANIAN AGRIBISNIS MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN SECARA FILSAFAT ILMU DI INDONESIA Penulis IDAWATI Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB 2016.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Peluang Bisnis Beternak Domba Bibit Unggul Untuk Ketangkasan (Domba Garut) 9 Aug 2021 6:51 AM (3 years ago)

Domba atau biri-biri (Ovis) adalah salah satu ruminansia berkaki empat dengan rambut tebal. Domba

adalah salah satu jenis hewan pertama yang dijinakkan untuk keperluan agrikultural dan dipelihara untuk dimanfaatkan rambut (disebut wol), daging, dan susunya. Jenis domba yang paling dikenal orang adalah domba peliharaan (Ovis aries), yang diduga keturunan dari moufflon liar dari Asia Tengah bagian Selatan dan Barat Daya. Untuk tipe lain dari domba dan kerabat dekatnya, lihat kambing antilop. Domba berbeda dengan kambing.

Domba termasuk dalam sub family Caprinae dan family Bovidae. Genus Ovis mencakup semua jenis domba, sedangkan domba domestikasi termasuk ke dalam spesies Ovis aries.

Terdapat  7 jenis domba liar yang berbeda terbagi ke dalam 40 macam varietas yang berbeda. Spesies domba yang telah mengalami domestikasi meliputi domba Argali (Ovis ammon) berasal dari Asia Tengah, domba Urial (Ovis Vignei) juga berasal dari Asia, sedangkan domba Moufflon (Ovis Musimon) berasal dari Asia Kecil dan Eropa.

Paling tidak ada tujuh spesies domba:

1. Argali, Ovis ammon

2. Domba peliharaan, Ovis aries

3. Bighorn Sheep, Ovis canadensis

4. Thinhorn Sheep, Ovis dalli

5. Mouflon, Ovis musimon

6. Domba salju, Ovis nivicola

7. Urial, Ovis orientalis

Banyaknya ras domba membuat orang biasa membagi berdasarkan kemanfaatannya:

a) domba penghasil wol

b) domba pedaging

c) domba penghasil wol sekaligus pedaging

 

 

  

Domba Garut


Domba Garut merupakan salah satu rumpun domba lokal Indonesia yang mempunyai sebaran asli geografis di Provinsi Jawa Barat dan telah dibudidayakan secara turun temurun. Domba garut merupakan kekayaan sumber daya genetik ternak asli Indonesia yang perlu dilindungi dan dilestarikan.  Berdasarkan SK Kementan RI No.2914 Tahun 2019 Tentang Penetapan Rumpun Domba Garut, karakteristik domba garut adalah sebagai berikut :

 


Sifat kualitatif (dewasa) :

1. Warna  : a) tubuh dominan : kombinasi hitam-putih; b) kepala : kombinasi hitam-putih;

2. Tanduk  : a) domba jantan : besar dan panjang dengan variasi bentuk melingkar atau melengkung mengarah ke depan dan ke luar; b) domba betina : bertanduk kecil atau tidak bertanduk;

3. Bentuk  telinga : kecil (rumpung) dengan panjang < 4 cm sampai sedang (ngadaun hiris) dengan panjang antara 4 – 8 cm;

4. Garis  muka : cembung;

5. Garis  punggung : lurus sampai agak cekung;

6. Bentuk  ekor : segitiga, dengan bagian pangkal lebar dan mengecil ke arah ujung (ngabuntut beurit atau ngabuntut bagong);

7. Temperamen  : agresif terutama pada domba jantan

 

Keunggulan Domba Garut

Salah satu keunggulan Domba Garut, adalah mempunyai bobot badan hidup yang cukup berat.  Domba Garut jantan dewasa mempunyai bobot yakni antara 47 kg - 68 kg, sementara Domba Garut betina dewasa berkisar antara 28 kg - 45 kg. Dengan bobot hidup seberat itu, maka tentunya sangat cocok dijadikan sebagai salah satu hewan ternak pedaging.

Namun sisi keunggulan lainya dari Domba Garut adalah kemampuan dalam olah ketangkasannya. Karena memang salah satu ciri keunggulan Domba Garut adalah sebagai domba kontes (perlombaan ketangkasan)

Salah satu lokasi peternakan Domba Garut sebagai domba kontes adalah di Kp.Ciguntur Desa Cipendawa Kec.Pacet Canjur. Pak Asep sebagai pemilik peternakan sekaligus sebaga Ketua Himpunan Peternak Domba Kambing Indonesia (HP-DKI). Saat  ini Pak Asep memelihara puluhan ekor domba unggul jenis Domba Garut khusus untuk domba kontes ( lomba ketangkasan).

Berbagai event lomba ketangakasan baik tingkat regional Jawa Barat maupun level nasional telah diikutinya. Salah satu domba yang dimilikinya pernah meraih Juara Umum dalam lomba ketangkasan Piala Presiden Jokowi Tahun 2019.  Tak urung domba yang dimilikinya mempunyai harga yang cukup mahal yakni puluhan juta rupiah untuk setiap ekornya (antara 35 juta rupiah sampai dengan 70 juta rupiah). Tak heran domba yang dimilikinya sebagai juara kontes Piala Presiden Tahun 2019 saat ini ditaksir harganya tak kurang dari Rp. 100 juta an.

 

Dalam pentas ketangkasan Domba Garut ini, tidak semata mata melihat kemampuan domba dalam beradu pukulan. Akan tetapi ada beberapa kriteria penilaian Juri yang dilakukan dalam menilai seekor Domba Garut memiliki keunggulan dibanding dengan Domba Garut lainnya.


Beberapa kriteria yang dilakukan penilaian juri diantaranya adalah :

1. Kerapihan dan kebersihan bulu , serta kesehatan fisik dst

2. Corak dan warna kulit/bulu yang di miliki dst

3. Adeg - adeg/postur badan ; garis muka, garis punggung, tinggi pundak, lebar dada, bentuk /kesimetrisan tanduk, panjang badan,  dst. 

4. Kemampuan adu pukulan ( maksimum mampu melakukan adu pukulan sebanyak 20 kali)

5. Mental bertanding ( dilihat dari kemampuan dan karakteristik domba dalam menghadapi lawan tandingnya)


Perlu upaya yang serius dan perhatian dalam memelihara Domba Garut untuk ketangkasan ini. Salah satu yang diperhatikan Pak Asep dalam hal ini adalah menjaga keunggulan genetik domba peliharaannya.  

Saat ini Pak Asep memelihara beberapa ekor domba jantan unggul baik dari keturunan Domba Garut asli maupun hasil persilangan Domba Garut  dengan jenis Domba Moreno.  

Beberapa domba jantan unggul ini tetap dipertahankan sebagai sumber keturunan Domba Garut Asli yang nantinya dapat dikembangbiakan dan sebagai sumber daya genetik ternak asli Indonesia yang perlu dilindungi dan dilestarikan.

Bila anda berminat untuk mendapatkan anakan Domba Garut dengan usia kurang lebih setahun bisa diperoleh dengan kisaran harga antara 2 - 5 juta rupiah per ekor.

 

Contac person :


Himpunan Peternak Domba Kambing Indonesia (HP DKI)

PAK ASEP

Kp.Ciguntur Desa Cipendawa Kec.Pacet - Kab. Cianjur

HP.0838 1738 5553  

 






By.admin/09/08/21 





Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Penerapan Standar Prosedur Operesional (SPO) Pisang ( Tahap Panen dan Pasca Panen) 8 Aug 2021 6:55 AM (3 years ago)

 

Penentuan saaat panen adalah  memantau /melihat keadaan buah kapan buah dapat dipanen.


Prosedur Pelaksanaan ;

1.             Tepi buah pisang tidak bersudut tetapi rata.

2.            Buah tampak berisi /padat.

3.            Bunga yang mongering pada ujung buah mudah dipatahkan

4.            Warna kulit buah dari hijau muda menjadi hijau tua.

5.            Daun bendera pada tanaman sudah mongering.

6.            Buah dapat dipanen antara 90 -110 hari setelah muncul jantung

 

Panen adalah  proses pengambilan buah yang sudah menunjukan ciri (sifat khusus) matang panen.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.          Lakukan pemanenan pisang pada waktu pagi hari

2.         Gunakan parang yang tajam dan bersih, sebelum digunakan dicuci dengan lysol/bayclin.

3.         Turunkan kayu atau bamboo penyangga tandan secara perlahan

4.         Tebang batang pisang dengan cara menusuk batangnya atau membacok separuh batang setinggi 2/3 dari tinggi batang agar tandan pisang tidak menyentuh tanah.

5.         Raih tandan pisang selanjutnya dipotong dengan golok tajam, dipotong disebelah atas buku tandan (30 cm diatas sisir pertama)

6.         Plastik kerodong dapat dibuka sebelum atau setelah panen tergantung kondisi.

7.         Balikan segera tandan pisang yakni tangkai tandan menghadap kebawah.

8.         Pada tempat pengumpulan tandan pisang diberi alas untuk menghindari buah rusak atau tergores.

 

Penanganan Batang Bekas Panen

Penanganan batang bekas panen adalah menjaga kebersihan kebun dengan membuang batang pisang yang buahnya sudah di panen.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.            Memotong batang pisang setelah dipanen hingga kepangkal.

2.            Memotong batang pisang menjadi bagian –bagian kecil/pendek.

3.            Mengumpulkan batang pisang tersebut disuatu tempat yang telah ditentukan yang tidak mengganggu aktifitas kerja.

4.            Mengubur atau memendam batanng pisang agar tidak menjadi sumber penyakit.

5.            Untuk sisa batang pisang pada lahan yang tidak mengganggu pertanaman atau meningkatkan suhu dengan cara membakar untuk memusnahkan OPT yang terdapat pada batang.

6.            Batang pisang ini dapat dibuat sebagai bahan mentah pembuatan kompos dengan presedur yang berlaku.

 

Penyisiran

Penyisiran adalah proses memisah-misahkan bagian sisir buah.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.         Penyisiran dengan menggunakan pisau tajam dengan memotong batang tandan disekitar sisiran buah.

2.         Hindari luka pada buah saat penyisiran kemulusan buah tetap terjaga.

3.         Tangkai sisiran diberi daun kering/serasah untuk menghindari getah bekas sisiran tidak menempel pada buah.

Pemeraman

Pemeraman  adalah membantu pematangan buah.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.      Memasukan sisir/tandan pisang yang akan diperam kedalam kantong plastik/karung goni.

2.      Tempatkan karbit sebanyak 5 gr untuk satu tandan pisang ke dalam tumpukan bungkus pisang.

3.      Ikat dan tutup an biarkan selama 24 jam.

4.      Bila menggunakan ethrel celup tandan/sisir selama 30 detik ke larutan ethrel 1.000 ppm (1cc ether/liter air), kemudian ditiriskan /digantung

 

Sortasi dan Pengkelasan

Sortasi dan pengkelasan adalah melakukan dan pemisahan berdasarkan tingkat kematangan buah.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.      Memilih dan memisahkan antara buah pisang yang baik dan yang tidak  cacat, rusak atau busuk.

2.      Kemudian lakukan pengkelasan/pengelompokan buah pisang yang telah disortasi menjadi kelompok kelas sesuai ukuran (besar/kecil), bentuk kematangan buah, berat buah dan keseragaman warna.

3.      Kelas A jumlah buah per sisir lebih dari 12 buah dengan bobot per sisir lebih besar dari 3,0 kg, Kelas B Jumlag buah persisir 10-12 buah dengan bobot persisir 2,5 – 3,0 kg, Kelas C jumlah buah persisir kurang dari 10 buah dengan bobot persisir kurang dari 2,5 kg.

 

Pengemasan

Pengemasan adalah menempatkan pada keranjang /kemasanyang sesuai.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.      Gunakan alat kemas seperti keranjang bamboo.

2.      Keranjang bamboo dilapisi oleh daun pisang kering (serasah) untuk membatasi antara sisir atau tandan pisang dengan kemasan agar mutu buah tetap terjaga.

3.      Buah yang sudah dikemas ditempatkan pada tempat yang kering.

 

Transportasi

Transportasi adalah proses memindahkan buah pisang ke pasar.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.            Angkut buah pisang yang sudah dikemas kekendaraan atau gerobak pengangkutan.

2.            Didalam pengangkutan, dalam bentuk ;

-     Tandan, letakan posisi tandan pisang tegak lurus (posisi tangkai buah menghadap ke bawah). Bila di dalam kemasan lebih dari satu tandan, antara tandan diberi penyekat serasah.

