PEMECUTAN-BEDULU-MAJAPAHIT View RSS

Sejarah Puri Pemecutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan Arya Damar dan Sejarah Puri Tabanan di Bali. Keberadaan Puri Pemecutan berkaitan dengan sejarah Majapahit dan Kerajaan Bedulu di Bali
Hide details



SEJARAH PEMECUTAN 9 Aug 2013 7:20 PM (11 years ago)

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

BABAD BENDESA MANIK MAS 9 Jul 2011 5:29 PM (13 years ago)



Semoga tidak ada halangan dan berhasil.

Sembah sujud hamba ke hadapan para leluhur, beliau yang telah paham akan saripati Hyang Ratna Ongkara Mantram, suci lahir-bathin hingga disebut Sang Yogiswara. Semoga beliau memberkati hamba untuk menceritakan perihal terdahulu yang amat suci. Bebas hamba dari kesalahan, kekeliruan, segala mala pataka serta dimaafkan oleh beliau untuk keselamatan dan panjang umur seluruh keluarga hingga keturunan kelak, semoga sejahtera.

Tersebutlah zaman dahulu, keadaan dunia masih kosong bagaikan perahu yang terombang-ambing yakni di tanah Bali dan Selaparang, sirna semua yang ada di jagat Bali ini. Adapun ceritanya : semula ada empat gunung bernama Gunung Catur Loka Pala, yakni : 

  • di timur adalah Gunung Lempuyang
  • di selatan ada Gunung Andakasa
  • di sisi utara adalah Gunung Manghu
  • di sisi barat ada Gunung Watukaru. 
Demikian keberadaan gunung itu, yang pada hakikatnya sebagai kunci penguat jagat Bali sejak zaman dulu. Itu sebabnya terasa sulit Hyang Hari Bawana (Wisnu) menjaga Bali ini.



Pemerajan Bendesa Manik Mas
Bersedihlah Hyang Tri Nayana menyaksikan Bali ini bagaikan pralaya (kiamat). Segera berupaya mencabut puncak Gunung Mahameru, Hyang Badhawang Nala sebagai dasar gunung, Hyang Ananta Boga dan Hyang Basuki sebagai talinya, Hyang Naga Taksaka menerbangkan hingga di Bali dan Selaparang. Itu sebabnya ada Gunung Agung dan Gunung Rinjani. Hampir sama dengan perihal ketika para dewata memutar Gunung Mandara di lautan susu (Ksiràrnawa). Demikian cerita kedua pulau itu (Bali, Lombok).

Entah berapa lamanya, bertepatan pada wuku Prangbakat sasih kadasa (Panca Indra Bhumi) bernama Anggara Kasih Prangbakat, sasih kadasa bertemu purnama, tahun Candra sangkala: Sukita Pawaka Mastaka Witangsi, satuannya (rah) 3, puluhannya (tenggek) 1, atau Wesakyam Ghni Bhudara (Isaka ..13), meletus Tohlangkir (Gunung Agung), muncullah Bhatara Tri Purusa, yakni : Bhatara Hyang Aghni Jaya berstana di Pura Lempuyang, Bhatara Putra Jaya yang juga bergelar Bhatara Hyang Mahadewa berstana di Pura Besakih, dan Bhatari Hyang Dewi Danuh beristana di Pura Ulun Danu Batur.

Ada lagi putra Hyang Pasupati, ditugaskan menjaga jagat Bali bergelar Sang Hyang Tri Purusa, seperti Bhatara Hyang Tugu berstana di Gunung Andakasa, Bhatara Hyang Tumuwuh berstana di Gunung Watukaru, Bhatara Hyang Manik Gumawang di Gunung Bratan, dan Bhatara Hyang Manik Galang (Corong) di Pejeng.

Entah berapa lama beliau berstana di Sad Kahyangan dan disembah jagat Bali, ceritakan kini pada siwa kuje Julung Mrik yang bernama Anggara Kliwon Julungwangi, Sadara marga uttara badrawada, bernama sasih Karo, ketika Hyang Surya bergerak ke utara, bertepatan pada sukla pawaka bhudara, yakni pananggal ke-13 (tahun Candra Sangkala: swanita kala bhumi sirsaya janma) bernama rah (satuan) 8, tenggek (puluhan) 1 (Naga wulan witangsu Udaning Jagadhitaya) atau tahun Isaka 18. Ketika itu Bhatara Hyang Aghni Jaya dan Bhatara Hyang Putra Jaya beryoga dan meletuslah Hyang Tohlangkir (Gunung Agung) mengeluarkan lahar api membasmi segala yang dilaluinya. Kemudian menjadi sungai yang dinamai Lwah Embah Ghni hingga kini.


Pura Dadia Bendesa Manik Mas
yoga Bhatara Hyang Putra Jaya lahirlah putranya yang tertua bernama Bhatara Ghana. Adiknya bernama Bhatari Manik Ghni. Berkat yoga Bhatara Hyang Ghni Jaya lahir putranya empat orang, yakni Sanghyang Sri Mahadewa bergelar Mpu Witta Dharma, Sanghyang Sidhi Mantra yang sangat sakti, Sang Kulputih, serta yang terbungsu bernama Ratu Sakti menjadi raja di Madura. Berkat yoga Mpu Witta Dharma, lahir seorang putra bernama Mpu Bajra Satwa, bergelar Mpu Wira Dharma. Adapun adiknya bernama Mpu Dwijendra bergelar Mpu Raja Kretta. Ceritakan berkat yoga yang dilakukan Mpu Dwijendra, lahir empat orang putra, yakni 
  1. Mpu Gagak Aking
  2. Mpu Bubuk Sah
  3. Mpu Brahma Wisesa
  4. Mpu Lingga Nata.
Hentikan beliau yang demikian itu, ceritakan berkat yoga beliau Mpu Bajra Satwa yang bergelar Mpu Wira Dharma, lahir seorang putra bernama Mpu Tanuhun yang juga bernama Mpu Lampitha. Adapun dari yoganya Mpu Tanuhun lahir lima orang putra, yakni: 
  1. Sang Brahmana Pandita
  2. Mpu Sumeru
  3. Mpu Ghana
  4. Mpu Kuturan
  5. Mpu Baradah.
Kelimanya disebut panca pandita atau panca tirta dan panca dewata. Semuanya menghadap Bhatara Gana dan Bhatari Manik Ghni yang berada di Gunung Sumeru seraya melakukan yoga semadi menghadap anugrah Bhatara Hyang Pasupati. Ada kata bhisama Bhatara Hyang Pasupati kepada Bhatara Hyang Panca Tirta sebagai berikut. “Oh cucuku sekalian, dengarkanlah baik-baik, jangan lupa terhadap perilaku seorang pendeta, yang taat akan tutur kamoksan dan kebenaran aksara. jika begini mestinya begini, jika begitu mestinya begitu. Yang terpenting anugrah beliau, adalah segala ilmu yang tersurat dalam Sanghyang Manu, Tri Kaya Parisudha, dan Tatwa Dyatmika.

Kemudian jika ada keturunanmu, sampaikan juga bhisamaku ini, untuk mengingatkan perilaku seorang pendeta utama. Jika ada keturunanku melanggar, tidak hirau isi lontar (lepihan), ia bukan keturunanmu. Semoga ia kalah dan turun wangsanya”. Demikian anugrah serta bhisama Bhatara Hyang Pasupati kepada Panca Pandita, sepi bagaikan diperciki tirta amerta kamandalu setelah merasuk ke ubun-ubunnya.

Hentikan dan diganti ceritanya, tersebutlah entah berapa lamanya Sang Panca Pandita berada di bumi Jawa. Ceritakan kini telah berada di jagat Bali. Sang Brahmana Pandita memperistri putri Bhatari Manik Ghni, hingga bergelar Mpu Ghni Jaya Sakti. Kemudian berputra tujuh orang yang disebut Sapta Rsi, yakni: 

  1. Mpu Ketek
  2. Mpu Kananda
  3. Mpu Wiradnyana
  4. Mpu Wita Dharma
  5. Mpu Ragarunting
  6. Mpu Prateka
  7. Mpu Dangka. 
Pemerajan Bendesa Manik Mas
Adapun Mpu Ghni Jaya Sakti datang ke tanah Bali pada Kamis Umanis Dunggulan, tahun Isaka 928, mendirikan parhyangan di Lempuyang Madya. Sementara Mpu Sumeru datang ke tanah Bali pada Jumat Kliwon Pujut, purnama Kaulu, tahun Isaka 921 berstana di Besakih. Adapun Mpu Gana turun ke tanah Bali pada Senin Kliwon Kuningan, tahun Isaka 923, berstana di Gelgel. Adapun Mpu Kuturan datang ke tanah Bali pada Rabu Kliwon Pahang tanggal 6 Isaka 923 berstana di Silayukti Padangbai. Mpu Baradah tidak ikut datang ke Bali, beliau berstana di Lemah Tulis Pajarakan sebagai pendeta oleh sang prabu di kerajaan Kediri (Jawa).

Hentikan yang demikian, kini ceritakan sang Sapta Rsi telah mempunyai keturunan, seperti tersurat dalam lepihan (lontar), Adapun kini disebutkan Mpu Witta Dharma, putra keempat dari Mpu Ghni Jaya mempersunting putri Mpu Darmaja bernama Dewi Darmika. Datang ke Bali dan menetap di Lempuyang Madya berbakti dan memelihara parhyangan Bhatara Kawitan Hyang Abra Sinuhun. 


Kemudian berkat keutamaan yoganya, muncul tirta Tunggang (tirta utama) dari kemaluannya sebagai tirta pangentas orang mati. Entah berapa lama fase grehasta yang dijalaninya, lalu melahirkan seorang putra diberi nama Mpu Bajra Sandi Wira Dharma. Adapun Mpu Bajra Sandi Wira Dharma sebagai suami putri Mpu Siwa Gandu yang bernama Dewi Giri Nata melahirkan tiga putra laki, yang tertua Mpu Lampitha, yang menengah Mpu Adnyana atau bergelar Mpu Pananda, dan terbungsu adalah Mpu Pastika. 

Adapun Mpu Pastika dan Mpu Pananda dijadikan murid oleh Mpu Kuturan. Keduanya tiada pernah kawin (sukla brahmacari), turut di Silayukti Padang. Sedangkan Mpu Lampitha dijadikan suami oleh Ni Ayu Subrata melahirkan seorang putra bernama Mpu Dwijaksara. Adapun Mpu Dwijaksara berputra Mpu Jiwaksara, yang kemudian bernama Ki Patih Wulung.
 

Ceritakan kini pada tahun Saka 1246, zaman pemerintahan Sri Aji Tapa Wulung di Bali pulina bergelar Sri Aji Gajah Waktra dan Sri Aji Gajah Wahana nama lain beliau. Sebagai patih agung adalah Kriyan Pasung Grigis keturunan Sanghyang Sidhi Mantra Sakti dan Kriyan Kebo Iwa sebagai adipati, didampingi oleh para mantri lainnya seperti Ki Patih Wulung, Ki Wudug Basur, Ki Kala Gemet, Ki Tumenggung serta empat mantri andalan, yakni Ki Tunjung Tutur di Karangasem, Ki Tunjung Biru di Tenganan, Ki Kopang di Seraya, Ki Bwahan di Batur, Ki Walung Singkal di Taro, Ki Tambiak di Badung, Ki Girik Mana di Buleleng, dan Ki Ularan di Kalopaksa. 

Demikian banyak bala mantri yang memperkuat raja dalam memegang tapuk pemerintahan di Bali Pulina. Entah berapa lama beliau memerintah, kemudian beliau melaksanakan yajna Eka Dasa Rudra di Besakih didamping oleh Sang Sapta Rsi. Tak disebutkan keagungan yajna, kini setelah yajna usai negeri menjadi tentram karena kebijakan beliau memerintah. Rasa bahagia di dunia seakan mengalir. Itu sebabnya beliau diberi gelar Sri Aji Dalem Asta Sura Bumi Banten. Demikian sejarahnya seperti tersurat dalam lepihan (lontar).
 

Kembali kini ceritakan tentang Mpu Dwijaksara yang datang ke Bali tahun Saka 1265. Atas permohonan Mahapatih Gajah Mada untuk menata jagat Bali setelah kekalahan raja Sri Aji Dalem Bedahulu oleh Majapahit dan tidak ada yang memerintah di jagat Bali. Setibanya di tanah Bali segera membangun parhyangan di Gelgel bernama Pura Panganggihan Batur Gelgel. 

Disebutkan bahwa beliau punya seorang putra bernama Mpu Jiwaksara dan bergelar Ki Patih Wulung. Kemudian beliau beristrikan Ni Ayu Swara Reka, menurunkan dua orang putra yang tertua bernama I Gusti Smaranata dan adiknya bernama I Gusti Bandesa Manik. Adapun I Gusti Smaranata beristrikan Ni Ayu Rudini menurunkan seorang putra bernama I Gusti Rare Angon. Adapun Ki Gusti Bandesa Manik beristrikan Ni Luh Ayu Manik Hyang menurunkan Ni Luh Ayu Made Manikan dan dijadikan istri oleh Ki Gusti Rare Angon.
 

Ceritakan I Gusti Bandesa Mas sebagai Bandesa di desa Mas tahun Saka 1257, menetap di Taman Pule. Kemudian menurunkan tiga orang, yang tertua bernama I Gusti Bandesa Mas, yang menengah bernama Ni Luh Made Manikan, dan terbungsu bernama Ni Luh Nyoman Manikan. Adapun I Gusti Rare Angon, dari istri beliau I Gusti Bandesa Manik melahirkan tiga orang putra, yakni: 
  1. I Gusti Pasek Gelgel
  2. I Gusti Pasek Denpasar
  3. I Gusti Pasek Tangkas. 
Lagi I Gusti Rare Angon yang istrinya dari Tohjiwa berputrakan tiga orang, yakni 
  1. I Gusti Pasek Tohjiwa
  2. I Gusti Pasek Nongan
  3. I Gusti Pasek Prateka. 
Enam orang putra dari Gusti Rare Angon dan tujuh hingga I Gusti Bandesa Mas menjadikan sebutan Pasek Sanak Pitu di dunia ini. Adapun I Gusti Bandesa Mas menurunkan tiga orang putra, yang tertua bernama Pangeran Bandesa Mas di Banjar Tarukan, Taman Pule Desa Mas Gianyar, yang menengah Bandesa Mas di Desa Gading Wani Jembrana, dan terbungsu Bandesa Mas di Desa Mundeh Kaba-Kaba Tabanan.

Hentikan lagi cerita itu, kini ceritakan ketika pemerintahan Sri Aji Dalem Waturenggong pada tahun Saka 1382 sebagai raja Bali. Beliau sakti mandraguna, gunawan penegak dharma dan bijaksana, seorang raja yang disegani rakyat sehingga banyak negeri tetangga tunduk kepada raja, seperti Sasak, Sumbawa, Bone, Blambangan, dan Puger. Tetapi negeri Pasuruan belum kalah olehnya. Itu sebabnya raja mengadakan rapat besar mengundang para bahudanda mantri seperti Rakyan Patandakan, Manginte, Batan Jeruk, Panyarikan Dauh Bale Agung, Gusti Jelantik, Sanak Pitu Pangeran Pasek Gelgel dan Pangeran Bandesa Mas berikut punggawa dan prajuru, disaksikan oleh purahita Siwa-Budha. Karena teringat akan yang terdahulu, adanya duta baginda raja menyerang Sri Aji Pasuruan yang dipimpin Arya Patih Ularan, Arya Kuta Waringin, Arya Manguri, Arya Delancang, dan Arya Muda. 

Ada lagi tentang masalah pada diri Pangeran Pasek dan Pangeran Bandesa, yang zaman dulu sebagai senapati perang oleh Dalem Cili Kresna Kapakisan. Tak disebutkan perihal duta perang di Pasuruan, akhirnya kalah Sri Aji Pasuruan, namun tetap tidak mau diajak ke Bali. Betapa marah Patih Ularan segera dipenggal kepala Sri Aji Pasuruan dan dibawa ke Bali, berikut seluruh kekayaan istana dihaturkan kepada raja Bali, sebagai bukti beliau telah mengalahkan negeri Pasuruan.
 

Setibanya Ki Patih Ularan dan kedua Pangeran seperti Pangeran Pasek Gelgel dan Pangeran Bandesa di balairung, lalu bersujud kepada Dalem seraya berkata: “hamba mohon maaf sebagai abdimu, kini telah berhasil mengalahkan negeri Pasuruan, seperti Sri Aji Pasuruan, telah dipenggal kepalanya olehku, ini hamba serahkan kepada paduka”. Pangeran Bandesa juga berkata: 
  • “Oh paduka, hamba telah hancurkan istana Pasuruan yang dilapisi permata, dan kini telah mampu hamba raih sebagai bukti mengalahkan kerajaan Sri Aji Pasuruan”. 
Ketika Kriyan Ularan dan Pangeran Bandesa mengatakan semua itu, raja terdiam bisu bagaikan tertindih gunung mendengarkannya. Wajah beliau merah bagaikan api menyala karena sangat marahnya. Segera turun dari kursi langsung masuk istana dan menutup pintu. Ada terdengar kata-kata beliau: “ Hai kamu Kriyan Ularan, ada bisama/putusanku kepadamu, kini kamu tak bisa menghadap aku, karena dosamu yang amat berat terhadap kakakku Sri Aji Pasuruan. Ini ada pemberianku padamu, rakyat dua ratus orang, sawah dua ratus sikut. 
  • Pergilah kamu dari sekarang. Aku harap kamu menuju Patemon sebelah selatan bukit (Singaraja). Jangan kamu menghadap aku. Dan kamu Pangeran Bandesa, karena telah mengambil permata mas manik di gapura Pasuruan, mulai sekarang kamu bernama Pangeran Bandesa Manik Mas hingga keturunanmu seterusnya. Tidak kena hukuman mati, jika dosa sangat berat harus diusir. Jika salah usir wajib dimaafkan. Sekarang juga pikiranku padamu Pangeran Pasek Gelgel, karena kamu masih satu berkat Kriyan Patih Ulung dulu, senantiasa berbakti padaku. Aku beri rakyat sama-sama seratus orang, sawah masing-masing seratus wit, dan ladang seratus wit, wajib diterima olehmu sekeluarga hingga keturunanmu”. Demikian kata Dalem tersurat dalam lepihan.
Kemudian Pasek Gelgel dan Bandesa Manik Mas membangun rumah di Sweca Lingga Pura (Klungkung) bernama Jero Kuta sebelah selatan Puri Agung, diperkuat oleh dua ratus orang rakyat bersama Pangeran Mas sebagai pemuka Desa Gelgel atas perintah Sri Aji. Sangat utama dan berkembang keturunannya, didampingi oleh para mantri, dibantu para pemuka desa, seperti I Gusti Agung, I Gusti Nginte, I Gusti Jelantik, I Gusti Pinatih, I Gusti Panyarikan Dauh Bale Agung, I Gusti Lanang Jungutan, I Gusti Tapa Lare, I Gusti Kaler, I Gusti Lod, I Gusti Pangyasan, dan I Gusti Batan Jeruk. 

Pura Bendesa Manik Mas Balaungan
Itulah seluruh arya di Gelgel dan para pangeran, yakni: I Gede Pasek Gelgel, I Gede Bandesa Manik Mas, I Gede Dangka, I Gede Gaduh, I Gede Ngukuhin, I Gede Tangkas Kori Agung, I Gede Kubayan, I Gede Mregan, dan I Gede Abyan Tubuh. Lagi ada pangeran dari predana (wanita) Sri Aji, seperti I Gede Salahin, I Gede Cawu, I Gede Moning, I Gede Lurah. Dan ada pangeran keturanan Sri Aji dari Dalem Tarukan, seperti Gede Sekar, Gede Pulasari, Gede Belayu, Gede Babalan, Gede Bandem, dan Gede Dangin. Demikian banyak satria (pangeran) dan pemuka masyarakat yang ada di Gelgel.
 

Hentikan dan diganti ceritanya. Kini tersebutlah Danghyang Nirartha, seorang pendeta utama datang ke tanah Bali pada tahun Saka 1411 bersama istri dan putra-putranya, yakni: 
  1. Ida Ayu Swabawa
  2. Ida Kuluwan
  3. Ida Lor
  4. Ida Wetan
  5. Ida Rai Istri
  6. Ida Tlaga
  7. Ida Nyoman Kaniten. 
Adapun Danghyang Nirartha menaiki waluh kele / waluh pahit, istri dan putra-putranya menaiki perahu bocor. Karena kesaktiannya segera sampai di Bali, istirahat di bawah pohon ancak. Kemudian didirikan parhyangan bernama Pura Ancak. Ada bisama/putusannya kepada keturunannya, tidak boleh makan waluh seterusnya. Dikisahkan ke arah timur perjalanan Danghyang Nirartha, tiba-tiba bertemu dengan seekor naga menganga bagaikan goa. 

Masuklah beliau, dan ada telaga berisi bunga tunjung sedang mekar, ada yang putih, merah dan hitam. Lalu dipetik bunga itu. Baru keluar dari perut naga, sirnalah naga itu, menyeramkan dan berubah-ubah wajah Danghyang Nirartha, terkadang merah, hitam, dan putih silih berganti. Itu sebabnya pucat istri dan para putranya melihat sang rsi. Kemudian terlihat istrinya Sri Patni Kiniten demikian juga putra-putranya. Tetapi Ida Ayu Swabawa terlihat paling akhir dalam keadaan pingsan, karena diperdaya oleh orang desa di Pagametan. Lalu marah sang Rsi seraya mengutuk orang Desa Pagametan menjadi wong samar bernama wong Sumedang berikut desanya disirnakan. Demikian kisahnya.
 

Adapun Ida Ayu Swabawa sirna sebagai dewa wong Sumedang, berstana di Pura Dalem Mlanting disembah sebagai Dewa Pasar. Dan beliau Patni Kaniten sirna di Pulaki menjadi Bhatara Dalem Pulaki. Demikian juga putranya yang bernama Ida Rai Istri, ketika mengikuti perjalanan Danghyang Nirartha, lalu sirna di Alas Sepi bernama Suwung, disembah di Pura Griya Tanah Kilat Desa Suwung Badung, bergelar Bhatari Ratu Niyang Sakti.
 

Ceritakan lagi perjalanan Danghyang Nirartha, lalu tiba di Desa Gading Wani Jembrana, ketika penduduk desa kena gering gerubug tak bisa diobati. Di sanalah Bandesa Mas sebagai bandesa di Gading Wani mohon kepada Rsi agar berkenan mengobati penduduk Desa Gading Wani. Tak lama dapat disembuhkan oleh kesaktian Danghyang Nirartha. Kemudian Ki Bandesa Mas Gading Wani didwijati oleh Danghyang Nirartha bergelar Ki Dukuh Macan Gading. Sejak itu Danghyang Nirartha diberi gelar Padanda Sakti Bawu Rawuh, juga Danghyang Dwijendra. Di sana Bandesa Gading Wani menghaturkan putrinya kepada Danghyang Nirartha bernama Ni Jero Patapan, serta dayangnya bernama Ni Berit.
 

Entah berapa lama Danghyang Nirartha berada di gading Wani, lalu terdengar oleh Bandesa Mas di Desa Mas dan Bandesa Mas di Kaba-Kaba Tabanan akan kesaktian Danghyang Nirartha. Lalu mengutus seorang duta agar sang Rsi berkenan datang ke Desa Mas. Tak disebutkan perjalanan beliau, di tengah jalan dijemput oleh Ki Bandesa Mas di desa Kaba-Kaba. Tetapi beliau tidak berkenan, karena Ki Bandesa Mas Kaba-Kaba memohon di perjalanan. Namun, ada anugrah beliau berupa Siwa-Lingga agar dipuja oleh penduduk setempat, 

kemudian didirikan Pura bernama Pura Griya Kawitan Rsi hingga kini. Setelah demikian, lalu Danghyang Nirartha berjalan melewati Badung. Tak dikisahkan.
Kini diceritakan perihal Bandesa Mas sebagai Bandesa di Desa Mas bergelar Bandesa Manik Mas atas anugrah Sri Aji dalem Waturenggong, ketika mengalahkan Sri Aji Pasuruan terdahulu bersama Pangeran Pasek Gelgel dan Arya Ularan. Dikisahkan sekarang Danghyang Nirartha setelah tiba di Desa Mas, dijemput oleh Bandesa Manik Mas, seraya dibuatkan griya (rumah) di Taman Pule Desa Mas. 


Entah berapa lamanya, lalu didwijati Bandesa manik Mas oleh Danghyang Nirartha. Ketika itu, Bandesa Manik Mas menghaturkan adiknya yang bernama Ni Luh Nyoman Manikan, diganti namanya menjadi Sang Ayu Mas Genitir sebagai istri Danghyang Nirartha. Kemudian menurunkan seorang putra bernama Ida Putu Kidul. Selanjutnya menurunkan Brahmana Mas di tanah Bali. Dari perkawinan Danghyang Nirartha dengan Jero Patapan, menurunkan seorang putra bernama Ida Wayahan Sangsi, juga bernama Ida Andapan atau Ida Patapan. Juga beristrikan dayangnya yang bernama Ni Berit, menurunkan Ida wayan Temesi atau Ida Bendu sebutan lainnya. 

Kemudian datang I Gusti Panyarikan Dauh Bale Agung sebagai duta Sri Aji Dalem Waturenggong, agar Danghyang Nirartha berkenan menjadi Bhagawanta atau purahitanya. Itulah sebabnya Danghyang Nirartha sebagai pendetanya sang raja. Kemudian Sri Aji Dalem mengadakan Yajna Homa, yakni Aghni Hotra, digelar oleh pendeta Siwa-Sogata, yakni Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka. dan didwijati Sri Aji dalem oleh Danghyang Nirartha. Semakin kuat negerinya karena kesaktian sang raja menguasai jagat Bali.
 

Hentikan sejenak dan diganti ceritanya, Dikisahkan Bandesa Manik Mas di Banjar Tarukan Taman Pule Desa Mas, menurunkan tiga orang putra, yakni: 
  1. Bandesa Mas di Taman Pule Desa Mas,
  2. Bandesa Mas di Desa Lod Tunduh
  3. Bandesa Mas di Desa Mawang Gianyar. 
Adapun Bandesa Mas di Desa Lod Tunduh Gianyar menurunkan keturunan di Desa Ungasan, Bandesa Mas di Kesiman, Bandesa Mas di Sangeh, Bandesa Mas di Desa Abiansemal, dan Bandesa Mas di Desa Pangastulan Buleleng. Adapun Bandesa Mas di Desa Mawang Gianyar menurunkan Bandesa Mas di desa Wanayu Bedulu, Bandesa Mas di Desa Celuk, Bandesa Mas ring Desa Malinggih, Bandesa Mas di Desa Paguyangan, dan Bandesa Mas di Desa Sanur.
Hentikan cerita itu sejenak, kini ceritakan entah berapa lama Bandesa Manik Mas sebagai pemuka Desa Mas secara bergantian sebagai bandesa di Desa Mas, selalu berbakti kepada junjungan. Dikisahkan sekarang, ketika zaman Sri Agung Anom Sirikan sebagai pemegang kekuasaan Desa Timbul bergelar Sri Aji Dalem Wijaya Tanu Ratna Pangkaja, Dalem Sukawati sebutan lainnya, sekitar tahun Saka 1672-1742, ada rencana Dalem agar Ki Bandesa Manik Mas menghaturkan pustaka leluhur ke Puri Sukawati, seperti Tombak, keris, mirah manawa ratna manik mas. Mungkin telah takdir datangnya kehancuran, 

Ki Bandesa tidak setuju menyerahkannya karena semua itu adalah pustaka/ senjata andalan sejak dulu. Itu sebabnya, meletus perang maha dahsyat. Dikisahkan perang mulai berkecamuk, balatentara perang Ki Bandesa Mas telah bersiap-siap. Ada di ladang, persawahan, sebelah selatan Desa Mas, semua siap menunggu kehadiran musuh dari Timbul. Perang sengit saling penggal, berhadapan-hadapan dengan perwira, mengamuk sejadi-jadinya, bunuh-membunuh, karena rasa sayang dan bakti kepada rajanya.
 

terhitung yang mati dan terluka ibarat perang Baratayuda terdahulu. Demikian juga amukan Kyayi Bandesa Manik Mas, bagikan Abhimaniu yang direbut seratus Korawa di medan laga Kuru Ksetra. Wajar saja, karena banyaknya musuh mengitari, akhirnya balatentara dan Kyayi Bandesa Manik Mas tiada berkutik. Sepeninggal Kyayi Bandesa Manik Mas, maka yang masih hidup dan seluruh keluarganya berlari mencari persembunyian, termasuk seluruh keluarga Brahmana Mas. Semua nyineb wangsa agar tak diketahui oleh musuh. Ini adalah sebuah bhisama Kyayi Bandesa Manik Mas sebelum kalah di medan laga. Itu sebabnya semua berlari hingga jauh dari Desa Mas, agar tidak dibunuh oleh musuh. 

Ada yang bersembunyi di Tangkulak, ada di Badulu, ada di Tampaksiring, ada di Tegalalang, Pujungan, ada menuju Buleleng, Bon Dalem, Banyu Atis, Banyuning, Kubu Tambahan, Gitgit, Baturiti, Candi Kuning, Mengwi Kapal, Kaba-Kaba, Jembrana, Negara, Yeh Embang, Badung, Kapisah, Pedungan, ada di Desa Ungasan menetap di Banjar Kangin, ada di Pabangbai, ada di Karangasem, di Klungkung, Nusa Penida, ada di Abianbase, ada di Balahpane, ada di Bukit, dan ada di Desa Dusun (perkampungan) memenuhi jagat Bali. Bagaikan pohon beringin besar banyak rantingnya merasuk ke pertiwi, lebat daunnya, banyak buahnya tiada terhitung. Lama-kelamaan ada angin ribut, entah dari mana asal daun dan buahnya, dan ada burung-burung mencari makanan hingga ke desa-desa. 

Akhirnya, ada yang kaya dan miskin, ada yang pandai dan bodoh, ada yang masih setia dengan wangsa serta tidak tahu akan sejarah leluhur. Itu semua adalah takdir Tuhan atau titah Sanghyang Para Wisesa, karenanya jangan bersedih, ceritakan perihal kejelekan, karena yang namanya manusia tiada luput akan suka-duka, ibarat roda berputar, walaupun sangat lambat putarannya, itu pasti akan dijumpai oleh manusia di dunia. 

Untuk menghilangkan kekotoran di dalam diri, mesti dibersihkan dengan kesucian pikiran, Sanghyang Sastra dipakai penuntun agar dapat meraih kebahagiaan dan keselamatan. Karena segala bentuk buta, manusialah yang mampu menjadikan semua itu bersifat suba dan asubakarma. Tiada lain, sifat subakarmalah yang mampu merubah sifat asubakarma, sehingga meraih keselamatan dan panjang umur. 

Itu sebabnya, janganlah lupa terhadap bhisama Bhatara Kawitan (leluhur) kepada keturanan Bandesa Manik Mas dan wahyu Danghyang Nirartha yang bergelar Danghyang Dwijendra, bahwa keturunan Bandesa Manik Mas dapat memakai sastra utama, yang dijadikan menjaga jiwanya di kemudian hari, baik suka-duka, sekala-niskala, bisa mempelajari tutur tentang perilaku dharma, layaknya seorang pendeta, juga seluruh isi Weda dan ilmu dyatmika, seperti menjalani tapa brata dan yoga semadi. Yang paling utama adalah melakukan olah nafas dalam diri (pranayama sarira). Adapun anugrah Ida Danghyang Dwijendra kepada seluruh keturunan Bandesa Manik Mas, yaitu : 
  • Weda Salambang Geni, Pasupati, Rencana, Suwer Mas seperti Aji Kepatian (kematian), wajib menikmati secara wahya dan dyatmika (sekala-niskala), oleh seluruh keturunan Bandesa Manik Mas sejak dulu atau mulai sekarang. Ada lagi anugrah Pranda Sakti Wawu Rawuh, ketika Bandesa Mas menikmati keberhasilannya di Desa Mas berdasarkan keutamaan dharma dan senantiasa mengikuti perilaku seorang pendeta.
Seluruh rakyat yang ada di Bali Tengah, bersikap baik dan tulus lahir bathin kepada Pangeran Bandesa Manik Mas, ibaratkan Dewa Kusala beliau yang senantiasa berbakti kepada raja Bali (Klungkung), terlebih kepada Ida Pranda Sakti (Danghyang Nirartha) sebagai hadiahnya, maka Bandesa Manik Mas menghaturkan putrinya kepada Ida Pranda Sakti Wawu Rawuh. Menurunkan Ida Putu Kidul yang bergelar Ida Buk Cabe. 

Itu sebabnya, ada wangsa Brahmana Mas adalah karena istri Danghyang Nirartha adalah putri Bandesa Manik Mas. Sejak itu, Ida Pranda (Danghyang Nirartha) mendirikan Pura untuk para Brahmana di Desa Mas bernama Pura Pule di bagian utama dan stana putra beliau yang bernama Ida Buk Cabe. 

 makanya dipuja oleh para Bandesa Manik Mas. Jika tidak sesuai dengan prasasti ini, tidak akan bahagia selamat, semakin kurang kharismanya. Demikian bhisama Bandesa Manik Mas. (Juga) akan pendek umur, salah perilaku, bingung, tak tahu keluarga, tiada henti halangan hingga keturunan seterusnya. Jangan lupa kalian semua, kata-kataku kepadamu, juga anugrah Danghyang Dwijendra.

Jika ada upacara kematian di kemudian hari, kalian bisa mengikuti sebagaimana tertera di depan (prasasti), antara lain : mantri laksana, bertumpang tujuh, dua warna, sancak, taman, kapas berwarna sembilan, memakai karang gajah, berisi bhoma, memakai ulon Acintya Reka, seluruh upakara selalu yang utama, berisi kajang, klasa, dan memakai tirta tunggang dari Gunung Lempuyang, beralaskan daun pisang ikik, dan bisa kalian memakai segala jenis upakara Nyawa Madya Kebasen (nista, madya, utama). Yang utama memakai uang (kepeng) 16.000, yang madya (menengah) memakai uang 8.000, dan yang nista (terkecil) memakai uang 4.000.

SELESAI.

Atas prakarsa Ida Bagus Raka Rusna, pemangku Pura Taman Pule, disusun oleh Ida Pandita Mpu Widya Dharma Siwa Dhaksa, Griya Agung Widya Srama, Banjar Sakih, Desa Guwang Sukawati Gianyar, pada hari Jumat Wage Wayang, Panca Dasi, Sukla Paksa (purnama), sasih Kartika (Kapat) atau sekitar Oktober, candra sangkala: Gangsal =5, Netra =2, Duara =9, tunggal =1, bernama Purnama Kapat, Isaka 1925 (10 Oktober 2003 Masehi).

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

SEJARAH DANG HYANG NIRARTHA 16 Jun 2011 7:54 AM (13 years ago)

Tersebutlah seorang keturunan Brahmana (Brahmana wangsa) bernama Nirartha adik dari Dang Hyang Angsoka, putra dari dang Hyang Asmaranatha. Ketika Sang Nirartha sedang muda jejaka beliau mengambil istri, di Daha, putri dari Dang Hyang Panawaran yaitu golongan keturunan Bregu di geria Mas Daha bernama Ida Istri Mas. Setelah bersuami istri, Sang Nirartha dilantik (didiksa) oleh Dang Hyang Panawaran menjadi pendeta (Brahmana Janma) diberi gelar Dang Hyang Nirartha.

Dari perkawinan ini Dang Hyang Nirartha mendapat dua orang putra-putri, yang sulung putri diberi nama Ida Ayu Swabhawa alias Hyangning Salaga (yang berarti dewanya kuncup bunga melur) sebagai nama sanjungan karena cantik jelita rupa dan perawakannya serta pula ahli tentang ajaran batin. Adiknya seorang putra diberi nama Ida Kulwan (artinya kawuh atau barat) dan diberi nama sanjungan Wiraga Sandhi yang berarti kuntum bunga gambir, karena tampan dan gagah perawakannya.


PASURUAN

Sementara itu kehidupan masyarakat di Jawa sangat kacau balau, karena di sana-sini terjadi perkelahian-perkelahian dan pertempuran-pertempuran, penumpasan-penumpasan yang sangat mengerikan dan menyedihkan di antara orang-orang Jawa yang telah masuk agama Islam dengan orang-orang Jawa yang masih taat mempertahankan agama lamanya (sesungguhnya agama lama yaitu agama warisan leluhurnya dengan agama baru yaitu agama Islam sama saja hakikat tujuannya.

Yang berbeda adalah cara-caranya, bahasa yang dipergunakan dan upakara, upacaranya, serta tata tertib pergaulan hidupnya). Akhirnya ‘kalah’ agama lama dengan Islam. Oleh karena itu orang-orang Jawa yang masih taat dengan agama lamanya yaitu agama yang diwariskan oleh leluhurnya, terutama orang-orang Majapahit, banyak pindah antara lain ke Pasuruan, ke pegunungan Tengger, ke Brambangan (Banyuwangi), dan ada yang menyeberang ke Bali.

Ketika itulah Dang Hyang Nirartha turut pindah dari Daha ke Pasuruan disertai oleh dua orang putra-putrinya, sedang istrinya tidak disebutkan turut ke Pasuruan. Setelah berselang beberapa tahun lamanya di Pasuruan, maka Dang Hyang Nirartha mengambil istri pula, yaitu seorang wanita yang terhitung saudara sepupu olehnya, putri dari Dang Hyang Panawasikan bernama Ida Istri Pasuruan, dengan nama sanjungan disebut Diah sanggawati (seorang wanita ang sangat menarik dalam pertemuan) karena cantiknya. Perkawinan ini menghasilkan dua orang putra laki-laki, yaitu yang sulung diberi nama Ida Wayahan Lor atau Manuaba. Manuaba (mulanya Manukabha) berarti burung yang sangat indah karena tampan dan indah raut roman muka dan bentuk raganya. Adiknya bernama Ida Wiyatan atau Ida Wetan berarti fajar menyingsing.


BRAMBANGAN (BANYUWANGI)

Kemudian Dang Hyang Dwijendra pindah pula dari Pasuruan ke Brambangan (banyuwangi) disertai oleh empat orang putra-putrinya namun istrinya tidak disebutkan turut. