Jakarta,
25 Agustus 2014. -- Berbeda dengan umumnya orang awam yang menganggap
lumrah saat menyaksikan buah-buah apel berjatuhan ke atas tanah, Isaac
Newton justru berpikir keras. “Apa yang menyebabkan buah-buah apel
meluncur ke bawah ketika jatuh? Kenapa bukan ke atas?”.
| |
Peristiwa munculnya pemikiran sederhana itu, ternyata menjadi momen
penting tercetusnya “teori gravitasi” di kemudian hari. Itulah “Momentum
Tuhan” atau “Moment Of God”. Momentum yang terjadi hanya dalam
periode waktu yang singkat, tapi mampu menjadi sebuah titik balik
spektakuler yang menyebabkan munculnya sebuah perubahan besar. Momentum
yang juga mampu membuat seseorang berubah nasib menjadi sangat sukses. Ada 3 (tiga) jenis momentum yang bisa terjadi, yaitu:
I. Enlightenment (Pencerahan)
Ciri-ciri terjadinya Moment of God (MOG) jenis ini memperlihatkan bahwa ada seseorang yang secara mendadak dan seketika memperoleh inspirasi yang sangat kuat. Substansi dari inspirasi itu sendiri bisa sangat berbeda dengan apa yang selama ini dia impikan, rencanakan atau usahakan. Selain itu datangnya pun seakan-akan disertai tenaga mental yang maha dahsyat, sehingga yang bersangkutan tidak mampu menolak, menghindar atau memilih opsi lain selain dari inspirasi yang dia terima. Contoh orang-orang yang mengalami “Enlightenment” antara lain adalah: Conrad Hilton dan Isaac Newton yang kita sudah kita singgunng di atas.
II. Alignment (Penyelarasan)
Dalam peristiwa “Alignment” atau disebut juga peristiwa “Penyelarasan”, sang pelaku dalam pengembaraan hidup/bisnisnya bertemu dengan seorang tokoh penting, yang kemudian akan membawanya ke jenjang kesuksesan. Peran tokoh tersebut sangat vital dalam kehidupan profesional sang pelaku, sehingga seakan menjadikannya sebagai “Success Guide” atau “Sang Pemandu Kesuksesan”. Banyak tokoh yang mengalami momen “Alignment”, antara lain: Bill Gates, Soichiro Honda, Bob Sadino, Mike Tyson dan lain-lain.
III. Endowment (Keberkahan)
Beberapa tokoh sukses mengalami kesuksesannya hampir tanpa usaha sama sekali. Baik dirinya sendiri, orang-orang dekat sampai pun masyarakat banyak tidak pernah menyangka bahwa yang bersangkutan tiba-tiba akan mengalami kesuksesan dalam kehidupannya. Peristiwa inilah yang disebut “Endowment” alias “Keberkahan”, yaitu suatu anugerah yang langsung diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa kepada yang bersangkutan. Ini pula yang oleh banyak orang disebut sebagai “garis tangan”, “hokkie” atau “peruntungan”. Di Indonesia banyak yang mengalami momen “Endowment”, salah satunya adalah Olan Sitompul, penyiar RRI, yang memenangkan undian berskala besar beberapa tahun lalu.
Nah, selama ini kita para pendamba kesuksesan – baik di dunia bisnis mau
pun di dunia profesional – telah berupaya mati-matian siang malam demi
meraih sebuah benda ajaib bernama KESUKSESAN itu. Kita bekerja keras,
mengumpulkan modal, keluar masuk ruang seminar, belajar membuat
perencanaan bisnis yang hebat, belajar jurus-jurus marketing yang
dahsyat dan lain sebagainya. Tapi, hasilnya tidak terlalu signifikan.
Apa sebab?
Sebabnya adalah kita telah salah dalam mengimplementasikan konsep “do the right thing”.
Kita telah meletakkan tangga karir kita ke dinding yang salah, yang
bukannya mengantar diri kita ke puncak kesuksesan, melainkan ke puncak
kelelahan. Untuk mencapai kesuksesan, bukan kerja keras yang dibutuhkan.
Melainkan bagaimana caranya agar memperoleh “Moment Of God”
sebagaimana orang-orang sukses telah mengalaminya lebih dulu. Bagaimana caranya?
Ijinkan saya untuk menyampaikan pada Anda beberapa artikel lanjutan
tentang kisah-kisah bagaimana para tokoh sukses mengalami “Momentum
Tuhan” dan setelah itu bagaimana kita juga bisa mengalami hal serupa.
Semoga bermanfaat!
| |
Rusaman Hakim Chairman Rusman Hakim Unlimited Corporation Entrepreneurial Inspirator & Public Speaker SME Business Consultant Email: rusman@media-wirausaha.com, rusmanhakim@yahoo.com |
“HOT..HOT..OH.. SO HOT..!
Salah satu tayangan iklan yang cukup heboh di televisi beberapa waktu lalu, adalah iklan produk mie instan yang diberi nama “selera pedas”. Tayangannya memang menarik, di mana diperlihatkan perempuan-perempuan muda berkostum ketat warna merah menyala, meliuk-liuk menarikan tarian dinamis sambil diiringi musik keras dengan lagu yang berlirik: “Hot..hot..oh.. so hot..!” dan seterusnya.
Buat saya, kata “HOT” mempunyai makna tersendiri. Sebagai kata dasar yang berarti “panas” atau “pedas”, maka akan tergambar dengan kuat dalam benak saya sesuatu yang mengandung passion, semangat, gairah serta daya juang yang menggebu-gebu.
Begitulah seharusnya kita hidup di dunia ini. Tidak peduli siapa kita, apakah kita seorang karyawan profesional ataukah seorang entrepreneur, maka sudah selayaknya kita melakoni kehidupan dengan “HOT”, penuh passion, penuh semangat, bergairah serta didukung oleh daya juang yang menggebu-gebu.
Bagaimana penjabaran dan implementasinya? Haruskah setiap hari kita menyisihkan waktu untuk menari-menari secara HOT seperti perempuan di tayangan iklan selera pedas?
Bukan! Bukan begitu. Menurut saya kata “HOT” dapat dijabarkan sebagai kependekan dari 3 buah kata, yaitu: “Hati – Otak – Tangan”. Tentu masing-masingnya memiliki makna sendiri-sendiri, yang apabila dipersatukan akan merupakan sebuah paket ampuh yang dapat membawa kita ke jenjang penghidupan sukses.
HATI, menunjukkan integritas, ketulusan dan kejujuran, good attitude, keinginan melayani dan kemauan memberikan nilai tambah. Anda bisa percaya bahwa dengan satu unsur ini saja, bila semua orang memiliki hati yang baik dan bersih, maka dunia dijamin akan menjadi suatu tempat ternikmat di seantero jagat raya. Tidak ada kecurangan, tidak ada kejahatan. tidak ada korupsi dan kehidupan menjadi damai dan tenteram.
OTAK, memberi kontribusi soal kecerdasan. Ada 3 jenis kecerdasan yang bisa dianggap terkait dengan kinerja otak. Seperti kita tahu, ketiganya terdiri dari: Kecerdasan Intelektual (Intellectual Intelligence=II), Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence=EI) serta Kecerdasan Spiritual (Spiritual Intelligence=SI).
Dengan ketiga jenis intelijensia inilah, kita sebagai manusia akan mampu mewujudkan tidak saja “kerja keras”, tetapi lebih dari itu kita juga mampu melakukan “kerja cerdas”. Dan oleh karenanya cita-cita umat manusia untuk senantiasa menciptakan peningkatan kesejahteraan yang menyeluruh dan berkesinambungan, kita yakini dapat tercapai.
TANGAN, merupakan manifestasi dari “kerja”, “komitmen” dan “action”. Tiada perubahan yang benar-benar dapat dijelmakan, apabila tidak ada implementasinya di dunia nyata. Rancangan, rencana, imajinasi atau mimpi akan tetap dalam keadaannya yang “intangible” (maya, semu, tidak nyata) selama tidak ada perbuatan nyata yang membuatnya menjadi “tangible” (berwujud).
HOT adalah esensi kehidupan manusia. Lebih jelasnya, HOT merupakan modal paling hakiki yang dimiliki manusia, yang dengan itu seharusnya kita semua tidak gentar menghadapi segala tantangan kehidupan.
HOT tidak menyiratkan kata-kata yang terkait dengan uang. Kalau Anda seorang calon entrepreneur, itu artinya Anda tidak perlu memusingkan soal ketersediaan uang untuk modal memulai usaha. HOT adalah modal yang sesungguhnya, karena dengan HOT Anda bisa mendapatkan uang.
Kalau Anda seorang profesional, hal ini akan lebih jelas lagi. Seorang profesional sejati tidak pernah memerlukan uang untuk mendapatkan pekerjaan. HOT yang Anda milikilah yang memungkinkan Anda dipercaya menduduki sebuah jabatan. Kecuali, kalau Anda memang seorang profesional tidak qualified, yang biasa melakukan sogok-menyogok untuk memperoleh posisi.
Pada galibnya, kehidupan seorang profesional mau pun seorang entrepreneur tidaklah jauh berbeda. Keduanya seharusnya tidak memerlukan uang untuk modal bekerja atau berusaha.
Nah, dengan penjabaran ini, semoga Anda menjadi yakin bahwa banyak jalan menuju Roma. Apa pun jalan yang Anda ambil, profesional kah atau entrepreneur kah, semuanya sama saja. Anda hanya perlu HOT saat memulai, dan UANG akan datang kemudian.
Selamat bekerja..
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Profec’s Entrepreneurial Leadership Center
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144
DUCK IN THE LAND, DUCK IN THE WATER
Terkadang kita merenung, faktor apakah sebenarnya yang menentukan kesuksesan seseorang dalam hidup ini?
Kita pasti sudah sering mendengar, bahkan diindoktrinasi secara keras oleh orang tua, guru, para senior dan lain-lain, bahwa kesuksesan hidup harus dicapai dengan kerja keras serta pengorbanan.
Bersakit-sakit lebih dahulu, bersenang-senang kemudian..
Tiada hasil tanpa pengorbanan..
No pain, no gain..
Kalimat-kalimat seperti itu boleh dikatakan sudah menjadi konsumsi kita sehari-hari. Namun mengapa yang terjadi sejauh ini, seakan tidak pernah selaras dengannya? Jangankan sukses dan bersenang-senang, untuk mencukupi hidup sehari-hari pun rasanya sudah setengah mati.
Banyak dari kita sudah belasan bahkan puluhan tahun menjalani kehidupan yang penuh kesakitan dan pengorbanan ini. Pengorbanan fisik, pengorbanan finansial atau pun pengorbanan perasaan, tidak kurang-kurang kita berikan demi meraih kebahagiaan hidup yang kita dambakan beserta keluarga. Hasilnya? Tidak ada yang signifikan.. semua serasa jalan di tempat saja..
Saya jadi teringat akan petuah seorang guru motivasi yang pernah mengajar saya pada tahun 1986 dan 1987, lebih dari 20 tahun yang lalu. Beliau orang Singapura, namanya David Chia. Dalam salah satu sesi pelatihannya, David memperkenalkan sebuah analogi yang dinamakan “DUCK IN THE LAND, DUCK IN THE WATER” atau “Bebek Di Atas Tanah, Bebek Di Dalam Air”.
Apa urusan kita dengan bebek?
Bebek merupakan salah satu jenis binatang yang mendapat berkah Tuhan, sehingga ia bisa berjalan dan berlari di atas tanah, dan dapat pula berenang-renang di atas air. Namun demikian coba perhatikan, dari dua tempat itu, di manakah bebek tampak paling bahagia?
David menjelaskan bahwa meski bebek mampu dan tidak bermasalah untuk berkiprah di atas tanah, namun puncak kebahagiaan hewan ini justru ketika berenang-renang di atas air. Di atas airlah seekor bebek akan merasa bebas sebebas-bebasnya, bercengkerama dan berselancar ke sana-ke mari sambil membersihkan bulu-bulu sayapnya yang indah, dan bersikap seakan seisi dunia menjadi paradiso nan indah ceria baginya.
Fenomena bebek ini menjadi referensi bahwa banyak orang di antara kita yang selama bertahun-tahun menjalani kehidupan bagai “DUCK IN THE LAND”, atau bebek yang berjalan di atas tanah. Kenapa?
Karena mereka telah menjalani pengorbanan yang begitu berat demi membangun kehidupan, dengan jalan bekerja di bidang-bidang yang tidak disukai. Bekerja di suatu tempat di mana kreativitas tidak dapat berkembang. Atau bekerja dengan gaji yang tidak mencukupi, namun tidak pernah berani angkat kaki guna mencari peluang yang lebih baik. Dan semua itu, dengan penuh penderitaan dijalani selama bertahun-tahun tanpa henti.
Kenapa mereka seakan tidak pernah berusaha untuk berontak dari keadaan status quo, guna mencapai keadaan yang lebih berbahagia seperti layaknya “DUCK IN THE WATER”?
Sebab, mereka belum menyadari bahwa jalan ke arah itu ada. Dan bahwa jalan bahagia itu tidak perlu ditempuh dengan penuh rasa sakit serta derita. Dan juga bahwa dunia ini sesungguhnya tidaklah sesuram yag mereka sangka. Tuhan sudah memberikan komposisi yang sama baik bagi penderitaan, mau pun bagi kebahagiaan. Dan Dia sudah menyerahkan sepenuhnya kepada manusia, bagian mana yang akan dipilih. Penderitaankah, atau kebahagian?
Kehidupan memang hanya masalah pilihan..
Nah, lebih lanjut David memberikan penjelasan bahwa untuk sukses menemukan kebahagiaan, ada sebuah fomula yang mengatakan: “Kesuksesan terjadi pada saat kekuatan menemukan tempatnya yang sesuai..”! Ini juga yang menjadi analogi: “DUCK IN THE WATER”.. sebagaimana seekor bebek yang memiliki kekuatan untuk berenang-renang, bertemu dengan air telaga yang sejuk dan jernih..
Kalau seekor bebek secara naluriah sadar akan kekuatannya dalam hal berenang di atas air, dapatkah kita menyadari kekuatan apa yang kita miliki agar bisa mengarahkannya pada situasi lingkungan yang sesuai?
Andaikata pencarian tentang kekuatan apa yang kita miliki terasa sulit, ada panduan yang mudah. Yaitu, tinggalkan aktivitas kita yang sekarang hanya memberi penderitaan, dan temukan bidang pekerjaan yang kita sukai. Kalau perlu, jika kita sekarang seorang karyawan, jadilah usahawan. Perdalam kompetensi kita di bidang tersebut, cermati munculnya kesempatan, rebut peluang dan jadilah raja di sana.
Semoga kita semua menjadi “DUCK IN THE WATER”..!
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Profec’s Entrepreneurial Leadership Center
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
HOME SWEET HOME, WORK SWEET WORK
Banyak orang mengatakan bahwa seburuk apapun keadaan rumah kita, rumah kita tetaplah istana kita. Rumahlah satu-satunya tempat yang dapat memberikan kedamaian, ketenteraman serta kebahagiaan hakiki. Tidak ada tempat lain di dunia ini yang bisa memberikan kebebasan untuk melepaskan diri dari segala belenggu dan topeng-topeng kehidupan, selain di rumah sendiri.
Maka, sungguh indah dan sungguh tepatlah ungkapan: “Home Sweet Home..!”
Namun demikian, kebahagiaan di rumah belum tentu bisa dibawa ke tempat lain, kantor misalnya. Bahagia di rumah, belum tentu bahagia di kantor. Kenyataannya, banyak orang merasa sangat-sangat sulit untuk mengadaptasi kebahagiaan di rumah, ke tempat mereka bekerja. Terlalu banyak intrik dan provokasi yang muncul dan terjadi di lingkungan kerja.
Simaklah apa yang dirasakan oleh mereka yang berprofesi sebagai karyawan profesional. Mereka sering kali merasa “ada ancaman” bahwa sewaktu-waktu mereka bisa di PHK. Perasaan tidak nyaman juga datang dari “ulah” para atasan, para bos (atau bukan bos tapi sangat “bossy”) yang terasa semena-mena memerintah ini dan itu.
Belum lagi persaingan antar karyawan yang begitu ketat, sampai-sampai mencuatkan manuver-manuver tidak sehat mulai dari trik-trik “carmuk” alias “cari muka”, sampai pada pergunjingan dan fitnah terselubung.
Kejadian-kejadian semacam itu, sedikit banyak akan mendistorsi suasana kebahagiaan yang kita bawa dari rumah ke tempat di mana kita berkarir.
Sayangnya, buat kebanyakan orang, tekanan dan stres di tempat kerja sudah dianggap lumrah. Memang itulah budaya hidup di tempat kerja, mau apa lagi?
Hampir semua orang menghabiskan sebagian besar dari waktunya di tempat kerja. Katakanlah, rata-rata orang sekarang bekerja selama 10 – 12 jam sehari. Ini artinya mereka mendedikasikan 50% dari 24 jam waktu yang dimilikinya untuk fokus di sektor karir. Sedangkan 50% lagi dibagi-bagi untuk kegiatan-kegiatan lainnya, seperti bercengkerama dengan keluarga di rumah, bersosialisasi dengan masyarakat, beribadah, belajar, pergi ke gym untuk olahraga dan lain-lain.
Dari situ kita dapat menyimpulkan bahwa manusia masa kini rata-rata hidup tidak bahagia, karena waktunya dominan berada di tempat yang tidak bahagia, yaitu di kantor atau di lingkungan kerja yang penuh dengan tekanan dan stres.
