CineTariz View RSS

No description
Hide details



3 Alasan Mengapa The Killer’s Shopping List Menarik Ditonton 25 May 2022 7:17 PM (2 years ago)

Jika membicarakan tentang drama Korea, saya bukan termasuk penikmat setianya yang melahap hampir semua rilisan baru tanpa peduli genre, pemain, maupun isu yang dibawa. Saya tergolong amat selektif karena menonton serial membutuhkan komitmen lebih besar yang merentang selama beberapa minggu dibanding menonton film yang hanya membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam saja. Itulah mengapa kala saya menantikan atau memutuskan untuk melahap satu drama Korea, maka jelas ada sesuatu yang menarik perhatian diri ini buat mencicipinya. Salah satu judul terbaru yang membuat hamba tergelitik sedari terpapar teaser trailernya yakni The Killer’s Shopping List yang tayang di Viu mulai 28 April ini.

Setidaknya ada tiga alasan yang mendorong saya untuk menantikan kehadiran serial bergenre komedi misteri ini;

1 1) Genre

Kalau kamu mengenal saya dengan baik, setidaknya ada dua jenis cerita yang sering saya tempatkan di skala prioritas tertinggi; drama dan misteri (entah dikemas sebagai thriller maupun horor). Menilik dari judulnya saja, kita sudah bisa menebak The Killer’s Shopping List kemungkinan besar akan berada di ranah kedua dengan kuncinya berada di kata “pembunuh”. Seolah itu belum cukup menarik perhatian, serial yang konon dipersiapkan untuk merentang sepanjang 8 episode ini mencoba mengombinasikan elemen misteri pembunuhannya dengan genre komedi.

Satu perpaduan yang tentu jarang-jarang ada dalam khasanah drama Korea, bukan? Maksud saya, alih-alih menghantarkannya sebagai tontonan thriller serius menggunakan nada pengisahan yang kelam seperti kebanyakan tontonan dengan topik serupa produksi sineas Negeri Ginseng, drama ini menghantarkannya dengan pendekatan yang lebih ringan dan penuh canda tawa. Kombinasi yang sejatinya cukup beresiko, tapi berpotensi melahirkan sajian mengasyikkan apabila tertangani dengan baik.

2  2) Sinopsis Cerita

Selain genre serta pendekatan yang diambil, faktor lain yang membuat saya tergugah untuk mencicipi The Killer’s Shopping List adalah sinopsis ceritanya yang tampak menarik. Ketimbang menghadirkan tokoh utama dalam sosok detektif atau penegak hukum yang sudah cukup makan asam garam kala menangani kasus pembunuhan, drama ini menempatkan seorang pegawai supermarket kecil di pinggiran kota Seoul. Karakter tersebut bernama Dae-Sung yang diceritakan punya daya ingat luar biasa tapi karena gagal tes PNS selama 3 tahun berturut-turut, hidupnya terombang-ambing sehingga memaksanya untuk bekerja di supermarket MS Mart milik sang ibu, Myung-Sook.

Kehidupannya yang terasa biasa-biasa saja ini lantas berubah kala sebuah pembunuhan terjadi di dekat tempatnya bekerja. Satu-satunya petunjuk yang bisa didapat melalui kasus tersebut yakni struk belanja di MS Mart. Dibantu oleh sang kekasih yang bekerja sebagai petugas kepolisian, A-Hee, Dae-Sung yang tidak memiliki kompetensi di bidang investigasi dan forensik ini pun memutuskan untuk menyelidiki kasus pembunuhan ini serta mencari tahu siapa pelakunya. Menarik, bukan?

    3) Jajaran Pemain

The Killer’s Shopping List semakin menarik perhatian karena jajaran pemain yang dilibatkan juga cukup mentereng. Lee Kwang-soo yang baru saja kita lihat aksinya dalam A Year-End Medley dan The Pirates: The Last Royal Treasure didapuk untuk memerankan Dae-Sung si tokoh utama. Drama ini menandai kembalinya sang aktor ke layar televisi setelah empat tahun. Di sini, dia beradu akting dengan aktris sekaligus personil grup musik AOA, Seol Hyun, yang memainkan peran sebagai A-Hee serta aktris senior Jin Hee-Kyung yang direkrut untuk melakonkan Myung-Sook. Salah satu peran tersukses yang dimainkan oleh Jin Hee-Kyung yakni saat beliau memerankan pemimpin geng Sunny, Chun-hwa, dalam Sunny yang mengumpulkan 7 juta penonton ketika tayang di bioskop Korea Selatan pada tahun 2011 silam.

Apabila kamu juga tertarik untuk mengetahui seberapa seru The Killer’s Shopping List, kamu bisa nonton drama Korea ini di layanan streaming Viu yang dapat diakses melalui website maupun aplikasi smartphone mulai 28 April.    

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Review The Red Sleeve: Kisah Cinta Putra Mahkota dan Selir Bikin Baper 29 Dec 2021 6:30 AM (3 years ago)

Beberapa waktu lalu, saya menjajal satu drama Korea Selatan yang sedang ramai diperbincangkan, The Red Sleeve, di platform Viu. Konon, drama saeguk alias drama sejarah yang dibintangi oleh Lee Jun-ho (salah satu personil boyband populer 2PM) dan Lee se-young ini terus mengalami kenaikan dari sisi rating di tiap episode.

Dimulai dengan angka 5,7% di episode perdana, kini drama yang guliran pengisahannya disadur dari novel berjudul The Red Sleeve Cuff rekaan Kang Mi-kang ini sudah nyaris merapat ke angka 11%. Mengagumkan, bukan? Dilandasi oleh pencapaiannya yang impresif tersebut, saya pun tergerak untuk menjajalnya. Apalagi sudah cukup lama diri ini tidak menonton serial buatan Negeri Gingseng yang melempar kita jauh ke beberapa ratus tahun silam.

Belakangan lebih banyak menyantap sajian bergenre misteri thriller dengan komentar sosial politik menohok atau makjang (semacam sinetron dengan plot lebay) yang bikin emosi meletup-letup sampai rasanya ingin nyakar orang lain. Kehadiran The Red Sleeve yang didefinisikan oleh seorang kawan sebagai drama penuh sopan santun karena berlatar kerajaan ini jelas memberi penyegaran. Walau tentu saja konflik soal perebutan tahta yang melingkunginya sama sekali tidak ada santun-santunnya.

Sedari awal, The Red Sleeve ini sudah bikin hati kepincut. Saya yang tak tahu menahu soal plotnya sempat mengira bahwa drama ini akan berada di jalur misteri. Maklum, adegan pembukanya menampilkan seorang dayang bernama Seong Deok-im (saat dewasa diperankan oleh Lee Se-young) sedang menceritakan kisah seram kepada rekan-rekannya.

Tapi sejurus kemudian, nada pengisahan seketika berubah kala drama ini menampilkan karakter beserta setting yang sebenarnya. Tak seperti para dayang muda lainnya di kerajaan pada era Dinasti Joseon, Seong Deok-im digambarkan sebagai pribadi yang cerdas, pemberani, sekaligus pemberontak. Alih-alih bermimpi menjadi selir raja – judul drama ini merujuk pada lengan baju berwarna merah yang dikenakan oleh para selir – demi kenaikan status, Seong Deok-im lebih menginginkan kehidupan bebas.

Dia menyadari betul, ada konsekuensi besar yang harus ditanggung berupa lenyapnya kebahagiaan secara perlahan tatkala dia menyerahkan hidupnya sebagai selir. Karakteristik si protagonis perempuan yang rebel ini menjadikan guliran narasi The Red Sleeve terasa menarik untuk disimak terlebih si protagonis laki-laki punya pembawaan yang jauh bertolak belakang sehingga ada dinamika dalam relasi mereka.

Si protagonis laki-laki merupakan putra mahkota atau calon pewaris tahta di kerajaan bernama Yi San (Lee Jun-ho). Berbeda dengan Seong Deok-im yang cenderung ceria, cucu dari Raja Yeongjo ini terasa dingin, arogan, sekaligus perfeksionis. Tak mengherankan sebetulnya mengingat didikan sang kakek pun keras. Yi San yang menyimpan luka atas kematian ayahnya ini tak hanya membawa beban ekspektasi dari Raja Yeongjo, tapi juga membawa ambisi ingin mewujudkan pemerintahan yang adil kala dirinya naik tahta. Meski dirinya adalah pewaris tunggal yang sah, tapi perjalanannya untuk naik tahta tak lantas mudah.

Bak umumnya drama saeguk, ada intrik yang perlahan semakin memanas dan pengkhianatan. Teman baik Yi San, Hong Deok-ro (Kang Hoon), sudah memantik kecurigaan sejak awal mula. Karakternya oportunis dan licik di balik pembawaannya yang hangat.

Bagaimana hubungan mereka berkembang dari sahabat menjadi musuh adalah satu alasan yang membuat episode terbaru The Red Sleeve selalu dinanti-nanti, selain tentunya hubungan Yi San dengan Seong Deok-im. Pertemuan pertama mereka saat masih sama-sama bocah terasa hangat, sementara saat keduanya sudah dewasa terasa manis.

Berhubung drama ini berada di jalur romance, saya jelas ingin melihat bagaimana tumbuh berkembangnya hubungan mereka. Apalagi chemistry apik Lee Jun-ho dengan Lee Se-young membuat kita gregetan kala menyaksikan kebersamaan dua karakter yang mereka perankan.   

Kamu juga penasaran dengan kisah cinta ala Putra Mahkota bersama dayangnya ini? Tenang saja, kamu bisa menonton The Red Sleeve melalui aplikasi Viu lengkap dengan subtitle Indonesia dan kualitas gambar HD. Tunggu apalagi, yuk langsung saksikan The Red Sleeve di Viu yang tayang setiap Sabtu dan Minggu.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Yuk, Intip 4 Fakta Menarik Drama Korea Happiness! 21 Dec 2021 7:48 AM (3 years ago)

Buat kamu penggemar drakor dengan genre thriller, drakor terbaru berjudul Happiness bisa masuk ke dalam list tontonan barumu. Meski memiliki judul Happiness, namun ceritanya justru jauh dari "bahagia". Dibintangi oleh Han Hyo Joo dan Park Hyung Sik, drama yang berjumlah 12 episode ini menceritakan tentang bagaimana masyarakat Korea bertahan di tengah adanya wabah penyakit baru.

Latar cerita Happiness dimulai sesaat setelah wabah Covid-19 yang menyerang seluruh dunia telah teratasi. Meski begitu, Korea Selatan kemudian justru terancam dengan wabah virus jenis baru yang membuat penderitanya mengalami delusi parah dan selalu merasa haus. Sayangnya, rasa haus ini hanya bisa diatasi dengan meminum darah manusia, mirip seperti zombie.

Di tengah kekalutan masyarakat akan wabah baru ini, sebuah apartemen yang dihuni oleh Yoon Sae Bom (Han Hyo Joo) dan Jung Yi Hyun (Park Hyung Sik) ditutup karena terdapat kasus penyebaran di dalamnya. Hal ini membuat para penghuni harus bertahan hidup di tengah ketakutan serta rasa tidak percaya di antara mereka.

Fakta Menarik Drama Happiness

Bisa dibilang, drama ini merupakan salah satu drama yang sudah ditunggu-tunggu oleh penggemar drama Korea. Pasalnya, selain temanya yang unik, drama ini juga menjadi proyek comeback bagi beberapa aktor pemerannya. Nah, berikut beberapa fakta mengenai drakor Happiness yang perlu kamu ketahui:

Merupakan Proyek Comeback Park Hyung Sik dan Han Hyo Joo

Happiness merupakan proyek comeback kedua aktor pemeran utamanya, Han Hyo Joo dan Park Hyung Sik. Han Hyo Joo terakhir kali membintangi drama korea W: Two Worlds yang tayang lima tahun lalu, dan setelah itu vakum dari drama untuk fokus membintangi berbagai film. Sementara, Park Hyung Sik sebelumnya baru saja menyelesaikan wajib militer, selama kurang lebih dua tahun, pada awal Januari 2021 lalu.

Tentunya ini menjadi obat rindu bagi para penggemar kedua aktor Korea ini, ya. Banyak juga yang penasaran bagaimana chemistry keduanya berperan sebagai pasangan dalam drama ini.

Selain Han Hyo Joo dan Park Hyung Sik, Happiness juga merupakan proyek comeback aktor Jo Woo Jin yang berperan sebagai Han Tae Seok, agen militer yang bertanggung jawab atas penyebaran wabah  tersebut, setelah membintangi drama terakhirnya pada tahun 2018.

Kolaborasi Kedua Sutradara dan Penulis Skrip

Happiness juga menjadi comeback kolaborasi antara sutradara Ahn Gil Ho dan penulis skrip Han Sang Woon, setelah sebelumnya bekerjasama dalam drama Watcher di tahun 2019. Kedua drama ini sama-sama memiliki genre thriller, membuat penonton penasaran mengenai bagaimana kolaborasi keduanya akan menghasilkan drama dengan cerita yang fresh dan rating yang tinggi seperti sebelumnya.

Bukan Sekadar Cerita Wabah Penyakit dan Zombie

Meski memiliki tema utama mengenai wabah penyakit yang menjadikan penderitanya bersikap seperti zombie, Happiness juga menyajikan layer cerita yang lebih dari itu. Happiness menyelipkan kisah mengenai diskriminasi kelas sosial di tengah masyarakat Korea, seperti yang terjadi pada apartemen yang dihuni oleh pasangan Yi Hyun dan Saebom, di mana kelas atas dapat dengan mudah melindungi diri dari wabah. Sementara masyarakat kelas bawah menjadi yang paling rentan menghadapi wabah tersebut. Diskriminasi antara kelas atas, bawah, dan menengah ini bisa dikatakan merupakan cerminan kejadian yang juga terjadi di kehidupan nyata masyarakat Korea saat ini.

Wabah yang Unik

Bila biasanya kita disuguhkan wabah zombie di mana penderitanya akan berubah menjadi mayat hidup, maka di Happiness penderita wabah ini dapat menjadi manusia kembali. Mereka dapat menjadi normal dan tidak merasakan haus untuk beberapa waktu. Hal ini kemudian yang menjadikan pergolakan batin dan psikologi, apakah penderita wabah ini harus dibunuh atau dibiarkan hidup?

Menarik, bukan? Nah, kalau kamu penasaran dengan bagaimana kelanjutan kisah Yi Hyun dan Saebom dalam menghadapi kejahatan di tengah penularan wabah penyakit ini, Happiness sudah tayang di aplikasi VIU setiap Sabtu dan Minggu. Yuk, langsung tonton dan saksikan ketegangannya!

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Review - The Publicist (Viu Original Series) 7 Oct 2021 1:40 AM (3 years ago)

“Kamu masih cinta kah sama laki-laki brengsek di depan kamu ini?”

Ada yang pernah mendengar drama Indonesia berjudul The Publicist? Beberapa waktu lalu, saya baru menemukan original series produksi Viu bekerjasama dengan Moviesta Pictures ini yang ternyata sudah memenangkan tiga penghargaan di Asian Academy Creative Awards 2018 termasuk Best Drama Series dan Best Supporting Actress untuk Poppy Sovia. Sejujurnya, hamba termasuk jarang menyentuh serial produksi dalam negeri (well, trauma terhadap sinetron di TV masih membayangi) kecuali untuk beberapa judul yang sudah mencuri perhatian melalui premis, kedekatan pada materi sumber jikalau berbentuk adaptasi, serta jajaran pemain yang terlibat. Khusus untuk Viu Original Series The Publicist ini, faktor terakhir lah yang membuat saya tergerak untuk mencicipinya. Betapa tidak, barisan pelakonnya tergolong menjanjikan seperti Prisia Nasution, Adipati Dolken, Baim Wong, Poppy Sovia, serta Reza Nangin. Belum lagi sutradara yang ditunjuk untuk mengomandoi proyek ini pun mempunyai jejak rekam membanggakan, Monty Tiwa (Sabtu Bersama Bapak, Critical Eleven). Jadi, bagaimana tidak tergiur untuk menjajalnya? Apalagi guliran pengisahan yang dibawa The Publicist juga terhitung segar.

Ya, serial ini memang masih bergerak di ranah drama romantis. Tapi apa yang kemudian membuatnya terasa berbeda adalah latar belakang dari sang tokoh utama, Julia Tanjung (Prisia Nasution), yang berprofesi sebagai personal consultant. Melalui The Publicist, kita sedikit banyak melihat bagaimana cara kerja dari seorang konsultan dan publisis dalam menciptakan citra tertentu bagi public figure sehingga masyarakat bisa bersimpati atau minimal menyadari keberadaannya. Dalam serial ini, tugas Julia adalah membantu seorang aktor berbakat peraih dua Piala Citra, Reynaldi (Adipati Dolken), untuk membersihkan imejnya yang kadung hancur lantaran terlibat dalam kasus penggunaan narkoba. Pekerja film emoh merekrutnya karena tingkah lakunya yang sulit diatur, sementara publik menolaknya karena menganggap public figure semestinya bisa dijadikan teladan. Menilik tantangannya tersebut, jelas bukan perkara mudah bagi Julia untuk mendongrak kembali karir Reynaldi yang terjun bebas terlebih kliennya ini sendiri bukan pribadi yang mudah diajak kerjasama. Punya ego tinggi, gampang tersulut amarah, dan sering menghilang kala keadaan tak berjalan sesuai dengan kemauannya. Bagaimana mungkin bisa menyelamatkan karir aktor semacam ini?

Kenyataannya, didukung oleh asisten Reynaldi, Erika (Poppy Sovia), Julia perlahan tapi pasti bisa menembus dinding pertahanan sang aktor setelah mencoba mengenalnya lebih dalam. Upayanya untuk melahirkan kembali karir kliennya ini melalui panggung teater membuahkan hasil yang kemudian turut mendekatkan mereka berdua sekaligus memercikkan api-api asmara. Selama 13 episode, The Publicist yang menjalani pengambilan gambar di Jakarta dan Tokyo, Jepang, ini menyoroti bagaimana kisah kasih antara seorang aktor dengan publisisnya ini bersemi. Duet maut antara Prisia Nasution dengan Adipati Dolken memungkinkan penonton untuk terpikat lalu tertarik menyimak cerita cinta berdua. Terlebih, karakter yang mereka perankan sejatinya bertolak belakang sekalipun sama-sama keras. Julia adalah pribadi yang disiplin, memandang serius pekerjaannya serta tak menerima kesalahan-kesalahan kecil, sedangkan Reynaldi yang pembangkang bukanlah tipe manusia yang bersedia tunduk pada peraturan. Bagaimana dua insan yang mempunyai karakteristik bertentangan ini akhirnya bisa bersatu merupakan daya tarik bagi The Publicist.

Kalau mau cobain nonton The Publicist, bisa ditonton gratis di Viu yes. 

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW - BAD SAMARITAN 22 Apr 2021 3:41 AM (4 years ago)

“He’s gonna kill us.”

Beberapa waktu lalu, hamba baru menemukan sebuah hidden gem yang tak banyak diperbincangkan oleh netizen dan sepertinya malah sudah mulai terlupakan keberadaannya. Film tersebut berjudul Bad Samaritan, disutradarai oleh Dean Devlin (Geostorm), serta dirilis pada tahun 2018 silam. Saat menontonnya, diri ini sampai bertanya-tanya, “apa yang aku lakukan tiga tahun lalu sampai mengabaikan film ini?.” Jawaban yang mungkin paling masuk akal adalah, Bad Samaritan tidak mendapatkan respon yang menggembirakan dari publik maupun kritikus kala diluncurkan. Tidak ada pujian, tidak ada pula cacian, hanya dianggap sebagai angin lalu. Bentuk resepsi yang jujur saja saya pertanyakan karena film bergenre thriller ini tergolong salah satu yang paling menggigit di genrenya dalam beberapa tahun terakhir. Kamu memang tidak akan menemukan jalinan pengisahan yang benar-benar baru maupun mindblowing, tapi saat film tersebut mampu mencengkrammu erat-erat sedari awal sampai akhir, mengapa kebaruan ini menjadi sesuatu yang penting? Maksudku, bukankah saat filmnya sanggup membawamu ikut terhanyut ke dunia di dalam film seharusnya sudah cukup ya?

Bad Samaritan sendiri menempatkan fokus penceritaannya kepada seorang petugas jasa valet mobil di restoran Italia bernama Sean (Robert Sheehan). Bersama rekan kerja sekaligus teman baiknya, Derek (Carlito Olivero), keduanya menjalani “pekerjaan sampingan” dengan membobol rumah para pelanggan resto. Selagi pemilik mobil menyantap makanan, salah satu dari mereka mengarahkan mobil ke rumah si pemilik dan mengambil barang-barang berharga di dalamnya. Perbuatan kriminal dua sohib ini mulanya berjalan lancar-lancar saja sampai Sean kena batunya. Saat menyusup ke rumah seorang pria kaya yang mengendarai Maserati, Cale (David Tennant), Sean mendapati temuan mengejutkan yang selamanya mengubah hidupnya: seorang perempuan bernama Katie (Kerry Condon) disekap di dalam kantor Cale. Sean mulanya berniat untuk menyelamatkan Katie sampai dia menyadari bahwa kaki Katie dirantai sementara waktunya sangat terbatas. Belum lagi dia harus menghindari kamera pengawas yang terhubung langsung ke ponsel Cale. Butuh perencanaan matang alih-alih spontanitas untuk bisa membebaskan diri dari rumah tersebut.