-     Sisir, lapisi tiap sisir dengan daun pisang kerang atau serasah.

3.  Susun kemasan/kotak pisang dalam kendaraan pengangkut atau dengan memperhatikan kekuatan kemasan.

 

By.Admin

Sumber pustaka : Direktorat Jenderal Hotikultura Departemen Pertanian

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Penerapan Standar Prosedur Operesional (SPO) Pisang ( Tahap Pra Panen) 8 Aug 2021 6:46 AM (3 years ago)

 Pengertian SPO merupakan tata cara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk


menyelesaikan suatu proses kerja tertentu.  Mutu produk buah merupakan bagian integral dari sub sistem produksi buah-buahan yang  tidak dapat dipisahkan.  Sistem perdagangan dewasa ini telah menempatkan  mekanisme standar mutu dan jaminan mutu buah sebagai persyaratan pokok yang wajib dipenuhi oleh seluruh produsen buah, tidak terkecuali untuk buah pisang.

Salah  satu upaya untuk menghasilkan buah pisang sesuai keinginan konsumen dapat dilakunan melalui penerapan Standar Prosedur Operasional (SPO) Pisang. Standar yang digunakan dalam panduan budidaya buah yang baik dan benar ada tiga kelompok, yaitu ;

1.          Anjuran ( A ) yaitu dianjurkan untuk dilaksanakan.

2.         Sangat dianjurkan ( SA ) yaitu sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.

3.         Wajib ( W ) yaitu harus dilaksanakan.

Dari standar yang ditetapkan di atas untuk menentukan penilaian atau sertifikasi terhadap usaha tani yang dilakukan di kebun petani dikelompokan menjadi  produk ;

1.   Prima Satu (P-1) adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi, bermutu baik serta cara produksinya ramah terhadap lingkungan. Untuk mendapatkan sertifikasi P-1 harus sudah melakukan 90% seluruh kegiatan sangat dianjurkan SA dan 60 % dari seluruh kegiatan Anjuran.

2.    Prima Dua (P-2) adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi dan bermutu baik.  Untuk mendapatkan sertifikasi P-2 harus sudah melakukan 70%  seluruh kegiatan sangat dianjurkan SA dan 40 % dari  kegiatan Anjuran.

3.    Prima Dua (P-3) adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi.  Untuk mendapatkan sertifikasi P-3 harus sudah melakukan 60% seluruh kegiatan sangat dianjurkan SA dan 20 % dari  kegiatan Anjuran.

Untuk mendapatkan sertifikasi Prima Satu (P-1), Prima Dua (P-2) dan Prima Tiga (P-3) kegiatan yang bersifat wajib harus dilakukan.

 

Tahapan Penerapan Teknologi  Standar Prosedur Operesional (SPO) Pisang

 

1. Penentuan Lokasi

Penentuan lokasi adalah memilih lokasi tanam yang menjamin agar usaha produksi pisang dapat dioptimalkan dan mencegah kegagalan proses produksi, serta dapat menhasilkan buah sesuai dengan mutu yang ditetapkan.

Prosedur Pelaksanaan,

1.       Menghubungi stasiun meteorology terdekat untuk mendapatkan data iklim terdekat.

2.      Mengukur  pH tanah.

 

 

2.  Penyediaan Benih

Penyediaan benih adalah  menyediakan benih yang produksi dan kualitasnya tinggi, terjamin kemurnian (jenis, varietas) dan memiliki prospek pasar yang jelas peluangnya di masa depan, sehat/bebas dari hama penyakit.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.            Perbanyakan benih pisang dari anakan

2.            Perbanyakan benih pisang dari bonggol

3.            Benih Kultur Jaringan

 

3.  Penyiapan Lahan

a.  Pembersihan lahan

Penyiapan lahan adalah membersihkan lahan dari benda-benda yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.    Membersihkan lahan yang mengganggu sistem perakaran tanaman maupun menghambat penyerapan unsur makanan

2.    Buang kotoran-kotoran, daun-daun dan ranting bekas pangkasan yang dapat menjadi sumber penularan hama dan penyakit.

3.    Bongkar dan bakar tanaman yang sakit.

4.    Gunakan alat parang atau alat lainnya yang bersih (dicelup dengan menggunakan sabun Lysol/bayklin setelah digunakan untuk memotong atau membersihkan tanaman yang sakit)

5.    Penyiapan saluran air atau parit kebun yang bebas dari rumput, sampah dedaunan serta kayu yang menyumbat (untuk lokasi yang system grainasenya kurang baik)

6.    Aflikasi herbisida dilakukan untuk lahan yang luas dan berdasarkan pedoman penggunaan herbisida yang diijinkan.

b.  Pengajiran

Pengajiran adalah membuat jarak tanaman hingga diperoleh populasi tanaman sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.         Tentukan arah lereng dan terbit matahari

2.         Membuat arah barisan sejajar terbit matahari atau memotong lereng, dengan jarak 3 – 4 m

3.         Membuat tanda dalam barisan dengan jarak 2 – 2,5 m

c.  Pembuatan lubang tanaman

Pembuatan lubang tanaman adalah suatu upaya menyiapkan lingkungan tumbuh tanaman agar dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.    Lubang dibuat dengan ukuran ;  Panjang 50 – 60cm,  Lebar 50 – 60 cm, Dalam 50 – 60 cm.

2.    Pada saat pelubangan pisahkan tanah lapisan atas (arah timur/kiri) dan tanah lapisan bawah (arah barat/kanan).

3.    Isi lubang dengan pupuk kandang hingga ½ kedalaman lubang. Pupuk kandang telah dicampur dengan trikoderma sebanyak 100 gr.

4.    Lubang tanam biarkan terbuka selama 2 minggu.

d.  Penutupan lubang Tanam

Penutupan lubang tanam adalah menutup lubang tanam sehingga tanaman dapat tumbuh normal.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.         Pada penutupan lubang tanaman bila tanah masam berikan 10 Kg pupuk kandang yang telah dicampur dengan 50 gr Trikoderma sp, dan 375 gr kapur dolomite (kalau Ph kurang dari 3,5)

2.         Pupuk kandang/kompos tersebut sebagian dimasukan kedalam lubang tanam dan sebagian dicampurkan dengan tanah bagian atas (top soil).

3.         Dalam penutupan lubang tanam, tanah bagian atas (top soil dimasukan terlebih dahulu baru disusul tanah bagian bawah (sub soil).

4.         Penutupan lubang tanam dilakukan setelah 2 minggu lubang tanam dibiarkan terbuka.

 

4. Penanaman

Penanaman adalah meletakan benih (bibit) pada lubang tanam yang telah dipersiapkan sesuai dengan jarak tanam.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.        Semua peralatan untuk penanaman dicuci dengan Lysol/bayclin.

2.        Sebelum dilakukan penanaman, lubang tanam (yang sudah ditutup/ditimbun) dilubangi kembali seukuran dengan bonggol benih (bibit).

3.        Jarak tanam untuk dataran rendah 4 X 4 meter, dararan tinggi 4 X 2,5 meter.

4.        Benih (bibit)  dikeluarkan dari polybag, namun sebelum ditanam benih dicelupkan ke dalam suspensi/campuran agens hayati Pf (Pseudomonas Fluorescens) dengan air (perbandingan 1  : 10) selama 15 menit.

5.        Benih ditanam sampai sebatas 5 – 10 cm diatas pangkal batang.

6.        Lubang ditutup kembali dengan tanah galian.

7.        Penanaman dilakukan pada awal musim hujan.

8.        Jika sarana irigasi tersedia penanaman dapat dilakukan kapan saja disesuaikan dengan kebun pasar.

9.        Setelah dipakai semua peralatan dicuci dan disimpan.

 

5.  Pemupukan

Pemupukan adalah Memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman dan perakaran bisa berkembang lebih baik.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.         Semua peralatan dicuci dengan bersih sebelum digunakan.

2.         Pupuk dasar (pupuk kandang) diberikan 10 kg perumpun setiap 6 bulan sekali.

3.         Pemupukan I dan IV dilakukan 3 dan 9 bulan sebanyak 100 gr dan SP 36 sebanyak 50 gr.

4.         Pemupukan II dan III dilakukan 3 dan 6 bulan setelah pemupukan pertama dengan memberikan urea dan KCL masing-masing sebanyak 100 gr.

5.         Pemupukan selanjutnya berikan pupuk sesuai dengan dosis seperti pola diatas

6.         Pupuk diberikan melingkar dengan kedalaman 10 -15 dan jarak 50 – 60 cm dari pangkal rumpun yang dilanjutkan dengan penutupan pupuk dengan tanah, jerami atau daun kering.

 

6.  Pengairan

Pengairan adalah  pengatur ketersediaan air yang cukup untuk pertumbuhan tanaman.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.    Air yang digunakan untuk penyiraman harus berkualitas baik, tidak tercemar zat bahaya dan limbah pabrik serta bibit penyakit.

2.    Pengairan lahan harus dilakukan paling lambat 3 – 4 hari setelah tanam jika tanam pada saat tidak turun hujan.

3.    Penyiraman dilakukan dengan disiram dari atas anakan yang masih muda secara perlahan dan mengenai semua daun pisang, kecuali hujan.

4.    Pada anakan yang baru di tanam dan saat keluarnya bunga, kebutuhan air antara 50 – 90 liter, sedangkan untuk tanaman yang berubah membutuhkan ± 200 liter per minggu.

 7. Pemotongan Jantung Pisang

Pemotongan jantung pisang adalah memotong jantung pisang (ontong) setelah sisir terakhir keluar

Prosedur Pelaksanaan ;

1.             Semua peralatan dicuci dengan Lysol/bayclin sebelum digunakan.

2.            Pemotongan ontong dilakukan bila buah terakhir yang normal sudah melengkung ke atas atau 10 -15 cm dari sisir terakhir.

3.            Pemotongan dengan menggunakan pisau dari arah kanan pada 10 – 15 cm dari sisir terakhir normal.

 

8. Pemberongsongan

Pemberongsongan adalah  membungkus buah sehingga diperoleh buah dengan permukaan kulit buah mulus.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.         Pembrongsongan dilakukan pada saat seludung pisang pertama belum membuka dan jantung pisang (ontong) sudah mulai menunduk.

2.         Pemberongsongan dilakukan dengan menggunakan plastic berwarna biru (polyethylene), dengan mengusahakan agar seludung atas tidak masuk kedalam plastic srongsong.

3.         Secara berkala dilakukan pemeriksaan untuk mencegah tersangkutnya seludung yang sudah terlepas agar tidak membusuk pada tandan buah.

 

9. Penyanggahan

Definisi, Menyanggah pohon pisang agar tidak roboh karena beratnya buah.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.            Penyanggahan dilakukan dengan menggunakan bambu.

2.            Penyanggahan bamboo dipasang searah dengan posisi tandan buah diikat pada batang pohon.

 

10.  Pengendalian Hama Penyakit Terpadu

Pengendalian hama penyakit terpadu adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah kerugian yang diakibatkan oleh OPT (hama, pathogen, dan gulma) dengan cara memadukan satu atau lebih teknik pengendalian yang dikembangkan dalam satu kesatuan.

Prosedur Pelaksanaan ;

1.            Lakukan pengamatan  OPT secara berkala (seminggu sekali) terhadap OPT utama.

2.            Kenali dan identifikasi gejala serangan, jenis OPT, dan musuh alaminya.

3.            Perkirakan OPT yang perlu diwaspadai dan dikendalikan.

 

11.  Pengaturan Jumlah Daun

Pengaturan jumlah daun adalah memotong daun untuk menjaga ukuran dan penampakan buah

Prosedur Pelaksanaan ;

1.         Alat pemotong daun perlu direndam dengan bayclin.

2.         Pemotongan dilakukan dengan meninggalkan 6 – 8 helai daun.

3.         Pilih daun yang telah tua atau menguning lalu potong dengan membentuk 450 dan potong bagian batang yang menjuntai sehingga batang tampak bersih.

4.         Kumpulkan daun yang dipotong pada tempat yang telah ditentukan, untuk daun yang terserang penyakit pisahkan ditempat lain untuk dibakar.

5.         Jaga kebersihan kebun.

By.Admin

Sumber pustaka : Direktorat Jenderal Hotikultura Departemen Pertanian

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?