Namun toh orang tidak bisa menghindar dari keharusan kerja, sebab, inilah satu-satunya aktivitas yang merupakan “earning center”, pusat penghasilan yang membiayai semua kegiatan orang yang bersangkutan. Aktivitas-aktivitas lainnya yang berhubungan dengan keluarga, kegiatan sosial, spiritual, kesehatan fisik-mental, semuanya merupakan “cost centers” alias pusat-pusat biaya.
Jadi wajarlah kalau mengingat kepentingannya, kita semua mengalokasikan waktu terbanyak untuk membina karir. Lantas bagaimana caranya agar dalam bekerja kita pun bisa tetap berbahagia? Kalau di rumah kita dapat membangun “home sweet home”, mengapa di kantor kita tidak bisa membangun “work sweet work”?
Berdasarkan observasi, kebanyakan orang bekerja semata-mata dilatarbelakangi motivasi untuk mencari nafkah (subsistence motivation). Mereka merasa harus bekerja karena harus memberi makan diri dan keluarganya. Harus menyekolahkan anak-anaknya. Dan harus membiaya semua kebutuhan operasional rumah tangganya. Harus dan harus..
Dengan motivasi yang “serba harus” ini, tidak heran kalau suasana kerja menjadi sangat tegang dan stres. Kuatir kalau gaji tak mencukupi, tentu tidak bisa lagi memberi makan dan menyekolahkan anak. Kuatir akan ancaman PHK, sama dahsyatnya dengan kuatir akan kiamat.
Bagaimana orang bisa bahagia kalau setiap hari dicekam ketakutan seperti itu?
Untuk membangun suasana “work sweet work”, perlu dilakukan perubahan total atas paradigma dan motivasi kita untuk bekerja. Jangan berfikir bahwa bekerja hanya semata-mata untuk mencari nafkah. Kita harus berfikir jauh lebih besar dari itu. “Think Big”, kata David J. Schwarz.
Bekerja juga harus “enjoyable”, bisa dinikmati semaksimal mungkin. Oleh sebab itu, ada 2 langkah sederhana untuk dapat menjadikan kita bahagia dalam pekerjaan. Yang pertama: cari atau pindah kerja yang bidangnya sesuai dengan kesenangan kita. Tinggalkan saja pekerjaan yang sekarang kalau kita merasa tidak bahagia di situ. Jangan takut, karena dengan bekerja di bidang yang kita senangi, peluang untuk maju akan lebih besar sekian kali lipat. Kalau perlu, bila kita sekarang berstatus karyawan, jadilah seorang usahawan!
Langkah kedua: jadilah raja di sana! Guna menjadi nomor satu di suatu bidang, tentu kita harus piawai. Nah, untuk belajar dan menjadi piawai di suatu bidang yang kita senangi, akan sangat mudah dibanding belajar dan menjadi piawai di bidang yang kita benci. Akan lebih ideal lagi kalau bidang yang disenangi itu adalah juga bidang hobi kita.
Kita akan menjadi seekor harimau yang tumbuh sayap! Dalam kondisi ini, tidak perlu lagi takut di PHK. Tidak perlu lagi stres karena diperintah-perintah orang lain. Dan tidak usah lagi “carmuk” atau sikut-sikutan bersaing dengan teman sejawat.
Selama ini, “Work Sweet Work” jarang menjadi perhatian orang, berbeda dengan “Home Sweet Home” yang selalu didamba dan dibicarakan di berbagai media. Namun demikian seyogyanya kita menyadari bahwa “Work Sweet Work” merupakan energi alamiah yang vital bagi kehidupan setiap orang.
Kadang kita merasa ganjil ketika menyaksikan seorang dokter gigi yang lebih suka main film daripada membuka praktek perawatan gigi. Atau melihat insinyur yang lebih senang bermain musik katimbang menggeluti profesi keteknikan. Aneh ketika tahu bahwa ada pengacara yang ahli hukum eh.. malah getol jadi bintang sinetron.
Saya menangkap bahwa itulah gejala bekerjanya fenomena “Work Sweet Work”, di mana secara disadari atau tidak, beberapa orang yang peka telah mengikuti suara hati nuraninya untuk mencari dan membangun dunia serta kerajaannya sendiri. Di dunia dan kerajaan yang di dalamnya mereka bisa menemukan kebahagiaan sejati.
Maka sebaliknya dari mencibir dengan perasaan aneh, saya justru ingin memberi acungan jempol. Mereka berani tampil beda, dan dengan itu mereka berbahagia.
“Work Sweet Work” adalah sebuah wahana earning center yang subur, kehadirannya akan mendukung “Home Sweet Home” yang indah. Sebaliknya, tanpa “Work Sweet Work”, rona keindahan “Home Sweet Home” akan meredup dan pudar tanpa bisa memberikan kebahagiaan yang berarti. (rh)
*** Artikel ini dapat Anda baca juga di portal wirausaha http://www.gacerindo.com, dilengkapi dengan gambar.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
LifeWisdom Presenter
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
POWER OF THE VERBS
Dalam suatu seminar, seorang peserta berkeluh-kesah kepada Stephen Covey, bahwa kehidupan rumah tangganya tidak bahagia. Ia dan isterinya sudah tidak sepaham lagi, sehingga terlalu banyak pertengkaran yang terjadi. Oleh sebab itu, ia ingin Covey memberinya jalan keluar. “Apa yang harus saya lakukan, Tuan Covey?” demikian ia bertanya.
Setelah berfikir sejenak Stephen Covey menjawab: “Cintai isterimu..”
Sang penanya tertegun, lalu ia menegaskan: “Anda tahu Stephen, saya sudah tidak cinta lagi pada isteri saya. Jadi apa yang harus saya perbuat?”
“Cintai isterimu..”, Stephen Covey mengulangi jawabannya.
“Anda tentu tidak mengerti bahwa sesungguhnya sudah tidak ada lagi perasaan cinta di hati saya terhadap dia..” sang peserta tetap pada pendiriannya.
“Kawan..! Yang saya maksud di sini adalah ‘cinta’ dalam kata kerja. Bukan ‘perasaan cinta’ sebagai kata benda atau kata keadaan. Jadi Anda harus mencintai isteri Anda dalam kata kerja. Lakukanlah, cintai isteri Anda dan Anda akan menemukan cinta itu kembali..”
Meski petikan dialog di atas kelihatan sederhana, namun sebenarnya yang dibahas oleh Stephen Covey adalah sebuah kunci kesuksesan hidup. Sebuah “resep rahasia” yang akan mampu menuntun manusia ke arah kebahagiaan sejati dalam kehidupan yang hingar-bingar ini. Mengapa demikian?
Sebagian besar orang memang lebih banyak menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada “kata benda” atau “kata keadaan”. Lebih tepatnya, pada “sesuatu” baik berupa benda, orang atau pun lingkungan.
Yang lebih mengherankan adalah kenyataan bahwa rata-rata manusia hanya mau atau hanya bisa berbahagia, kalau ada alasan tertentu untuk itu. Coba perhatikan kalimat-kalimat di bawah ini:
“Saya akan sangat berbahagia bila saya berhasil menjadi orang kaya..!”
“Mobil mewah itu sungguh bagus, berteknologi tinggi serta memberikan prestise tersendiri. Alangkah berbahagianya bila saya dapat memilikinya..”
“Dunia serasa gelap, dan tiada lagi kebahagiaan yang tersisa semenjak saya ditinggal oleh kekasih yang sangat saya cintai..”
“Hari mendung menjelang hujan lebat, jalanan macet pula. Hati saya benar-benar tertekan hari ini..”
Empat contoh kalimat di atas menunjukkan secara jelas, betapa banyak orang yang menggantungkan kebahagiaanya pada keadaan (kekayaan), pada benda (mobil mewah), pada orang (kekasih) dan pada lingkungan (cuaca mendung dan jalan macet).
Padahal, kalau kita mau berfikir jernih, mengapa pula kebahagiaan itu harus dilekatkan pada hal-hal di luar kita, baik benda, orang, keadaan mau pun lingkungan?
Kekuatan Kata Kerja
Sejak kelahiran manusia pertama di atas bumi, Tuhan Yang Maha Esa telah memberi perintah agar manusia aktif bekerja untuk dapat mempertahankan hidup. Dalam segala hal, manusia harus “taking action”, maka itu artinya ia harus selalu berada dalam lingkup kata kerja.
Patut disyukuri bahwasanya kesadaran dan etos kerja manusia secara fisik berkembang pesat, sehingga tingkat kemajuan teknologi di dunia industri sekarang sudah sedemikian majunya.
Namun apa lacur, kalau pun kekuatan kata kerja telah mampu membawa kemajuan di tingkat fisik, tidak demikian halnya di tingkat mental. Hampir semua orang berfikir bahwa kekuatan kata kerja hanya berlaku atas segala sesuatu yang kita kerjakan secara fisik. Nyaris tidak pernah terfikir bahwa kekuatan kata kerja juga berlaku atas aktivitas-aktivitas mental dan emosi.
Ambil contoh, emosi-emosi negatif seperti kecewa, marah, takut atau perasaan tertekan, adalah unsur-unsur mental yang dianggap sebagai suatu “keadaan” atau “kondisi”, yang terjadi sebagai akibat pengaruh-pengaruh dari luar. Karena merupakan akibat dari pengaruh luar, maka emosi-emosi semacam itu tidak dapat dikontrol oleh yang bersangkutan.
Nyaris tidak ada orang yang mau berspekulasi bahwa emosi sebenarnya juga merupakan aktivitas manusia yang bisa dikendalikan oleh yang empunya tubuh. Aktivitas yang tentunya bisa dilakukan oleh manusia berdasarkan “kata kerja”.
Penyanyi seriosa sekaliber Surti Suwandi atau Pranawengrum, mampu menstimulir dirinya saat menyanyikan lagu sedih, sampai menangis mengeluarkan airmata yang tidak sedikit. Demikian juga apa yang dilakukan oleh para penyanyi opera dan artis film drama.
Hal tersebut merupakan bukti kecil dan sederhana, bahwa emosi pun bisa “dilakukan”. Dan itulah juga yang sesungguhnya dimaksud oleh Stephen Covey, bahwa “cinta” bukanlah sekadar keadaan emosi yang terjadi dengan sendirinya. Cinta adalah juga sebuah aktivitas manusia yang bisa dilakukan kapan saja sesuai dengan inisiatif si pelaku.
Bahagia dan Sukses Juga Merupakan Kata Kerja
Kita perlu prihatin, bahwa sebagian besar orang menganggap seakan-akan kebahagiaan hanya akan datang kalau ada pemicunya, apakah itu berupa harta benda, perhatian atau kasih sayang seseorang, atau stimulus lain.
Hal ini perlu dikoreksi. Sesungguhnya, kebahagiaan dapat dikendalikan sesuai dengan inisiatif orang yang bersangkutan. Jim Dorner, seorang tokoh kepemimpinan pernah mengatakan bahwa manusia sudah sepantasnya berbahagia, dan itu bisa diperoleh cukup dengan mengatakan: ”I want to be happy! I don’t want to be unhappy!”, tanpa mengait-ngaitkannya dengan faktor luar.
Memang, sesuai dengan hukum sebab dan akibat, segala sesuatu yang terjadi senantiasa karena ada suatu alasan yang melatarbelakanginya. Kekeliruan yang selama ini dilakukan oleh banyak orang sehingga mereka sulit untuk merasa bahagia secara terus menerus adalah bahwa latar belakang kebahagiaan mereka selalu diletakkan pada obyek-obyek luar yang mudah lenyap serta di luar kendalinya.
Padahal, sumber-sumber daya yang permanen ada pada diri kita sendiri merupakan alasan terbaik untuk kita bisa selalu merasa bahagia.
Apa saja? Banyak, antara lain keyakinan akan diri, kepiawaian dalam bidang-bidang tertentu, profesionalisme, semangat dan daya juang, naluri avonturisme, proaktivitas, motivasi, visi, serta kedekatan kita dengan Tuhan. Dengan latihan dan kesadaran akan berbagai kemampuan pribadi inilah, pada akhirnya kita akan terbiasa untuk berbahagia setiap saat, tanpa perlu melihat materi luar apa yang kita miliki.
Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin komponen-komponen tak kasat mata (intangible) seperti semangat, kepiawaian, motivasi, kepercayaan diri dan sebagainya itu dapat menjadi alasan untuk kita berbahagia? Bukankah lebih realistis kalau orang merasa bahagia karena memperoleh banyak uang, memiliki rumah besar dan mobil mewah?
Seperti telah disinggung di atas, uang, rumah besar, mobil mewah dan bahkan kasih sayang orang lain, adalah unsur-unsur luar yang tidak sepenuhnya berada di bawah kendali kita. Sifatnya situasional, sehingga setiap saat bisa saja lenyap dari kepemilikan kita.
Sebaliknya, kemampuan diri pribadi merupakan “mesin kehidupan” yang kita miliki secara abadi, tidak akan hilang sepanjang hayat masih dikandung badan. Uang, mobil serta harta benda lainnya mudah diperoleh asalkan kita mau bekerja memanfaatkan “mesin kehidupan” tersebut secara tepat dan benar.
Silahkan direnungkan.(rh)
*** Artikel ini dapat Anda baca juga di portal wirausaha http://www.gacerindo.com, dilengkapi dengan gambar.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
LifeWisdom Presenter
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
PAHLAWANKAH MEREKA?
“Three Wishes” adalah judul sebuah acara di Metro TV yang secara tidak sengaja saya lihat pada hari Sabtu malam kemarin, tanggal 20 Oktober 2007 sekitar jam 19.30.
Isinya berkisah tentang kehidupan istri-istri tentara Amerika, yang suaminya mendapat tugas maju ke medan perang di berbagai tempat di seluruh dunia. Di situ diperlihatkan bagaimana para isteri tentara yang rata-rata masih berusia muda belia, harus melewatkan hari-hari penantiannya dibawah kecemasan, ketakutan serta kekhawatiran mendalam.
Bayangkan saja, hampir setiap hari mereka menerima khabar dari institusi militer yang berwenang, bahwa ada sejumlah tentara Amerika yang gugur. Misalnya, hari ini diketahui ada 3 personel yang terbunuh, hari berikutnya ada lagi kabar bahwa 14 orang serdadu mati di pertempuran. Demikian seterusnya.
Sayangnya, setiap khabar datang pada pertama kali, yang disampaikan itu hanya mengenai jumlah orang yang tewas, tanpa dilengkapi nama-nama siapa saja yang tewas itu. Diperlukan waktu 1 – 2 hari sebelum data para korban menjadi jelas.
Tentu saja – sebagaimana diceritakan oleh seorang ibu muda - isteri-isteri tentara setiap saat harus “berjuang” melawan debaran jantung menunggu kabar buruk yang akan menjelang. Kalau hari ini terbetik berita bahwa Kopral A tewas, itu artinya Nyonya A seketika menjadi janda, dan anak-anak mereka yang masih kecil mejadi yatim.
Sehingga, hari demi hari mereka lewatkan seakan-akan hanya untuk menunggu giliran siapakah hari ini yang menjadi janda dan siapa pula yang menjadi anak yatim…
Mungkin agak berbeda dari dugaan banyak orang tentang Amerika yang serba makmur, beberapa wanita di “Three Wishes” mengisahkan betapa suami-suami mereka menjadi tentara hanya semata-mata untuk mencari nafkah, guna menghidupi isteri dan anak-anaknya.
Mereka memulai kehidupan dari nol, tidak punya tempat tinggal sendiri dan selalu terbentur dengan berbagai masalah kehidupan, mulai dari soal dapur sampai bagaimana menyekolahkan anak.
Sebagai pasangan muda, tidak heran kalau mereka selalu mendambakan dan berkhayal kalau suatu hari kelak kehidupan rumah tangga mereka akan menjadi mapan. Sudah umum kalau para suami juga melontarkan hajat (wishes) bahwa mereka menginginkan suatu hari nanti akan memiliki sebuah rumah tinggal yang cukup besar dan indah.
Alam mengatur segalanya, dan Dia bekerja dengan caraNya sendiri. “Three Wishes” memperlihatkan betapa pada akhirnya para tentara muda itu – baik yang pulang hidup mau pun yang tinggal nama - mendapatkan anugerah sebagai balas jasa, antara lain sebuah rumah cukup besar yang mereka idam-idamkan untuk mereka tinggali beserta keluarga.
Tampak sebagai sebuah happy ending, tapi benarkah demikian?
Pemirsa sama-sama menyaksikan bagaimana para janda muda yang menggandeng bocah kecil itu menerima pemberian tersebut, dengan senyum kecil tapi mata bengkak yang terus berderai air mata. Sepadankah hadiah rumah yang diterimakan itu dengan nyawa seorang suami yang tak akan pernah bisa hadir bersama kembali?
Demikian juga dengan yang masih hidup. Pada kesempatan berikut, apakah rumah besar itu akan menjadi saksi bisu akan terulangnya masa-masa penantian para isteri atas kepulangan suami, entah dalam keadaan hidup ataukah hanya tinggal nama belaka?
Yang menggelitik perasaan saya adalah, adakah para tentara muda itu bisa dianggap sebagai pahlawan? Untuk siapakah mereka bertempur? Untuk negarakah? Dan untuk apa?
Mereka berperang nun jauh di sana, entah di Irak, di Afghanistan atau di tempat lainnya. Sementara itu tidak ada yang janggal dengan peri kehidupan di seluruh Amerika Serikat. Semua orang sibuk dengan kegiatan rutin, pagi hari pergi kerja ke kantor, sore hari mampir ke kedai minum sejenak melepas lelah sebelum pulang ke rumah, hari libur berekreasi bersama keluarga dan seterusnya. Semua normal, damai dan biasa-biasa saja, tiada perang tiada pula pertempuran.
Lantas, kenapa harus ada sebagian masyarakat yang tidak bisa menikmati kehidupan normal dan damai itu, bahkan harus pergi berperang di negeri orang lain dengan mempertaruhkan diri dan masa depan keluarga? Haruskah mereka menjadi korban dari ambisi para pemimpin negara di sana?
Sungguh berbeda kalau kita bandingkan dengan masa-masa perjuangan kemerdekaan Indonesia dulu. Semua orang berperang, semua orang memanggul senjata dan semua jelas bahwa kita berperang untuk mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan negara sendiri. Bukan untuk negara lain. Dan semua pejuang, baik yang masih hidup mau pun yang gugur, semua adalah pahlawan, pahlawan bangsa, pahlawan kemerdekaan.
Itu dulu. Kini orang telah mengerti bahwa peperangan selalu menyengsarakan dan pertempuran selalu memusnahkan. Yang dibutuhkan manusia sekarang adalah kesejahteraan, kedamaian, keadilan serta kemakmuran. Oleh sebab itu, yang namanya pahlawan seharusnya adalah mereka yang bisa memberikan kontribusi untuk kesejahteraan rakyat, kedamaian, keadilan serta kemakmuran.
Para wirausahawan memilik peluang terbesar untuk menjadi pahlawan semacam itu. Dan Amerika memilikinya. Sebut saja Thomas Watson (IBM), Henry Ford (Ford), Bill Gates (Microsoft), Walt Disney dan sederet nama besar lainnya. Mereka itulah sesungguhnya yang patut menyandang sebutan pahlawan, karena merekalah yang mampu berkontribusi tidak saja untuk kejehahteraan Amerika, tapi juga sekaligus kesejahteraan dunia.
Lantas apa hubungannya dengan Indonesia?
Lebih krusial dari pada Amerika Serikat yang sudah mapan sebagai negara termakmur di dunia, Indonesia yang miskin ini seharusnya lebih menggalakkan kampanye agar sebagian besar warganya mau berkecimpung dalam dunia wirausaha, membangun negeri dan menyejahterakan rakyat. Dan jadilah pahlawan.
Lupakan perang, ciptakan kesejahteraan. Make prosperity, not war.
*** Ditulis dalam rangka menyambut Hari Pahlawan, 10 November 2007(rh)
*** Artikel berita ini dapat Anda baca juga di portal wirausaha http://www.gacerindo.com, dilengkapi dengan foto.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
LifeWisdom Presenter
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
PELATIH TERBAIK BUKAN TERPINTAR
Ada kalanya seorang trainer dihadapkan pada situasi di mana ada peserta pelatihan yang begitu antusias membombardir pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang bernuansa “menguji” kepiawaian dirinya sebagai pelatih.
Dalam beberapa kasus, intensitas “pengujian” itu begitu tingginya, sehingga sang trainer merasa terteror. Setiap kali sesi tertentu dimulai, “teror” pun dimulai pula sehingga lama kelamaan, sang trainer menjadi merasa sangat tidak nyaman.
Bagi umumnya trainer yunior, sikap para peserta opposan diartikan sebagai tantangan frontal. Mereka merasa sangat terusik, posisinya sebagai trainer yang bertugas untuk melatih dan mengajar audiens, terasa terancam. Ada perasaan bahwa sebagian peserta meragukan kepiawaiannya sebagai pengajar.
Menghadapi keadaaan demikian, trainer-trainer muda biasanya menjadi “groggy”, sehingga sebagai kompensasi, mereka cenderung mempertontonkan pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya, termasuk dengan menyebut-nyebut berbagai istilah “keren” serta berusaha untuk selalu mematahkan argumentasi yang diajukan peserta.
Celakanya, kerap terjadi bahwa ada saja peserta yang memang benar-benar lebih piawai, lebih tinggi ilmu pengetahuannya serta lebih berpengalaman. Terhadap peserta jenis ini, trainer yang berusaha “pamer kehebatan” untuk mendapatkan pengakuan audiens, pasti ketemu batunya.
Ketika argumentasi-argumentasi, referensi-referensi dan juga teori-teori yang mereka ajukan ternyata dimentahkan oleh peserta peneror, dengan serta-merta sang trainer menjadi frustrasi, salah tingkah, tidak tahu harus berbuat apa sehingga terlihat begitu “bodoh” di depan orang banyak. Itulah situasi yang paling dibenci dan ditakuti oleh para trainer, dan tidak terlalu berlebihan kalau disebut sebagai “neraka”nya para trainer muda.
Trainer senior yang sudah cukup makan asam garam pelatihan, berpegang pada basis pemikiran bahwa menjadi seorang trainer tidak perlu berpretensi sebagai figur yang harus selalu lebih pandai dari pesertanya. Mereka siap menghadapi keadaan, di mana pada sesi-sesi tertentu akan ada peserta yang lebih piawai dari mereka.
Lalu, bagaimana caranya mengatasi situasi-situasi kritis seperti di atas?
Dalam dunia pelatihan, para pelatih unggulan mempunyai jurus pamungkas yang handal. Pertama, kehadiran peserta tukang teror yang memang lebih pandai, tidak dipandang sebagai “duri dalam daging” yang akan mengacaukan unjuk kerjanya sebagai trainer di depan kelas. Mereka justru menerima keadaan ini sebagai keuntungan, yang akan memungkinkan kualitas pelatihan menjadi lebih baik lagi.
Kedua, pelatih unggul dapat membaca apa motivasi yang ada dibalik ulah seorang peneror. Yang paling umum, peserta tersebut biasanya hanya ingin mencari pengakuan bahwa dia orang pintar. Dia butuh perhatian dan pujian, oleh sebab itu perlu diakomodir.
Kemungkinan lainnya adalah bahwa benar ada orang-orang pintar yang sangat idealis. Orang-orang ini menginginkan bahwa program pelatihan yang mereka peroleh benar-benar berkualitas serta bermanfaat, sehingga mereka merasa perlu mengetahui apakah sang pelatih memang cukup piawai. Itulah alasan mengapa mereka melancarkan “teror pertanyaan” pada trainernya.
Seorang trainer tidak perlu merasa khawatir bahwa dirinya akan dianggap tidak cakap, hanya karena kehadiran peserta yang lebih pintar pada sesi-sesi tertentu. Sebab apa?
Sebab, sebelum sebuah program pelatihan digelar, ada sebuah tahapan yang disebut tahap “pre-assessment”. Pada tahap ini, lembaga penyelenggara pelatihan mengadakan penyaringan dan evaluasi tentang klasifikasi para peserta training.
Kriteria-kriteria tertentu yang diterapkan pada para calon peserta di tahap pre-assessment seharusnya akan membentuk sebuah kelompok peserta yang memiliki klasifikasi seragam. Dengan demikian, lembaga pelatihan juga akan tahu klasifikasi trainer seperti apa yang diperlukan untuk menangani kelompok tersebut.
Oleh sebab itu, bila ternyata pada saat pelatihan digelar ada orang-orang yang memiliki klasifikasi lebih tinggi “terselip” dalam kelas, itu bukanlah kesalahan trainer bersangkutan. Dengan alasan ini, seorang trainer seyogyanya tetap tenang dan tidak perlu merasa terganggu oleh kehadiran mereka.
Bahkan sebaliknya, seorang “smart trainer” akan mendapatkan kesempatan untuk memanfaatkan peserta istimewa tersebut. Yang biasa dilakukan oleh trainer berpengalaman adalah, pada saat “teror” mulai dilancarkan oleh sang peserta, dengan sangat bijak sang trainer akan mempersilahkan orang tersebut maju ke depan podium untuk berbicara menyampaikan argumentasinya.
Bila argumentasi yang disampaikan ternyata benar, trainer akan mengajak semua hadirin untuk memberikan applause (tepuk tangan meriah) seraya ia sendiri juga melontarkan pujian-pujian tulus kepada peserta itu.
Sejak saat itulah, setiap kali ada pertanyaan yang sedikit “canggih” dilontarkan peserta lain, sang trainer akan mempersilahkan peserta istimewa itu untuk terlebih dahulu menjawabnya.
Dengan jalan ini, pelatih yang bijak sudah mampu mengatasi beberapa persoalan yang dihadapinya secara sekaligus. Bila si peneror merupakan peserta yang hanya ingin diakui sebagai orang pintar, obsesinya segera terpenuhi saat pertama kali ia diberi kesempatan berbicara di depan audiens.
Nafsu terornya biasanya akan segera berkurang banyak. Bahkan, ketika setiap kali ada pertanyaan ia diminta menjawab, orang ini akan sadar bahwa dirinya sedang “dikontra-teror” oleh sang pelatih, sehingga nafsu terornya pun hilang.
Di sisi lain, bila peneror adalah peserta idealis yang menginginkan kualitas, sejak pertama kali diberi kehormatan maju ke depan podium, biasanya orang tersebut akan bersedia bekerja sama dengan memberikan informasi serta masukan-masukan yang bermanfaat. Tidak jarang bahwa peserta jenis ini akhirnya secara sukarela menempatkan diri bagaikan seorang asisten pelatih. Tanpa diminta, tanpa dibayar!
Nah, bila saat ini Anda adalah seorang trainer yunior, ada baiknya melatih diri dengan trik seperti di atas, dan Anda segera menjadi seorang Smart Trainer !! (rh)
*** Artikel ini dapat Anda baca juga di portal wirausaha http://www.gacerindo.com, dilengkapi dengan gambar.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
LifeWisdom Presenter
E-mail: rusman@gacerindo.com
Portal: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
APA YANG KAU CARI PALUPI?
Pada tanggal 30 Juli 2007 yang baru lalu, majalah “Globe” edisi Asia, melalui Executive Chairman nya Rizal Ramli mempublikasikan daftar peringkat orang-orang terkaya di Indonesia. (Kompas, 31 Juli 2007).
Dari daftar tersebut dapat dibaca bahwa gelar Orang Terkaya Nomor 1 di Indonesia saat ini dipegang oleh Budi Hartono, pemilik perusahaan PT Djarum Kudus dengan nilai aset sebesar 37,8 triliun rupiah.
Disusul kemudian oleh Rachman Halim, bos Gudang Garam di tempat kedua dengan kekayaan senilai 31,5 triliun. Sementara tempat ketiga diisi oleh dedengkot kelompok Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja dengan harta sebesar 27,9 triliun rupiah.
Sebelumnya, beberapa waktu yang lalu majalah beken “Forbes” juga mengumumkan daftar Orang-orang Terkaya di Indonesia.
Saat itu, formasinya berbeda. Yang bertengger di peringkat teratas adalah Sukanto Tanoto dari Raja Garuda Mas (Rp. 25 T). Peringkat kedua dipegang oleh Putera Sampoerna (Rp. 19 T), sedangkan di tempat ketiga ada Eka Tjipta Widjaja (Rp. 18,2 T).
Melihat angka-angka kekayaan mereka ini, mungkin ada di antara kita yang kesulitan membayangkan, sebenarnya seberapa besarkah uang triliunan milik orang-orang terkaya tersebut?
Saya bisa mengatakan bahwa mereka memang “benar-benar kaya”, karena jumlah uang yang mereka miliki memang “benar-benar buessarr..”. dan untuk itu saya bisa menunjuk satu kejadian sebagai acuan.
Dulu, sewaktu heboh peristiwa korupsi yang dilakukan oleh Edy Tanzil, dana yang ditilep oleh bos kelompok Golden Key itu adalah sebesar 1,3 triliun. Seorang pembaca “Kompas” yang tergelitik dengan jumlah tersebut, lantas mencoba menghitung, seberapa “besar” kah uang 1 triliun sebenarnya?
Ia lalu mengasumsikan bahwa uang 1 triliun itu diberikan dalam bentuk uang kertas pecahan 100 rupiah. Diukurnya panjang dan lebar dari selembar uang kertas tersebut, kemudian dihitung ada berapa lembar 100 perakan yang dibutuhkan guna melengkapi nilai 1 triliun.
Rasa keingintahuan mendorongnya untuk menghitung seberapa luaskah apabila seluruh lembar uang kertas 100-an rupiah digelar di atas tanah, sampai mencapai nilai 1 triliun. Hasilnya?
Wow, ia sendiri “surprised”! Karena ternyata luas “uang cepekan” yang digelar sampai senilai 1 triliun, akan menutupi keseluruhan luas Pulau Jawa!
Fuantastik.. kata seorang teman.
Maka ia yakin kalau jumlah kekayaan 150 orang kaya Idonesia, yang konon mencapai Rp. 419 triliun digelar dengan cara yang sama, maka seluruh luas wilayah Republik Indonesia akan tertutup habis, baik daratan mau pun lautannya..
Angka Tertinggi
Saya mencoba untuk mengkaji dengan cara saya sendiri. Dulu di Indonesia, ada sebutan “jutawan” untuk menggambarkan orang kaya atau banyak duit. Beberapa waktu kemudian istilah tersebut tampaknya menjadi ketinggalan jaman, sehingga muncul istilah pengganti, yaitu “milyarder” karena orang kaya uangnya tidak lagi cuma jutaan, tapi milyaran.
Lalu, kalau sekarang mereka uangnya sudah triliunan begitu, saya nggak tau lagi istilahnya apa? Triliuner?
Satu triliun itu kalau ditulis dengan angka, maka paling tidak harus ada angka nol sebanyak 12 buah. Ditambah angka 1 di depannya, maka total ada 13 digit.
Lantas, sampai berapa digitkah angka yang harus dicapai oleh para orang kaya agar prestasinya tidak dapat lagi digeser oleh orang lain? Berapakah angka tertinggi yang ada di dunia ini?
Angka atau bilangan tertinggi di dunia ini tidak ada, bahkan manusia pun tidak tahu cara menuliskan angka yang mewakili nilai “tidak terhingga”, sehingga disepakati bahwa dipakai simbol “∞” untuk keperluan itu.
Nah, kalau angka tertinggi itu tidak pernah ada, saya berfikir, bukankah kontes pemeringkatan orang-orang terkaya itu juga menjadi pekerjaan yang sia-sia? Tidakkah itu sama dengan pekerjaan mengejar-ngejar bayangan, yang sampai kapan pun tidak akan pernah sampai dititik akhir?
Seorang teman sempat mengeritik saya: “Pak Rusman, bukankah kita lihat di arena olah raga juga berlaku seperti itu? Coba lihat, atlit lompat tinggi tidak akan pernah mencapai langit sampai kapan pun mereka melompat, kan? Tapi kompetisi selalu digelar. Atlit-atlit unggulan datang, berprestasi maksimal, mereka lalu menjadi juara di puncak kejayaannya untuk kemudian digusur lagi oleh mereka yang datang belakangan. Muncul juara baru, begitu seterusnya, dan itulah siklus hidup. Yang penting itu semua bermanfaat..”
“Justru itu yang saya maksud..”, jawab saya menimpali.
“Kejuaraan olah raga memang mendatangkan banyak manfaat bagi banyak orang. Atlit menjadi sehat, termotivasi, dan mereka pun dibayar untuk prestasinya. Pihak penyelenggara berikut berpuluh-puluh pekerja mendapat penghasilan dari karcis masuk, penonton pun terhibur..”
“Nah, kalau bicara mengenai manfaat, mari kita lihat sampai di mana manfaat yang bisa ditarik dari sebuah kontes orang-orang kaya. Jumlah kekayaan yang dilibatkan tidak main-main lho. Ratusan triliun itu lebih besar dari anggaran belanja negara di bidang apapun, selama satu tahun. Kalau uang sekian banyak benar-benar dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat, tentunya keadaan negeri ini tidak separah sekarang. Coba lihat, pengangguran berapa juta orang? Kelaparan di mana-mana, kemiskinan merajalela. Itu sebabnya saya merasa kontes semacam itu tidak banyak mendatangkan manfaat..”
Kesenjangan Sosial
Publikasi pemeringkatan orang-orang terkaya di Indonesia, lebih condong merupakan publikasi tentang kesenjangan sosial yang ada di Indonesia. Karena, sementara sekelompok kecil orang menguasai sekian banyak potensi ekonomi negara, di sisi lain kita lihat kemelaratan yang berlarut-larut menimpa sebagian besar rakyat.
Pertanyaannya adalah, seberapa jauhkah keberadaan kaum kaya itu mendatangkan manfaat bagi rakyat banyak?
Kita tidak menutup mata bahwa di antara orang-orang kaya itu terdapat beberapa pengusaha yang telah berjasa “menghidupi” ribuan buruh yang bekerja di pabrik-pabrik mereka.
Tapi, buruh tetaplah buruh, sebuah profesi yang sama-sama kita tahu kondisinya, gajinya, serta kesejahteraannya seperti apa. Demikian juga masa depannya, yang dari tahun ke tahun ya begitu-begitu juga..
Kita tidak menutup mata akan adanya para pengusaha kaya yang menjadi “filantropis”. Mereka maju ke depan saat terjadi berbagai bencana dan menyumbangkan banyak dana guna membantu para korban. Tapi, seberapa ikhlaskah? Seberapa besar? Dan tidak adakah maksud lain di balik itu semua?
Seorang taipan negeri ini dengan ringan mengatakan menyumbang 2 milyar untuk korban tsunami di Aceh, seraya mengatakan: “Itu hanya sebagian kecil dari harta saya..”