Telepon dari Derek yang mengabarkan status Cale yang siap meluncur seketika membuyarkan misi penyelamatan ini. Tapi Sean yang merasa bertanggungjawab secara moral – terlebih dia telah berjanji kepada Katie akan menyelamatkannya – enggan membiarkan begitu saja apa yang telah ditemukannya. Dia membuat laporan ke pihak berwenang mengenai temuannya tersebut meski ini berarti membahayakan dirinya sendiri. Bukan, bukan polisi atau FBI yang dikhawatirkannya melainkan Cale yang telah siap sedia untuk membuat kehidupan protagonis kita ini terasa seperti neraka. Seram, bukan? Fakta bahwa penonton telah diberi tahu sedari awal mengenai “si jahat” dan “si baik” tidak lantas mengurangi kenyamanan dalam menyaksikan Bad Samaritan. Memang betul skrip racikan Brandon Boyce tak terlalu berminat meluncurkan kejutan serta mengeksplorasi sosok Cale yang sejatinya menarik untuk dibedah, tapi kepiawaian Devlin bersama Brian Gonosey si penyunting gambar memungkinkan bagi film untuk bercerita secara rapat. Lajunya telah dikondisikan bergegas sedari awal dan sedari kunjungan Sean ke rumah-rumah yang disantroninya, intensitas terus beranjak naik.

Momen pertama yang membuat jantung terasa deg-deg ser adalah ketika Sean menemukan Katie, ingin menyelamatkannya, dan dia menerima telepon dari Derek mengenai status Cale. Bagaimana jika protagonis kita ini ketahuan? Bagaimana jika dia menjadi korban selanjutnya? Tak butuh waktu lama bagi Bad Samaritan untuk mengonfirmasi bahwa Sean memang telah diincar oleh Cale. Kekayaan serta koneksi yang dipunyainya memudahkan baginya untuk menghancurkan kehidupan Sean. Ya, ada sekelumit komentar sosial disini perihal status sosial serta seberapa kuat pengaruh yang dipunyai oleh masyarakat berkantong tebal. Tapi film memang tak berminat untuk menghadirkannya sebagai kritik dan memilih sepenuhnya berdiri di jalur tontonan popcorn bergenre thriller yang semata-mata diniatkan untuk membuat jantungmu berdegup kencang. Disamping pengarahan serta editing yang lincah, kekuatan lain dari Bad Samaritan bersumber dari akting prima jajaran pelakonnya khususnya David Tennant. Saya angkat topi untuknya yang berhasil membuat Cale sebagai sosok villain yang mengintimidasi, menakutkan, sekaligus menyebalkan. Tanpa harus mengetahui apa yang telah diperbuatnya, kita sudah bisa mendeteksi ada sesuatu yang jahat darinya hanya melalui tatapan dan caranya memerlakukan Sean serta Derek di awal film.   

Exceeds Expectations (3,5/5)

Bad Samaritan yang menegangkan ini bisa kamu tonton secara streaming di Mola TV dengan membayar biaya berlangganan Rp. 12.500 per bulan. Selain film ini, aku juga menemukan banyak harta karun di sana.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW - PERCY 18 Apr 2021 8:35 PM (4 years ago)

“There’s a lot of farmers around the world who can’t stand up, I figure I should.”

Pada tanggal 6 Agustus pagi di tahun 1998, seorang petani dari Saskatchewan, Kanada, bernama Percy Schmeiser menerima “surat cinta” dari Monsanto, perusahaan agrikultur raksasa yang telah menancapkan pengaruhnya di berbagai belahan dunia. Isi surat tersebut tak saja membuat Percy terkejut, tapi juga luar biasa marah. Betapa tidak, tanpa ada pemberitahuan, peringatan, atau bahkan teguran sebelumnya, dia mendadak digugat oleh Monsanto setelah mereka menemukan tanaman kanola jenis Roundup Ready (tanaman ini sudah dimodifikasi secara genetik) tumbuh berkembang di lahan Percy. Ini dianggap sebagai suatu masalah lantaran benih kanola jenis Roundup Ready telah dipatenkan haknya oleh Monsanto dan tidak semua petani diizinkan untuk menanamnya kecuali sudah membeli lisensinya secara resmi. Berhubung Percy tak pernah berbisnis dengan perusahaan ini soal benih, penemuan tersebut jelas dianggap sebagai pelanggaran. Atau mengutip langsung dari kata yang dipergunakan oleh si penggugat, “dia telah mencurinya.” 

Ketidakadilan yang dialami oleh petani yang telah puluhan tahun menjalankan bisnis keluarga di bidang pertanian ini mengilhami Clark Johnson untuk menggarap Percy (atau dikenal sebagai Percy vs Goliath di Amerika Serikat). Film berdurasi 120 menit ini tak menitikberatkan pada perjalanan hidup si karakter tituler atau bagaimana pihak pembela melakukan penyelidikan demi melindungi kliennya dari gugatan bernilai puluhan ribu dollar, melainkan lebih tertarik untuk menyoroti kehidupan seorang petani tua yang mulanya tenang hingga badai besar tiba-tiba menerjang dan membuat seluruh keluarganya ikut terombang-ambing bersamanya. Ya, jika kamu mencari tontonan dengan sisi investigatif kuat dibalik isu lingkungan dan kemanusiaan, Percy boleh jadi akan membuatmu kecewa. Ini tak seperti Dark Waters (2019) atau Erin Brockovich (2000) yang cenderung meletup-letup dalam pengisahannya. Menilik pendekatan kisahnya yang cenderung personal, Johnson mencoba mengantarkan kisah perlawanan Pak Schmeiser menghadapi pihak Monsanto dengan lebih tenang, bersahaja, tapi tetap mempunyai daya sentak cukup kuat dalam sisi emosi.


Percy (diperankan oleh Christopher Walken) adalah seorang pria berusia 73 tahun yang digambarkan berdedikasi terhadap pekerjaannya. Dibalik tampilan luarnya yang terlihat santai, kalem, serta cenderung masa bodoh, beliau peduli kepada orang-orang di sekitarnya. Dia mencintai istrinya, Louise (Roberta Maxwell), mengayomi pekerja-pekerjanya, dan menyayangi putranya yang enggan mengikuti jejaknya sebagai petani, Peter (Luke Kirby). Tapi saat ada pihak yang mengobrak-abrik kehidupannya – konon, gugatan dari Monsanto berpotensi membuat Percy kehilangan lahannya – dia enggan untuk berdiam diri dan menunjukkan perlawanan. Dari merekrut seorang pengacara yang sebetulnya tidak memiliki banyak pengalaman, Jackson (Zach Braff), untuk membantunya menghadapi Monsanto di pengadilan, sampai menerima tawaran dari aktivis lingkungan hidup bernama Rebecca Salcau (Christina Ricci) untuk mencari dukungan dari publik melalui seminar-seminar. Kesediaan Percy untuk berorasi merupakan fakta yang mengejutkan bagi Louise karena suaminya tersebut tak pernah merasa nyaman kala berbicara di depan banyak orang. Namun semenjak Percy tampil di media, keliling Amerika Utara, bahkan terbang ke India, bala bantuan berupa dukungan moral dan uang terus mengalir. Banyak petani terdzalimi yang merasa terwakili dan terinspirasi dengan perjuangan Pak Schmeiser.

Meski tak ada penyelidikan atau pengungkapan fakta yang akan membuatmu terperangah, Percy masih sanggup menjerat atensi kita karena kisahnya yang terasa dekat. Bukan kali pertama kasus gugatan seperti ini dilayangkan oleh Monsanto (maupun perusahaan agrikultur sejenis) kepada petani biasa dan bisa jadi bukan kali terakhir. Apa yang terjadi kepada Percy bisa saja terjadi kepada kita, orang tua kita, kakek nenek kita, saudara kita, teman baik kita atau tetangga kita. Itulah mengapa apa yang disajikan oleh film ini terasa penting karena membuka mata siapapun mengenai perjuangan para petani dalam hadapi ancaman dari para pemilik modal yang masih terus terjadi sampai detik ini. Lakon apik Christopher Walken dalam memerankan Pak Schmeiser adalah kekuatan lain yang dipunyai oleh Percy karena berkat beliau dan pesan pentingnya, hamba dapat menerima presentasi visualnya yang terkesan murah dan bersimpati ke tokoh yang dimainkannya. Siapa coba yang tak terenyuh melihat seorang pria tua yang hanya ingin merawat lahannya seperti diamanatkan oleh para pendahulunya dan menjalani masa senjanya dengan damai tiba-tiba diseret oleh perusahaan raksasa yang serakah ke pengadilan untuk membayar ganti rugi? Mungkin hanya mereka yang mendukung penuh Monsanto. 

Acceptable (3/5)

*Kalau kepengen nyobain nonton Percy, kalian bisa langsung streaming dengan melipir ke Mola TV. Harga langganannya Rp. 12.500 saja per bulan*


Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW : COUNTERPART (TV SERIES) 27 Feb 2021 5:52 AM (4 years ago)

“We’re caught in the middle of something, whether we want to be or not.”

Saat sedang overthinking merenungi kehidupan sembari memikirkan ide cerita agar dapur tetap ngebul, Justin Marks terpikir gagasan gila, “bagaimana kalau aku bikin sebuah serial yang tidak hanya dibintangi oleh satu J.K. Simmons saja tapi ada dua?.” Tentu, ini hanya karangan hamba semata. Tapi bagaimanapun awal mulanya, “menggandakan” Pak Simmons adalah sebuah rencana yang jenius. Dia adalah aktor yang lebih dari sekadar kompeten dan kemenangannya di Oscar berkat perannya sebagai guru musik yang sadis dalam Whiplash (2014) adalah pembuktiannya. Melalui serial keluaran Sony Pictures Television berjudul Counterpart yang merentang sepanjang dua musim dengan total 20 episode, beliau diberi dua peran unik yang menguji kemampuan berlakonnya. Peran yang dimainkannya sama-sama bernama Howard Silk dan pada dasarnya, kedua karakter ini berbagi kesamaan di sepanjang hidup mereka sekalipun jauh terpisah. Akan tetapi, saat memperbincangkan soal karakteristik, kamu akan melihat keduanya sebagai orang berbeda. Nyaris tidak ada persamaan yang akan membuatmu bertanya-tanya, “bagaimana bisa dua manusia yang mempunyai sejarah masa lalu serupa dapat tumbuh berkembang menjadi manusia yang berlainan?.”  

Ya, dua Howard Silk ini memang dikisahkan memiliki perjalanan hidup yang sama. Baik dari orang tua, jenjang pendidikan, sampai urusan asmara. Identik, tapi bukan saudara kembar. Howard pertama yang kita kenal (sebagai pembeda disebut Howard Alpha) berasal dari dunia yang kita tempati sekarang. Dia mempunyai pekerjaan yang membosankan sekaligus tak jelas kegunaannya di kantor PBB cabang Berlin selama 30 tahun. Saat dirinya menghadap ke atasan, Peter Quayle (Harry Lloyd), dengan harapan akhirnya bisa naik jabatan, Howard justru mendapat kejutan tak disangka-sangka. Dia dipertemukan dengan “kembarannya” yang juga bernama Howard (disebut sebagai Howard Prime) yang berasal dari Sisi Lain. Sebuah tempat yang tak hanya asing bagi kita, tapi juga karakter inti di serial ini. Konon, Sisi Lain adalah bagian dari dunia paralel yang tercetus pada tahun 1987 saat sebuah eksperimen yang berlangsung pada masa Perang Dingin mengalami kegagalan. Ada gerbang yang tiba-tiba muncul dan saat kita melintasinya, kita akan memasuki dunia yang sama persis dengan kita. Pembedanya, dunia dimana Prime bernaung mengalami kerusakan parah setelah terjadi pandemi yang disinyalir dikirimkan secara sengaja oleh dunia Alpha yang seketika menciptakan permusuhan diantara dua dunia ini.

Kedatangan Howard Prime yang berstatus sebagai agen rahasia ke dunia Alpha sendiri didorong oleh misinya untuk meringkus seorang pembunuh bayaran bernama Baldwin (Sara Serraiocco) yang kabur ke dunia Alpha. Menurut pengakuan Howard Prime, Baldwin berencana membunuh istri Howard Alpha, Emily (Olivia Williams) yang kini terbaring koma di rumah sakit. Apa tujuannya? Tidak ada yang tahu pasti. Selama beberapa episode awal Counterpart, Marks memang menghadirkan cukup banyak pertanyaan dengan harapan dapat menggaet atensi penonton. Bagi yang menggemari tontonan thriller spionase dan tidak keberatan dengan laju penceritaan yang bergerak secara perlahan, apa yang disodorkan oleh Counterpart ini mesti diakui menarik. Malah, sangat menarik. Serial mengupas misterinya sedikit demi sedikit yang seiring berjalannya durasi semakin membuatmu kecanduan. Menariknya, bukan hanya semata-mata memancing keingintahuan kita mengenai rahasia yang tersembunyi dibalik kedatangan Howard Prime maupun intrik dua dunia, melainkan turut mendorong kita pada perenungan filosofis mengenai manusia dan kehidupan. 

Melalui sosok dua Howard, penonton dihadapkan pada studi karakter yang mempertanyakan tentang karakteristik manusia. Apakah karakter seseorang adalah bawaan dari lahir yang sulit diubah atau bisa dibentuk secara fleksibel oleh pengalaman hidup? Ya, kita akan terus mempertanyakan ini seraya mengagumi betapa apiknya performa yang disuguhkan oleh J.K. Simmons. Beliau tak semata-mata menduplikasi peran yang pernah dimainkan sebelumnya, melainkan betul-betul berupaya untuk menghadirkan sosok Howard dengan interpretasi baru. Di tangannya, Howard Alpha berhasil digambarkan sebagai everyman yang hidupnya lempeng-lempeng saja, sementara Howard Prime tampil penuh percaya diri dalam setiap langkah yang diambilnya. Tanpa harus ditambah aksesoris berlebihan – Simmons hanya menggunakan topi sebagai pembeda – keduanya sanggup terlihat kontras. Kamu bisa mendeteksi perbedaan diantara mereka secara jelas dan kamu pun bisa menyematkan simpati kepada keduanya sekalipun secara penokohan sangat bertentangan. Hebat memang Pak Simmons ini!

Penasaran dengan kelanjutan intrik yang dihadapi oleh duo Howard? Kalian bisa melahap seluruh episode Counterpart sampai musim kedua di layanan streaming Mola TV. Biaya berlangganannya murah kok. Untuk paket standar, kamu bisa dapatkan hanya dengan Rp. 12.500. Sementara untuk paket HBO GO, kamu akan dikenai biaya sebesar Rp. 65.000. Pembayarannya bisa dilakukan melalui ATM maupun OVO. Selain Counterpart, banyak serial lain yang menarik lho mulai dari Two Weeks To Live hingga Into The Dark.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW : TWO WEEKS TO LIVE (TV SERIES) 21 Feb 2021 5:55 AM (4 years ago)


“My whole life is a lie.”

Saat pertama kali melihat trailer Two Weeks to Live, sulit untuk tak melontarkan komentar, “apakah ini interpretasi modern dari Game of Thrones? Maksud saya, ada Maisie Williams di sana.” Ya, pemeran utama miniseri asal Inggris berjumlah enam episode hasil kolaborasi antara Sky UK dan HBO Max ini adalah Williams yang dikenal berkat perannya sebagai Arya Stark di serial fenomenal tersebut. Menariknya, kesamaan antara dua serial ini tidak terhenti hanya sampai disitu saja. Karakter yang dimainkan oleh Williams, Kim Noakes, mempunyai perjalanan hidup yang sedikit banyak mengingatkan kita pada Arya. Seorang perempuan mungil yang bertransformasi menjadi remaja pemberontak dan pembunuh keji. Melalui Two Weeks to Live, Kim dikisahkan tinggal dalam kabin yang tersembunyi nun jauh di pedalaman kabin ini dikisahkan membawa misi rahasia untuk memburu pembunuh sang ayah. Selama menjauhi peradaban manusia, ibunya, Tina (diperankan dengan sangat apik oleh Sian Clifford), menggembleng putri semata wayangnya ini untuk menjadi perempuan berdikari yang dapat membela dirinya sendiri dalam kesempatan apapun. Dibalik tampilan luarnya yang tampak polos nan mungil, seriously, you don’t want to mess with Kim.

Kim sendiri tinggal bersama Tina di kabin selama 15 tahun tanpa pernah sekalipun merasakan pengalaman hidup di “dunia luar”. Dia hanya pernah menonton film sebanyak empat judul saja (salah satunya adalah Home Alone 2), dirinya menganggap lirik lagu “I Will Survive” sebagai puisi asli buatan ibunya, dan Kim selalu mengonsumsi pil anti polusi yang tidak lain tidak bukan adalah permen mint biasa. Tapi saat usianya menginjak 21 tahun dan merasa sudah siap untuk membalas kematian ayahnya, Kim nekat melarikan diri dari kabin. Ditengah pelariannya ini, dia bertemu dengan dua saudara, Nicky (Mawaan Rizwan) yang cenderung culun dan Jay (Taheen Modak) yang sepertinya tidak kebagian jatah saat Tuhan bagi-bagi otak, di sebuah bar. Mengetahui bahwa Kim adalah perempuan polos yang bisa ditipu dengan mudah, keduanya pun membuat guyonan dengan mengatakan bumi sedang berada di ambang kehancuran dan mereka hanya punya waktu untuk hidup selama dua minggu saja. Tentu saja, berita bohong ini seketika membuat Kim panik. Kim yang tadinya berniat mengeksekusi “to do list” terlebih dahulu untuk menikmati pengalaman hidup yang tak pernah dirasakannya, lantas mengubah rencana. Sebelum dunia berakhir, dia harus menunaikan misi utamanya yakni mencabut nyawa orang yang bertanggung jawab dibalik kematian sang ayah. 


Menilik misi utama yang diemban oleh sang karakter inti, Two Weeks to Live memang terdengar seperti sajian kriminal dengan intensitas tinggi. Kurang lebih akan mengingatkanmu pada Hanna – baik versi layar lebar maupun serial – yang berceloteh soal seorang gadis yang digembleng menjadi mesin pembunuh di pedalaman. Akan tetapi, miniseri garapan Al Campbell yang naskahnya ditulis oleh Gaby Hull bersama Phoebe Eclair-Powell dan Lucy Montgomery ini memilih untuk menyajikannya dengan kandungan humor yang terhitung pekat. Bukan berbentuk komedi gelap dimana kelucuan-kelucuannya muncul dari peristiwa yang tidak semestinya ditertawakan, melainkan murni berwujud slapstick yang mencuat dari barisan karakter-karakternya yang seluruhnya digambarkan ajaib. Satu-satunya karakter “lurus” di sini adalah Tina yang itupun dibekali dialog-dialog kocak berisi nyinyiran dan sarkasme dengan metafora yang janggal. Lainnya? Kamu mungkin akan mengelus dada jika benar-benar bertemu dengan karakter seperti mereka. Dari Kim yang selalu takjub dengan apapun yang dilihatnya di peradaban modern, lalu Nicky yang tak bisa mengambil tindakan tegas, kemudian Jay dengan keputusan-keputusan bodohnya, sampai villain yang menganggap diri mereka keren meski kenyataannya, well… konyol. Duo Brooks dan Thompson (Jason Flemyng-Thalissa Teixeira) ini macam grup lenong yang memaksakan diri buat menjadi pembunuh bayaran.

Pun begitu, Campbell tak lantas mempreteli kebengisan mereka di sini. Keduanya tetap menjadi ancaman serius bagi Kim, Tina, Nicky, dan Jay lantaran tak segan-segan membunuh siapapun yang menghalangi rencana mereka. Walau ya, adegan pembunuhannya tetap dibawakan secara komikal. Ditengah bombardir humor disana sini, Two Weeks to Live yang setiap episodenya berdurasi 24 menit ini nyatanya masih sanggup pula untuk tampil intens. Salah satu momen terbaik di Two Weeks to Live yang menampilkan duel antara Kim dengan pembunuh ayahnya membuat perhatianku lekat ke layar. Terasa seru, mendebarkan, sekaligus mengundang gelak tawa. Betapa tidak, dua karakter yang sedang berada dalam situasi hidup dan mati ini masih sempat-sempatnya ngelawak. Entah berbalas kata, main lempar-lemparan barang, hingga membahas soal norma-norma kesopanan. Ya, Kim tersinggung karena lawannya ini menusuk punggungnya saat dia sedang berbalik. “Rude!” begitu teriaknya dan hamba mengangguk-angguk setuju sambil ketawa terbahak-bahak. 

Kisah Kim yang menggelitik nan seru di Two Weeks to Live ini bisa kalian tonton di layanan streaming Mola TV. Sudah tersedia lengkap sampai episode ke-6 lho. Untuk bisa menontonnya, kamu cukup berlangganan paket standar seharga Rp. 12.500 untuk 30 hari atau paket HBO GO sebesar Rp. 65.000. Pembayarannya pun mudah bisa dilakukan melalui ATM maupun OVO. 



Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW : THE FIRST (TV SERIES) 11 Feb 2021 6:46 AM (4 years ago)

Baru beberapa bulan lalu, hamba menjadi saksi kehebatan akting Sean Penn dalam The Professor and the Madman. Satu film kecil yang apik tapi sayangnya tak banyak dibicarakan. Lalu Mola TV mengakuisi serial berumur pendek produksi kolaborasi antara Hulu asal Amerika Serikat dan Channel 4 dari Inggris, The First, yang membuat saya harus kembali mengakui bahwa Pak Penn memang layak mengoleksi dua piala Oscar. Ya, dia lagi-lagi berlakon secara cemerlang di sini. Bahkan, The First sejatinya digerakkan oleh performa sang aktor yang karakternya ditempatkan dalam poros utama penceritaan. Ini adalah serial bertipe character driven dimana penonton menyaksikan proses tumbuh berkembangnya satu karakter dalam menghadapi suatu persoalan yang kompleks. Dalam kasus The First, persoalan tersebut berkenaan dengan duka, luka, serta kehilangan. Bukan topik yang mudah buat dikonsumsi ya? Itulah mengapa membutuhkan keselarasan dalam akting, pengarahan, sekaligus naskah agar tak terjerembab menjadi sajian grieving porn yang terlampau melelahkan buat disimak. Untungnya bagi serial kreasi Beau Willimon (otak dibalik terciptanya serial kece pemenang penghargaan House of Cards) ini, hal tersebut tak pernah benar-benar terjadi. Kita dapat memahami seraya menempatkan diri dalam posisi Tom Hagerty yang diperankan oleh Sean Penn.

Pada mulanya, kita tak mengetahui persoalan apa yang meradang Tom. Di episode pembuka penonton hanya mengetahui bahwa dia dilepaskan dari tanggung jawabnya untuk mengomandoi sejumlah awak astronot dalam misi membawa manusia untuk pertama kalinya ke Planet Mars. Misi perdana hasil kerjasama antara NASA dengan perusahaan swasta Vista yang dipimpin oleh Laz Ingram (Natasha McElhone) tersebut nyatanya berakhir tragis. Roket yang ditunggangi oleh para astronot tiba-tiba meledak hanya beberapa saat setelah diluncurkan. Euforia menyambut peristiwa bersejarah bagi umat manusia seketika digantikan oleh isak tangis. Orang tua korban meminta pertanggungjawaban kepada Vista dan Laz pun diseret ke hadapan Kongres. Demi meminimalisir dampak kerusakan yang harus ditanggung perusahaan, Laz lantas meminta bantuan kepada Tom yang dinilainya paham dengan situasi di belakang layar. Meski dilingkupi kekecewaan lantaran dibebastugaskan secara sepihak dan dirundung pula perasaan bersalah karena tak mendampingi rekan-rekannya yang gugur dalam tugas, Tom bersedia memberi kesaksian untuk Vista. Apalagi Laz bersedia memberinya kesempatan kedua untuk berpartisipasi dalam misi selanjutnya ke planet merah apabila Kongres meloloskan permintaan Vista.

Melalui tukar dialog antara Tom dengan Laz, kita perlahan mengetahui akar permasalahan dari absennya si protagonis dalam misi menuju Mars: kematian sang istri. Ada duka, luka, serta rasa kehilangan mendalam yang mendorong Tom ke lembah gelap. Tak hanya mengacaukan kehidupan profesionalnya, kesedihan yang berlarut-larut ini turut mempengaruhi hubungannya dengan sang putri, Denise (Anna Jacoby-Heron), yang belakangan memilih untuk hengkang dari rumah. Tapi pada penghujung episode perdana, Denise kembali muncul di hadapan ayahnya. Munculnya kekhawatiran bahwa sang ayah turut menjadi korban – yang berarti dia menjadi yatim piatu – mendorongnya untuk memperbaiki hubungan yang rusak ini. Tom seolah memperoleh “berkah terselubung” melalui peristiwa naas yang menewaskan rekan-rekannya sebab dari sanalah dirinya berkesempatan untuk menebus kesalahan seraya terhubung kembali dengan Laz maupun Denise. Selama delapan episode dengan durasi rata-rata sepanjang 45 menit, serial berlatar tahun 2030 ini tak saja memperlihatkan proses Tom untuk menyembuhkan jiwanya yang terluka, tetapi juga mengetengahkan pada intrik dibalik perekrutan awak-awak baru yang akan dilibatkan pada misi terbaru Vista.

Alhasil, si tokoh utama dihadapkan pada pertarungan lebih besar yang menjadi ujian bagi kesiapannya memimpin satu misi penting. Pertarungan dengan dirinya sendiri yang masih memiliki luka menganga dari masa lampau, serta pertarungan dengan ego-ego menjulang dari rekan kerjanya. Sean Penn mempertontonkan akting yang ciamik dalam pergumulan yang menguras emosi ini. Dia terlihat lelah, dia tampak marah, dan dia pun menunjukkan wibawa dari seorang pemimpin. Interaksinya bersama Anna Jacoby-Heron memancarkan kehangatan dalam subplot hubungan ayah dengan anak perempuannya, sementara Natasha McElhone yang menyimpan kerapuhan dibalik citra perempuan tangguh yang ditonjolkannya menjadi pendamping yang pantas bagi Penn di garda terdepan permainan lakon. Keduanya adalah bensin utama dalam melesatkan narasi dalam The First.

*Saat ini The First sudah tersedia lengkap sampai episode 8 di situs streaming Mola TV. Kalian bisa menontonnya dengan mendaftar dan membayar paket langganan sebesar Rp. 12.500/30 hari. Murah sekali dan mudah sekali karena pembayaran dapat dilakukan melalui OVO maupun virtual account.*

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW : ROMULUS (TV SERIES) 31 Dec 2020 1:32 PM (4 years ago)

Jika kamu menyukai serial berlumurkan intrik, disadur dari cerita epos masa lampau, dan mempunyai production value mumpuni dalam merekonstruksi latar waktu, sajian asal Italia yang bertajuk Romulus ini sudah semestinya berada dalam daftar tontonanmu. Merentang sepanjang 10 episode, serial produksi Sky Italy yang dikomandoi oleh Matteo Rovere bersama dengan Michele Alhaique dan Enrico Maria Artale tersebut mencoba merekonstruksi sejarah dibalik berdirinya kota Roma. Alih-alih mengetengahkan pada legenda Romulus-Remus yang telah diakrabi oleh para penggandrung kisah-kisah mitologi, serial menghadirkan interpretasi anyar yang tak kalah menggigitnya dimana plot berkaitan dengan perebutan tahta kekuasaan, ikatan kekeluargaan, serta peristiwa-peristiwa supranatural membanjiri setiap episodenya. Romulus sendiri tak berlama-lama dalam memperkenalkan latar belakang penceritaan dengan seketika menaikkan intensitas di episode pembuka yang membawa penonton menuju Alba Longa. Melalui introduksi singkat di awal, kita mengetahui bahwa pada abad ke-8 sebelum Masehi, area ini tengah dilanda kekeringan berkepanjangan yang menyulitkan para penduduknya yang mencakup 30 suku untuk memperoleh sumber pangan memadai serta akses ke air bersih.

Berdasarkan hasil penerawangan ahli nujum setempat, Numitor (Yorgo Voyagis) – Raja Alba yang konon ditunjuk sebagai ketua aliansi 30 suku – diminta untuk mengasingkan diri agar hujan kembali turun di kampung halaman mereka. Dengan demikian, ada kekosongan pada tampuk kepemimpinan menyusul perginya sang raja. Jika merunut pada garis keturunan, posisi Raja Alba ini semestinya diwariskan pada salah satu dari si kembar, Yemos (Andrea Arcangeli) dan Enitos (Giovanni Buselli), yang merupakan cucu kandung dari Numitor. Tapi keputusan tersebut ditolak mentah-mentah oleh beberapa raja yang menilai keduanya masih terlalu muda dan minim pengalaman untuk memimpin 30 suku yang sebelumnya berperang satu sama lain ini. Seolah keadaan masih belum cukup pelik, kekasih rahasia Enitos sekaligus pendeta perempuan di Alba, Ilia (Marianna Fontana), mendapat nubuat dari Dewa yang memperlihatkan masa depan buruk bagi tanah kelahirannya apabila si kembar tak dipisahkan. Tak ingin pertumpahan darah benar-benar terjadi, Illia pun meminta Enitos untuk meninggalkan Alba. Belum juga memenuhi permintaan sang kekasih, Enitos meregang nyawa di tangan sang paman, Amulius (Sergio Romano), yang dihasut untuk menyulut kemarahan rakyat pada Yemos yang dinarasikan sebagai pembunuh saudara kandungnya.

Diburu oleh pasukan Amulius dan masyarakat yang menolak kehadirannya, Yemos pun melarikan diri ke hutan dimana dia bertemu dengan Wiros (Francesco Di Napoli) dan koloni anak-anak muda buangan yang liar. Usai beberapa waktu yang sulit untuk mengenyahkan trauma serta perasaan bersalah atas kematian saudara kembarnya, ditambah lagi lingkungan barunya juga tak menerimanya dengan ramah, Yemos akhirnya memberanikan diri untuk merancang strategi pembalasan dendam terhadap sang paman seraya menyelamatkan Alba dari kehancuran yang lebih dalam. Tunggu, tunggu, tunggu… sinopsisnya ini kok seperti membeberkan keseluruhan plot dalam Romulus ya? Kalau kamu berpikiran demikian, jangan dulu merasa gusar. Apa yang saya celotehkan ini hanya mencakup konten dalam tiga episode pertama – yang mana bahkan belum mencapai setengah dari total episode. Romulus memang mempunyai plot sangat padat sehingga menyulitkanmu untuk lengah barang sejenak lantaran ada banyak karakter, intrik, serta informasi yang harus diproses. Sepintas memang terdengar berat, tapi keahlian tim penulis skenario dan para sutradara dalam menyampaikan kisah memungkinkan setiap episodenya menjerat atensimu. Kamu akan selalu dilingkupi keingintahuan untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ya, Romulus memang secandu itu. Terlebih bagi mereka yang menyukai cerita berisi intrik perebutan kekuasaan. Menariknya lagi, disamping jago dalam urusan menjaga intensitas yang terus merangkak naik seiring bergulirnya episode, serial ini pun tak main-main dalam hal tata produksi. Bukan saja penggambaran dunianya terlihat megah, tetapi juga detil. Saking niatnya menjaga otentisitas, Romulus bahkan berani menggunakan Bahasa Latin Kuno sebagai pengantar ketimbang Italia atau Inggris seperti serial sejenis (!). Gila, bukan? Tuntutan yang berat ini nyatanya tak menjadi soal bagi jajaran pemainnya yang sanggup berlakon apik sekaligus membuat kita semakin merasa terlibat dengan upaya Yemos dalam membersihkan nama baiknya dan merebut kembali haknya sebagai manusia.

*Saat ini Romulus sudah tersedia sampai episode 7 di situs streaming Mola TV. Kalian bisa menontonnya dengan mendaftar dan membayar paket langganan sebesar Rp. 12.500/30 hari. Murah sekali dan mudah sekali karena pembayaran dapat dilakukan melalui OVO maupun virtual account.*

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

SPECIAL - MOLA LIVING LIVE 22 Dec 2020 11:02 PM (4 years ago)

Ada satu original content di Mola TV yang menurut hamba sangat menarik untuk disimak dan menjadikannya sebagai pembeda dengan jasa penyedia layanan streaming lain, yakni Mola Living Live. Bukan berwujud film panjang maupun serial, konsep yang dikedepankan oleh acara ini adalah bincang-bincang. Narasumber yang didatangkan pun tidak main-main; figur publik kelas dunia, saudara-saudara, tersayang! Tengok saja deretan nama yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancara seperti Luc Besson (sutradara), Darren Aronofsky (sutradara), Spike Lee (sutradara), Sharon Stone (aktris), Mike Tyson (petinju), sampai Robert De Niro (aktor). Siapa coba yang tidak mengenal mereka? Lebih-lebih jika kamu menggemari film. Pencapaian yang mereka torehkan selama berkecimpung di industri film – bahkan Tyson sempat pula berkontribusi di bidang seni ini – tidaklah main-main. Sebagian diantaranya telah menggenggam Oscar sebagai penanda pencapaian tertinggi dari sisi kualitas, sementara sebagian yang lain tergolong akrab dengan kata “box office” sebagai penanda pencapaian tertinggi dari sisi kuantitas.

Dalam Mola Living Live yang diniatkan sebagai sajian yang menginspirasi sekaligus mencerahkan, tokoh-tokoh tersebut berbagi cerita mengenai perjalanan hidup mereka yang tak selamanya “unicorn and rainbow” atau penuh kesempurnaan. Kepada pembawa acara yang acapkali berganti-ganti di tiap episodenya – dari Reza Rahadian, Rayya Makarim, Timo Tjahjanto, Dino Patti Djalal, sampai Susi Pudjiastuti (ya, Bu Susi yang itu!) – mereka mengungkap kisah-kisah di masa lalu maupun pemikiran-pemikiran yang boleh jadi tak banyak diketahui oleh khalayak ramai. Setelah menyaksikan enam bincang-bincang ini, saya pribadi menyukai episode yang mendatangkan Sharon Stone, Spike Lee, serta Darren Aronofsky. Alasannya sederhana saja, ketiga nama tersebut tampak sangat antusias dalam menanggapi lontaran-lontaran pertanyaan yang diajukan oleh host. Mesti diakui, Reza Rahadian pun sangat bersemangat kala berhadapan dengan narasumber. Dia mempunyai ketertarikan mendalam, dia memiliki keingintahuan menggebu-nggebu, dan penyampaiannya pun luwes. Alhasil, pertanyaan yang meluncur pun mempunyai bobot lebih ketimbang sekadar remeh temeh untuk menghabiskan kuota durasi semata.

Dari Sharon Stone yang sangat ceria, kita mendengar tentang perjuangannya menapaki karir. Dikaruniai otak cemerlang, keputusannya untuk menekuni dunia hiburan mulanya digugat habis-habisan oleh orang tuanya. Bahkan sosoknya yang dijuluki “sex symbol” pernah pula terkendala dengan bentuk tubuh yang dinilai terlalu besar oleh pelaku industri. Tapi tekad kuatnya untuk meringankan kondisi finansial keluarganya yang serba pas-pasan – terlebih sang kakak pun terjeremus ke dunia narkoba – membuatnya memperoleh banyak tawaran sebagai model iklan. Kala itu, dia mengingat, sebagian besar pekerjaan diterimanya begitu saja demi membuat dapur tetap ngebul termasuk peran-peran yang diterimanya di layar lebar. Latar belakang keluarga memaksanya untuk bersikap realistis ketimbang idealis. Usai satu dekade penuh keringat serta air mata, karir Mama Stone seketika melesat saat Basic Instinct (1992) meledak luar biasa. Dari mulanya dikenal sebagai “aktris dari film ono”, berkat film ini statusnya berubah menjadi aktris papan atas yang dielu-elukan banyak orang. Apakah dia bahagia? Well, untuk sesaat dia menikmati kesuksesan yang diraihnya sampai pada satu titik dirinya merasa telah direnggut privasinya. Tak ada waktu untuk kebebasan, tak ada waktu untuk menikmati hasil perjuangannya.

Sebagai seseorang yang aktif di belakang layar, Darren Aronofsky dan Spike Lee tidak mendapat pengalaman tersebut. Akan tetapi, keduanya sama-sama merasakan bagaimana peliknya menggaet investor untuk mendanai film-film mereka. Apalagi dua sosok ini tidak mementingkan aspek komersil dalam karya, melainkan pesan yang disampaikan. Ditambah lagi, baik Aronofsky maupun Lee adalah pribadi yang kontroversial. Aronofsky yang turut dikenal sebagai aktivis lingkungan enggan berkompromi dengan struktur penceritaan yang konvensional, sementara Lee tergolong amat vokal dalam menentang isu rasisme di Amerika Serikat. Meski kerap dihadang hambatan-hambatan untuk mewujudkan karya, kecintaan keduanya yang sangat mendalam pada film membuat mereka berhasil bertahan. Lee terus mengingatkan dirinya sendiri untuk bersyukur karena dia mempunyai pekerjaan impian yang mayoritas orang di dunia tak memilikinya, dan Aronofsky menjadikan penolakan demi penolakan yang dihadapinya sebagai pengingat bahwa dia mempunyai sesuatu yang istimewa serta layak untuk diperjuangkan. Jika kamu menyerah dengan penolakan, bukankah itu artinya kamu percaya bahwa karyamu memang tak cukup baik?

Episode Robert De Niro yang baru saja tayang perdana pada 16 Desember kemarin pun tak kalah menariknya. Beliau berbagi tentang pengalamannya bekerja sama dengan sutradara langganannya Martin Scorsese serta ilmu-ilmu keaktoran usai diinterogasi oleh Reza Rahadian yang penasaran dengan formula dibalik akting yang menghantarkannya pada dua piala Oscar. Tak hanya Reza, penonton yang menyaksikan secara langsung pada jam 9 malam pun berkesempatan untuk mengajukan pertanyaan. Mola Living Live mengondisikan acaranya untuk bersifat interaktif sehingga kita tak sebatas duduk diam mendengar perbincangan, tetapi juga bisa ikut berpartisipasi dalam perbincangan tersebut. Asyik, bukan? Untuk bisa mengakses episode-episode terdahulu dari Mola Living Live atau menantikan episode selanjutnya yang akan menghadirkan tokoh lain yang tak kalah hebatnya, kamu cukup mendaftar serta membayar biaya berlangganan Mola TV. Tenang saja, biayanya tak mahal kok. Paket reguler untuk satu bulan hanya Rp. 12.500, sedangkan kalau kamu ingin tambahan mengakses HBO GO bayarnya sebesar Rp. 65.000. Semua pembayaran bisa dilakukan melalui transfer ATM maupun OVO.   

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW : RIG 45 (TV SERIES) 2 Dec 2020 3:34 AM (4 years ago)


“Someone is trying to hide something about the accident.”

Selalu menyenangkan saat kamu menemukan sebuah film atau serial yang sebelumnya berada di bawah radar banyak orang dan ternyata mempunyai kualitas di atas rata-rata. Hamba sudah jarang bereksperimen semacam ini – well, pandemi membuat saya lebih sering cari aman demi menjaga mood – sehingga saat memperoleh penugasan untuk mengulas serial asal Swedia bertajuk Rig 45, diri ini sempat was-was. Lebih-lebih, informasinya di dunia maya pun tak terlampau banyak. Bagaimana jika ternyata serial tersebut tak ciamik? Atau lebih parah lagi, bagaimana jika kemudian serial ini tak ubahnya dongeng pengantar tidur? Ya, saya memang dilanda overthinking selama beberapa saat yang untungnya tak pernah benar-benar terwujud. Sempat skeptis dengan kualitas yang ditawarkan oleh Rig 45, alangkah terkejutnya hamba kala mendapati betapa mengasyikkannya serial sepanjang 6 episode ini. Sebagai penggemar tontonan misteri, guliran pengisahan yang disodorkan oleh serial produksi Viaplay (televisi berbayar di Swedia) ini sedikit banyak mengingatkan saya kepada salah satu mahakarya Agatha Christie, And Then There Were None, dimana sepuluh orang asing diundang ke sebuah pulau oleh seorang misterius dan satu persatu dari mereka tewas dibunuh.

Dalam Rig 45, para karakter tidak diundang secara khusus ke tempat terpencil melainkan memang memiliki kepentingan untuk berada di sana. Mereka yang mempunyai peranan dalam serial ini dideskripsikan sebagai pekerja di anjungan pengeboran minyak lepas pantai no 45. Total ada tujuh kru yang diberi porsi tampil signifikan, yakni Mikkel (David Dencik), Douglas (Gary Lewis), Vidar (Joi Johannsson), Petra (Lisa Henni), Pontus (Bjorn Bengtsson), Mary (Judith Roddy), serta Halvar (Jakob Oftebro). Konflik dalam serial mencuat dari sebuah kecelakaan kerja yang menyebabkan salah satu kru bernama Ritva meregang nyawa. Guna menginvestigasi kasus ini, perusahaan Benthos Oil selaku empunya anjungan pun mengirimkan pegawainya, Andrea (Catherine Walker), yang kemudian datang bersama pilot helikopter, Jens (Soren Malling). Setibanya di lokasi, Andrea mengendus kejanggalan dibalik tewasnya Ritva. Seolah-olah ada yang berusaha ditutupi oleh para kru. Saat Andrea mencoba menggali informasi lebih dalam, kecelakaan lain terjadi yang nyaris menewaskan seorang kru. Pada titik ini, dirinya semakin yakin bahwa peristiwa yang menimpa dua kru tersebut bukanlah kebetulan. Apalagi informasi yang diterimanya dari kantor pusat membeberkan sejumlah info mengejutkan. Ditengah badai besar yang menerjang lautan dan memerangkap karakter-karakter ini di anjungan, Andrea lantas menarik kesimpulan yang menyatakan bahwa ada seorang pembunuh berdarah dingin diantara para kru.

Tak butuh waktu lama bagi saya untuk dibuat kepincut oleh Rig 45 yang seketika membenamkan penonton ke dalam kasus sedari menit pembuka. Menyaksikan bagaimana para karakter berbisik-bisik di belakang Andrea, serta penemuan-penemuan awal dibalik tewasnya Ritva, serta merta menyalakan sinyal yang menandakan bahwa ada rahasia besar yang berusaha untuk ditutupi di anjungan 45 ini. Pertanyaannya, apa perkara yang sedang disembunyikan tersebut sampai-sampai si pelaku merasa perlu untuk melakukan pembunuhan? Tanya ini tentu tak serta merta terjawab. Demi mengikat perhatian kita, Per Hanefjord selaku sutradara menebar petunjuk secara bertahap dimana dia menempatkan setiap karakter dalam posisi abu-abu. Disamping Andrea, tak ada yang bisa benar-benar kamu percaya di sini. Sosok yang tampak menyambut baik kehadiran sang penyelidik, Halvar, pun mempunyai masa lalu kelam yang enggan dibagikannya. Pada satu titik, karakternya bahkan terlihat seperti memanfaatkan keberadaan Andrea demi mengamankan posisinya. Dalam setiap episodenya, Hanefjord beserta duo penulis skrip, Ola Noren dan Roland Ulvselius, terus menghadirkan informasi-informasi baru guna mempermainkan persepsi kita sehingga penonton kembali mempertanyakan hipotesa yang telah dibangun. Benarkah si A layak untuk dicurigai? Atau jangan-jangan, ini hanya trik dari si pembuat film untuk memperdaya penonton?

Ditambah adanya kelokan-kelokan penceritaan – dimana sang kreator bisa saja membunuh karakter yang tak pernah kamu duga – Rig 45 jelas terasa mengasyikkan buat disimak. Hanefjord pun piawai dalam menjaga intensitas yang memungkinkan setiap episodenya memiliki daya cekam yang konstan dan handal pula dalam menciptakan atmosfer yang mengusik kenyamanan kita. Latar anjungan yang terpencil, memiliki ruang gerak terbatas, serta berpencahayaan temaram menguarkan nuansa klaustrofobik yang pekat. Tanpa adanya pembunuh yang berkeliaran di sana, dan sebatas mengandalkan amukan alam dalam wujud badai, sejatinya sudah cukup membuat saya gelisah. Maka begitu ditambah keberadaan karakter-karakter mencurigakan – yang kesemuanya dimainkan dengan amat baik oleh jajaran pemain – anjungan 45 adalah deskripsi dari mimpi buruk yang sesungguhnya. Kamu hanya bisa berdoa dan berharap agar secepatnya hengkang dari anjungan terkutuk ini. Jika terus bertahan di sana dalam situasi yang sama sekali tidak kondusif tersebut, tak pelak hanya ada dua pilihan yang tersisa untukmu, yakni membunuh atau dibunuh.  

*Saat ini Rig 45 sudah tersedia lengkap dari season 1 sampai 2 di situs streaming Mola TV. Kalian bisa menontonnya dengan mendaftar dan membayar paket langganan sebesar Rp. 12.500/30 hari. Murah sekali dan mudah sekali karena pembayaran dapat dilakukan melalui OVO maupun virtual account.*

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW - YOUNGER (TV SERIES) 27 Nov 2020 3:55 AM (4 years ago)

“The problem with memories is they lock us in the past, and we both need to move forward. As much I want you in my life, I can’t right now. And I hope you understands why.”

Di masa pandemi yang tak henti-hentinya menguji kesehatan mental saban hari, menonton film atau serial ringan yang membuat hati riang gembira adalah jalan ninja hamba untuk menjaga kewarasan. Beberapa judul urung saya ulas lantaran satu dan lain hal yang mudah-mudahan lekas terselesaikan, tapi saya mencoba kembali menghadirkan review untuk Younger yang diri ini tonton di Mola TV. Satu judul serial yang sejatinya telah mengudara sejak tahun 2015 dan musim ketujuhnya kini tengah dipersiapkan. Diadaptasi dari novel bertajuk serupa rekaan Pamela Redmond Satran, Younger merupakan tontonan bergenre komedi yang benar-benar saya butuhkan saat ini. Tiap musimnya hanya terdiri dari 12 episode – dengan masing-masing episode berdurasi di kisaran 20 sampai 30 menit saja – sehingga memudahkan untuk ditonton secara marathon. Dan memang, hamba mampu menuntaskan musim pertamanya hanya dalam waktu sehari saja (!). Betapa tidak, serial ini memiliki segalanya untuk membuatmu jatuh hati seperti: 1) barisan karakter yang mudah untuk disukai, 2) jalinan pengisahan yang menarik sekaligus dekat dengan persoalan keseharian, dan 3) humor-humor yang efektif dalam mengocok perut. Mudahnya, apa lagi yang dibutuhkan dari serial ini? Dengan adanya dua faktor kunci, relatability and likeability, sudah cukup untuk bikin diri ini kesengsem sampai-sampai menobatkan Younger sebagai serial kesayangan saat ini.

Narasi yang diusung oleh Younger sendiri bisa dibilang tergolong unik. Tentang seorang ibu rumah tangga berusia 40 tahun dari pinggiran kota bernama Liza Miller (Sutton Foster) yang baru saja bercerai dengan suaminya. Tidak mempunyai sumber penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari, Liza pun nekat “merantau” ke New York City dengan harapan dapat memulai karir baru. Sayangnya, protagonis kita ini telah menginjak kepala empat dan dia pun tak memiliki pengalaman kerja selama dua dekade. Alhasil, Liza pun terdampar di kontrakan sang sahabat, Maggie (Debi Mazar), yang berprofesi sebagai seniman. Pedih. Di kala harapan sepertinya telah sirna, Liza berjumpa dengan pemuda berusia 26 tahun, Josh (Nico Tortorella), di bar. Josh yang menaruh hati kepadanya ini ternyata mengira Liza masih berusia 20 tahunan. Mulanya sih dia meyakini bahwa Josh sedang mabuk. Tapi Maggie melihat kesalahpahaman ini sebagai sebuah kesempatan emas untuk menyelamatkan kehidupan finansial sahabatnya. Dia melontarkan ide, bagaimana jika Liza berpura-pura masih berusia 26 tahun? Toh secara tampang masih memungkinkan – ya, dia awet muda – dan tak ada pula yang mengenalnya di New York. Jadi tak ada salahnya mencoba, bukan? Liza yang dihinggapi keragu-raguan pun mencoba mencari pekerjaan dengan identitas barunya yang tanpa dinyana-nyana membuatnya mendapatkan posisi di sebuah perusahaan penerbitan buku yang cukup besar!

Dari sinilah Younger lantas berkembang menjadi kian menarik. Memang betul Liza sudah mempunyai pengalaman di bidang penerbitan sebelum dirinya memilih pensiun dini dan pengetahuannya soal buku pun melampaui atasannya yang jutek, Diana Trout (Miriam Shor). Tapi mengaku sebagai gadis berumur 26 tahun membuatnya menghadapi tantangan-tantangan baru. Baik dari jobdesc dimana dia dituntut untuk menguasai media sosial yang sama sekali asing baginya, maupun dari pergaulan. Semenjak bekerja di Empirical Press, dia kerap bergaul dengan editor muda, Kelsey Peters (Hilary Duff), yang “sebaya” dengannya. Alih-alih memosisikan Kelsey sebagai karakter klise yang merasa terancam dengan kehadiran pegawai baru berotak cerdas, Darren Star selaku kreator justru menempatkannya sebagai dewi penyelamat bagi Liza. Berkat pengetahuan Kelsey yang luas mengenai gaya hidup, si karakter utama secara perlahan tapi pasti mulai bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya ini. Dan inilah satu hal yang saya sukai dari Younger, penuh dengan energi positif. Entah muncul dari relasi Liza dengan Kelsey, relasi Liza dengan Maggie, maupun relasi Liza dengan Josh yang belakangan kerap dikencaninya. Bahkan Diana yang tampak karikatural sebagai perawan tua yang membenci daun-daun muda pun terkadang membentuk hubungan yang dilandasi respek.

Liza adalah karakter yang menarik. Sutton Foster yang sepintas seperti perpaduan Yuki Kato dengan Karina Nadila pun bermain secara meyakinkan sebagai perempuan yang dikira masih hijau dari sisi usia dan pengalaman hidup. Kita bisa bersimpati kepadanya, kita juga ingin melihatnya memperoleh kebahagiaan setelah apa yang dilaluinya. Yang lantas menjadikan Younger terasa kian menggigit disamping energinya yang tak henti-hentinya membuat saya tersenyum adalah barisan karakter pendukung yang tak kalah menariknya dibanding Liza. Maggie yang notabene seniman lesbian kere merepresentasikan kaum marjinal di kota penuh hiruk pikuk, sementara Kelsey adalah kaum ber-privilege. Serial ini sendiri – setidaknya di musim pertama – tak pernah mengulik persoalan tersebut secara mendalam karena Darren Star lebih tertarik untuk mengedepankan girl power dimana perempuan-perempuan tersebut saling bahu membahu dalam menuntaskan problematika masing-masing. Dari awalnya tampak seperti tontonan hore-hore belaka, Younger lantas berkembang menjadi sajian yang juga hangat saat hubungan antar karakternya kian intim. Chemistry apik yang terbentuk diantara pemain memungkinkan bagi penonton untuk menaruh afeksi kepada mereka. Saya pribadi menyukai hubungan Liza dengan Kelsey yang bukan saja tampak seperti pertemanan, tapi juga ibu dan anak. Relasinya bersama Kelsey menyadarkannya untuk menjalin komunikasi lebih baik dengan putri semata wayangnya yang kini sedang menjalani program pertukaran pelajar di India. Manis.

*Saat ini Younger sudah tersedia dari season 1 sampai 6 di situs streaming Mola TV. Kalian bisa menontonnya dengan mendaftar dan membayar paket langganan sebesar Rp. 12.500/30 hari. Murah sekali dan mudah sekali karena pembayaran dapat dilakukan melalui OVO maupun virtual account.*

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW - HUMANS (TV SERIES) 3 Nov 2020 11:18 PM (4 years ago)

“You cannot fix humanity’s problems with technology.”

Pernah tidak membayangkan memiliki robot yang bisa mengerjakan semua hal? Maksud saya, robot yang bisa beberes rumah sampai kinclong, bisa bertindak selaiknya pelatih atau perawat profesional, sampai bisa memasak berbagai jenis makanan sehingga tak perlu repot-repot ke restoran. Terdengar menyenangkan, bukan? Praktis. Serial asal Inggris, Humans, yang dikreasi oleh Sam Vincent dan Jonathan Brackley berdasarkan serial dari Swedia bertajuk Real Humans ini menerapkan premis tersebut untuk diejawantahkan menjadi tontonan sepanjang tiga musim. Memberi kita gambaran seandainya robot mempunyai peranan lebih krusial dalam setiap lini kehidupan, ketimbang sebatas didayagunakan oleh korporasi-korporasi raksasa. Demi menjadikannya kian menarik, sang kreator pun tak mendeskripsikan robot-robot ini selaiknya mesin biasa atau menyerupai kaleng berwarna perak. Melainkan diperlihatkan seperti halnya manusia sampai-sampai kamu tak bisa membedakannya hanya dari pandangan secara sekilas. Bahkan, beberapa robot yang menjadi sentral penceritaan dalam Humans dikisahkan mempunyai emosi yang menjadikan batasan antara realita dan teknologi menjadi kian mengabur.

Salah satu robot tersebut adalah Anita (Gemma Chan) yang “diadopsi” oleh keluarga Hawkins demi mengurus segala tetek bengek berkaitan dengan urusan rumah tangga. Sang kepala keluarga, Joe (Tom Goodman-Hill), merasa kewalahan mengurus ketiga anaknya lantaran istrinya, Laura (Katherine Parkinson), kerap disibukkan oleh pekerjaannya sebagai pengacara. Meski kehadiran Anita sendiri disambut baik oleh Joe maupun si bungsu, Laura beserta putri sulungnya, Mattie (Lucy Carless), justru terusik dengan keberadaan robot yang disebut sebagai synth tersebut. Laura menaruh kecurigaan kepada Anita yang dianggapnya berniat menggantikan posisinya sebagai seorang ibu dalam keluarga Hawkins, sementara Mattie sendiri menaruh kebencian secara umum kepada synth yang dinilainya mengancam keberadaan umat manusia. Betapa tidak, synth yang didesain sebagai robot multifungsi ini membuat manusia mengalami ketergantungan dan lapangan pekerjaan pun kian mengecil akibat penggunaannya yang semakin masif. Bukankah ini berbahaya? Berkelindan bersama narasi yang berporos pada keluarga Hawkins adalah tiga plot yang menyoroti seseorang dari masa lalu Anita, dua detektif, serta seorang pria tua yang memiliki hubungan erat dengan synth miliknya.

Ya, Humans tidak hanya meletakkan fokus penceritaannya terhadap permasalahan pelik yang menghinggapi keluarga Hawkins akibat keberadaan sebuah robot. Anita sendiri mempunyai latar belakang yang telah diungkap sekelumit sedari episode-episode awal. Seperti telah dicurigai oleh Laura, synth tersebut bukanlah produk biasa yang sebatas tunduk kepada prosedur maupun perintah yang dialamatkan kepadanya. Dia mempunyai emosi, dia pun memiliki kesadaran atas tindakan-tindakannya yang menjadikannya menyerupai manusia. Dari pancingan berwujud flashback yang memberikan informasi mengenai nama asli Anita berikut kawanannya – synth yang memiliki kesadaran – inilah Humans lantas menggelembungkan kepenasaran hamba. Saya bertanya-tanya, siapa sebenarnya Anita? Mengapa dia bisa berbeda dibanding robot-robot sejenisnya? Apakah ada misi tertentu yang dibebankan untuknya? Pada saat bersamaan, rekan-rekan Anita dari masa lalu terlibat dalam kasus kriminal yang menghadapkan mereka dengan pihak kepolisian serta sekelompok peneliti yang mempunyai kepentingan. Melalui cabang penceritaan tersebut, serial menguarkan aroma thriller dengan tingkatan intensitas berada di level sedang yang sudah cukup untuk membuat penonton menginvestasikan waktu dan emosinya.

Namun Humans tak hanya menggaet atensi kita lewat serentetan misteri yang dikedepankannya, tetapi juga lewat isu yang dibawakannya. Serial ini meminta penonton untuk mempertanyakan soal kemanusiaan, kecerdasan buatan, serta teknologi. Tentang bagaimana kemajuan teknologi mereduksi interaksi antara sesama manusia, tentang bagaimana keahlian manusia tergantikan oleh robot yang kinerjanya bisa ditekan melampaui batas, dan tentang bagaimana hati nurani dipinggirkan lantaran robot tak memiliki emosi. Tapi bagaimana jika kemudian robot tersebut mempunyai kesadaran seperti halnya Anita? Apakah kita akan tetap bersikap semena-mena kepadanya karena secara teknis dia bukan makhluk hidup ciptaan Tuhan, atau kita akan memerlakukannya seperti manusia? Humans membawa perenungan tersebut kepada kita. Meski mungkin synth tak akan terwujud dalam waktu dekat, persoalan terkait relasi sosial yang merenggang akibat teknologi terasa nyambung dengan keadaan masa kini. Pemicunya tidak berasal dari robot yang bisa dipergunakan sesuka hati melainkan dari media sosial dan internet. Ya, seperti halnya synth, dua produk teknologi tersebut tadinya diciptakan dengan harapan dapat mempermudah segala permasalahan umat manusia. Tapi ironisnya, efek samping yang diberikannya justru dapat memberikan dampak negatif terhadap kemanusiaan. Mengerikan.

*Saat ini Humans sudah tersedia dari season 1 sampai 3 di situs streaming Mola TV. Kalian bisa menontonnya dengan mendaftar dan membayar paket langganan sebesar Rp. 12.500/30 hari. Murah sekali dan mudah sekali karena pembayaran dapat dilakukan melalui OVO maupun virtual account.*

 

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW : PELUKIS HANTU 17 Oct 2020 8:59 PM (4 years ago)

“Kita bisa mengusahakan kebahagiaan di masa depan, selama kita jujur dan tulus memberikan kemampuan terbaik kita.”

Pelukis Hantu adalah film yang menyenangkan. Begitulah kesan pertama yang tergores selepas menontonnya. Sepintas lalu, tontonan yang mengombinasikan genre horor dan komedi ini memang terlihat seperti sajian seram kelas B yang dibuat untuk mengeruk keuntungan semata tanpa peduli kualitas – jejak rekam genre ini tak cihuy. Lebih-lebih, MD Pictures memutuskan untuk menerjunkannya secara langsung ke layanan penyedia streaming yang tentu memantik kecurigaan hamba: kenapa? Maklum, pengalaman menonton film Indonesia dalam satu bulan terakhir ini sungguh bikin kepala nyut-nyutan sehingga keragu-raguan pun melejit ke angkasa. Sungguh, saya telah berpasrah kepada Tuhan. Akan tetapi, Pelukis Hantu yang menandai untuk pertama kalinya Arie Kriting memulai debut penyutradaraannya, menunjukkan bahwa masihlah ada harapan terhadap produk yang dilempar ke OTT (over the top atau layanan streaming). Mengikuti jejak rekannya sesama komika, Bene Dion, yang tahun lalu menghasilkan Ghost Writer yang mengesankan, Bung Arie mencoba untuk menghadirkan sebuah sajian hiburan yang tak saja membuat penontonnya tergelak-gelak sekaligus terperanjat, tetapi juga mendapatkan sesuatu. Ya, dia turut memasukkan hati ke dalam penceritaan demi menguarkan sisi emosional dari penceritaan serta isu yang kompleks mengenai luka dan trauma. Sebuah langkah yang terhitung berani untuk karya perdana.

Dalam Pelukis Hantu, kita diperkenalkan pada seorang pelukis amatir bernama Tutur (Ge Pamungkas) yang mengalami kesulitan ekonomi lantaran karya-karyanya tak laku terjual. Padahal di waktu bersamaan, dia harus membayar biaya pengobatan ibunya, Ana (Aida Nurmala), yang sedang sakit keras. Saat harapan seperti telah mengabur, Tutur menerima telepon dari teman lamanya, Udin (Abdur Arsyad), yang mengabarinya mengenai lowongan untuk menjadi salah satu pengisi acara dalam sebuah program mistis di televisi. Bukan sembarang pengisi acara, melainkan menempati posisi “pelukis hantu” dimana dia harus melukis memedi dengan mata tertutup. Sebagai seseorang yang memiliki idealisme tinggi – plus dia tak punya bakat melihat makhluk gaib – Tutur sempat dirundung keraguan karena merasa sudah membohongi publik. Tapi berhubung dia tak punya pilihan lain, mengapa tidak dicoba saja dulu? Pada awalnya, protagonis kita ini berpura-pura saja memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan alam lain sampai kemudian… kemampuan itu benar-benar menghinggapinya (!). Sesosok kuntilanak kerap menampakkan diri di hadapannya setiap kali matanya ditutup. Di satu sisi, penampakan ini jelas membantu kelancaran karirnya. Namun di sisi lain, Tutur mulai mempertanyakan motif si kuntilanak. Dia menduga, ada pesan penting yang sejatinya ingin disampaikan kepadanya. Dibantu oleh seorang blogger spesialis supranatural, Amanda (Michelle Ziudith), dan Udin, Tutur pun berupaya untuk menyibak misteri dibalik kemunculan Mbak Kunti yang ternyata berkaitan dengan tragedi masa lampau.

Menilik latar belakang Arie sebagai seorang komika, tidak mengherankan saat kemudian Pelukis Hantu yang naskahnya juga dia tulis menunjukkan keunggulannya dalam hal ngelaba. Kecakapannya dalam mengatur tempo, menggali materi, sekaligus dukungan para pelakon memungkinkan untuk sebagian besar humor meluncur secara mulus. Saya berulang kali tergelak-gelak mendengar kelakarnya yang menyentil sana-sini – khususnya sektor hiburan dan politik – lalu bermain-main dengan kata, sampai menyelipkan referensi ke budaya populer. Yang menarik, humor yang dikedepankan oleh film ini terintegrasi dengan plot utama alih-alih muncul secara acak entah darimana bak kumpulan-kumpulan sketsa. Memanfaatkan situasi tidak wajar si karakter utama yang kemudian melahirkan celetukan maupun tektokan menggelitik diantara para tokoh. Secara pribadi, saya menyukai keberadaan Abdur Arsyad di sini yang digambarkan sebagai karakter oportunis dengan kemampuan otak yang, well… pas-pasan, serta Hifdzi Khoir sebagai produser serakah yang hanya memikirkan satu hal: rating. Momen-momen terlucu dalam Pelukis Hantu mencuat saat melibatkan dua manusia tersebut. Ekspresi, penyampaian, serta timing-nya diperhitungkan secara jeli. Membuat saya seketika mengurungkan niat untuk menggampar keduanya dengan kanvas lantaran karakternya yang didesain menyebalkan. Pengen banget tak hih, tapi kok ya kocak jadi bisalah sedikit diampuni tingkah polahnya yang naudzubillah itu.

Keduanya mencuri lampu sorot dari Ge Pamungkas dan Michelle Ziudith selaku bintang utama yang cenderung fluktuatif. Saat mendapat tugas untuk melucu, Ge sejatinya tidak mengalami kendala. Tapi ketika giliran untuk berlakon serius tiba dimana Tutur harus mengeluarkan segala perasaan terpendamnya, pada saat itulah Ge menunjukkan keterbatasannya. Tak ada emosi yang tersalurkan kepada penonton sehingga mereduksi kesempatan bagi film untuk mengundang air mata. Jujur saja, saya menyayangkannya mengingat babak ketiga Pelukis Hantu yang mengedepankan topik mengenai “berdamai dengan luka” memiliki potensi untuk menggerus hati. Michelle Ziudith yang memiliki jam terbang lebih tinggi  perkara menangani momen dramatik pun tak banyak membantu. Karakternya tak mengalami perkembangan berarti dan seolah-olah hanya diposisikan sebagai love interest semata bagi Tutur. Bahkan, konflik personalnya dengan keluarga perlahan terpinggirkan saat pencarian Tutur semakin dalam. Michelle juga mendapat kesempatan amat minim untuk bersenda gurau, padahal hey, lihatlah betapa lucunya dia di Mekah I’m Coming tempo hari. Saya membayangkan, film mungkin akan menjadi lebih asyik apabila Amanda dengan penampilan bak cenayangnya ini tidak diberi plot percintaan dan lebih sebagai partner in crime yang gila bagi duo Tutur-Udin. Buat rekan tektokannya Udin yang hanya butuh sedikit lagi pemantik agar celetukannya semakin tidak terkontrol sehingga membuat karakter utama kita terus menerus pusing tujuh keliling di kala mencari kebenaran soal Mbak Kunti.

Pun begitu, meski Pelukis Hantu agak sedikit bermasalah di sektor drama yang kurang greget dan titik penyelesaiannya pun tidak seemosional yang diharapkan, film masih jago dalam hal bersenang-senang. Membuktikan bahwa Arie adalah sutradara pendatang baru yang karirnya patut diwaspadai. Selama 97 menit, saya mendapati tontonan hiburan pelepas penat yang memang dibutuhkan di masa-masa sulit seperti ini. Elemen horornya sendiri tidak sepekat komedinya, bahkan cukup minim. Tapi Arie mampu menghadirkan satu dua trik menakut-nakuti yang membuat hamba terlonjak dari kursi. Ditambah lagi, riasan wajah untuk Kuntilanak tergolong mengerikan. Jadi bagaimana mungkin diri ini bisa duduk dengan tenang saat sosoknya tiba-tiba nongol seolah ingin menerkam penonton? Sungguh tidak ada akhlak.

Bisa ditonton di Disney+ Hotstar Indonesia

Exceeds Expectations (3,5/5)

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW : SEPERTI HUJAN YANG JATUH KE BUMI 16 Oct 2020 5:15 AM (4 years ago)

“Melarikan diri dari rasa sakit hati itu, enggak akan membuat kita lebih baik. Sakit hati itu harus kita nikmati.”

Terlampau sering di dalam rumah selama pandemi Covid-19, membuat pikiran saya sering melantur kemana-mana. Pernah pada suatu hari yang tidak terlalu indah, saya mendadak punya keinginan amat random, “duh pengen deh nonton film percintaan remajanya Screenplay Films yang ajaib itu. Udah lama sekali rasanya.” Ternyata, dari sekian banyak doa yang pernah hamba rapalkan, doa ini termasuk yang dikabulkan secara cepat oleh Tuhan. Tiba-tiba saja rumah produksi ini, bekerjasama dengan IFI Sinema dan Netflix, meluncurkan Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi ke raksasa penyedia layanan streaming. Film romansa yang didasarkan pada novel laris bertajuk sama rekaan Boy Candra (karyanya yang lain, Malik dan Elsa, pun sudah diadaptasi) ini memenuhi semua kriteria yang dibutuhkan untuk menjadi sajian cinta-cintaan khas Screenplay. Di sini, kamu bisa mendapati: 1) jalinan penceritaan yang agak sulit dibayangkan akan terwujud dalam kehidupan nyata, 2) dialog berisi untaian kata-kata puitis yang diucapkan oleh para karakter dalam setiap hembusan nafas mereka, dan 3) production value yang tampak berkelas guna membedakannya dengan sajian-sajian serupa yang khusus ditayangkan di stasiun televisi. Terdengar menyiksa menarik, bukan? Tentu saja, seperti sudah hamba duga sebelumnya, film ini pun tak kalah ajaibnya sekalipun telah merekrut nama-nama seperti Lasja F Susatyo (Mika, Sebelum Pagi Terulang Kembali) sebagai sutradara, serta Upi (Teman Tapi Menikah, My Stupid Boss) dan Piu Syarif (Moammar Emka’s Jakarta Undercover) sebagai penulis skenario. 

Dalam Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi, kita diperkenalkan kepada dua muda-mudi yang telah bersahabat sedari SD, Kevin (Jefri Nichol) dan Nara (Aurora Ribero). Di mata Nara, Kevin adalah malaikat pelindung yang selalu bisa diandalkannya setiap kali dia butuh seseorang untuk bersandar karena patah hati. Kepada Kevin, Nara sering mengutarakan isi hati serta kekecewaannya kepada para laki-laki yang telah mencampakannya. Nara tak pernah tahu bahwa sahabatnya ini diam-diam menaruh rasa kepadanya. Ya, di mata Kevin, Nara lebih dari sekadar teman baik. Berkat dia lah, Kevin untuk pertama kalinya memahami rasanya jatuh cinta meski dia selalu ragu-ragu untuk mengutarakan perasaannya ini. Apakah karena malu atau karena tak ingin merusak tali persahabatan? Well, penonton tak pernah diberi tahu alasannya secara pasti. Yang jelas, sadboy yang satu ini memilih untuk terus memendam perasaannya sementara sang pujaan hati terus menerus mencoba menjalin hubungan baru sekalipun selalu berakhir tragis. Di saat Nara berikar akan menghentikan kebiasaan buruknya ini lantaran lelah dipermainkan oleh lelaki, Kevin akhirnya melihat kesempatan untuk menyatakan cinta. Tapi tentu tidak semudah itu, Fergusooo… karena film lantas menghadirkan seorang cowok penggemar olahraga panjat tebing bernama Juned (Axel Matthew Thomas) yang membuat Nara klepek-klepek, dan Tiara (Nadya Arina) yang begitu terobsesi ingin menjalin hubungan dengan Kevin sekalipun lelaki yang ditaksirnya ini jarang memberikan respon menggembirakan tiap diajak ngobrol. Why, Tiara, why?

Yaaa namanya juga cinta. Manusia bisa mengabaikan logika dan enggan memberikan alasan saat sudah kepincut dengan seseorang. Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi pun demikian. Saya tak pernah bisa memahami jalan pikiran para karakternya sampai pada satu titik akhirnya memilih untuk menyerah, lalu teringat pada permintaan hamba yang acak. “Bukankah kamu sendiri yang mendamba tontonan percintaan ajaib? Sekarang sudah di depan mata lho, nikmati saja keajaibannya.” Begini nih Bun akibatnya kalau berdoa sembarangan ke Tuhan, ku-a-lat. Sebetulnya sih film ini memulai penceritaan dengan cukup meyakinkan. Chemistry antara Jefri Nichol dan Aurora Ribero yang asyik seolah mengindikasikan kalau kisah asmara di sini akan menggemaskan. Bahkan, saya sempat tersipu-sipu gemas menyaksikan interaksi keduanya yang memang menjadi keunggulan utama film ini. Bung Nichol memainkan peran sedikit berbeda dari biasanya dengan menjelma sebagai aktivis lingkungan yang  selalu menggalau lantaran tak sanggup mengutarakan rasa. Dia bermain meyakinkan, begitu pula Aurora yang enerjik dan senantiasa menyebarkan energi positif ditengah nada penceritaan yang sendu. Saya sempat mengira, Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi akan meletakkan fokusnya pada dinamika hubungan berstatus friendzone dari dua manusia ini. Apalagi selepas Nara berjanji tak lagi-lagi mudah hati kepada laki-laki. Tapi ternyata, film mengedepankan dua karakter lagi ke arena utama penceritaan yang alih-alih membuat kisahnya menjadi kian menarik, malah justru membuatnya terasa membosankan.

Masalah utamanya, karakter Juned tak pernah benar-benar terlihat meyakinkan untuk menjadi seseorang yang membuat Nara mengingkari janjinya sendiri. Satu hal yang saya pertanyakan, kenapa Nara bisa mendadak kepincut dengan Junaedi sementara pertemuan pertama mereka meninggalkan kesan buruk? Apa yang menyebabkan Nara berubah pikiran sedemikian cepat apalagi di waktu yang sama dia sudah tak ingin lagi disakiti? Bukankah memilih untuk kembali membuka diri kepada lelaki yang telah memperlakukannya dengan tak hormat itu beresiko? Jujur, hamba bingung dengan jalan pikiran Dek Nara ini. Andai keputusannya dilandasi oleh keinginan membalas dendam kepada Kevin yang tidak tegas – terus-terusan maju mundur untuk mendeklarasikan cintanya kepada Nara – sejatinya saya bisa mafhum. Tapi kenyataannya tak demikian, saudara-saudara. Dia pun diperlihatkan kesengsem betulan kepada Juned yang selalu diceramahi oleh ibunya (Karina Suwandi) dengan tema, “bukalah hatimu, Nak. Move on.” Ditambah akting datar tanpa ekspresi dari Axel Matthew Thomas, makin tak bisa pahamlah hamba mengapa Nara bisa sebegitu cintanya dengan lelaki yang selalu bersikap sengak kepada orang-orang yang ditemuinya ini, termasuk kepada Kevin yang membawa pada kesimpulan bahwa perangainya memanglah menyebalkan bukan karena trauma patah hati. Atau, ini semata-mata kesalahan Axel dalam menginterpretasikan peran? Entahlah. Yang jelas, interaksi mereka berlangsung anyep, konflik yang mengemuka pun terasa repetitif. Belum ada separuh jalan sudah kebosanan.

Diri ini sejatinya masih sanggup menerima dialog-dialog puitisnya yang menggelikan (meski tetap belum bisa mengalahkan mahakarya Bunda Tisa TS). Namun melihat Nara-Juned berduaan tanpa ada chemistry atau menyaksikan kebersamaan Kevin-Tiara yang dinaungi awan gelap, rasanya ingin bobo mumpung lagi hujan. Tanpa sokongan akting apik duo pemain utama dan elemen teknis bekerja dengan baik seperti sinematografi serta iringan musik, mungkin Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi sudah membawa saya ke alam mimpi sedari awal.

Bisa ditonton di Netflix

Acceptable (2,5/5)

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW : BIDADARI MENCARI SAYAP 13 Oct 2020 11:24 PM (4 years ago)

“Dalam rumah tangga itu ada nilai hormat. Nggak melulu cinta.”

Cinta terhalang perbedaan etnis dan keyakinan sejatinya sudah beberapa kali dijadikan topik pembicaraan dalam sejumlah film Indonesia. Ada yang disisipkan sebagai subplot belaka, tapi tak sedikit pula yang diajukan sebagai konflik utama. Judul-judul yang saya nilai berhasil mengulik isu sensitif ini antara lain Cin(T)a (2009), 3 Hati Dua Dunia Satu Cinta (2010), serta Cinta Tapi Beda (2012). Ketiganya memberikan gambaran mengenai peliknya memadu kasih di Indonesia kala dua belah pihak menganut agama yang berlainan. Salah satu dari mereka harus ada yang bersedia mengalah dengan melepaskan keyakinan apabila ingin melanjutkan ke jenjang pernikahan. Apabila sama-sama kekeuh, maka tentu mustahil untuk merealisasikan sebuah rumah tangga terlebih dalam khasanah sinema dalam negeri. Keengganan sineas untuk menghadapi kecaman publik – yang selalu mengikuti tiap kali muncul film bertema toleransi dalam perbedaan – membuat film memilih jalan aman dalam konklusi: memenangkan agama alih-alih cinta. Kalaupun ada yang kemudian berpindah agama, jelas bukan dari kalangan mayoritas kecuali siap menerima konsekuensi. Bidadari Mencari Sayap produksi Citra Sinema bersama MD Pictures yang mencoba lebih “berani” dengan meletakkan fokusnya pada kehidupan rumah tangga ketimbang sebatas berpacaran seperti film sejenisnya, adalah contoh. Si karakter perempuan yang notabene non-Muslim (tidak disebutkan secara spesifik agamanya) dikisahkan menjadi mualaf untuk bisa menikahi kekasihnya yang berasal dari keluarga Muslim taat. 

Karakter perempuan yang dimaksud bernama Angela (Leony Vitria Hartanti). Dia tinggal di sebuah rumah kontrakan yang cukup nyaman bersama suaminya, Reza (Rizky Hanggono), putra semata wayangnya, serta ayahnya yang dipanggil Babah (Nano Riantiarno). Meski telah bertahun-tahun menikah, pasangan ini nyatanya masih kesulitan untuk menyatukan jurang perbedaan diantara mereka. Reza selalu merasa terusik dengan komentar-komentar menyentil yang kerap dilontarkan Babah, sementara Angela belum kunjung bersedia untuk mengenakan hijab sekalipun telah disindir terus menerus oleh mertuanya. Seolah keadaan masih belum cukup pelik bagi pasangan ini, Babah sering membawa makanan atau hewan yang dipandang haram oleh Reza tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu. Berhubung dua belah pihak sama-sama mudah tersulut emosi – dan enggan pula untuk saling memahami keadaan masing-masing – maka pertengkaran demi pertengkaran pun kerap terjadi. Pertengkaran yang sebetulnya bisa saja diselesaikan secara mudah melalui dialog hati ke hati, tapi justru dipersulit saat Reza memilih untuk hengkang sementara dari rumah. Alasannya sih karena dikirim atasannya untuk tugas di luar kota. Padahal kenyataan yang sebenarnya, dia dipecat dari pekerjaannya dan terlalu malu untuk mengakuinya kepada Angela. Ya, Reza terlalu malas untuk menghadapi perdebatan-perdebatan tak penting dengan sang istri di saat dia tengah berupaya untuk merintis karir sebagai supir taksi online.

Harus diakui, perdebatan yang mencuat dalam Bidadari Mencari Sayap memanglah tidak penting. Kalau enggan disebut, mengada-ada. Andai saja ini berlangsung ketika usia pernikahan Reza-Angela masih seumur jagung, bisalah dipahami. Dua manusia dari dua dunia yang bertolak belakang sama-sama mengalami gegar budaya, seperti bagaimana Angela yang mualaf meraba-raba mengenai kepercayaan barunya dan Reza yang berpikiran konservatif mesti beradaptasi dengan gaya hidup keluarga istrinya. Tapi saat keduanya sudah dikaruniai anak – bahkan si anak sudah bersekolah pula yang artinya mereka telah menikah setidaknya selama 6 tahun – adanya pertengkaran besar yang dipantik oleh babi, anjing, atau hijab jelas membuat hamba mengernyitkan dahi. Kalau begitu, itu artinya mereka tak pernah membahas permasalahan ini di awal-awal menikah dong? Mereka tak pernah mendiskusikannya, tak pernah mencari solusinya, dan terus membiarkannya berlarut-larut sehingga kerap berulang setiap tahunnya (atau setiap harinya). Jika benar demikian, kok sanggup ya bertahan dalam pernikahan yang sedemikian toxic-nya? Apa karena ingin menjaga reputasi keluarga masing-masing sehingga bercerai tak pernah menjadi opsi? Atau jangan-jangan hanya ingin tampil dramatis saja? Aria Kusumadewa yang menyutradarai sekaligus menulis naskahnya tidak pernah juga memberi alasan untuk menguatkan latar belakang dibalik upaya keduanya bertahan. Malah, dalam satu adegan Reza berujar, “aku sangat mencintai istriku,” yang ingin rasanya saya balas, “Mbel, cinta kok ditarung tiap hari. Itu rumah tangga apa Rumah Uya kok isinya ribut mulu?”

Alhasil, sulit untuk bersimpati kepada dua tokoh utama dalam film ini. Mereka tampak sangat egois dan menyebalkan. Maksud saya, mereka bisa lho berdialog dengan Babah atau Ibu Reza soal letak keberatan masing-masing, apalagi Babah tidak juga digambarkan sebagai mertua yang gemar menyiksa menantunya. Malah, beliau yang terlihat tertindas di film ini. Reza gemar marah-marah untuk menyikapi setiap persoalan, sementara Angela pun setali tiga uang. Saya sampai kagum Babah masih sehat walafiat walau dikelilingi representasi nyata dari netizen julid dan tukang tubir. Sepanjang durasi Bidadari Mencari Sayap mengalun, isinya hanyalah letupan-letupan amarah, penuh karakter-karakter pendukung bersliweran yang hampir kesemuanya tidak diberi manfaat, dan dialog-dialog kaku (yang tak bisa hamba bayangkan bakal diucapkan oleh manusia di kehidupan sehari-hari) berisi pesan moral. Dalam setiap langkah kaki, dalam setiap hembusan nafas, dan dalam setiap kedipan mata, kamu akan mendengar salah satu karakternya memberikan kritik maupun wejangan sampai-sampai saya lupa kalau sedang menonton film. Saya mengira sedang mendengarkan khatib menyampaikan khotbah dalam Sholat Jumat. Sungguh, rasanya ingin seketika bertaubat karena sudah menyia-nyiakan waktu berharga. Diri ini tentu paham betul bahwa Bidadari Mencari Sayap mempunyai tujuan mulia yakni mengajak publik untuk menghargai perbedaan – apapun itu wujudnya. Mengampanyekan toleransi ditengah iklim yang kian memecah belah masyarakat Indonesia. Namun, menjejalkan nasihat dalam setiap dialog yang menjadikannya terdengar amat ceriwis dan menghadirkan jalinan pengisahan yang sulit diterima oleh logika jelas tidaklah efektif. Apalagi saat si pembuat film turut menyodorkan konklusi problematis yang membuat saya kembali mempertanyakan tentang pesan yang sebenarnya ingin disampaikan.

Bisa ditonton di Disney+ Hostar Indonesia

Poor (2/5)     


Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW : WARKOP DKI REBORN 4 12 Oct 2020 6:10 AM (4 years ago)

“Lagian mana ada sih orang kaya mukanya kek bemo.”

Saat para karakter inti dalam Warkop DKI Reborn 3 kembali muncul di end credit untuk mendendangkan “ahaaa… filmnya dibagi dua, filmnya dibagi dua,” saya sama sekali tidak terkejut. Maklum, bukan pertama kalinya mendapat prank semacam ini dari film Indonesia. Pun begitu, bukan berarti hamba tidak ingin mengelus dada kala momen musikal tersebut muncul. Andai saja film yang baru ditonton sanggup menghadirkan pengalaman penuh kesenangan di sepanjang durasinya, hadirnya bagian kedua tentu akan disambut dengan penuh suka cita – saya pribadi termasuk golongan yang tidak keberatan dengan keberadaan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2. Tapi berhubung babak pertamanya lebih sering membuat saya menertawakan keputusan diri sendiri untuk menonton film tersebut ketimbang menertawakan humor-humornya, ada kebingungan melanda. Ada pertanyaan berkecamuk yang dimulai dengan, “mengapa sih harus dibagi dua? Apa urgensinya?.” Seolah pihak Falcon Pictures sangat percaya diri instalmen reborn terbaru ini akan disambut antusias oleh publik. Kenyataannya, hanya sekitar 800 ribu penonton yang bersedia berbondong-bondong mendatangi bioskop sehingga memaksa rumah produksi untuk mengganti strategi. Alih-alih mengedarkannya di bioskop, mereka memilih untuk langsung menerjunkan Warkop DKI Reborn 4 ke penyedia layanan streaming film dengan harapan bisa sekalian menghibur masyarakat semasa pandemi di rumah. Walau kalau boleh berkata jujur, kata “menghibur” untuk mendeskripsikan film ini terasa terlalu murah hati.

Sekadar mengingatkan lagi barangkali sudah lupa dengan plot di seri sebelumnya, personil Warkop DKI yang terdiri atas Dono (Aliando Syarief), Kasino (Adipati Dolken), dan Indro (Randy Danistha) direkrut oleh Komando Cok (Indro Warkop) untuk menyelidiki tentang aktivitas pencucian uang dalam perfilman Indonesia. Akan tetapi ditengah berjalannya proses investigasi, trio ini justru jatuh pingsan ke dalam kotak dan terbangun di padang gurun Maroko yang tandus. Dalam upaya mencari Inka (Salshabilla Adriani), lawan main mereka di film yang diketahui ikut terjebak di kotak, ketiganya mendapat bantuan dari penduduk setempat, Aisyah (Aurora Ribero) dan Ahmed (Dewa Dayana). Warkop DKI Reborn 4 menyoroti upaya lima sekawan tersebut untuk menemukan jejak-jejak keberadaan Inka yang membawa mereka menghadapi penduduk satu kampung yang penuh lelaki hidung belang, serta mempertemukan mereka dengan seorang bos mafia berbahaya bernama Aminta Bacem (diperankan oleh Rajkumar Bakhtiani – impersonator Amitabh Bachchan). Seolah kawanan ini masih belum cukup mempersulit pencarian terhadap Inka yang menghilang entah kemana, Warkop DKI juga tetap harus memburu Amir Muka (Ganindra Bimo) yang menjadi tersangka utama dalam kasus money laundry dan konon sedang beredar di Maroko.

Pada dasarnya, tak banyak yang bisa diceritakan dalam Warkop DKI Reborn 4 yang konfliknya serasa pengulangan dari seri sebelumnya. Masih berhubungan dengan penduduk suatu kampung yang sekali ini mengincar Aisyah sebagai bentuk timbal balik untuk bantuan yang mereka berikan. Meski kita sama-sama tahu bahwa para protagonis akan bisa meloloskan diri dengan mudah, tapi proses untuk menuju hasil tersebut tak pernah sekalipun mencengkram. Apalagi mengundang gelak tawa. Mengalun dengan amat lempeng seperti halnya personil Warkop DKI (dan juga ekspresi wajah hamba) yang menganggap pertarungan melawan warga-warga terkuat di desa bukan persoalan besar. Pertaruhan terhadap nasib Aisyah pun tidak tampak sehingga kalaupun dia diserahkan kepada si pemimpin desa, siapa sih yang akan merasa kehilangan? Seiring berjalannya durasi, kehadirannya semata-mata diposisikan sebagai damsel in distress demi memberi alasan bagi Dono dan konco-konco untuk berbuat sesuatu sekaligus menjadi objek fantasi bagi Kasino. Walau ya, paling tidak karakternya masih lebih berguna daripada Ahmed yang tak ubahnya tim penggembira saja di seri ini. Tidak ada peran signifikan baginya, bahkan sesi latihan bersama Kasino-Indro semata-mata untuk lucu-lucuan saja tanpa ada keterkaitan dengan pertandingan yang berlangsung sesuka hati atas nama humor. Sedari titik ini pula, film yang penulisan naskahnya ditangani oleh Anggoro Saronto bersama Rako Prijanto (yang juga menduduki posisi sutradara) ini mulai mengabaikan adanya sebab-akibat dalam penceritaan.

Warkop DKI Reborn 4 seringkali tersusun atas kumpulan-kumpulan segmen yang tidak memiliki korelasi antara satu dengan yang lain hanya untuk menunjukkan betapa besarnya biaya produksi yang digelontorkan, atau (lagi-lagi) atas nama humor. Tidak masalah sebetulnya karena toh Jangkrik Boss pun melakukannya. Yang kemudian membedakannya: 1) Babak kedua Jangkrik Boss masih menganggap babak pertamanya ada, tak seperti film ini yang narasinya melenceng sampai-sampai membuat kita lupa dengan jalan cerita dari film terdahulu. 2) Anggy Umbara lebih terampil dalam menangani momen laga yang memiliki excitement atau melontarkan banyolan nyeleneh, sementara Rako cenderung kewalahan. Nyaris tiada tenaga dalam elemen aksi maupun komediknya. Hambar. Beliau memang sudah memperoleh bantuan dari tim tata produksi yang memaksimalkan latar dengan baik dengan menguarkan sisi eksotis dari Maroko. Beliau pun mendapat sokongan dari trio pemain utamanya yang berupaya maksimal, terlebih Randy Danistha yang melebur secara meyakinkan ke dalam karakter Indro dan Aliando Syarief yang cukup menyerupai mendiang Dono. Hanya saja, mereka terkendala oleh materi humor yang lebih banyak melesetnya, bahkan cenderung seksis. Seolah belum cukup bikin penonton istighfar, lawakan di Warkop DKI Reborn 4 mengalami penurunan kualitas secara drastis dari seri sebelumnya yang masih sanggup membekas di ingatan kala memberi penghormatan pada Warkop DKI lawas atau mengaplikasikan Bahasa Arab terbalik yang menggelitik. 

Di sini, seperti halnya narasi itu sendiri, sebatas mendaur ulang apa yang sudah-sudah dengan impak yang telah melemah. Kian menambah kebingungan kenapa Reborn teranyar ini mesti dipaksakan buat dipecah jadi dua. Saya ingin sekali tertawa, tapi saya bingung apa yang harus ditertawakan. Apakah saya harus kembali menertawakan keputusan hamba karena memberi kesempatan pada film ini meski sudah dibuat kecewa oleh instalmen terdahulu? Mungkin lebih baik demikian. Gara-gara tak ada yang mengocok perut, durasinya yang hanya 100 menit pun terasa seperti selama-lamanya. Sebuah film yang cocok ditonton oleh kalian yang merasa waktu dalam sehari berjalan terlalu cepat. Syukurlah mereka tidak menyanyi "ahaaa... filmnya dibagi tiga, filmnya dibagi tiga," di ujung cerita.

Note : Ada adegan tambahan di ujung end credit.

Bisa ditonton di Disney+ Hotstar Indonesia

Poor (2/5)

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW : RENTANG KISAH 9 Oct 2020 6:26 AM (4 years ago)

“Tuhan menciptakan dunia amat besar. Lalu masa kamu mau diem di rumah aja?”

Gita Savitri Devi adalah salah satu vlogger dan influencer berpengaruh di Indonesia. Kontennya berkisar pada serba-serbi pengalamannya sebagai WNI yang merantau ke negeri orang dan opini-opini kritisnya terhadap beragam isu sosial politik. Dalam menjalankan kanal YouTube miliknya, Gita pun tidak berjibaku sendirian. Dia didampingi oleh teman baiknya yang belakangan menjadi suaminya, Paul Andre Partohap. Kegemaran keduanya terhadap musik mendorong pasangan ini untuk sesekali memanjakan telinga para penggemar dengan lantunan tembang-tembang manis. Mereka ingin sebisa mungkin konten di kanal ini tak saja edukatif dan informatif, tetapi juga menyenangkan. Tak mengherankan jika kemudian Jeung Gita diikuti oleh lebih dari 900 ribu penggemar. Sebuah angka yang terhitung masif terlebih si empunya channel bukan berasal dari kalangan selebriti. Menilik perjalanan sekaligus pencapaian Gita yang impresif tersebut, rumah produksi Falcon Pictures pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Buku perdana karya sang vlogger yang laris dibaca oleh publik, Rentang Kisah, dipinang untuk diadaptasi ke dalam film panjang. Danial Rifki yang sebelumnya menggarap Haji Backpacker (2014) dan 99 Nama Cinta (2019), ditunjuk mengomandoi tontonan inspiratif yang menyoroti perjuangan berikut tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Gita saat sedang menimba ilmu di Jerman ini.

Sosok Gita (diperankan oleh Beby Tsabina) sendiri tidak digambarkan memiliki kehidupan serba sempurna dalam versi layar lebar Rentang Kisah. Kedua orang tuanya (Donny Damara dan Cut Mini) memang memberinya kebebasan untuk menentukan masa depan. Bahkan, mereka mendorong si sulung ini untuk tak berdiam diri di rumah saja. Sebelum berangkat ke Amerika Serikat guna mengadu nasib, sang ayah sempat berpesan agar Gita melanglang buana. Mencari ilmu, mencari pengalaman, serta mencari teman dengan kebudayaan berbeda. Hanya saja, protagonis kita ini tak terlalu yakin dengan dirinya sendiri. Otaknya tak encer-encer amat dan dia pun masih meraba-raba mengenai minat bakatnya. Apa sih yang sebenarnya dia cintai? Bermodalkan kenekatan, Gita lantas menjajal peruntungannya dengan kuliah jurusan Kimia Murni di luar negeri atau lebih persisnya, Jerman. Namun mengambil studi di negeri orang – terlebih ditambah adanya kendala dalam segi bahasa serta kultur – tentu bukan perkara mudah. Di tahun-tahun pertamanya, si karakter utama berulang kali nyaris mengibarkan bendera putih lantaran tertekan dengan beban kuliah yang diberikan dan rasa sepi yang acapkali merundung. Kala masa depan sudah tampak buram di mata Gita, Tuhan memberinya solusi dengan mempertemukannya pada beberapa mahasiswa Indonesia termasuk Paul (Bio One) yang mengalami “derita” serupa seperti halnya Gita.

Sejujurnya, Rentang Kisah terlihat menggiurkan di titik awal penceritaan. Memberi kita gambaran mengenai situasi yang dihadapi oleh keluarga si protagonis yang terdampak Krisis Moneter 1998, serta bagaimana sosok orang tua memberikan pengaruh besar terhadap cara pandang si anak pada masa mendatang. Mereka adalah sosok pekerja keras, berpikiran kritis, sekaligus bijaksana. Tak ada tuntutan macam-macam dibebankan kepada Gita, termasuk soal merealisasikan mimpi maupun keimanan Satu obrolan yang bagi saya mengena adalah saat Gita mengalami keraguan untuk berhijab di Jerman dan sang ibu memberinya saran untuk mengikuti kata hatinya. “Yang penting jangan berpakaian terlalu terbuka. Urusan pakai hijab, nanti kamu tahu kapan waktunya,” begitulah kira-kira wejangan sang ibu. Sederhana, mengena, serta paling penting, tak terkesan menceramahi. Pada titik ini hamba sejatinya masih optimis kalau Rentang Kisah akan menjadi sajian inspiratif yang setidak-tidaknya “boleh juga”. Akan tetapi, terhitung sedari munculnya konflik yang melibatkan kekasih Gita, Roby (Junior Roberts), film secara perlahan tapi pasti mulai kehilangan arahnya. Ada setumpuk konflik dijejalkan ke dalam narasi dan ada pula serombongan karakter diperkenalkan kepada penonton yang datang lalu pergi begitu saja tanpa pernah digali secara mendalam. Serasa seperti kumpulan-kumpulan episode dari satu webseries yang dipaksakan untuk dijahit menjadi satu demi menjadi sebuah film panjang. Saya sampai bertanya-tanya, apa sih poin yang hendak disampaikan oleh film ini?

Sejujurnya, saya bingung dengan pesan yang terkandung dalam Rentang Kisah karena saking banyaknya permasalahan yang mencuat tanpa ada kesinambungan dengan persoalan selanjutnya. Maksud saya, tidak apa-apa kok filmnya minim konflik (seperti 99 Cahaya di Langit Eropa) asalkan penonton dapat memahami mengapa si tokoh utama dapat dijadikan tauladan. Nah, ironisnya, saya bahkan baru bisa memahami sosok Gita – termasuk motivasinya memilih kuliah di Jerman dan mengambil jurusan Kimia Murni – setelah membaca tulisannya yang tersebar di internet alih-alih melalui film ini. Saya tidak pernah melihat sisi kritis dari dirinya yang beberapa kali didengungkan, saya tidak benar-benar bisa merasakan tantangannya untuk beradaptasi dengan sistem pengajaran yang jauh berbeda, dan saya pun tidak melihat adanya ikatan kuat antara dirinya dengan Paul yang notabene bakal menjadi suaminya. Semuanya muncul sekilas-sekilas saja, termasuk intrik kompleks perihal percobaan bunuh diri serta mempertanyakan keimanan yang sejatinya berpotensi untuk kian mengenalkan kita kepada Gita. Heiii... orang tidak secepat itu bangkit dari keterpurukan atau memutuskan pindah agama ya! Alhasil saat film nyaris berakhir, saya pun masih bingung kenapa tiba-tiba dia memutuskan untuk menjadi vlogger dengan topik tertent, bagaimana sebenarnya kehidupan perkuliahannya yang tampak kabur di film lantaran saru dengan fase studienkolleg (program penyetaraan), dan apa yang diperolehnya dari menimba ilmu di Jerman mengingat pada awal film orang tuanya begitu ngoyo agar dia kuliah ke luar negeri. Sebagai sebuah film biopik, Rentang Kisah tidak berhasil membuat saya mengenal sosok Gita, sementara sebagai sebuah film inspiratif, film ini pun urung memberikan inspirasi lantaran poinnya yang amat samar.

Satu-satunya yang amat jelas dalam Rentang Kisah adalah akting Cut Mini yang layak diberi dua jempol. Darinya, saya masih bisa mendeteksi adanya emosi dalam film seperti bahagia, sedih, sampai putus asa. Adegan-adegan yang menampilkan karakternya sedang mengobrol dengan Gita di telepon menjadi saat-saat terbaik yang dipunyai oleh film ini, khususnya ketika beliau mengabarkan kepada putri sulungnya bahwa bisnis kateringnya sedang seret dan tak ada uang yang bisa dikirim. Hamba bisa mendeteksi adanya kepedihan dari seorang ibu yang merasa sudah mengecewakan anaknya dengan menempatkannya dalam posisi sulit di negeri orang.

Bisa ditonton di Disney+ Hotstar  

Acceptable (2,5/5)

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW : SABAR INI UJIAN 7 Oct 2020 7:02 AM (4 years ago)

“Kebahagiaan akan datang saat kamu sudah bersyukur.”

Apakah kamu familiar dengan istilah time loop yang beberapa kali dipergunakan oleh film dari negara-negara yang telah jauh berkembang? Jika belum, istilah ini secara ringkas merujuk kepada film dengan tokoh utama yang terjebak dalam putaran waktu. Hari-harinya selalu berulang di satu tanggal, situasi-situasinya sama persis plek ketiplek, dan si protagonis harus mencari tahu sabab musababnya agar bisa terbebas dari siksaan duniawi ini lalu kembali menjalani kehidupannya seperti biasa. Satu judul paling populer yang menerapkan konsep penceritaan ini adalah Groundhog Day rilisan tahun 1993. Dari era gawai, kamu bisa menjumpainya dalam Edge of Tomorrow (2014), Happy Death Day (2017), maupun Palm Springs yang baru-baru ini dirilis. Sementara dalam khazanah sinema Indonesia, well, film berkonsep time loop sendiri masih sangat asing meski hamba pribadi sama sekali tidak terkejut. Apalagi konsep ini terhitung njelimet untuk dieksekusi dan film beraroma fantasi pun kurang diakrabi oleh penonton di Indonesia raya. Siapa coba yang cukup nekat untuk mengambil resiko? Sempat skeptis ranah ini akan benar-benar dijajaki oleh sineas kita, ternyata oh ternyata Anggy Umbara (Mama Cake, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss) di bawah payung MD Pictures berani mengambil tantangan tersebut dengan menggarap Sabar Ini Ujian yang dilabeli “film Indonesia pertama yang mengaplikasikan konsep time loop”. Hasilnya? Sajian komedi drama yang menghibur meski masih meninggalkan catatan disana sini.

Dalam Sabar Ini Ujian, karakter yang ketiban sial adalah seorang pemuda bernama Sabar (Vino G. Bastian) yang belum kunjung bisa menerima kenyataan kalau dirinya dan mantan kekasihnya, Astrid (Estelle Linden), telah bubar jalan. Padahal hubungan mereka kandas empat tahun lalu dan sang mantan akan menikahi Dimas (Mike Ethan) yang juga teman Sabar semasa SMA. Saking sulitnya untuk move on, Sabar sempat berpikir untuk tak menghadiri pesta pernikahan Astrid-Dimas. Tapi bujukan dari ibunya (Widyawati) beserta sahabatnya, Billy (Ananda Omesh), membuat si protagonis berubah pikiran. Toh cuma butuh satu hari buat bertahan menghadapi ujian kehidupan ini, apa sih yang mungkin menyiksa? Tentu saja untuk seseorang yang belum bisa ikhlas melepaskan, menghadiri acara seperti ini tetaplah menyiksa lahir batin. Terlebih Sabar juga harus menghadapi guyonan-guyonan bernada mengejek dari dua temannya, Yoga (Rigen Rakelna) dan Aldi (Ananta Rispo), yang bikin hati panas. Sabar pun harus bisa bersabar. Yang tak diketahui oleh tokoh utama kita ini, ujian tidak berhenti sampai disini saja. Kala dirinya terbangun di kamar kos keesokan harinya, Sabar mendapat kejutan yang sangat teramat aneh: dia kembali terbangun di hari pernikahan Astrid. Mulanya, Sabar mengira keanehan tersebut hanyalah bagian dari candaan yang digagas oleh teman-temannya. Namun ketka dia kembali mengulang hari yang sama di hari-hari berikutnya, pada saat itulah Sabar harus menemukan akar masalah yang menyebabkannya terjebak dalam putaran waktu.

Mesti diakui, mudah untuk menyebut Sabar Ini Ujian sebagai salah satu karya terbaik yang pernah ditelurkan oleh Anggy Umbara. Paruh awalnya, terutama saat si karakter utama berusaha untuk memahami dan beradaptasi dengan apa yang terjadi padanya, menjadi bagian paling mengasyikkan dari film. Sang sutradara paham betul bahwa film berkonsep time loop berpotensi terjerembab menjadi sajian menjemukan mengingat sebagian durasinya diisi pengulangan-pengulangan adegan dan dalam konteks Sabar Ini Ujian, latar penceritaan banyak dihabiskan di dalam ballroom. Demi menyiasatinya, Pak Anggy gesit menyelipkan pembeda dalam setiap repetisi sehingga penonton pun dilingkupi keingintahuan, “apa nih yang akan dilakukan oleh Sabar selanjutnya?.” Disokong oleh penyuntingan dinamis dari Cesa David Luckmansyah serta performa santai dari jajaran pemain, satu jam awal pun diisi banyak kesenangan yang mengundang gelak tawa. Saya pribadi menyukai tektokan antara Rigen Rakelna dengan Ananta Rispo yang terasa mengalir begitu saja. Guyonannya receh sih – apalagi soal kepanjangan CLBK – tapi penyampaian keduanya yang efektif memungkinkan tiap celetukan memiliki daya tonjok humor yang kuat. Serius, hamba terbahak-bahak tiap mereka muncul. Vino G. Bastian yang diposisikan sebagai pemain sentral juga lihai menangkap umpan-umpan yang diberikan oleh duo ini sehingga mereka bisa tampil meyakinkan sebagai teman baik. Tak hanya dengan Rigen-Ananta, Vino turut berkesempatan untuk menggila bersama Dwi Sasono (sebagai teman kosnya yang demen bugil) dimana dia menghadirkan momen emas dengan memarodikan sejumlah peran dari film-filmnya sebelumnya. Gokil!

Kecakapan Vino dalam menangani momen komedik ini sejalan dengan kemampuannya dalam melakoni momen dramatik. Dia mendapat “lawan tanding” kelas kakap seperti Widyawati beserta mendiang Adi Kurdi yang bahkan sanggup membuat penonton terenyuh hanya dari sentuhan-sentuhan kecil dalam gestur. Saya menyukai adegan percakapan antara Sabar dengan ibunya melalui telepon, dan saya amat menyukai obrolan keduanya di meja makan mengenai mendefinisikan kebahagiaan. Terasa hangat. Berkat akting tiga pelakon ini, Sabar Ini Ujian masih mampu mengaduk-aduk emosi penonton di menit-menit terakhirnya yang terasa goyah. Ada ketidakwajaran terdeteksi pada titik ini. Memang, film sudah mulai menunjukkan problematikanya pada pertengahan durasi yang lajunya cenderung nyeret-nyeret. Tapi setelah dua pengungkapan besar terjadi (yang tentu tidak akan hamba jabarkan secara detil), Sabar Ini Ujian seperti kehilangan daya pikatnya. Nada pengisahannya mendadak berubah drastis dari ceria menjadi depresif, lalu bangunan motivasi yang disematkan untuk dua karakter krusial di penghujung kisah tidak pula cukup meyakinkan. Haruskah dipertemukan dengan cara semendadak itu tanpa ada interaksi tipis-tipis sebelumnya? Haruskah diakhiri dengan senelangsa itu yang menjadikannya kontradiktif dengan semangat di awal? Padahal, hamba sudah merasa terhubung dengan topik obrolannya perihal mengikhlaskan, memaafkan, serta berdamai dengan trauma masa lalu. Andai tak ada sisipan twist – atau andai ditangani dengan lebih meyakinkan – film ini mungkin bisa terhidang dengan lebih memuaskan.

Note : Ada bloopers di sela-sela end credit. Jangan dilewatkan soalnya lucu sekali.

Bisa ditonton di Disney+ Hotstar

Exceeds Expectations (3,5/5)

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW : BUCIN (WHIPPED) 5 Oct 2020 8:23 AM (4 years ago)

“Kesabaran merupakan kunci dari hubungan yang baik.”

Kamu tidak akan menemukan makna “bucin” di KBBI. Konon, ini adalah akronim dari budak cinta yang dipopulerkan pertama kali oleh duo Youtuber kondang, Jovial dan Andovi da Lopez. Bahasa prokem tersebut disematkan oleh keduanya untuk orang-orang yang kelewat tunduk kepada pasangannya dengan dalih bersikap romantis atau “aku mencintainya sepenuh hati”. Alhasil, mereka pun rela melakukan apa saja demi sang pasangan sampai-sampai mengesampingkan logika dan hati. Sungguh menyedihkan. Berhubung istilah ini masih kerap digunakan oleh muda-mudi masa kini, bahkan sebetulnya sangat relevan dengan problematika percintaan banyak orang, Jovial pun tercetus satu ide untuk memonetisasinya lebih lanjut. Bagaimana kalau istilah ini dikembangkan menjadi sebuah cerita panjang? Lebih-lebih, teman baiknya sesama Youtuber, Chandra Liow, sedang membutuhkan skrip film untuk debut penyutradaraannya usai mencicipi karir akting yang tergolong sukses melalui Single (2015) dan Hit & Run (2019). Dari sini, dua content creator yang memutuskan berkolaborasi untuk kesekian kalinya ini lantas menghasilkan film komedi bertajuk Bucin –  atau Whipped untuk peredaran internasional – yang tadinya direncanakan untuk edar di bioskop. Tapi setelah dunia diterpa pandemi Covid-19, film produksi Rapi Films ini pun diserahkan kepada Netflix dan hamba merasa sangat beruntung tidak menyaksikan Bucin di layar lebar.

Dalam Bucin, Jovial da Lopez dan Chandra Liow yang juga ikut bermain di garda terdepan bersama Andovi da Lopez beserta Tommy Limmm berperan sebagai versi fiksi dari diri mereka sendiri. Keempatnya dikisahkan mengikuti kelas anti bucin asuhan seorang pakar cinta bernama Vania (Susan Sameh). Alasannya, Jovi kedarung resah melihat adiknya, Andovi, dibuat tak berdaya oleh sang kekasih, Kirana (Widika Sidmore), yang memanfaatkan ketidaktegasan Andovi untuk memenuhi keinginannya dalam sekejap. Tak hanya Andovi, Tommy dan Jovi pun sejatinya mengalami permasalahan kurang lebih senada dengan pasangan-pasangan mereka. Tommy yang sedang mempersiapkan pernikahannya dengan Julia (Karina Salim) tak diberi kebebasan untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri, sementara Jovi tak memiliki keberanian untuk berkata jujur kepada Cilla (Kezia Aletheia) mengenai perasaannya yang sebenarnya. Lalu bagaimana dengan Chandra yang seorang jomlo? Well, dia hanya merasa perlu untuk memberi moral support kepada trio bucin ini dengan mengikuti kelas yang sama sekali tidak ada artinya bagi dia. Bahkan, kelas anti bucin pun pada dasarnya urung memberikan dampak signifikan kepada yang lain kecuali memicu konflik diantara empat sekawan ini dan memberi kesempatan bagi Jovi untuk mendapatkan pengganti Cilla.    

Selama menit-menit awal, Bucin sejujurnya tampak menjanjikan untuk diikuti. Entah dari konsep “kelas anti bucin” yang didesain menyerupai permainan escape room atau dari lelucon visual yang coba dikedepankan oleh Chandra Liow. Bahkan, saya pun mengapresiasi akting Karina Salim sebagai Julia dengan gaya bicaranya yang kekanak-kanakkan apalagi ketika doi bermanja-manja ria bersama Tommy. Lucu, menggelikan, sekaligus menggemaskan. Bagi hamba, Karina adalah hal terbaik yang dipunyai oleh Bucin dan bisa membuat diri ini bertahan di saat film menjadi semakin sukar dicerna di menit-menit selanjutnya. Bukan, bukan karena kontennya yang ternyata ndakik-ndakik atau teramat kompleks, melainkan karena gaya bercandanya yang memang tak sesuai selera. Mungkin masih bisa memantik tawa buat penggemar berat sang sutradara. Tapi berdasar sepengamatan saya, guyonannya acapkali meleset dari sasaran yang memungkinkan orkestra jangkrik terdengar begitu nyaring di telinga. Selain kemunculan Julia, sungguh penuh perjuangan hanya untuk mengingat momen-momen apa saja yang dapat menyunggingkan senyum alih-alih bikin manyun. Sebagai sebuah film yang mengatasnamakan dirinya sebagai komedi, Bucin nyaris tak memiliki kemampuan untuk mengocok perut. Ditambah lagi, kehadiran barisan karakternya sulit sekali diberi simpati. Jika sedari awal betul diniatkan untuk bercerita soal laki-laki lubang pantat yang membuat penontonnya mengelus dada, paling tidak beri mereka latar belakang yang menggugah selera. Beri mereka alasan-alasan pasti yang melandasi tindakan ketimbang sebatas berlindung dibalik dalih “udah ngeselin dari orok.”

Maksud saya, kenapa Andovi sebegitu tidak inginnya kehilangan Kirana sampai bersedia diperlakukan semena-mena bak budak? Mengapa Tommy ngotot ingin membeli mobil baru yang mana bukan kebutuhan primer sedangkan pernikahan sudah di depan mata? Kenapa Jovi tega menyiksa Cilla dalam hubungan penuh ketidakpastian yang sudah terasa amat dingin? Dan mengapa Chandra hanya mondar-mandir sambil sesekali melempar punchline menyebalkan tanpa diberi kontribusi yang jelas pada penceritaan? Why? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berkecamuk di benak dan Bucin enggan memberikan jawaban yang memuaskan pada penonton. Padahal ada perpaduan antara kebodohan, egoisme, serta toxic relationship di sini. Pokoknya, mereka tiba-tiba seperti itu dan para perempuan lah penyebabnya. Tidak ada yang salah memang dengan menggunakan sudut pandang lelaki untuk menguliti konflik di film ini. Hanya saja, apa yang kemudian menjadikan Bucin problematis, adalah keputusan si pembuat film untuk mengantagonisasi serta merendahkan martabat para karakter perempuan di sini sedemikian rupa. Momen pengungkapannya dengan bubuhan twist yang diharapkan mengejutkan adalah momen dimana hamba butuh mendengarkan suara hujan demi mencegah munculnya gerutuan-gerutuan non-esensial. Betapa tidak, mereka menggambarkan si villain yang notabene adalah korban sebagai sosok psikopat dan film pun enggan memberi penyelesaian untuk karakter ini. Tiba-tiba lenyap, tiba-tiba kita dihadapkan pada perubahan drastis dari salah satu tokoh kunci yang merupakan “the real villain” dalam Bucin. Tanpa melewati proses, sosoknya mendadak memperoleh hidayah yang diterima begitu saja oleh sang kekasih hanya bermodalkan pernyataan, “cinta itu memaafkan.” Subhanallah, ternyata hamba sedang menyaksikan versi layar lebar dari FTV Pintu Berkah.

Ambisi Jovial beserta Chandra untuk memberi porsi sama rata kepada setiap karakter menjadi salah satu musabab mengapa film menjadi ruwet di belakang. Terlalu banyak tokoh, terlalu banyak konflik yang dijejalkan, tapi terlalu sedikit waktu yang dipergunakan untuk mengentaskan para karakter dari permasalahan masing-masing. Mungkin, hanya mungkin ya, kadar seksisme dalam Bucin akan sedikit berkurang apabila fokus pengisahan hanya pada satu karakter sehingga ada kesempatan untuk mengeksplorasi permasalahan yang diajukan termasuk memberinya latar belakang dan penyelesaian yang masuk akal. Ya beginilah Bun pentingnya menetapkan prioritas agar tidak kewalahan sendiri.

Bisa ditonton di Netflix

Poor (2/5)

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW : GURU GURU GOKIL 2 Oct 2020 8:18 AM (4 years ago)

“Di dunia ini, gue paling suka uang.”

Guru Guru Gokil adalah salah satu film Indonesia yang hamba nanti-nantikan kehadirannya di awal tahun ini. Alasannya sederhana saja, Dian Sastrowardoyo tidak pernah mengecewakan saat diminta untuk ngebanyol. Keputusannya untuk turut menduduki kursi produser, kian menguatkan ekspektasi mengingat Mbak Dian terhitung sebagai aktris yang selektif dalam memilih konten. Mudahnya, film ini tidak akan main-main secara kualitas penggarapan. Bahkan saat pandemi Covid-19 kian meluas yang menyebabkan jaringan bioskop di Indonesia berhenti beroperasi untuk sementara waktu, film garapan Sammaria Simanjuntak (Demi Ucok, Cin(t)a) ini dipinang oleh raksasa streaming Netflix dan memperoleh kesempatan untuk diedarkan secara luas ke seluruh dunia dengan banderol “Netflix Original”. Itu artinya, ini adalah film Indonesia kedua yang mendapat kehormatan tersebut usai The Night Comes for Us (2018). Belum apa-apa, sudah terdengar menggiurkan, to? Terlebih materi yang diusung sejatinya memang menggiurkan yakni seputar sepak terjang para pahlawan tanpa tanda jasa yang dihidangkan menggunakan pendekatan komedi. Sepintas lalu, film ini punya komposisi yang terlihat tidak mungkin salah di atas kertas. Ditambah kehadiran Gading Marten yang dikenal luwes kala ngelaba di garda terdepan pemain, Guru Guru Gokil seolah menjanjikan sajian komedi lucu nan menginspirasi yang ternyata oh ternyata… tidak pernah terealisasi.

Karakter utama yang menggerakkan poros penceritaan adalah Taat Pribadi (Gading Marten). Seorang pria dari suatu desa yang memilih untuk mengadu nasib di Jakarta lantaran tidak ingin dibayang-bayangi oleh nama besar sang ayah, Pak Purnama (Arswendy Bening Swara). Apalagi, sebagai seseorang yang memproklamirkan dirinya sebagai pecinta uang, kesempatan untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah pun jauh lebih besar di ibukota. Hanya saja, setelah berjibaku dengan beragam profesi selama bertahun-tahun, kondisi finansial Taat tidak kunjung membaik yang kemudian mendorongnya untuk kembali ke kampung halaman. Di desa, satu-satunya pekerjaan yang tersedia untuknya adalah menjadi guru pengganti di sebuah sekolah tempat ayahnya mengajar. Bagi Taat, menjalani pekerjaan ini bak musibah karena: 1) dia benci guru, dan 2) dia semakin dekat dengan sang ayah yang selama ini dihindarinya. Tapi berhubung tak ada pilihan lain, apa yang bisa dilakukannya? Toh masih ada Bu Rahayu (Faradina Mufti), guru serbabisa yang kerasnya minta ampun, sebagai obat pelipur lara. Di tengah upaya si protagonis dalam mencari uang sekaligus memenangkan cintanya ini, sebuah perampokan terjadi dan menguras habis gaji para guru. Tak ingin uang yang didambakannya menghilang begitu saja, Taat pun merancang misi mengambil alih gaji yang dirampok dari mafia setempat bersama guru-guru lain seperti Pak Manul (Boris Bokir), Bu Nirmala (Dian Sastro), serta tentunya, Bu Rahayu.   

Tampak menarik? Ya, jika Guru Guru Gokil mampu meletakkan fokusnya di salah satu titik tanpa harus bercabang kesana kemari. Masalahnya, film mempunyai banyak sekali intrik yang telah ditetapkan dari awal seperti relasi Taat dengan sang ayah yang dingin, Taat yang menjalani pekerjaannya dengan keterpaksaan, hubungan percintaan Taat bersama Bu Rahayu, sampai kritik sosial terkait nasib guru di Indonesia yang jauh dari sejahtera. Naskah gubahan Rahabi Mandra seolah hendak membawa penceritaan mengikuti transformasi si tokoh utama dari seseorang yang membenci profesi guru menjadi seorang pria yang menaruh respek tinggi pada pekerjaan mulia ini. Jika saja film bertahan pada plot ini, saya meyakini Guru Guru Gokil akan menggoreskan kesan kuat lantaran telah berani menampilkan realita pahit dari para tenaga pengajar dengan penuh candaan (plus sentilan) disana sini. Akan tetapi, alih-alih bertahan di ranah komedi satir, Sammaria Simanjuntak justru membelokkan kemudi ke ranah komedi kriminal yang penuh kehebohan sampai-sampai pesan yang ingin diutarakan mengabur. Selama sisa durasi, film diisi oleh momen-momen mengatur strategi yang serba mudah, menyergap ke markas besar si penjahat yang (lagi-lagi) serba mudah, lalu diakhiri dengan konfrontasi konyol-konyolan. Tidak terlihat ada pertaruhan yang nyata karena sosok villain-nya sendiri digambarkan kelewat amatir dan karakter Taat tidak pernah berproses secara meyakinkan akibat plot yang ramai sesak. Semuanya berlangsung tiba-tiba, termasuk bagaimana Taat bisa dengan mudah menjalin ikatan kuat dengan murid-muridnya dan bagaimana dia akhirnya bisa berdamai dengan sang ayah.

Alhasil, Guru Guru Gokil menjadi serba tanggung dalam penyampaian emosinya. Adegan yang diharapkan mampu memicu gelak tawa berderai-derai maupun tangis haru pun urung muncul. Padahal potensi-potensinya jelas terlihat dan jajaran pemain kentara telah mengerahkan kemampuan berlakon secara maksimal. Berkat kontribusi akting apik inilah yang membuat Guru Guru Gokil masih bisa untuk setidaknya tampil menghibur. Gading Marten yang berada di zona nyamannya tampil effortless sebagai pemuda slengean yang tidak pernah menganggap serius pekerjaannya karena dia hanya mengincar satu hal: uang. Bersama dengan Faradina Mufti yang memesona dibalik sikap galaknya, mereka membentuk chemistry manis yang memungkinkan interaksi keduanya terasa menyenangkan untuk disimak. Dian Sastro dalam peran sama sekali berbeda adalah scene stealer yang memberikan dorongan pada penonton untuk tersenyum melihatnya, atau malah tertawa. Sementara Asri Welas yang juga diberi kesempatan memainkan peran bertolak belakang dari biasanya malah agak tersia-siakan. Saya pribadi tidak merasa nyaman melihatnya menjajal karakter serius dalam film lucu-lucuan receh seperti ini lantaran dia dengan comic timing-nya yang juara sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk mengatrol momen-momen komedik yang acapkali berlangsung hambar. Sangat disayangkan.

Bisa ditonton di Netflix

Acceptable (2,5/5)  

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW : MUDIK (2020) 1 Oct 2020 2:25 AM (4 years ago)

“Mau sampai kapan kita kayak gini? Kamu nggak bisa terus-terusan lari kayak gini.”

Perjalanan pulang kampung saat libur Lebaran seharusnya menjadi momen yang membahagiakan bagi anak rantau. Bisa melepas rindu dengan tanah kelahiran, bisa memeluk hangat orang tua, dan bisa bersenda gurau dengan saudara-saudara kandung. Meski obrolan basa-basi kala halal bi halal seringkali bikin capek hati, tapi hidangan khas beserta acara kumpul-kumpulnya dengan keluarga yang mungkin jarang ditemui itu ngangenin. Tentu dengan catatan, tidak ada perang dingin yang tengah bergelora. Apabila ada masalah besar yang titik terangnya belum kunjung terlihat, mudik pun serasa perjalanan menuju neraka. Menyiksa jiwa dan raga. Tengok saja pasangan suami istri, Firman (Ibnu Jamil) dan Aida (Putri Ayudya), yang selama perjalanan menuju ke kampung halaman tak pernah sekalipun terlihat cerah ceria berseri-seri. Mereka enggan untuk saling berkomunikasi antara satu dengan yang lain karena mereka sama-sama tahu, membuka mulut sama artinya dengan memulai medan pertempuran. Alhasil, penonton Mudik atau Homecoming arahan Adriyanto Dewo (Tabula Rasa) pun ikut menyusuri rute Jakarta-Jogja dengan perasaan yang tidak mengenakkan lantaran Firman dan Aida adalah karakter sentral dalam film ini. Alih-alih menunggangi pesawat terbang atau kereta api yang bisa memangkas waktu tempuh secara signifikan, keduanya justru memilih untuk mengendarai mobil pribadi yang menjadikan 8 jam seperti selamanya.

Penonton tidak dibiarkan tahu begitu saja mengenai persoalan yang sedang dihadapi oleh pasangan ini. Melalui tukar dialog yang amat minim dan mimik muka para karakternya, kita hanya mendapati informasi bahwa ada masalah besar dalam rumah tangga mereka yang besar kemungkinan dipicu oleh Firman. Karakter ini diperlihatkan tampak menyimpan sesuatu sedari mula. Bahkan, kita mendapatinya berbohong mengenai dering telepon kepada sang istri kala dirinya dijemput di bandara. Selagi mengikuti perjalanan keduanya yang acapkali diisi oleh keheningan, dengan sesekali diselingi oleh adu mulut, pemirsa dibawa menerka-nerka: ada apa sebetulnya? Oleh si pembuat film, tanya ini tidak lantas dibentuk sebagai misteri besar guna memberikan daya pikat tersendiri karena narasi Mudik lebih menekankan pada proses si karakter utama, dalam hal ini Aida, untuk berdamai. Baik berdamai dengan diri sendiri, keadaan maupun orang lain. Seperti esensi dari mudik dan Idul Fitri itu sendiri; perjalanan untuk memulai kehidupan yang baru dan lebih baik dari sebelumnya. Demi mencapai tujuan tersebut, Aida dan Firman mendapat ujian besar di tengah jalan usai mobil mereka tanpa sengaja menabrak motor dan menewaskan pengemudinya. Merasa bersalah, Aida memilih untuk bertanggung jawab yang kemudian membawanya ke kediaman korban dimana dia bertemu dengan istrinya, Santi (Asmara Abigail), yang tidak terima dengan kematian sang suami.

Selama beberapa hari, Aida dan Firman pun terjebak di sana lantaran penduduk “Kampung Dajjal” menuntut adanya permintaan maaf dalam wujud materi. Pada titik ini, Mudik yang telah mencuri perhatian sedari adegan kecelakaan yang diramu intens pun semakin menggeliat dengan melemparkan kritik sosial berkenaan dengan masyarakat yang oportunis dan seksis. Alih-alih mengupayakan adanya mediasi antara dua belah keluarga, beberapa pihak justru memanfaatkannya untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan dalih “kasihan Santi, sekarang dia harus menghidupi ibu dan anaknya,” sementara Santi tidak pernah dilibatkan dalam diskusi apapun. Dirinya justru mendapatkan pengekangan demi pengekangan dari masyarakat karena statusnya sebagai seorang perempuan dan janda. Ini terasa nyelekit, tetapi juga menampar saking relevannya dengan keadaan di sekeliling kita. Bukankah kerap dijumpai oknum yang tega memanfaatkan kemalangan seseorang demi mendapatkan keinginannya? Tidak hanya masyarakat, tetapi juga mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai penegak hukum. Mudik sempat menyorotinya melalui menghilangnya sosok polisi yang mulanya berjanji akan membantu mengurai silang sengkarut ini. Mendadak lenyap tak berbekas yang serta merta mengundang tanya sekaligus kecurigaan mengenai keterlibatan mereka dalam upaya memeras pasangan naas tersebut. Kalaupun tidak, bukankah terasa sama problematiknya lantaran telah melepas tanggung jawab dan menyerahkannya kepada warga desa yang buta dasar-dasar penegakan hukum?

Penonton dihadapkan pada rasa cemas, takut, serta putus asa yang disalurkan secara cemerlang oleh Putri Ayudya melalui ekspresi serta gestur tubuh. Interaksi serba canggungnya dengan Ibnu Jamil yang tidak lagi dicintainya dan Asmara Abigail yang tampak begitu nelangsa, memberi kekuatan tersendiri bagi Mudik yang sayangnya mulai goyah kala misteri dibalik persoalan rumah tangga Aida-Firman mulai diungkap. Meski problematika ini memang nyata adanya di masyarakat, tapi bukankah sudah terlampau jamak dikedepankan sebagai akar permasalahan oleh film-film Indonesia lain? Maksud hamba, masih ada pemantik-pemantik lain yang tidak kalah ganasnya yang boleh jadi akan memberi greget maupun pertaruhan lebih besar bagi hubungan dua karakter ini. Terlebih, konflik batin yang merundung Aida sejatinya sudah cukup untuk memberi pukulan telak kepada masyarakat yang kerap merecoki kehidupan pribadi seseorang dengan pertanyaan basa-basi nyelekit. Adanya momen “pertengkaran besar” di penghujung durasi pun tidak membantu dengan penggambarannya yang kelewat meledak-ledak, cenderung kontradiktif dengan pembawaan film yang di sepanjang durasi yang meletakkan fokusnya pada permainan mimik muka dan gestur yang halus. Di kala Mudik seperti telah kehilangan daya cengkramnya di menit-menit yang semestinya menjadi gong, Adriyanto Dewo berhasil mengangkatnya kembali dengan memberi babak pamungkas yang bukan saja indah ditunjang iringan skoring musik megah gubahan Lie Indra Perkasa, tetapi juga emosional. 

Bisa ditonton di Mola TV

Exceeds Expectations (3,5/5)

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

REVIEW : TIMMY FAILURE MISTAKES WERE MADE 24 Sep 2020 1:08 AM (4 years ago)

“If you love what you do, you gotta fight for it.”

Diangkat dari buku kanak-kanak rekaan Stephan Pastis, Timmy Failure: Mistakes Were Made menyoroti tingkah polah seorang bocah berusia 11 tahun, Timmy Failure (Winslow Fegley), yang mempunyai imajinasi tanpa batas. Tinggal bersama sang ibu, Patty (Ophelia Lovibond), di pinggiran kota Portland, Timmy yang menjalankan agensi detektif swasta bernama Total Failure Inc. ini menganggap dirinya sebagai detektif kelas wahid. Rekannya pun tidak tanggung-tanggung, seekor beruang kutub bernama Total yang konon terdampar di kampung halamannya selepas es di Kutub Utara mulai mencair akibat pemanasan global. Timmy yang berulang kali menekankan “enggan bekerjasama dengan penegak hukum” sejatinya hanya mengambil kasus-kasus remeh seperti tas teman sekolahnya yang menghilang. Itupun bukan berdasar keinginan tulus sang klien, melainkan setelah si tokoh utama terus mendesaknya. Harapan Timmy untuk mendapatkan kasus yang benar-benar serius lantas muncul ketika segway milik Patty yang dikendarainya kemana-mana mendadak raib. Mengingat benda tersebut adalah satu-satunya barang yang dinilai berharga oleh sang ibu, maka tentu saja duo Timmy-Total harus bekerja keras untuk menemukannya. Dalam penelusuran, keduanya mencurigai keterlibatan mafia Rusia yang selama ini mengawasi setiap gerakan yang dilakukan oleh Timmy. Bahkan, ini mungkin ada kaitannya dengan teman sekelasnya yang dijuluki “The Nameless One”.

Sepintas, Timmy Failure: Mistakes Were Made memang terlihat seperti film untuk seluruh keluarga yang ringan-ringan saja. Tokoh utamanya adalah seorang bocah tukang bikin onar dengan konflik inti seputar mencari keberadaan segway milik sang ibu. Oh, plus ada seekor beruang kutub yang tidak pernah sekalipun berkontribusi pada penyelidikan kecuali terdistraksi dengan hal lain dan membuat rekannya ngedumel “that’s a demerit”. Sama sekali bukan hewan yang cerdas. Yang kemudian menjadikan film arahan Tom McCarthy (The Visitor, Spotlight) ini tidak sekopong itu adalah fakta bahwa imajinasi liar sang protagonis merupakan produk dari trauma. Semasa kecil, Timmy ditinggal pergi oleh sang ayah dan semenjak hari menyedihkan tersebut, Patty jarang hadir dalam kehidupan putranya lantaran harus mengambil dua pekerjaan demi membayar kontrakan. Guna mengisi kekosongan, Timmy menciptakan sesosok teman khalayan berwujud beruang kutub yang setia menemaninya kemanapun dia pergi. Keberadaan Total ini pula yang lantas menciptakan benteng penyekat antara si tokoh utama dengan karakter lain. Rasa kecewa yang teramat sangat akibat ditelantarkan oleh orang tuanya secara perlahan tapi pasti membentuk trust issue dalam dirinya sehingga dia kerap melihat siapapun yang mencoba mendekati dirinya – maupun Patty – sebagai ancaman. Dia tidak percaya terhadap cinta, dia tidak pula percaya terhadap bantuan orang lain.  

Mekanisme pertahanan dirinya yang senantiasa bekerja inilah yang membuat karakter Timmy agak sulit untuk disukai bagi sebagian penonton. Diperlukan pemahaman terlebih dahulu mengenai kondisinya agar bisa mengerti karakteristiknya berikut penolakan demi penolakan yang ditunjukkannya. Dia enggan mengucap “ya” dan “maaf”, kosa katanya rumit bak jurnal ilmiah, dan Timmy jelas ogah memperbincangkan permasalahan pribadinya dengan orang lain. Di saat Patty tak mampu menembus benteng yang dibangun oleh sang putra, film menghadirkan dua karakter lain yang bersedia untuk meladeni polah ajaib si bocah. Mereka adalah Crispin (Kyle Bornheimer) yang merupakan kekasih Patty sekaligus seorang petugas parkir dan Pak Jenkins (Craig Robinson) yang bekerja sebagai konselor sekolah. Kepada dua karakter tersebut, Timmy bersedia untuk berbagi mengenai misi yang tengah dilakoninya seperti menghadapi mafia Rusia yang berupaya menyabotase bisnisnya dengan mencuri segway milik Patty. Apakah subteks ini terdengar, errr… berat nan kompleks? Buat penonton cilik yang sudah kedarung cocok dengan produk-produk hiburan yang penuh gegap gempita dengan tempo bergegas, bisa jadi demikian. Timmy Failure: Mistakes Were Made tak ubahnya “film kecil” minim momen bombastis yang menghimpun sketsa-sketsa guna memvisualisasikan imajinasi Timmy yang mesti diakui merupakan daya tarik utama film ini. Seringkali nyeleneh dan tak terbayangkan, tapi jelas menggelitik.

Ya, imajinasi si karakter kunci yang infinity and beyond lah yang menghadirkan gelak tawa di film ini. Dari bagaimana dia membayangkan kecerobohan Total yang betul-betul total, bagaimana dia mengartikan sejumlah istilah secara harfiah, dan bagaimana dia memandang permasalahan yang tengah dihadapinya. Terlihat penuh halang rintangan bak film laga yang mendebarkan, meski kenyataannya ya lempeng-lempeng saja. Timmy Failure: Mistakes Were Made yang unggul dalam perkara meramu elemen komedik ini turut terbantu oleh performa mengagumkan jajaran pelakonnya. Perhatikan deh ekspresi Winslow Fegley yang angkuh seolah dia punya kemampuan bak Sherlock Holmes, kamu mungkin akan sebal bukan kepalang jika berada dalam posisi musuh bebuyutannya, Pak Frederick (Wallace Shawn), yang juga gurunya. Rasanya minta digiles. Tapi Wallace Shawn sendiri tidak jauh berbeda karena karakternya dideskripsikan sebagai villain berapi-api yang berniat mengenyahkan Timmy. Interaksi benci-tapi-sayang diantara keduanya menjadi salah satu sumber kesenangan dari film ini terlebih kala mereka kucing-kucingan di Bonneville Dam. Asyik sekali. Sementara duo tersebut bertugas menjaga garda komedi, Ophelia Lovibond dan Craig Robinson mempunyai peranan dalam menghidupkan elemen dramatik. Lovibond tampak tulus menyayangi putranya sekalipun dia kerap kewalahan menanganinya, lalu Robinson memberi kesempatan bagi film untuk menyuarakan pesannya sekaligus menghadirkan momen menghangatkan hati. Dari wejangan-wejangan Pak Jenkins, kita bukan saja belajar untuk memahami dan bersimpati kepada Timmy. Tapi juga belajar untuk memahami diri sendiri, mencintai diri sendiri, serta menghargai orang lain.

Bisa ditonton di Disney+ Hostar Indonesia

Outstanding (4/5)  


Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

25 FILM HOROR PALING MENYERAMKAN DALAM 10 TAHUN TERAKHIR VERSI CINETARIZ 18 Sep 2020 2:30 AM (4 years ago)

Saat berniat mengerjakan senarai “25 Film Horor Paling Menyeramkan Dalam 10 Tahun Terakhir”, saya sempat skeptis. Menurut daya ingat hamba yang pendek, tak banyak sajian seram yang membekas di hati. Tapi usai mencoba mengompilasinya dan memanfaatkan ingatan secara maksimal, ternyata oh ternyata… bergelimangan, euy. Pilihannya pun beragam, dari blockbuster, indie, sampai arthouse, dimana rata-rata memperoleh resepsi memuaskan baik dari penonton maupun kritikus. Total jendral, ada lebih dari 50 judul yang berhasil saya kantongi dan putuskan untuk diseleksi kembali menjadi 25 besar. Syarat beserta ketentuannya pun tidak neko-neko – plus sangat subjektif – yakni seberapa kuat film-film tersebut membuat saya terhibur, terngiang-ngiang di benak sampai beberapa hari ke depan, serta tentu saja, bergidik ngeri. Oh, plus dirilis pada tahun 2010-2019.

Berhubung selalu ada perasaan “dibuang sayang”, maka senarai ini pun dimulai dengan…  

Honorable Mentions

# Crawl


Terjebak di dalam rumah saat banjir besar saja sudah ngeri, apalagi ditambah ditemani buaya.

# Gonjiam Haunted Asylum

Uji nyali di bekas rumah sakit yang dikenal angker itu namanya cari penyakit.

# Housebound

Ada yang lebih mengerikan dibanding gangguan gaib, orang tua yang ceriwis dan suka ikut campur.

# Last Shift

Jaga malam sendirian di kantor polisi jelas bukan tugas yang diinginkan oleh siapapun.

# Lights Out

Jangan pernah matikan lampu karena kamu tidak pernah tahu apa yang bersembunyi di balik kegelapan.

# Midsommar

Perjalanan spiritual seorang perempuan dalam mengenyahkan duka ternyata bisa sangat berbahaya.

# Pee Mak

Saat horor dan komedi bisa melebur dengan mulus, hasilnya adalah tontonan yang pecah.

# Ready Or Not

Jangan pernah anggap remeh permainan petak umpet apalagi saat melibatkan senjata berbahaya.

# Us

Bagaimana jadinya kalau ternyata punya “kembaran” yang amat sangat jahat?

# You're Next

Reuni keluarga yang canggung berubah menjadi medan pertempuran penuh pertumpahan darah hanya dalam seketika.

Lalu, inilah saatnya berlanjut ke para penghuni 25 besar…

#25 As Above So Below

Siapa menyangka di bawah gemerlap kota Paris tersembunyi sebuah “dunia” misterius yang dipenuhi jebakan dan ilusi mengerikan? As Above So Below adalah bukti bahwa konsep found footage masih belum kehilangan pesonanya terlebih saat dipadukan dengan materi mumpuni, sekaligus bukti bahwa kamu masih akan mendapati pengalaman menonton yang mendebarkan dari konsep ini.    

#24 We Are Still Here

Pada mulanya, We Are Still Here tampak seperti tontonan seram bertemakan haunted house biasa. Satu pasangan yang baru saja kehilangan anak mereka, pindah ke sebuah rumah tua reyot dan seketika mendapati hal-hal gaib mulai terjadi. Teror hantu-hantuan di paruh awal memang cukup membuat bulu kuduk berdiri, tapi keistimewaan film ini terletak pada babak pamungkasnya yang menggila.

#23 Sinister

Sejatinya, Sinister adalah horor klasik yang bermain-main di ranah rumah berhantu dengan trik penampakan usang. Yang kemudian menjadikannya sebagai tontonan pemberi mimpi buruk adalah atmosfernya yang benar-benar mengusik sedari menit pembuka. Saya masih belum bisa melupakan isi video rumahan yang menampilkan beberapa keluarga kala hendak dieksekusi. Bikin merinding.    

#22 The Invitation

Diundang ke rumah mantan istri dimana peristiwa traumatis pernah terjadi saja jelas tidak terdengar menyenangkan. Betul saja, si protagonis utama mulai mengendus adanya motif terselubung yang menjadikan setiap menit film ini menjadi semakin misterius, mencengkram, serta mencekam. Penonton dibuat bertanya-tanya, apakah kekhawatiran si protagonis ini masuk akal atau sebatas produk trauma?

#21 Terrified

Di pinggiran kota Buenos Aires, rentetan kejadian gaib menghinggapi beberapa rumah dan menciptakan kengerian yang menambat atensi sejak awal. Trik menakut-nakutinya dibangun secara efektif, terlebih saat melibatkan sesosok mayat yang duduk manis di meja makan. Bukan saja meninggalkan bayangan yang sulit dilupakan, tetapi juga rasa was-was lantaran kita tidak tahu apa yang mungkin diperbuatnya.

#20 Sebelum Iblis Menjemput

Timo Tjahjanto kembali dengan ciri khasnya melalui Sebelum Iblis Menjemput yang level kebrutalannya terbilang tinggi. Tanpa ampun, dia terus menerus menghajar penonton dengan teror sedari mula sampai penghujung durasi yang menjadikan kegiatan “menghembuskan nafas lega” mustahil untuk dilakukan. Lagipula, kapan lagi kita bisa melihat Pevita Pearce yang dikenal kalem berubah jadi zombie ganas?  

#19 Green Room

Green Room menghantarkan kita menuju sebuah bar di desa terpencil yang dipunyai kelompok militan neo-nazi. Belum apa-apa, sudah terdengar seperti sebuah tempat yang seharusnya dihindari. Saat satu band diundang tampil di sana dan mereka menjadi saksi pembunuhan, sisa durasi diisi permainan kucing-kucingan yang membuat diri ini pengap karena intensitasnya sanggup terjaga stabil.

#18 Hush

Hush memanfaatkan set dengan ruang gerak terbatas dan karakter inti yang hanya dua orang secara maksimal. Hasilnya, ketegangan tak berkesudahan yang membuat hamba kesulitan untuk memalingkan muka dari layar barang sejenak. Kita bersimpati pada sang target pembunuhan – seorang perempuan tuli yang hidup sendirian di tengah hutan – dan kita berharap dirinya dapat menaklukkan si pembunuh gila yang menyebalkan.

#17 Let Me In

Tidak banyak remake yang memiliki kualitas setara dengan materi sumbernya. Let Me In yang disadur dari film Swedia bertajuk Let the Right One In adalah salah satu yang nggak malu-maluin. Sajian horor yang mengedepankan narasi mengenai persahabatan manusia dengan vampir ini bukan hanya tampak cantik secara presentasi visual, tapi juga mempunyai sederet momen meneror yang memunculkan sensasi bergidik. Jangan-jangan, salah satu sahabatmu ternyata makhluk penghisap darah. Hiii…

#16 Munafik

Saat pertama menonton Munafik, hamba sama sekali tidak menyangka akan dibuat meringkuk. Disamping jump scares yang ditempatkan secara efektif, narasinya yang terasa dekat adalah alasan lain mengapa film ini bisa sedemikian mencekam. Tentang bagaimana orang-orang saleh menjauhi Tuhan dengan caranya masing-masing, dan tentang cara sang sutradara memvisualisasikan adegan kesurupan dimana iblis kebal terhadap lantunan ayat-ayat suci.

#15 The Autopsy of Jane Doe

Sesosok mayat tanpa identitas ditemukan dan penonton dibawa memasuki ruang otopsi yang berada di bawah tanah. Nuansa klaustrofobiknya terasa mencekat sementara kehadiran si mayat jelas sama sekali tidak membantu. The Autopsy of Jane Doe telah membuat penontonnya was-was hanya dari suasana, lalu si pembuat film menambahkannya dengan unsur supranatural yang menjadikan menit demi menitnya kian mencekam.  

#14 The Cabin in the Woods

Duo Drew Goddard dan Joss Whedon berhasil menampilkan teror klasik yang mencekam dengan balutan dialog berselera humor tinggi, sindiran-sindiran atas ramuan klise film horor, dan narasi yang tak mudah ditebak kemana akan bermuara di sini. 20 menit terakhir The Cabin in the Woods membuktikan betapa cerdasnya sang sutradara dalam membingkai sebuah kado istimewa untuk para penikmat tontonan seram.    

#13 The Babadook

Idenya menarik, mengenai memedi yang mencuat dari buku kanak-kanak dan meneror bocah yang membacanya. Desain si monster pun bikin bergidik ngeri dengan giginya yang runcing dan jari-jari tangannya yang panjang. Namun sumber kengerian utama The Babadook bukan berasal dari si monster, melainkan dari tokoh ibu yang belum bisa menerima kehilangan. Lukanya secara perlahan tapi pasti mendorong dia bertransformasi menjadi sosok beringas yang tak lagi dikenal oleh sang anak.

#12 Get Out

Mengunjungi rumah calon mertua boleh jadi memberi pengalaman menegangkan bagi beberapa orang. Oleh Jordan Peele, pengalaman ini dielaborasinya menjadi sajian horor menggigit dengan sentuhan komedi dan kritik sosial dimana istilah “too good to be true” berlaku. Melalui kacamata si tokoh utama, kita bisa merasakan adanya kejanggalan dari sikap pelayan, tamu, sampai si pemilik rumah yang tampak terlalu kaku maupun terlalu sempurna. Rasanya diri ini ingin teriak kepadanya, “cepat keluar dari sana!” 

#11 It: Chapter One

Jika saya adalah Stephen King, saya akan bangga sekali terhadap interpretasi termutakhir dari It ini. Bukan saja cakap dalam menggambarkan ikatan persahabatan para karakternya, It: Chapter One pun luwes dalam menggeber momen-momen menyeramkan yang menciutkan nyali. Sensasi yang diberikannya seperti tengah menjelajahi wahana rumah hantu; seru, menegangkan, sekaligus menyeramkan. Kita bisa berteriak-teriak, lalu ketawa-ketawa setelahnya. Plus, Pennywise bangke sekali di sini!

#10 A Quiet Place

Hidup tanpa boleh bersuara saja sudah menyiksa, apalagi ditambah adanya monster yang selalu siap siaga untuk menerkam setiap kali kamu bersuara. Bisa dibayangkan dong seperti apa tekanannya? Premis high concept ini berhasil diejawantahkan oleh John Krasinski melalui karya perdananya yang amat mencekam. Saking mencekamnya, A Quiet Place memungkinkan bagi penonton untuk ikut merasakan bagaimana sumpeknya hidup para keluarga di film ini termasuk merasakan sakitnya tertusuk paku yang merupakan salah satu villain terbaik dalam khasanah tontonan horor.  

#9 Doctor Sleep

Meski Doctor Sleep memiliki muatan laga cukup kental bak tontonan superhero dengan tampilan visual cukup imajinatif nan membangkitkan selera, film tetaplah menghembuskan kengerian yang bersumber dari nada pengisahan yang suram, tindakan sang villain dalam menyedot “uap” dari para pemilik kekuatan khusus yang didahului dengan siksaan keji, sampai referensi ke film pertama (The Shining) yang acapkali menyeramkan. Bagaimanapun juga, apapun yang melibatkan Hotel Overlook tidak akan pernah bisa menggoreskan imaji yang indah.    

#8 Pengabdi Setan

Jawaban dari tanya, “apakah Pengabdi Setan versi Joko Anwar ini lebih mencekam dibanding pendahulunya?,” memang akan sangat relatif. Namun bagi hamba secara pribadi, Pengabdi Setan versi anyar ini sanggup menimbulkan mimpi buruk. Salah satu film horor Indonesia paling menyeramkan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam perjalanan mengarungi wahana rumah berhantu ini, saya beberapa kali dibuat terperanjat seperti pada adegan lempar selimut, mendengarkan drama radio, pipis di tengah malam, sampai tiap kali terdengar suara gemerincing lonceng Ibu.

#7 Don’t Breathe

Don’t Breathe mempunyai setumpuk adegan yang memungkinkanmu berkeringat dingin, mengeluarkan sumpah serapah, dan kesulitan menghembuskan nafas lega lantaran daya cekamnya yang tidak main-main. Tanpa perlu diberi peringatan untuk “jangan bernafas”, hamba sudah terlebih dahulu menahan nafas karena bagaimana mau bisa bernafas lha wong film ini sedemikian mencekamnya. Saya hanya ingin tiga berandalan di sini bisa terbebas dari cengkraman si pria buta yang rupa-rupanya jauh lebih berbahaya dari yang diperkirakan.

#6 The Wailing

Bagaimana seandainya seorang misterius tiba-tiba datang ke desamu dan sejurus kemudian, wabah sulit terjelaskan melanda seantero desa? Pertanyaan berbau pengandaian tersebut jelas mengerikan saat betul terjadi, bahkan ketika sebatas kisah fiktif dalam The Wailing pun telah sanggup memberikan efek ngeri. Pemicunya adalah permainan atmosfer yang memicu kegelisahan, jalinan pengisahan sarat misteri yang memantik diskusi, serta faktor kedekatan. Tidak bisa disangkal, aktivitas berbau klenik mudah dijumpai di sekitar kita.

#5 Train to Busan

Kita bisa berteriak-teriak, “ayo lekas lari, lekas,” saat gerombolan zombie bersiap memangsa para karakter dalam Train to Busan. Kita ikut diliputi amarah membara tatkala salah seorang karakter egois bersama gerombolan hasutannya mengisolasi karakter-karakter yang tak sejalan pemikiran dengan mereka. Lalu, kita pun merasakan ketidakrelaan teramat sangat ketika satu persatu tokoh baik mulai terinfeksi. Kemampuan untuk melibatkan emosi secara penuh inilah yang membuat atensi penonton sanggup terpancang di sepanjang durasi yang berlangsung amat menegangkan. 

#4 Hereditary

Nada pengisahan yang depresif disertai imaji-imaji yang mengganggu (halo, kepala buntung!) adalah jalan yang ditempuh oleh Hereditary untuk menggoreskan trauma kepada penonton. Coba bayangkan kamu dibawa memasuki rumah minim penerangan, lalu dipertemukan dengan satu keluarga disfungsional yang tingkah polahnya senantiasa membuat gelisah, dan kita diperangkap di sana. Tentu, ini definisi sesungguhnya dari mimpi buruk apalagi jika kemudian kamu melihat ada yang terbakar dan merayap di dinding.

#3 Under the Shadow

Seringkali, saat kita bisa merasakan ada sesuatu yang salah tapi kita tidak dapat melihatnya, itu terasa lebih meneror lantaran ketidaktahuan mengenai apa yang sejatinya sedang dihadapi. Under the Shadow mempermainkan ketakutan dan imajinasi penonton dengan cara tersebut dimana keganjilan-keganjilan kerap dijumpai tanpa sumber yang pasti. Benarkah ada makhlus halus yang mengganggu si pemilik rumah? Kalaupun tak ada, film memiliki sumber teror lain yang ancamannya lebih nyata yakni bermukim di tengah zona perang dan pemerintah yang opresif.  

#2 The Conjuring / The Conjuring 2

Sulit untuk memilih salah satu karena dwilogi The Conjuring mempunyai kualitas setara dalam hal bercerita maupun menakut-nakuti. Saat diri ini mengira momen hide and clap dari jilid awal telah menetapkan standar tinggi dalam perkara meneror, babak kedua mempersembahkan sosok biarawati ikonik dan “menggubah ulang” satu dua tembang klasik menjadi lagu pengundang memedi. Alhasil, terlonjak, berteriak diikuti tawa gemas guna melepas cemas, sampai meringkuk manis di balik jaket atau bantal adalah reaksi yang sangat mungkin kamu alami kala menyaksikan dwilogi ini.  

#1 Insidious

Hal terbaik dari Insidious adalah saya tidak pernah memprediksi film garapan James Wan ini akan membuat hamba lemas tanpa daya di dalam bioskop. Terornya gila tidak main-main, Bung! Di kala kepercayaan terhadap sajian horor dari Negeri Paman Sam telah merosot drastis, film ini mengembalikannya dengan mempersembahkan tontonan seram yang memakai formula klasik: rumah berhantu. Kepiawaian sang sutradara dalam mengatur waktu dan trik penampakan adalah alasan utama mengapa setiap jump scares yang kamu jumpai di sini terasa tepat guna. Tak ada yang mubazir, semuanya efektif dalam merontokkan bulu kuduk apalagi ditambah sokongan iringan musik biadab dari Joseph Bishara. Perlu diingat, film inilah yang menciptakan tren berwisata ke dunia astral dalam banyak tontonan horor setelahnya.

Apakah kamu mempunyai film favorit yang tidak tercantum dalam daftar di atas? Mari dibagi lewat komen.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?