Alhamdulillah, yang bersangkutan mau menyumbang sesama. Tapi, hanya itukah?
Kalau sang taipan menyumbang 2 milyar dari hartanya yang 20 triliun misalnya, maka itu berarti dia menyumbang sebesar 1 per mil dari total aset yang dimiliki. Bandingkan bila seorang pesuruh kantor yang seluruh miliknya bernilai 2 juta rupiah, lalu ia menyumbang sebesar Rp. 50.000 untuk Aceh, berarti dia memberi sebesar 2,5 persen dari hartanya. Tidak jelas lagi, mana yang lebih berharga dari keduanya, sumbangan sang taipan, ataukah sumbangan si pesuruh?
Bukankah rakyat tidak hanya butuh kerja hari ini untuk bisa makan hari ini, dan diberi ransum saat bencana datang saja? Mereka butuh masa depan yang lebih baik..
Motivasi
Beberapa orang mengatakan bahwa daftar orang-orang terkaya di Indonesia itu dapat dimanfaatkan sebagai motivasi bagi kalangan pengusaha Indonesia untuk lebih memacu prestasinya secara lebih maksimal, sehingga diharapkan di masa mendatang akan ada lebih banyak lagi pengusaha-pengusaha sukses yang berkontribusi besar untuk negara.
Rizal Ramli pun mengatakan bahwa daftar orang-orang terkaya yang dipublikasikan oleh institusinya itu merupakan terobosan dari semangat kewirausahaan dan talenta komunitas bisnis Indonesia.
Benarkah demikian?
Kalau melihat apa yang saya utarakan di atas, kehadiran orang-orang kaya tampaknya tidak terlalu banyak mengangkat derajat kehidupan rakyat Indonesia. Kemiskinan dan kelaparan yang masih berlarut-larut di segala pelosok tanah air menjadi bukti nyata.
Dilain fihak, sebagaimana banyak saya tuliskan pada tulisan-tulisan sebelumnya, motivasi menjadi kaya akan merupakan upaya yang riskan. Di tengah-tengah budaya hidup yang serba materialistis ini, di mana orang menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan kekayaan, pemeringkatan orang-orang kaya justru bisa mendatangkan mudarat.
Sebab apa?
Sebab, sebelum adanya angket pemeringkatan tersebut, masyarakat telah terlebih dahulu dimotivasi habis-habisan oleh kultur kehidupan yang mendewakan kemewahan selama lebih dari 30 tahun, sejak zamannya Orde Baru berkuasa.
Lihat saja film atau sinetron Indonesia, yang tanpa relevansi jelas, begitu banyak mengeksploitir kekayaan sebagai daya tariknya. Kalau Anda datang ke lahan parkir para wakil rakyat yang terhormat di Senayan, di situ kita bisa lihat “pameran mobil mewah” milik beliau-beliau yang sudah pasti kaya-kaya semua.
Di kota-kota besar, apartemen-apartemen mewah memasang harga yang tidak tanggung-tanggung. Rata-rata bisa mencapai di atas 1 milyar rupiah. Tapi, sulitkah untuk mengerti mengapa di negeri miskin ini, apartemen mewah sudah “sold-out”, terjual habis bahkan sebelum pembangunan fisiknya dimulai?
Hal-hal semacam itu merupakan pencetus motivasi rakyat banyak untuk bisa menjadi kaya. Di tengah-tengah kondisi negeri saat sekarang, di mana mencari pekerjaan susah, mencari peluang usaha juga susah, tidak ada pilihan lain selain mencari jalan pintas. Maka jangan heran kalau kemudian beberapa pengusaha berubah menjadi pembobol-pembobol bank, sebagian lagi mengedarkan bahkan membangun pabrik narkotika, munculnya penipu-penipu melalui sms hadiah, para birokrat yang menjalankan korupsi berjamaah dan lain sebagainya.
Ini juga barangkali yang bisa menjelaskan mengapa hasil angket internasional menobatkan Indonesia sebagai salah satu “Negara Terkorup di Dunia”.
DR. Suparman mengatakan bahwa seorang wirausahawan adalah seorang pengusaha yang secara moral bersih. Jujur dan berintegritas, jauh dari perilaku korupsi serta kolusi. Dan itu yang dibutuhkan bangsa ini, kalau kesejahteraan rakyat memang menjadi prioritas.
Oleh sebab itu, menurut saya, bagi seorang wirausahawan sejati tidaklah perlu memotivasi diri dengan faktor kekayaan semata. Riskan, sebab begitu kekayaan tidak mau datang dengan segera, kita pasti tergoda untuk mencari jalan pintas.
Dan, istimewanya, akan banyak pihak lain, yang dengan tangan terbuka akan menerima kita untuk bersama-sama mencari jalan pintas di blantika bisnis Indonesia yang sudah ambur adul.
Selama kita masih mau berharap bahwa suatu waktu kelak landasan moral bangsa Indonesia akan kembali membaik, sehingga pada gilirannya nanti juga akan membawa perbaikan kesejahteraan bersama yang lebih adil, maka sebaiknya kita mencari pemicu motivasi yang lain saja. (rh)
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
KEWIRAUSAHAAN DI TENGAH BENCANA
Sebenarnya, bangsa Indonesia mempunyai potensi dan bakat terpendam untuk bisa maju. Hanya saja, sejauh ini belum ada pihak-pihak yang mempunyai otoritas yang mampu menyerap potensi tersebut dan menuangkannya ke dalam sebuah konsep terpadu guna meningkatkan taraf hidup bangsa. Andaikan hal itu dapat terjadi, bukan mustahil dalam waktu relatif singkat, Indonesia akan menjadi sebuah negara yang sejahtera, adil makmur gemah ripah loh jinawi toto tentrem kertoraharjo.
Potensi terpendam yang dimaksud adalah semangat dan bakat kewirausahaan. Hal itu dapat disimak dari berbagai kejadian yang terjadi sepanjang “minggu bencana” tatkala banjir melanda ibukota Jakarta sejak Jumat 2 Februari 2007 yang lalu.
Di awal musim penghujan, semangat wirausaha sudah merebak dengan munculnya fenomena “ojek payung” di mana kita lihat banyak orang terutama justru anak-anak kecil menyewakan payung kepada orang-orang yang membutuhkan, seperti para karyawan kantor, ibu-ibu yang ingin belanja dan lain-lain.
Ide “ojek payung” tentu sangat sederhana, tapi manfaatnya luar biasa. Bisa dibayangkan bagaimana senangnya para karyawan dengan dandanan yang serba keren dan necis, bisa terhindar dari keadaan basah-kuyup – yang tentu akan menyebabkan mereka batal kerja – hanya dengan membayar 2 – 3 ribu rupiah pada bocah-bocah yang berbisnis sambil menggigil kedinginan.
Di fase selanjutnya, ketika beberapa kendaraan bermotor mogok di tengah jalan di bawah guyuran hujan deras, terlihat pula para pemuda turun tangan menawarkan jasa “dorong mobil” untuk menolong para pengemudi apes, dengan imbalan sejumlah uang. Ini memang bisnis klasik dan tradisional, tapi manfaatnya tetap signifikan sampai sekarang.
Saat musim hujan makin menggila dan banjir mulai bermunculan di berbagai tempat, permasalahan yang timbul pun makin kompleks. Warga terkurung di rumah karena lingkungan sekitar terkepung air setinggi lebih dari 30 sentimeter. Mereka yang berniat pergi kerja menjadi kesulitan melintasi banjir.
Maka muncul lagi sebuah “implementasi kewirausahaan” yang diperlihatkan para pemuda setempat. Dengan “kreativitas instan”, mereka terinspirasi untuk memanfaatkan gerobak-gerobak sebagai sarana pengangkut orang dan barang melintasi banjir. Dengan tarif 20 ribuan rupiah, para pemuda berjiwa bisnis itu bisa melakukan “win-win business solution” yang benar-benar manfaat. Para karyawan dapat menyelamatkan penampilannya yang memang harus necis, sepeda-sepeda motor juga terhindarkan dari risiko mogok dan rusak di terjang air, sementara para “intant businessmen” pun mendapatkan rejeki yang halal.
Tidak hanya berhenti di situ, manakala banjir mulai surut meninggalkan sisa-sisa kotoran, lumpur, sampah dan limbah yang luar biasa banyaknya di rumah-rumah warga, semangat kewirausahaan bangsa Indonesia muncul lagi dalam bentuk lain. Beberapa orang, sebagian di antaranya adalah pemulung, berinisiatif menawarkan jasa pembersihan rumah kepada para pemilik rumah yang kesulitan menangani sendiri pekerjaan itu. Maka, transaksi bisnis pun terjadilah, dengan uang jasa sebesar Rp. 10.000, rumah tinggal pun menjadi bersih kembali.
Lebih menarik lagi adalah apa yang terjadi pada hari-hari terakhir ini. Ada satu dua orang wirausahawan dadakan, yang secara cantik sekali berkeliling menawarkan peralatan pembersih rumah, utamanya alat pembersih lantai yang bentuknya mirip penghapus kaca mobil, tapi berukuran besar dan bergagang panjang. Juga ada yang menjajakan sapu lidi yang ampuh untuk membersihkan lantai mau pun halaman.
Kalau kita mau mencermati, tak pelak lagi rangkaian fenomena di atas menunjukkan bahwa bangsa kita, yang terpresentasikan oleh lapisan masyarakat kelas bawah, adalah bangsa yang memiliki daya juang, kreativitas serta semangat kewirausahaan tinggi. Ini merupakan modal intangible yang sungguh-sungguh potensial.
Lantas, kalau potensi ini belum juga tereksplorasi, berapa lama lagikah bangsa Indonesia harus menunggu sampai tercapainya kondisi yang benar-benar sejahtera? Wallahu alam..(rh)
*** Artikel berita ini dapat Anda baca juga di portal wirausaha http://www.gacerindo.com, dilengkapi dengan foto.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
Selama kita merasa belum familiar dan takut memulai bisnis, biasanya yang timbul di pikiran kita adalah: “belajar!”. Pilihannya mungkin dengan jalan mengambil program S2 dan jadi seorang MBA, atau ikut sebanyak-banyaknya seminar dan pelatihan, atau bisa juga dengan berguru dan mengabdi pada seorang begawan bisnis.
Kira-kira, sudah selaraskah alur pemikiran yang sedemikian dengan apa yang terjadi pada kenyataannya? Mari kita telaah.
Kebanyakan dari kita berbisnis karena ingin sukses, lalu menjadi kaya raya. Kita membayangkan, betapa enak dan hebatnya bila kita dapat sesukses dan sekaya Bill Gates atau Donald Trump. Menurut pandangan masyarakat pada umumnya, mereka itulah orang-orang sukses yang sebenar-benarnya. Merekalah sosok-sosok pebisnis yang prestasinya membuat banyak orang terobsesi.
Maka tidak heran jika para pakar pun berusaha menyadap dan mempelajari segala hal yang ada pada orang-orang sukses itu, dengan harapan dapat mentransfer nilai-nilai kesuksesannya kepada orang-orang lain yang juga ingin menjadi figur sukses. Mereka berpendapat bahwa: “Leaders are made, not born”.
Selanjutnya, segala sepak terjang yang dilakukan oleh para pebisnis tersebut, dikumpulkan, dipilah-pilah, lalu dianalisis. Dari analisis itu dibuat teori-teori. Hasilnya, muncullah berbagai teori kesuksesan yang terkemas dalam materi-materi “ilmu bisnis”, wacana profesionalisme, ilmu kepemimpinan (leadership), dan lain sebagainya.
Orang-orang awam memang ingin sekali menemukan cara-cara yang bisa membantu mereka untuk secara cepat mencapai kesuksesan. Semacam rel kereta yang tinggal diikuti saja akan mengantar orang tiba di gerbang kejayaan.
Namun demikian, apa benar kalau kita ingin menjadi figur sukses -- lebih spesifiknya pebisnis sukses -- harus menempuh perjalanan yang sarat dengan teori-teori kesuksesan seperti itu?
Dari berbagai catatan yang ada, tampaknya tidak demikian. Banyak sepak-terjang yang dilakukan oleh para pemimpin bisnis dunia tidak mencerminkan bahwa kesuksesan mereka disebabkan pembelajaran yang sungguh-sungguh dalam ilmu bisnis, profesionalisme dan teori kepemimpinan. Tidak juga pengetahuan ekonomi, teori-teori tentang kebebasan finansial, ilmu marketing dan lain sebagainya. Pun, tidak karena mereka rajin mengikuti seminar kesuksesan atau lokakarya tentang strategi bisnis.
Di lain pihak, banyak pemimpin bisnis ternyata merupakan orang-orang yang justru tidak suka belajar, malas sekolah, dan hanya ingin bermain-main saja. Boro-boro ikut seminar atau lokakarya. Lho kok bisa?
Ada beberapa contoh kasus. Yang pertama, Thomas Alva Edison. Nama ini sudah kita tahu sejak di bangku SD bukan? Namun, tentunya kita kenal Edison lebih sebagai tokoh ilmu pengetahuan, karena sekolah memfokuskan ajaran hanya pada penemuan atas lampu pijar dan berbagai temuan teknis lain yang dilakukannya.
Maka jarang kita memperhatikan bahwa sesungguhnya Thomas Alva Edison adalah juga seorang pengusaha besar yang sukses. Ia adalah pemilik dan pendiri berbagai perusahaan dengan nama-nama seperti Lansden Co. (mobil/otomotif), Battery Supplies Co. (baterai), Edison Manufacturing Co. (baterai dsb), Edison Portland Cement Co. (semen dan beton), North Jersey Paint Co. (cat), Edison General Electric Co. (alat listrik dll), dan banyak lainnya. Salah satu yang masih berjaya sampai sekarang adalah General Electric.
Apakah untuk mencapai itu semua Edison harus bersusah-payah mengikuti berbagai sekolah dan pendidikan tinggi? Atau mengikuti seminar kelas dunia yang diselenggarakan oleh para pakar kesuksesan, pakar bisnis atau pakar financial freedom? Ternyata tidak. Figur Edison adalah figur pemalas yang hanya tahan 3 minggu bersekolah. Ia lebih suka bermain-main dengan perkakas, dengan kawat dan dengan listrik. Itu kesenangannya dan dengan itu ia sukses.
Contoh lain adalah Kenji Eno. Ia juga tidak suka sekolah. Ia cuma suka bermain-main dengan permainan, istimewanya dengan video games. Kelas 2 SMA berhenti sekolah terus nganggur. Lalu dapat kerja di perusahaan perangkat lunak, sampai akhirnya ia berhasil mendirikan perusahaan perangkat lunaknya sendiri yang dinamakan WARP. Dalam tempo beberapa tahun saja Kenji Eno mampu membawa perusahaannya menjadi perusahaan video games terhebat di dunia yang diakui oleh tokoh-tokoh industri.
Fenomena-fenomena yang dibuat oleh orang-orang semacam Edison dan Kenji Eno ini memberi kesan kepada kita semua bahwa bisnis itu sebenarnya lebih dekat kepada sebuah permainan, dan terlalu jauh untuk diperlakukan sebagai sebuah ilmu pengetahuan.
Gede Prama yang dikenal sebagai pakar manajemen (bahkan dijuluki Stephen Covey Indonesia), mengomentari fenomena Kenji Eno sebagai kesuksesan dari kebebasan berfikir yang mampu melompat, karena belum terkena polusi-polusi yang dibuat sekolah.
Menurut saya, adalah keliru mempelajari fenomena pemimpin, untuk menciptakan pemimpin. Demikian juga, keliru mempelajari fenomena pebisnis sukses, untuk mencetak pebisnis sukses. Sebab, fenomena pemimpin (atau pebisnis) adalah fenomena manusia, yang tidak sama dengan fenomena alam. Kalau Isaac Newton mempelajari peristiwa jatuhnya buah apel ke tanah (fenomena alam) dan kemudian menemukan hukum gavitasi, maka itu oke-oke saja. Karena fenomena alam tidak berubah, hukum gravitasi pun akan tetap abadi.
Akan tetapi, mempelajari fenomena manusia pasti akan menimbulkan frustrasi. Sebab, manusia merupakan mesin perubahan, sehingga tidak akan ada fenomena manusia yang tinggal tetap abadi sepanjang masa, berlawanan dengan yang kita lihat pada peristiwa jatuhnya buah apel.
Pemimpin, dalam bidang apa pun termasuk bisnis, adalah sosok manusia yang bebas, yang bertindak semaunya tanpa memperhatikan teori mau pun kaidah, sehingga nyaris percuma kalau kita ingin mempelajari dan mengikuti jejak sepak terjangnya.
Coba lihat, pada saat terjadinya resesi ekonomi dunia tahun 1929, semua orang berdasarkan teori-teori yang ada, berusaha untuk berlaku sehemat mungkin. Tapi sebaliknya, Matsushita si raja elektrik dari Jepang malah royal mengeluarkan uang. Seakan uang itu tidak lebih dari mainan saja layaknya. Meski pun bukan tanpa alasan dia berlaku demikian.
Lihat juga Kim Woo Chong, pendiri imperium Daewoo. Ketika semua pengusaha (juga dengan teori-teori yang ada) berkonsentrasi memasuki pasar negara-negara kaya semacam Amerika dan Eropa, ia malah dengan santainya masuk ke pasar-pasar “keras” seperti Iran, Sudan dan Rusia serta negara-negara blok timur.
“Kesia-siaan” mempelajari dan berusaha mengikuti sepak terjang para pemimpin bisnis bisa dirasakan secara langsung di lapangan. Saat pertama kali Harvard Business Review mempublikasikan konsep pemasaran yang beken dengan “Marketing Mix” 4P (product, price, place dan promotion), nyaris semua pengusaha serta pakar bisnis menganut konsep ini secara fanatik. Begitu juga dengan perguruan-perguruan tinggi dan sekolah manajemen.
Tapi, tidak terlalu lama, sebagai akibat “ulah” para pemimpin bisnis yang gemar bermain-main, perubahan tren perekonomian dan industri memaksa para pakar dan pembelajar merubah lagi konsepnya dengan 6P, 8P bahkan yang terakhir disebutkan sebagai 12P.
Terus bagaimana? Kalau kita harus bersiaga setiap saat untuk belajar dan tidak ketinggalan zaman dengan ilmu marketing, kapan kita berbisnis?
Saya rasa kita semua banyak yang terjebak dan hanyut dalam “arus ilmu pengetahuan” yang dibuat oleh mereka yang “pakar ilmu pengetahuan”, sehingga kita tidak sempat lagi berinovasi yang justru merupakan kunci sukses bisnis. Kita malah terus menerus “dipaksa” mengejar ketinggalan ilmu pengetahuan tanpa tahu di mana ujung pangkalnya.
Pertanyaannya: ”Sebenarnya kita mau jadi pebisnis atau mau jadi ilmuwan sih?”
Saya sendiri yakin bahwa bisnis dan kesuksesan itu adalah semacam permainan saja. Seperti apa yang dikatakan oleh William Cohen dalam tulisannya “The Art Of The Leader” : “Success is acquired by playing hard, not by working hard..”.
Mengacu pada obsesi banyak orang tentang Bill Gates dan Donald Trump sebagaimana disebut di atas, perlu diketahui bahwa kedua orang tokoh ini pun mencapai sukses dari kesenangannya bermain-main.
Bill Gates sejak masih berusia 13 tahun sudah bermain-main dengan perangkat lunak komputer, dan dengan itu ia menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Donald Trump juga sejak kecil selalu bermain-main ke kantor ayahnya, Fred Trump. Dia suka sekali melihat-lihat maket gedung dan pencakar langit, sebelum tertarik dengan bidang bisnis sang ayah, yaitu properti. Dan jadilah Donald Trump seorang Raja Properti.
Terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, orang yang mempelajari ilmu kepemimpinan tidak akan menjadi pemimpin. Tapi, orang yang mencoba menjadi pemimpin, akan menjadi pemimpin. Demikian juga, orang yang mempelajari ilmu bisnis, tidak akan menjadi pebisnis. Tapi, orang yang mencoba menjadi pebisnis, akan menjadi pebisnis.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: +62 21 816.144.2792
BIZMART YANG SAYA LIHAT
Seperti yang telah dicanangkan via internet, acara “Kopi Darat” ke-IV milis Bisnis-Smart ternyata jadi dilaksanakan. Meski ditandai dengan berbagai “silang-pendapat” serta perubahan tempat, Kopdar akhirnya berjalan mulus dan cukup mengesankan.
Acara yang dihadiri lebih dari 20 orang itu, digelar pada hari Sabtu 11 November 2006 dengan mengambil lokasi di kafe “Bukafe” Jalan Duren Tiga Raya, Jakarta Selatan. Hadir antara lain, para aktivis serta petinggi milis seperti Anton Witono, Rio Nasution, Iwan, Roesmiyati, Eko dan tentu saja tidak ketinggalan “bos” Bisnis Smart, penulis buku “Cara Brilian Menjadi Karyawan Beromset Miliaran” (CBMKBM), Masbukhin Pradhana.
Acara-acara yang diagendakan pada acara tersebut secara berturut-turut setelah dibuka oleh panitia, adalah presentasi tentang masalah “Branding”, dibawakan oleh Rio Nasution, dilanjutkan dengan paparan mengenai “Menguak Daerah Abu-Abu antara Bisnis dan Wirausaha” oleh Rusman Hakim, dan dilanjutkan oleh Masbukhin Pradhana dengan mengambil acuan dari materi yang dibawakan oleh 2 pembicara sebelumnya.
Setelah makan siang, Kopdar dilanjutkan lagi dengan presentasi tentang pembentukan Koperasi Bizmart, lengkap dengan jadwal kerja beberapa bulan ke depan dari unit operasional Bizmart yang masih embrionik tersebut. Berbicara dalam sesi ini Stephanus Kurnianto dengan “stage-act” cukup mengesankan.
Agenda dilanjutkan lagi dengan sesi tanya-jawab, di mana para hadirin dapat melontarkan berbagai pertanyaan kepada para pembicara seputar masalah-masalah kewirausahaan. Dan terakhir, semua hadirin dilibatkan dalam acara ramah-tamah, “door-prize”, serta foto bersama.
Ada hal yang cukup mengesankan dalam Kopi Darat Ke-IV ini, yaitu suasana kebersamaan yang sangat kental di antara sesama anggota milis. Sebagian besar peserta kelihatan ceria dan penuh senyuman. Di Sabtu pagi yang cerah itu, suasana kafe “Bukafe” seakan bertambah segar dengan senyum ramah serta canda-tawa para member milis Bisnis-Smart.
Hal lain yang juga mengesankan adalah partisipasi yang tinggi dari beberapa wirausahawan. Meski masih dalam rangka promosi produknya, inisiatif mereka dalam membagi-bagikan produk, patut diacungi jempol. Tampak antara lain Isdiyanto, Pemimpin Umum Majalah “Wirausaha+Keuangan” yang membagikan puluhan eksemplar majalah, Roesmiyati yang menghadiahkan voucher makan gratis di gerai “Bakmi Patriot” miliknya, Masbukhin yang memberikan “rabat” pagi penjualan buku karyanya sendiri “CBMKBM”, serta beberapa orang lagi dengan kontribusinya masing-masing.
Secara keseluruhan, acara Kopi Darat IV milis Bisnis Smart ini cukup sukses, dan kita perlu angkat topi atas hasil kerja panitia yang telah bekerja keras sejak beberapa waktu sebelumnya.
Namun demikian, ada juga satu hal yang kiranya perlu menjadi masukan bagi para pengelola kelompok “netter” yang anggotanya sudah hampir mencapai 1000 orang ini. Menurut pengamatan, ada lebih kurang 30% dari keseluruhan audiens yang tampaknya agak kesulitan memperlihatkan kebebasan gerak, kebebasan berbicara serta kebebasan berkiprah di antara sekian banyak hadirin lainnya.
Orang-orang ini tampak begitu diam, nyaris tanpa ekspresi. Meski terlihat mendengarkan dengan baik setiap materi pembicaraan dan juga memperhatikan dengan seksama apa yang terjadi di ruang pertemuan, namun terkesan mereka rikuh dan sangat pasif dalam berinteraksi dengan sekelilingnya.
Hal seperti ini tampak berbeda dengan apa yang biasa kita temui di dalam pertemuan-pertemuan sejenis, yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok MLM (Multi Level Marketing}, seperti misalnya CNI atau Amway.
Dalam pertemuan-pertemuan MLM, nyaris 95% audiens berekspresi dengan begitu bebas dan sangat antusias. Sedemikian antusiasnya, sehingga walau pun beberapa orang ada yang tidak kebagian tempat strategis dalam sebuah pertemuan, dan harus puas berdiri di bagian pojok belakang, mereka ini tetap terlihat bergairah, bersorak meneriakkan yell-yell, bertepuk tangan, mengacungkan tinju serta tertawa lebar. Jelas sekali mereka sangat termotivasi di dalam lingkungan bisnisnya sendiri.
Fenomena semacam itu bisa kita temui tidak cuma di lingkungan MLM. Pada kelompok-kelompok agen asuransi pun, para pesertanya memperlihatkan gairah antusiasme serta motivasi yang sangat tinggi. Demikian juga di beberapa perusahaan multinasional.
Mungkin seyogyanyalah kita berfikir bahwa dalam sebuah komunitas kewirausahaan, motivasi merupakan sebuah kultur dasar yang harus benar-benar dibina. Tidak pelak lagi bahwa dalam berbisnis, faktor motivasi merupakan sebuah prasyarat yang sangat menentukan. Sebagaimana yang dilontarkan Ciputra, sang raja properti Indonesia, bahwa ada 3 hal penentu kesuksesan seorang usahawan, yaitu: motivasi, motivasi dan motivasi.
Mudah mengenali orang-orang yang hidupnya termotivasi. Mereka adalah orang-orang yang selalu proaktif, berani tampil (meski tidak tampan atau cantik), berani bicara (meski tidak pandai merangkai kata-kata), murah senyum serta selalu cenderung membantu orang lain.
Karena salah satu tujuan dibentuknya komunitas bisnis adalah untuk berbagi, baik berbagi informasi mau pun berbagi kesempatan, maka alangkah cantiknya jika seluruh anggota komunitas dapat “dibentuk” menjadi orang-orang yang termotivasi seperti itu. Semakin banyak perserta yang “motivated people”, akan semakin efektif pula sebuah milis kewirausahaan. Hal seperti itulah yang sekiranya kita harapkan dapat terjadi di dalam komunitas Bisnis Smart.
Jangan dilupakan, bahwa peserta datang dalam sebuah pertemuan, pasti dengan berbekal sebuah pengharapan, bahwa mereka akan mendapatkan sesuatu atau bahkan banyak hal yang berharga. Itu sebabnya mereka mau membayar, dan mengorbankan waktu serta energinya untuk bisa hadir. Mengapa tidak kita sambut pengharapan mereka dengan memberi “imbalan” secara maksimal?
Oleh sebab itu, kiranya perlu juga dipertimbangkan oleh otoritas milis, kemungkinan adanya penyelenggaraan sebuah program pelatihan untuk pembinaan motivasi. Pelatihan tersebut biasanya disebut dengan “Motivation Building Training Prorgam”, di mana di dalamnya terdapat sesi-sesi yang menyangkut proaktivitas, seperti “Self Inventory” dan “Public Speech” .
Untuk menekan biaya, kelihatannya bisa dijajaki bahwa di antara sekian banyak anggota di komunitas ini, terdapat orang-orang yang cukup kompeten untuk menjadi trainer, sedangkan untuk mekanisme pelaksanaannya, bisa dipastikan bahwa panitia Kopdar yang selama ini turun tangan, sudah cukup piawai untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan program tersebut.
Semoga saja…
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: +62 21 816.144.2792
Antara TDA dan TDB
Dengan segala kerendahan hati, perkenankanlah saya untuk memberi sedikit ulasan tentang pertanyaan rekan XXX di milis IEU2002 tentang arti dari TDA dan TDB. Jelas dan gamblang bahwa jawaban yang diberikan adalah bahwa TDA = Tangan Di Atas = Pengusaha, sedangkan TDB = Tangan Di Bawah = Karyawan.
Yang menggelitik perasaan saya adalah, apa iya setiap karyawan itu sudah pasti “Tangan Di Bawah”?
Menurut pengertian umum, “tangan di bawah” mengandung arti “tangan yang menerima” dan bukan “tangan yang memberi”. Arti sebaliknya berlaku bagi “tangan di atas”. Dalam pengertian yang lebih luas, sering diartikan bahwa orang yang “tangan di bawah” adalah mereka yang kehidupannya lebih tergantung dari pemberian orang lain. Ekstrimnya, kaum tangan di bawah adalah mereka yang nasibnya lebih bergantung pada belas kasihan orang lain. Mudah-mudahan pengertian ini tidak terlalu salah, atau melenceng terlalu jauh dari arti sesungguhnya.
Nah sekali lagi, timbul pertanyaan, apa benar seorang karyawan sudah pasti “TDB”, dan hidupnya mesti bergantung pada orang lain yang namanya majikan?
Menurut saya, seorang karyawan akan menjadi “TDB” atau tidak, sama sekali tergantung dari paradigma yang ada di kepalanya saat menjalankan hajat hidupnya sebagai karyawan. Paradigma itulah yang nanti akan menyebabkan dia menjadi “TDB” atau bukan. Jadi, tidak selamanya yang disebut karyawan, pegawai, orang gajian atau apa pun namanya, menjadi “TDB” karena bekerja terhadap majikan.
Ada 3 (tiga) jenis paradigma di benak karyawan, yaitu pertama: yang bersangkutan cenderung kurang menghargai hubungan kerja, kedua : menghargai hubungan kerja secara berlebihan, dan yang ketiga : menghargai hubungan kerja secara wajar sambil menempatkan diri sejajar, setara, sederajat atau setingkat terhadap majikan, dengan tujuan menjaga unsur keseimbangan yang saling menguntungkan.
Ketiga jenis sikap di atas, akan melahirkan tipe-tipe karyawan yang dapat kita kenali dari sepak terjangnya dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari:
1) Tipe Petualang.
2) Tipe Pengabdi.
3) Tipe Mitra.
TIPE PETUALANG
Karyawan jenis ini condong memperlakukan perusahaan tempat ia bekerja hanya sebagai obyek yang bisa dikendalikan sesuka hati, atau sebagai tambang emas yang bisa digali dan dikeruk isi perutnya sepuas-puasnya. Yang termasuk dalam katagori tipe petualang antara lain mereka yang bekerja untuk mencari uang sebanyak-banyaknya dan melakukannya secara “hantam kromo”, tidak peduli halal atau tidak, yang penting duit! Sehingga terjadilah peristiwa-peristiwa tidak terpuji seperti korupsi materi, korupsi waktu, penggelapan bahkan pencurian dan lain sebagainya. Sering bolos untuk menjalankan usaha sampingan, juga termasuk dalam golongan ini.
Demikian juga dengan tipe Kutu Loncat. “Kutu loncat” adalah mereka yang selalu berpindah-pindah kerja dari satu perusahaan ke lain perusahaan, tergantung dari pihak mana yang menurutnya lebih baik dalam hal memberi kedudukan dan uang. Dengan sendirinya, mereka mudah “dibajak” dengan iming-iming gaji besar.
Tipe petualang tidak termasuk dalam dikotomi TDA vs TDB.
TIPE PENGABDI
Sementara itu, sebagian orang berpikiran bahwa kerja pada majikan, sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah rumah tangga. Mereka berpendapat, dari situlah dapur bisa berasap sehingga semua anggota keluarga bisa makan dan roda kehidupan berputar dengan wajar. Dengan anggapan ini, mereka selalu mendambakan sebuah pekerjaan yang tenang tenteram, dan bisa dijadikan tumpuan selama hidup.
Maka orang-orang jenis ini akan terlihat bekerja sehari-hari secara cukup tekun, cukup rajin, tidak terlalu banyak menuntut dan sebaliknya juga tidak terlalu keras bekerja demi karir. Karena sangat menyenangi ketenangan kerja dalam lingkup tanggung jawab terbatas, mereka tahan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang “itu-itu” juga, dalam suasana yang monotone tanpa perubahan apa pun.
Pada peristiwa PHK, orang-orang ini akan menjadi sangat panik, karena sesuai dengan jalan pikiran mereka, PHK akan menyebabkan rumah tangga porak-poranda. Dapur akan kehilangan asapnya, sumber makan keluarga akan terhenti, anak-anak terlantar dan tidak terbayang kegiatan apa yang bisa mereka lakukan setelah berhenti dari pekerjaan sekarang.
Tipe pengabdi inilah yang pada umumnya menganggap majikan sebagai dewa penolong kehidupan, sehingga merasa bahwa posisi mereka ada di bawah posisi majikan. Merekalah yang mengganggap diri mereka sendiri sebagai “TDB” alias tangan di bawah.
TIPE MITRA
Seorang karyawan yang membangun hubungan kerja berdasarkan falsafah kemitraan, akan mempunyai perilaku yang sama sekali berbeda dibanding mereka yang menganut falsafah kerja petualang atau pengabdian semu. Di sini, karyawan penganut kemitraan menganggap perusahaan majikan sebagai amanah yang harus dijaga, dipelihara, dibina serta dikembangkan dengan penuh tanggung jawab. Sehingga tidak pernah selintas pun timbul pikirannya untuk melakukan korupsi, penggelapan serta hal-hal lain yang tak terpuji.
Di lain pihak, ia juga tidak pernah menganggap majikan sebagai dewa penolong yang memberinya penghidupan, karena ia sadar bahwa apa yang diterimanya dari sang majikan merupakan timbal balik dari jasa-jasa, kepiawaian, energi, waktu serta profesionalisme yang ia dedikasikan kepada perusahaan.
Dalam hal ini, paradigma karyawan tersebut sudah menerapkan konsep “True Salesmanship” yang berbasiskan pemikiran kerjasama saling menguntungkan. Sebuah transaksi yang didasarkan atas jual-beli berprinsip “Win-win solution”, di mana semua pihak diuntungkan, semua pihak berbahagia dan tidak ada pihak yang dirugikan atau teraniaya. Oleh sebab itu, sosok seperti ini tidak dapat digolongkan dalam profil “TDB”, melainkan “TDA” bersama-sama dengan majikannya.
Dengan konsep pemikiran seperti itu, secara sadar atau tidak, unsur kewirausahaan sudah cukup dominan dalam sepak terjang karyawan tipe ini. Maka tidaklah mengherankan, kalau pada suatu saat nanti, karyawan tipe mitra akan muncul secara surprise, sebagai seorang wirausahawan tangguh.
Himbauan saya bagi teman-teman yang merasa “TDB”, dan merasa masih agak terlalu jauh untuk sampai di tatanan wirausahawan mandiri, ada satu langkah awal yang cukup efektif, yaitu merubah paradigma dari seorang karyawan yang “TDB”, menjadi karyawan yang “TDA”. Insya Allah, setelah itu jalan menuju kemandirian akan lebih terbuka.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: +62 21 816.144.2792
PUASA, LEBARAN DAN KEMENANGAN
Tidak terasa bulan puasa yang satu bulan penuh telah kita liwati. Hari Raya Idul Fitri telah pula kita rayakan dan nikmati bersama, dengan anggota keluarga, handai taulan, sanak famili, para sahabat dan orang-orang tercinta.
Kalau kita mau berfikir, bukankah bulan puasa serta Hari Raya semacam ini entah sudah berapa kali kita mengalaminya? Bukankah tiap tahun hari-hari yang sakral itu datang lagi dan lagi, sejak kita masih kecil, tumbuh remaja, dewasa dan beranjak tua?
Lalu apa sebenarnya maksud yang terkandung dalam peristiwa itu, adakah hikmah di dalamnya? Dan sudahkah kita bisa mengambil manfaatnya?
Siapa pun kita, pegawai negeri, profesional atau pun wirausahawan, sudah pasti bisa mengambil banyak hikmah dari prosesi bulan puasa sampai kepada Hari Raya yang kita sebut dengan Hari Kemenangan itu. Apa sajakah?
KESADARAN AKAN “JER BASUKI MOWO BEO”
Kenikmatan berhari raya, hanya dapat dirasakan secara maksimal oleh mereka yang benar-benar menunaikan ibadah puasa secara penuh. Artinya, cuma oleh mereka yang menahan lapar, haus serta hawa nafsu selama satu bulan penuh, dengan sepenuh-penuh kesadaran akan makna ibadah yang dijalankannya.
Mereka akan menginsyafi, bahwa kenikmatan tersebut baru mampu diperoleh, setelah melalui perjuangan berat, dalam bentuk kosongnya perut, keringnya tenggorokan, lemas dan tak berdayanya tubuh yang sebelumnya begitu perkasa, ditambah dengan kelelahan mental melawan gejolak emosi.
Makna yang terkandung dari proses ini memberikan kita pencerahan tentang hal bahwa setiap keberhasilan, setiap kesuksesan dan setiap kemenangan yang memilik nilai, hanyalah yang diperoleh melalui perjuangan. Semakin berat dan keras perjuangan yang dilalui, semakin manis pula madu kemenangan yang bisa direguk.
Dengan demikian, benarlah apa yang dikatakan oleh pepatah Jawa: “Jer basuki mowo beo”, setiap keberhasilan memerlukan biaya. Ini juga yang mengingatkan kita semua kepada peribahasa yang sejak kecil kita telah diajarkan: “Bersakit-sakit lebih dahulu, bersenang-senang kemudian..”
V I S I
Salah satu tujuan dari berpuasa di bulan Ramadhan adalah untuk memberikan kesempatan pada kita, guna melakukan instrospeksi alias mawas diri, atas apa-apa yang telah kita lakukan selama ini. Adakah semua sepak terjang kita telah sesuai dengan yang seharusnya, dan apakah perjalanan yang telah kita lalui masih tetap berada pada jalur yang benar.
Tak dapat dipungkiri bahwa selama bulan puasa, terutama pada minggu-minggu terakhir, kegiatan bisnis serta pemerintahan, mengalami penurunan. Bukannya tanpa maksud, karena biasanya para pimpinan perusahaan dan organisasi memanfaatkan situasi itu untuk mengadakan konsolidasi ke dalam. Mereka sedikit mengurangi kegiatan ke luar, sebaliknya, pengamatan ke dalam, evaluasi serta penataan kembali ditingkatkan.
Hal seperti itu memang sejalan dengan tujuan ibadah puasa, di mana kita mendapatkan kesempatan untuk melakukan konsolidasi untuk menata kembali perjalanan hidup kita ke depan, agar lebih baik dan mantap melanjutkan perjuangan sehabis Hari Raya.
LEAN AND MEAN
Pada umumnya, meski ada beberapa kekecualian, seorang pelaku puasa akan mengalami penurunan badan yang cukup drastis. Saya sendiri termasuk orang yang “sensitif”, sehingga setiap habis berpuasa sebulan lamanya, paling sedikit saya akan kehilangan 4 kilogram berat badan. Tubuh dan wajah saya akan terlihat kurus.
Namun demikian, di balik kekurusan itu, saya merasakan sesuatu yang mengenakkan. Tubuh saya terasa ringan, gerakan saya lebih bebas dan gesit, serta merasa suasana tubuh bagaikan kembali ke masa SMA dulu (waktu SMA bobot saya hanya 54 kg).
Ada istilah dalam bisnis, yang disebut “Lean And Mean”. Istilah ini artinya “kurus tanpa lemak, tapi sehat dan gesit”. Sebuah badan usaha, secara berkala perlu diterapi untuk selalu “lean and mean”. Artinya, perusahaan seyogyanya selalu diawasi dan dikendalikan untuk tidak terlalu “gemuk dan tambun”, sehingga bebannya berat, dan manuvernya melamban.
Perusahaan yang “gemuk dan tambun” akan selalu kalah dalam persaingan, sehingga perlu memangkas semua unsur yang berlebihan, seperti kelebihan SDM yang tidak efektif, biaya-biaya ekstra yang tidak terlalu diperlukan, birokrasi yang terlalu panjang dan lain sebagainya.
KEPEDULIAN SOSIAL
Sebuah perusahaan yang didukung oleh masyarakat, pasti akan memperoleh kemajuan yang signifikan. Oleh sebab itu, perlu sekali diperhatikan kegiatan-kegiatan yang menunjukkan kepedulian sosial.
Dalam menyelesaikan ibadah puasa, sebelum fajar menyingsing di Hari Raya, seluruh umat diminta untuk menunaikan kewajiban membayar zakat fitrah dan juga zakat maal (zakat kekayaan). Besarnya zakat maal ini bagi umat Islam adalah 2,5 persen dari nilai kekayaannya.
Artinya, kalau kita memiliki harta sebesar Rp. 100 juta, maka kita wajib menyisihkan Rp. 2,5 juta untuk diberikan kepada fakir miskin. Saya tidak tahu apakah ada di antara kita yang masih merasakan jumlah 2,5 persen ini terlalu berat atau terlalu besar?
Tapi tahukah Anda, bahwa di antara teman-teman kita umat Nasrani, zakat maal itu adalah sebesar 10 persen? Jika mereka mempunyai uang Rp. 100 juta, maka yang akan dialokasikan untuk charity adalah Rp. 10 juta!?
Saya menghimbau, bagaimana kalau kita semua mencoba belajar menyisihkan 10 persen untuk dizakatkan, dan lihatlah bagaimana alam semesta akan memberikan tanggapannya terhadap kasih sayang pada sesama yang Anda tunjukkan itu.
Bahkan ada suatu pemikiran lain yang akan saya ajukan, yaitu sebuah konsep tanggung jawab sosial yang mungkin akan Anda anggap terlalu revolusioner, atau akan Anda beri label “gila”, jika Anda belum mendengar penjelasannya secara tuntas. Apakah itu?
Bagaimana kalau kita mulai saat ini berikrar untuk menyisihkan zakat maal kita itu 100 persen?
Eit, please.. jangan buru-buru mencap saya mengada-ada atau sinting. Dan jangan cepat-cepat berfikir bahwa Anda akan diajak untuk bekerja bhakti sepanjang hidup. Dengarkan dulu ya?
Saya juga tidak setuju kalau Anda dan saya meraup 100 persen dari seluruh pendapatan untuk dibagikan begitu saja kepada fakir miskin. Kenapa? Karena itu tidak mendidik. Kita bukan memberi pancing, tapi sekadar memberi ikan. Itu sebuah bentuk pemanjaan, dan hampir semua bentuk pemanjaan, umumnya tidak mendidik.
Yang saya maksud dengan zakat maal 100 persen adalah, sebuah paradigma bahwa kita menjalankan usaha dengan niat dan anggapan bahwa seluruh aset, seluruh sumber daya dan seluruh keuntungan yang diperoleh dari usaha kita adalah untuk didedikasikan kepada masyarakat banyak.
Bagaimana implementasinya?
Hitunglah semua biaya yang diperlukan, seperti biaya operasional, biaya overhead, biaya gaji karyawan dan biaya-biaya lainnya seperti biasanya. Lalu tentukan besar gaji Anda sendiri, menurut yang Anda anggap pantas dan lebih dari cukup untuk membiayai hidup Anda, keluarga dan seluruh tanggungan Anda. Tentukan juga Retained Earning (RE), besaran laba yang perlu ditahan guna mengembangkan usaha selanjutnya.
Nah setelah itu, Anda harus konsekwen. Jangan mengambil lebih banyak dari jatah Anda, mulai saat itu semua keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan, adalah hak milik masyarakat banyak. Perusahaan harus mendirikan sedikitnya sebuah yayasan, atau bekerja sama dengan yayasan-yayasan di luar perusahaan, untuk mengelola 100 persen net profit Anda itu untuk kepentingan sosial.
Dengan demikian, dapatlah kita meyakinkan diri bahwa manfaat kehidupan kita, berikut semua badan usaha yang kita dirikan adalah benar-benar mencapai manfaat yang maksimal. Pikirkanlah dan putuskan. Anda berani?
SPIRITUAL ECO SYSTEM
Sebagaimana tulisan saya yang lalu, dunia ini bergerak berdasarkan siklus-siklus. Segala sesuatu bergerak menurut aturan baku yang bersifat alamiah. Ada yang masuk, ada yang keluar. Ada yang menaik, ada yang menurun. Semua membentuk sebuah lingkaran yang berulang, yang kita sebut siklus. Siklus itu adalah apa yang kita sebut dengan ekosistem.
Secara fisik, ekosistem dapat terlihat dari fenomena alam bagaimana air menguap karena sinar matahari, naik ke atas, mengkondensasi membentuk awan, menjadi berat lalu jatuh ke bumi dalam bentuk hujan dan kembali menjadi air. Lalu siklus pun berulang.
Kita lihat juga bagaiman petani menebar bibit, bertumbuh, menjadi ranum dan matang, untuk kemudian dituai dan dipanen. Lalu siklus pun berulang.
Kita pun tidak terbebas dari lingkaran yang serupa. Kita makan dan minum sebagai masukan, tapi kita pun harus mengeluarkan dan membuang sesuatu agar kesehatan terjaga.
Secara spiritual, sistem melingkar juga berlaku, kita sebut sebagai “Spiritual Eco System”. Bila kita menarik sesuatu, kita perlu juga mengeluarkan sesuatu. Kalau kita ingin memperoleh rejeki dalam jumlah besar, maka kita pun harus berderma dalam jumlah yang juga besar.
Barang siapa bekerja keras, alam akan mencatatnya, dan pada waktunya alam pun akan memberikan ganjaran berkah lengkap dengan bonus yang terkadang tidak tersangka-sangka besarnya.
Kunci dari semua itu adalah keyakinan. Keyakinan adalah iman, dan itulah pula sebenarnya yang terkandung dalam peribadatan kita dalam prosesi berpuasa sampai dengan Hari Raya.
Selamat idul Fitri 1427H, mohon maaf lair bathin.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahan
Email: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
Anomali Kehidupan
Di sekolah dulu, seorang guru saya pernah menyampaikan sebuah teori fisika yang mengatakan bahwa sifat semua benda di dunia ini adalah sama, yaitu memuai bila dipanaskan, dan menyusut bila didinginkan.
Teori ini berlaku buat semua benda, tidak terkecuali air, demikian kata beliau.
Tapi ada suatu keadaan bertendensi terbalik, yang dinamakan “anomali air”. Keadaan dimaksud terjadi pada saat air dipanaskan pada suhu +4º Celcius. Ternyata air tidak memuai. Sebaliknya, air tersebut menyusut. Demikian juga pada saat air didinginkan pada suhu -4º Celcius, sebaliknya dari menyusut, eh.. dia malah mengembang. Aneh kan?
Nah, setelah saya fikir-fikir, dalam kehidupan ini juga banyak kejadian yang aneh-aneh. Saya bahkan ingin mengatakannya banyak anomali dalam kehidupan ini.
Adanya dualisme dalam kehidupan kita, itu saja sudah aneh. Coba pikir, ada panas ada dingin. Ada kecil ada besar. Ada baik ada buruk. Ada siang ada malam Kita bisa menyebutkan lagi seribu satu contoh dualisme, kalau mau.
Kelanjutan dari keanehan itu adalah, lho kok kita hidup di dunia ini harus memilih salah satu dari dua kutub dualisme? Alim ulama dan para pendeta mengatakan bahwa kita harus memilih hanya kebaikan, dan membuang jauh-jauh yang namanya keburukan.
Guru saya di sekolah menekankan, kita harus selalu rajin dan melenyapkan kemalasan. Dokter mengatakan bahwa kita harus mengutamakan kebersihan dan kesehatan. Berantas kekotoran, ketidakbersihan serta ketidaksehatan.
Kok begitu ya?
Kenapa Tuhan tidak menciptakan saja monoisme, sebagai ganti dari dualisme. Dengan begitu kita semua hanya mengenal yang baik-baik saja. Kita hanya tahu kebaikan, kebajikan, kebersihan, kesehatan dan semua yang sifatnya positif-positif saja. Dan kita tidak perlu tahu dengan yang negatif, seperti keburukan, kejahatan, kekotoran, kemalasan, dan lain sebagainya. Kan dengan begitu, manusia juga tidak akan mengalami kebimbangan atau keraguan dalam memilih jalan hidupnya, bukan?
TUHAN Maha Besar.. Itulah akhirnya yang saya bisa ucapkan tatkala menemukan secuil pencerahan. Dualisme memang sudah karakternya dunia. Manusia memang diturunkan ke dunia untuk menentukan sikap, untuk memilih. Akankah manusia memilih kebenaran bagi dirinya, dan menolak kebathilan? Akankah orang akan memilih semua yang positif dan menyingkirkan yang negatif?
Monoisme, di mana yang ada hanyalah semua yang baik-baik saja, cuma terdapat di dalam surga. Bukan di dunia. Di surga hanya ada bahagia, tidak ada sengsara. Hanya ada kenikmatan tidak ada kesakitan. Hanya ada suka cita tidak ada muram durja. Tuhan memberikan itu semua untuk manusia. Tapi manusia sendirilah yang mengubahnya menjadi berbeda.
Nabi Adam, ditengah-tengah kehidupannya yang serba nikmat itu, kok sempat-sempatnya memetik buah khuldi, sehingga berakibat pecahnya monoisme menjadi dualisme? Kok berani-beraninya dia berbuat begitu hingga timbul konfrontasi antara Tuhan dengan Setan? Sadarkah dia bahwa perbuatannya itu telah menyebabkan seluruh keturunan manusia menjadi sengsara, hidup terombang-ambing di dunia fana yang penuh dengan kebimbangan dan ketakutan?
Beratus bahkan beribu tahun umat manusia harus menanggung derita penghidupan dunia dalam kegelapan, kebutaan serta ketidakmengertian tentang hakikat hidup ini. Manusia bahkan tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya!
Syukur alhamdulillah, bahwa sedikit demi sedikit, sejumlah manusia bijak dapat juga mengungkap rahasia kehidupan. Kaum waskita di negeri Cina berhasil menemukan bahwa semua yang kelihatan saling bertentangan itu sebenarnya berasal dari sumber yang sama. Bahwa dualisme itu asalnya dari monoisme. Bahwa yang gelap dan yang terang, yang tinggi dan yang rendah, yang benar dan yang salah, yang panas dan yang dingin, semuanya bersumber satu.
Coba cernakan kata-kata ini: “Yang ada berasal dari yang tiada, yang tiada berasal dari yang ada. Yang tiada itu sesungguhnya ada, dan yang ada itu sebenarnya tidak ada. Baik yang ada mau pun yang tiada pada dasarnya bersumber dari yang satu, itulah yang disebut TAO..”
Huahaha… saya ingin mengatakan bahwa kalau Anda bukan tipe manusia yang keranjingan spiritualisme, jangan coba-coba menelaah kata-kata itu. Bisa-bisa Anda akan merasa gila sendiri.
Meski demikian, saya ingin menyampaikan bahwa sesungguhnya di antara dua hal yang bertentangan itu memang ada hubungan yang sangat erat. Itu kalau kita tidak mau mengatakannya tidak saja berhubungan, tapi bahkan saling tarik menarik.
Coba perhatikan, kalau Anda menganggap bahwa makan enak itu sesuatu hal yang positif, maka sekali mengumbar makan enak, penyakit pun akan datang “sok akrab” dengan diri Anda. Suatu hal yang negatif, bukan?
Sebaliknya, pada saat Anda menginginkan kesembuhan atau kesehatan yang optimal (positif), jangan heran kalau dokter akan menjejali Anda dengan aneka material yang umumnya terasa pahit, sekaligus harus menjauhi makanan-makanan enak (negatif). Itulah, yang saya maksud dengan tanda-tanda “anomali kehidupan”.
Mungkin Anda menganggap kenyamanan merupakan suatu hal yang positif, dan menjadi tujuan akhir dari kehidupan Anda. Tentu yang Anda cari adalah kemapanan, kelimpahan harta serta segala sesuatu yang serba teratur, serba tenang tenteram serta menjauhkan diri dari perubahan-perubahan, apalagi kejutan-kejutan.
Tapi banyak peristiwa yang terjadi ternyata tidak konsisten dengan anggapan tersebut. Ada seorang komisaris sebuah perusahaan besar, digaji tinggi dan ia cukup datang sebulan sekali ke kantornya yang megah. Sekilas kebanyakan orang mengira ia sudah hidup mapan dan nyaman dengan kondisi yang demikian. Nyatanya, sang komisaris mengaku sangat tidak kerasan dengan kondisi seperti itu, dan ia menginginkan tantangan-tantangan yang lebih besar.
Seorang profesional muda yang menjadi konsultan di perusahaan saya, dengan perasaan sungkan meminta agar honornya dihentikan sementara waktu sampai volume pekerjaan yang diberikan padanya kembali pada tingkat kepadatan seperti sebelumnya. Yang terjadi adalah ia merasa risih dan tidak enak hati, saat harus menerima sejumlah uang setiap bulan, tanpa kerja dan tanggung jawab yang jelas.
Kenapa begitu? Ya, dia merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak seimbang. Sebelum ini, ia selalu menerima bayaran, setelah memberikan kontribusi kerja yang bermanfaat. Maka ia merasakan kenikmatan maksimal dengan penghasilannya. Tapi, setelah beban kerjanya nyaris tiada lagi, dan ia tetap dibayar, kenikmatan itu pun nyaris pula sirna. Bahkan sebaliknya, berubah menjadi beban moral bagi dirinya.
Dengan demikian cukup jelas bagi kita untuk menyimpulkan bahwa keadaan pahit dan manis, nyaman dan tertekan, kaya dan miskin, bahagia dan sengsara, semuanya ada dalam lingkup sebuah sistem maha besar dari alam semesta ini. Dan jangan lupa bahwa kedua ekstrim positif dan negatif itu, semuanya diperlukan bila kita ingin mengerti mekanisme kehidupan dunia. Itulah yang saya sebut dengan “anomali kehidupan”, dan itu pula yang disebut oleh saudara-saudara kita dengan “Tao”.
Anomali yang menjelaskan mengapa seorang anggota keluarga Rockefeller, yang seakan menganggap uang tidak lebih berharga dari pasir dan debu di jalan, akhirnya memilih berkelana di hutan-hutan belantara dan menemui kematiannya di sana.
Topik yang sama juga menjelaskan kenapa Elvis Presley, Marilyn Monroe dan banyak selebriti lain yang telah bergelimang uang akhirnya jatuh ke lembah narkoba, sekadar untuk mengejar dan mencari “sesuatu yang hilang” itu.
Para spiritualis penganut aliran tertentu di India, Persia dan Timur Tengah, mengadakan aktivitas-aktivitas penyiksaan diri guna memenuhi persyaratan ritual mereka. Untuk apa? Tidak lain juga untuk menemukan “sesuatu yang hilang” agar kehidupan mereka kembali dalam keseimbangan hakiki di alam semesta ini.
Bagaimana dengan kita yang berkecimpung dalam kehidupan kerja, baik sebagai karyawan mau pun sebagai usahawan?
Banyak dari kita merasa galau dengan kondisi yang dialami saat ini. Kondisi di mana kita merasa begitu menderita karena kesulitan keuangan di tengah-tengah krisis ekonomi berkepanjangan. Cemas memikirkan masa depan diri dan anak-anak kita kelak. Geram melihat para pemimpin yang tidak lagi memiliki hati nurani karena sepak terjangnya yang korup, arogan, dan sewenang-wenang. Kesal karena setiap hari diperintah-perintah orang lain yang disebut “boss”, padahal gaji kecil tak mencukupi, mau jadi pengusaha belum berani..dan sebagainya..dan sebagainya..
Yang perlu kita sadari adalah, inilah yang disebut dengan anomali kehidupan. Kalau saja kita menyadari dengan sepenuhnya, maka sesungguhnya kita tidak lagi harus merasa menjalani kehidupan dengan keterpaksaan.
Kita sadar bahwa unsur negatif pun diperlukan dalam dunia ini. Tekanan hidup melatih kita untuk menjadi seorang yang tangguh. Kesulitan ekonomi mendidik kita untuk berkarya, bahwa persoalan sebenarnya bukanlah pada kesulitan ekonomi itu sendiri, melainkan alam menghendaki kita untuk berkarya. Bila karya sudah membudaya dalam hidup, otomatis tidak akan ada lagi kesulitan ekonomi.
Nah, teman sekalian. Izinkan saya untuk sedikit berpesan, nikmatilah kehidupan saat ini, bagaimana pun adanya kondisi Anda. Bila Anda sekarang dalam keadaan yang serba kurang, sadarilah bahwa Anda sedang melengkapi kebutuhan hidup pada kutub negatifnya. Nanti, bila Anda telah sukses dan hidup berkelimpahan, Anda akan dapat menikmatinya secara penuh, tanpa perlu jatuh ke dunia narkoba, atau berkelana ke hutan. Kalau Anda sekarang ada dalam kelimpahan, coba periksa, apa Anda bisa menikmatinya dengan baik?
Kalau Anda merasa tidak bisa menikmatinya secara baik dan cenderung jenuh, serta tidak tahu lagi apa yang mesti Anda perbuat, nah.. itu artinya Anda belum cukup mengalami sisi negatif kehidupan. Anda belum cukup mengalami pennderitaan yang membuat Anda pantas memperoleh segala kelimpahan.
Itulah “anomali kehidupan”…
Rusman Hakim
Pengamat kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
Pada suatu hari, seorang ayah dan seorang anak laki-lakinya yang sudah menjelang dewasa tampak sedang bersama-sama memberi makanan pada ayam-ayam peliharaan mereka. Keluarga ini memang memelihara banyak ayam dari berbagai jenis, yang terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu ayam kampung dan ayam negeri.
Di sela-sela kesibukan itu, tiba-tiba sang ayah bertanya pada anaknya : “Nak, kalau kau harus memilih, yang mana kau lebih suka, jadi ayam negeri atau jadi ayam kampung?” Sang anak tertegun mendengar pertanyaan tersebut. Ia tidak mampu menjawab.
“Apa maksud ayah?” katanya sejurus kemudian.
“Ini hanya sebuah permisalan. Bila kelak engkau menjadi lebih dewasa nanti, ada dua cara hidup yang bisa engkau pilih, yaitu cara hidup seperti ayam negeri, atau sebagai ayam kampung”, jelas ayahnya.
“Ah, aku tahu ! Tentu aku memilih hidup seperti ayam kampung. Ia selalu bebas pergi ke mana saja ia mau..”, jawab sang anak dengan antusias.
Si ayah yang bijaksana ini tersenyum sambil membenarkan. “Selain kebebasan, masih banyak hal-hal lain yang bisa kita ambil dari kehidupan ayam kampung, dibanding dengan kehidupan ayam negeri”, lanjut ayahnya. Lalu ia mulai berbicara panjang lebar untuk menjelaskan falsafah hidup ayam kampung kepada anak kesayangannya tersebut.
Ayam kampung berbeda terhadap ayam negeri dalam banyak hal. Perbedaan pertama yang telah disebut di atas adalah hal kebebasan. Ayam kampung selalu hidup bebas di alam lepas. Pergi ke sana ke mari mencari makan, bermain, dan bercengkerama. Sementara itu, ayam negeri selalu hidup di kandang yang bagus.
Pada malam hari, ayam kampung tidur seadanya, di mana saja. Tidak perlu di kandang, bahkan acapkali hanya di atas jerami atau pada seutas ranting. Sedangkan ayam negeri siang malam ada di kandang yang nyaman, termasuk waktu tidur. Kandangnya itu, benar-benar dibuat nyaman, bersih karena setiap hari dibersihkan. Kesehatan lingkungannya di jaga, bahkan temperatur ruangan harus selalu diatur dengan nyala lampu agar tetap hangat.
Ayam kampung mencari makan sendiri, berjuang menyibak semak-semak, mengorek sampah, merambah selokan, berpanas dan berhujan menyantap apa saja yang bisa disantapnya. Tidak peduli kotoran dan tidak hirau pelimbahan, demi menyambung hidup yang keras dari hari ke hari.
Ayam negeri di lain pihak, disediakan makanan oleh majikannya dengan makanan khusus. Penuh gizi dan bebas hama. Jadwal teratur, dan tidak boleh menyentuh makanan sembarangan. Sekali-sekali pada waktu-waktu tertentu, ayam negeri juga diberi suntikan agar lebih sehat dan produktif.
Melihat kenyataan itu, tentu terpikir oleh kita bahwa sudah sepantasnya kalau ayam negeri memiliki kelebihan dalam segala hal dibanding ayam kampung. Tapi apa nyatanya? Ayam negeri sangat sensitif. Ada keadaan yang sedikit saja menyimpang dari seharusnya, sakitlah ia. Satu sakit, yang lain pun sakit, dan akhirnya semua mati.
Sebaliknya,.ayam kampung tidak pernah sakit, tubuhnya sehat dan kuat, berkat gemblengan alam. Itu yang membuatnya tidak pernah sakit. Ia pun berjuang setiap hari di alam terbuka, melawan kekerasan alam untuk mencari nafkahnya. Ayam kampung juga memiliki rasa pengorbanan, tidak ragu untuk menyibak semak, mengorek sampah dan merambah selokan, berpanas dan berhujan sambil membimbing anak-anaknya mencari makan, agar mereka tegar seperti induknya.
Sang ayah yang bijaksana tadi berkata lagi : “Lihat, meski bergelimang berbagai kenyamanan, ayam negeri itu sesungguhnya sudah kehilangan identitas sebagai makhluk yang bebas. Statusnya sudah diubah oleh mahluk lain yang bernama manusia, tidak lagi sebagai mahluk hidup, melainkan sebagai mesin. Mesin yang menghasilkan telur dan daging dalam jumlah besar bagi keperluan manusia..”
Moral apa yang bisa kita serap dari fenomena ayam kampung dan ayam negeri ini?
Manusia bisa berkaca dari cermin kehidupan ayam negeri dan ayam kampung. Dalam bekerja mencari nafkah serta meniti karir, kebanyakan generasi muda menghendaki kehidupan nyaman tidak ubahnya bagai kehidupan ayam negeri. Mendambakan hidup nikmat di mana segala kebutuhannya dipenuhi, jauh dari beratnya perjuangan hidup, jauh dari gemblengan dan tantangan alam, bahkan kalau perlu tidak usah tahu dengan yang namanya cucuran keringat serta beratnya banting tulang.
Sejak selesai sekolah, rata-rata pemuda sudah terpola untuk bisa diterima bekerja di sebuah perusahaan besar, menerima gaji besar, mendapat sejumlah jaminan dan fasilitas-fasilitas tertentu, mampu membeli rumah dan mobil sendiri, serta berkantor di salah satu gedung megah dan mewah di kawasan bisnis bergengsi. Sekolah dianggap sebagai sarana yang memberikannya standar pengakuan sebagai tiket untuk mendapatkan semua itu.
Di sana terselip sebuah pengharapan bahwa, semakin tinggi pendidikan yang ditempuh, semakin tinggi pula jabatan yang akan ia peroleh dari perusahaan, dan mereka mengira, semakin santai pula pekerjaan yang akan diberikan kepadanya. Hidup tenang dengan serba berkecukupan bahkan berkelimpahan.
Tak perlu disangsikan lagi bahwa pedoman hidup yang dianut generasi muda ini, sama dan sebangun dengan liku-liku kehidupan ayam negeri. Mereka menginginkan kenyamanan dan berbagai fasilitas yang diberikan oleh majikan, sama seperti ayam negeri menerima kenyamanan dan berbagai fasilitas dari majikannya.
Mereka menginginkan kesehatan dan jadwal hidup yang serba teratur, sama seperti ayam negeri menerima kesemua itu dari majikannya. Mereka memerlukan perhatian penuh tentang kesejahteraan diri dan keluarga, memerlukan tuntunan dan pimpinan untuk memperlancar tugas dan kewajibannya, sama seperti seperti yang diberikan majikan kepada ayam-ayam negeri itu.
Namun mereka tidak menyadari bahwa pada saat yang sama, mereka telah kehilangan kebebasan dirinya, sebagai hak azasi manusia yang paling hakiki. Mereka tidak bisa lagi pergi dan terbang ke sana ke mari seperti seekor elang di langit lepas. Sama seperti yang dialami oleh ayam negeri. Lebih-lebih lagi, mereka telah kehilangan identitas diri sebagai mahluk hidup, karena status dirinya, disadari atau tidak, telah dirubah menjadi mesin yang sangat produktif demi kepentingan majikannya. Juga sama seperti ayam negeri.
Falsafah hidup seperti ayam negeri, benar-benar merupakan suatu hal yang menyesatkan, terutama bagi kalangan muda. Orang akan terpedaya dengan perasaan nikmat dalam kehidupan yang terkungkung di antara sisi-sisi tembok beton kantor atau rumahnya yang mewah. Padahal di luar, masih teramat banyak orang yang tidak cukup beruntung untuk mendapatkan pekerjaan, hidup susah di rumah-rumah kumuh dan pengap.
Falsafah ayam negeri hanya mengajarkan manusia untuk memuja kenyamanan diri semata. Meski tidak ada yang salah untuk memperoleh kesejahteraan, kesenangan dan kemewahan bagi diri dan keluarga, namun pola hidup demikian cenderung membuat orang menjadi figur yang selfish dan egois, selalu mementingkan diri sendiri. Tidak ada lagi rasa prihatin dan empati kepada sesama. Apalagi keinginan berkorban untuk orang lain.
Sindrom kenikmatan juga akan menyebabkan kaum muda kehilangan semangat dan daya juang, sehingga tidak akan mau lagi ikut memikirkan bagaimana berpartisipasi untuk memajukan negara dan bangsa, mengentaskan kemiskinan rakyat jelata dan berbagai aspek sosial lainnya yang amat dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
Di ujung rangkaian dari berbagai kesenangan yang memabukkan itu, akhirnya akan muncullah masalah yang paling berat, yaitu kenyataan bahwa generasi muda akan menjelma menjadi generasi yang ringkih, getas dan sensitif. Generasi yang mudah patah saat dihadapkan pada situasi krisis, sebagai akibat terlalu dimanjakan oleh kenikmatan. Lagi-lagi sama seperti ayam negeri yang sensitif terhadap berbagai penyakit.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
To Be Or Not To Be
Seorang pemimpin bangsa Cina modern, Dr. Sun Yat Sen, adalah orang yang menpopulerkan semboyan “to be or not to be”. Secara bebas, semboyan tersebut bisa diterjemahkan menjadi : “berhasil atau tidak berhasil”.
Kata-kata tersebut mengandung arti yang dalam. Manusia harus selalu menyadari bahwa sistem dualisme selalu mengatur dunia ini dalam dua kutub yang saling berlawanan. Ada gelap ada terang, ada tinggi ada rendah, ada besar ada kecil dan seterusnya. Oleh sebab itu, dalam mengejar suatu cita-cita, perlu selalu dipahami bahwa pilihannya juga hanya ada dua, yaitu berhasil atau gagal.
Berhasil berarti kemenangan, gagal berarti kehancuran. Maka, dalam hal perjuangan mencapai cita-cita luhur, tidak ada kompromi. Tidak ada pilihan untuk setengah berhasil atau setengah gagal. Yang ada hanya “berhasil” ! Kita menolak kegagalan, sehingga kegagalan harus dicoret dari kamus kehidupan kita.
Para pemimpin telah menetapkan bahwa pilihan harus hanya satu, yaitu “berhasil”. Tidak pernah ada kegagalan. Yang mungkin ada hanyalah “belum berhasil”, bukan kegagalan.
Para kandidat yang ingin menjadi pemimpin usaha yang berhasil, harus benar-benar mengambil intisari pelajaran ini. Tidak akan pernah ada kegagalan, selama kita belum berhenti berusaha. Sir Winston Churchill mengatakan : “Jangan mengaku kalah ! Jangan, jangan dan jangan pernah menyerah dalam hal apa pun yang Anda lakukan !”
Perlu dimengerti bahwa suatu perjalanan panjang menuju cita-cita adalah suatu garis penghubung antara dua titik yang saling berjauhan, yang satu di sini yang lain nun jauh di sana, dan diantara keduanya terdapat serangkaian gunung terjal serta lembah dan jurang yang curam. Gunung terjal menempatkan kita di posisi ketinggian pada satu saat, sedangkan lembah dan jurang mengharuskan kita berada di kerendahan pada saat berikutnya.
Tidak ada sesuatu yang salah dengan hal itu, semua wajar-wajar saja dan memang seharusnya begitu. Demikian juga berbagai kemenangan dan kejatuhan kecil sepanjang perjalanan menuju sukses, adalah suatu hal yang wajar-wajar saja dan memang harus dilalui. Tidak ada jalan pintas. Tiada kebahagian tanpa pengorbanan, jer basuki mowo beo, pepatah Jawa mengatakan.
Sebuah perjalanan hidup adalah sebuah proses belajar tanpa henti. Tidak ada garis finish, kecuali saat kematian. Dan aturan alam menghendaki bahwa proses belajar memang harus sarat dengan jatuh bangun, karena jatuh bangun akan membuat manusia menjadi makin matang dan piawai. Jatuh bangun membentuk pengalaman, sedangkan pengalaman adalah guru terbaik bagi siapa pun.
Seseorang yang belajar mengendarai sepeda akan lebih mahir setelah mengalami jatuh bangun sebanyak 100 kali daripada orang lainnya yang hanya mengalami hal itu sebanyak 50 kali. Seorang anak balita (usia di bawah lima tahun) yang mengalami jatuh bangun lebih banyak ketika belajar berjalan, akan lebih kuat dan lebih waspada daripada anak lainnya yang mengalaminya lebih sedikit.
Demikian juga seorang uahawan yang berkali-kali mengalami kejatuhan sebelum sukses, akan menjadi pengusaha yang tangguh dan tak perlu diragukan lagi kepiawaiannya.
Berdasarkan hal-hal itu, tulisan ini ingin memberi pesan kepada semua saja, baik yang sudah dalam proses jadi pengusaha mau pun yang masih menjadi karyawan, agar dalam usaha mewujudkan cita-cita jangan sekali-kali mengenal kata menyerah.
Nikmatilah kerja, karena kenikmatan sejati terletak pada penjiwaan dan penghayatan kerja, bukan pada hasilnya, baik berupa uang mau pun materi lainnya. Kenikmatan kerja sifatnya abadi, sementara kenikmatan materi bersifat sementara, berjangka pendek dan menyesatkan.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blod: http://rusmmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2782
Business Owner dan Individual Dependency
Sekarang ini, kebanyakan dari kita telah mengerti bahwa untuk menjadi pengusaha, atau Business Owner, orang tidak perlu melakukan segala kegiatan sendiri. Kita telah mengerti bahwa yang namanya pendelegasian tugas itu “wajib” hukumnya, sepanjang kita ingin menjadi pemilik usaha yang cerdas alias “smart”.
Dalam ungkapan yang lebih tegas, seorang pemilik usaha tidak perlu hadir di tempat usahanya. Baik tempat usaha itu berupa toko, kantor atau tempat lainnya. Bahkan dalam buku-buku tentang kiat bisnis, disebutkan bahwa andaikata sang pengusaha pergi jalan-jalan keliling dunia selama setahun pun, bisnis akan tetap jalan.
Benarkah demikian?
Ya benar! Namun demikian, ada sesuatu di balik ungkapan tersebut yang dapat membuat kita terjebak.
Pendelegasian tugas, tidak dapat dilakukan secara seketika pada saat perusahaan baru berdiri. Pendelegasian tugas juga bukan berarti semua tanggung jawab pemilik usaha dilimpahkan semua secara tuntas..tas!..kepada bawahannya. Masih ada beberapa tugas yang harus dilakukan sendiri oleh owner, terutama dalam hal pengawasan.
Jangan pernah berfikir bahwa karena kita telah melakukan pendelegasian, lantas kita bisa melupakan semua hal tentang perusahaan. Lalu kita hanya beraktivitas untuk bersenang-senang dan berlibur. Atau fokus menyusun strategi untuk mendirikan perusahaan baru. Yang lama, biarin aja, toh sudah ada yang mengurus, ngapain dipikirin..!
Pendelegasian tugas biasanya dilaksanakan secara bertingkat. Yang paling umum di delegasikan adalah tugas-tugas yang bersifat teknis. Kalau saya berusaha dalam bidang penjualan eceran pisang goreng misalnya, maka saya akan melimpahkan tugas-tugas teknis seperti mencari pisang yang bagus, mengolah tepung dan menggoreng sampai menyajikannya, kepada bawahan saya.
Sedangkan tugas-tugas lainnya yang bersifat lebih strategis, seperti menentukan harga jual, mencari lokasi usaha yang baik, mencari resep-resep baru sampai menciptakan terobosan-terobosan bisnis yang lebih mutakhir, saya lakukan sendiri.
Itu pun kalau memang saya sudah sanggup merekrut orang untuk bekerja sebagai bawahan. Kalau, belum ya semua saya kerjakan sendiri dulu.
Pada perusahaan yang sudah agak lebih besar, tapi kepemilikan usahanya masih dipegang oleh satu orang, boleh jadi pekerjaan-pekerjaan teknis sudah seluruhnya dilimpahkan pada para manajer. Pemilik usaha mengawasi kinerja para manajer itu, baik secara langsung mau pun melalui laporan berkala yang diterimanya setiap minggu, bulan dan tahun.
Para pemilik toko, restoran, kafe, atau bengkel sering kali masih “turun tangan” mengawasi jalannya operasional usaha sambil sesekali ikut membantu melayani pelanggan. Tujuannya jelas: melihat secara langsung kinerja para pelaksana, memberi dukungan moral kepada para karyawan, sekaligus mengambil alih tanggung jawab dari tangan karyawannya dalam kasus-kasus kritis yang mungkin terjadi.
Lho, kenapa para pemilik usaha ini masih juga harus turun tangan sendiri? Bukankah sudah ada yang namanya store manager, duty manager, front office manager dan manager-manager lainnya? Apakah pendelegasian tugas tidak dimengerti oleh para business owner itu?
Ya, tidak juga. Hampir semua pemilik usaha bernuansa modern sekarang ini mengerti tentang hal itu. Tapi, di lapangan, “teori” tidak akan secara otomatis bisa diterapkan secara seketika dan utuh. Jangan mengira bahwa kalau ada ungkapan yang mengatakan: “pemilik usaha cukup bermalas-malasan di rumah, sementara semua pekerjaan dikerjakan oleh para karyawan”, lantas penerapannya akan langsung seperti itu. Apalagi, pada perusahaan-perusahaan yang relatif masih muda, yang baru beroperasi selama kurang dari 3 tahun.
Banyak faktor lain yang mempengaruhi sehingga jalannya skenario tidak bisa persis seperti yang diharapkan. Misalnya, faktor kesiapan mental pramuniaga, karyawan yang nakal dan suka korupsi, manajer yang tidak mampu mengatasi pelanggan yang rewel atau marah-marah dan banyak kejadian lainnya.
Individual Dependency
Salah satu hal yang menarik dari kasus-kasus pendelegasian yang harus mendapat pengecualian, adalah apa yang disebut individual dependency atau ketergantungan individu.
Apa itu ketergantungan individu, dan kepada siapa kebergantungannya?
Macam-macam. Ada pelanggan, yang hanya mau berhubungan dengan seorang salesman tertentu dari sebuah perusahaan untuk urusan-urusan produk yang dibelinya dari perusahaan dimaksud.
Dia tidak pernah mau dilayani oleh salesman lain, atau bahkan oleh atasannya, meski salesman tersebut sedang berhalangan. Ia lebih suka menunggu beberapa hari sampai orang yang dikehendakinya itu bisa menemuinya katimbang harus dilayani orang lain.
Di lain kasus, seorang EDP Manager sebuah perusahaan besar, hanya mau dilayani oleh seorang teknisi tertentu untuk urusan pemeliharaan dan perbaikan sistem Teknologi Informasi perusahaannya. Dia sama sekali tidak mau dilayani oleh teknisi lain, sekali pun telah diberi penjelasan bahwa teknisi lain juga mempunyai kualifikasi dan kepiawaian yang sama.
Pelanggan-pelanggan dengan kualifikasi tertentu, hanya mau dilayani oleh pemilik usaha atau Direktur Utama. Mereka tidak mau dilayani oleh pejabat lainnya, apalagi oleh seorang staf pelaksana.
Kasus-kasus seperti di atas, menunjukkan adanya ketergantungan pelanggan kepada figur-figur tertentu, dengan alasan yang kadang-kadang kurang logis. Akan tetapi, kejadian demikian sudah sering terjadi dan kini telah menjadi fenomena lumrah.
Para pimpinan perusahaan yang berpengalaman, pasti telah memakluminya, dan mereka biasanya cukup bijaksana untuk mengakomodir keinginan pelanggan-pelanggan yang unik.
Di lingkungan perusahaan, terutama yang masih dimiliki satu orang, business owner umumnya sangat mewaspadai kemungkinan-kemungkinan seperti itu. Itu sebabnya, banyak dari mereka selalu menyempatkan diri hadir di gerainya, atau kalau ia seorang supplier, meluangkan waktu untuk datang ke kantor pelanggannya tanpa diminta. Semata-mata untuk mengantisipasi timbulnya masalah, yang pihak pelanggan tidak ingin membicarakannya dengan orang lain, selain dengan si pemilik usaha.
Dengan demikian, perlu dimengerti bahwa selalu ada kejadian di mana seakan-akan pendelegasian tugas tidak berjalan secara harfiah, sebagaimana kita baca dalam buku.
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792
Seorang teman yang entrepreneur pernah mengeluh: “Wah, jadi pengusaha itu nggak enak. Capek! Capek fisik sih nggak apa-apa, tapi capek mental? Mana tahan…?” Demikian dia mengutarakan uneg-unegnya.
“Lho kok bisa gitu?” saya bertanya heran.
Teman ini cerita serius: “Sekarang ini, saya praktis harus kerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan harus selalu siap siaga untuk kepentingan orang lain dan untuk hal apa pun”.
“Bayangkan saja, dalam satu kejadian, saya sedang mengendarai mobil ke luar kota untuk satu urusan keluarga yang penting. Tahu-tahu, hp saya berdering. Ketika saya angkat, ternyata dari klien saya Pak Anu. Beliau minta saya mencarikan stik golf dengan merek dan tipe tertentu, dan ditunggu di lapangan golf di pusat kota saat itu juga. Gila nggak? Tapi, ya terpaksa putar haluan, balik ke Jakarta lagi. Sebagai rekanan, tugas harus saya laksanakan. Kalau nggak, ya… tahu sendiri, bakul nasi saya bisa terbalik..”
Dia melanjutkan bahwa perisiwa semacam itu bukan satu-dua kali terjadi, tapi sering. Bukan kejadian aneh kalau menjelang tengah malam waktu siap-siap pergi tidur, telpon berbunyi. Seorang klien minta ditemani ke karaoke atau ke pub untuk “berdugem”.
Di kantor, selain urusan-urusan kantor, ia juga mesti berbaik hati mengurus hal-hal tetek bengek dari klien-klien besarnya. Mulai dari urusan perbaikan mobil pribadi yang bersangkutan, sampai juga membantu mencarikan informasi tentang sekolah di luar negeri untuk kepentingan anak-anak para pejabat kliennya tersebut.
Pokoknya macam-macamlah, sehingga lama kelamaan, ia akhirnya merasa jenuh juga dengan hal-hal yang begitu.
Ada lagi sebuah cerita dari seorang teman lain, yang “curhat” beberapa waktu sebelumnya. Namanya Jacky. Dia adalah pemegang franchise sebuah merek terkenal dari Inggris, yang menjual produk-produk apparel and lifestyle, seperti pakaian, dasi, sepatu dan lain sebagainya. Semuanya untuk konsumsi kelas menengah ke atas.
Tokonya, yang ada di PIM (Pondok Indah Mall – Jakarta), selalu ramai dikunjungi orang, baik yang benar-benar serius belanja, mau pun yang hanya sekadar melihat-lihat. Saya ikut senang melihat kemajuan usaha si Jacky, karena sejak acara “Grand Launching” – di mana saya juga diundang -- saya cukup antusias memantau perkembangan yang terjadi.
Sampai suatu hari, dia mengutarakan rasa tidak bahagianya dalam menjalankan bisnis tersebut. Ia berkisah bagaimana hatinya sangat jengkel melayani pelanggan-pelanggan rewel. Meski mengerti bahwa produk yang dijualnya adalah barang-barang berkualitas dengan harga tinggi, namun ia berpendapat tidak selayaknya para pelanggan itu menjadi begitu rewel, menuntut ini-itu yang kadang-kadang nyaris tidak masuk akal.
Kalau hanya complain tentang kualitas barang yang sudah dipakai hampir seminggu, lalu minta ditukar dengan yang baru, ia masih sanggup melayaninya. Tapi ada juga, pelanggan-pelanggan yang seakan beli barang bukan untuk dipakai dan dinikmati, melainkan memang hanya untuk memberi masalah pada dirinya.
Orang-orang yang kegemarannya menteror orang lain, mentang-mentang kaya. Begitu jalan pikiran si Jacky.
Ada orang yang mengeluhkan bahwa sepatu yang baru dibeli dari tokonya, setelah dipakai beberapa hari ketahuan ada cacatnya. Orang itu menuntut Jacky bertanggung jawab.
Meski sudah dijelaskan bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan, sang pembeli tidak mau mengerti. Sebaliknya malah mengancam akan memuat kasus ini di koran, kalau Jacky tidak bisa memberi pertanggungjawaban yang memuaskan. Gilanya, ketika Jacky mengalah dan menawarkan penggantian barang dengan yang baru, si pelanggan rewel ini menolak!
Dengan ketusnya orang tersebut mengatakan dia hanya ingin melihat Jacky memberi solusi yang profesional, bukan sekadar menukar barang. Namun ia sendiri tidak mau menjelaskan apa yang dimaksud dengan “solusi profesional” itu. “Kalau Anda merasa profesional, tentu Anda sudah tau dong apa yang Anda harus perbuat pada saya?”
Barangkali, nasib si Jacky teman saya ini memang tidak terlalu beruntung. Karena ternyata, bukan hanya satu orang itu pelanggannya yang super rewel dan “teroris”. Dalam satu bulan ada saja 1 atau 2 pelanggan baru yang datang dengan perilaku yang aneh-aneh dan eksentrik. Semuanya menyusahkan dia.
“Kalau ada 10 orang brengsek lagi datang ke sini, mending gue tutup aja deh toko ini..”, keluh si Jacky putus asa..
Dari dua kasus di atas, saya sempat mengadakan tanya jawab yang agak mendalam dengan kedua sahabat tadi. Pada akhir tanya jawab itu, saya memperoleh kesimpulan bahwa kemungkinan besar telah terjadi “tidak kecocokan” antara karakter dan kepribadian kedua teman tersebut dengan bidang usaha yang dipilihnya.
Kedua bidang bisnis yang diutarakan di atas, adalah bidang-bidang usaha yang bersifat pelayanan. Teman pertama berkecimpung dalam dunia pemasok (supplier), sedangkan yang kedua, si Jacky, menggeluti bidang eceran (retail), di mana mereka sama-sama harus menghadapi berbagai permintaan dan tuntutan yang datang dari pelanggannya.
Yang harus dicamkan benar oleh pelaku usaha bidang pelayanan adalah, bahwa yang dituntut dari mereka adalah kesediaan untuk melakukan sesuatu berdasarkan kebutuhan, keinginan serta selera pelanggannya. Bukan selera mereka sendiri.
Kesadaran ini harus sudah benar-benar ada, sejak pertama kali si pengusaha membuat keputusan untuk memulai usaha dalam bidang tersebut, serta terjun ke dalamnya secara serius.
Dalam kewirausahaan, ada sebuah anjuran untuk mengenali terlebih dahulu jenis kepribadian yang dimiliki seseorang, sebelum yang bersangkutan memutuskan untuk menggeluti sebuah bidang usaha tertentu. Karena apa?
Karena setiap bidang usaha juga mempunyai karakternya sendiri-sendiri, masing-masing bersifat spesifik terhadap yang lain. Oleh sebab itu, perlu sekali mengidentifikasi, apakah karakter seseorang itu cocok atau tidak dengan karakter dari usaha yang dipilihnya.
Jika terjadi tidak kesesuaian, bisa diramalkan bahwa dalam waktu tidak terlalu lama, si pengusaha akan merasa “tidak betah” bahkan akhirnya “tersiksa” oleh bidang usaha yang dipilihnya sendiri. Buntutnya jelas, bisnis akan menjadi tersendat, bahkan bisa menjadi layu sebelum berkembang.
Itu sebabnya, pada kejadian-kejadian semacam ini, para pelaku usaha akan merasakan bahwa menjadi pengusaha itu ternyata “tidak enak”, tidak seindah apa yang mereka lihat pada pengusaha-pengusaha lain yang sukses.
Itu pulalah alasannya, mengapa banyak orang merasa bahwa mereka tidak bakat atau tidak mampu menjadi pengusaha. Padahal, yang terjadi sebenarnya bukanlah tidak mampu jadi pengusaha, melainkan hanya tidak cocok dengan bidang usaha yang dipilih.
Sedikitnya ada 4 tipe kewirausahaan primer yang ada pada diri manusia. Yaitu, tipe “D” atau “Dominan”, tipe “P” atau “Pop”, tipe “S” atau “Servis” (Pelayanan) serta tipe “K” atau “Konvensional”. Nah, masing-masing tipe kepribadian manusia ini sifatnya sangat khas, sehingga bidang usaha yang sesuai untuk mereka juga berbeda satu dengan yang lain.
Dari namanya, mudah untuk dimengerti bahwa tipe kepribadian yang sesuai untuk melakukan bisnis jenis pelayanan, adalah tipe “S”. Namun bagaimanakah caranya agar kita atau seseorang dapat mengenali dirinya sebagai tipe “S” atau bukan?
Saya ingin sekali membahas secara tuntas tentang masalah kesesuaian kepribadian seseorang dengan jenis bidang usaha yang akan dijalankan, karena memang hal ini termasuk satu hal penting dalam kewirausahaan. Sayang sekali, pembahasan dimaksud akan memakan halaman yang terlalu panjang, sehingga kurang layak untuk disajikan dalam milis internet.
Saya berharap, apabila rekan-rekan di milis berminat untuk mengetahui dirinya termasuk tipe kepribadian apa, serta bidang-bidang usaha apa yang sesuai untuk dilakoni, mudah-mudahan ada kesempatan bagi saya untuk mempresentasikannya dalam waktu dekat. Entah dalam suatu acara seminar, pertemuan informal, “kopi darat” atau kesempatan-kesempatan lainnya.
Salam sukses,
Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: 0816.144.2792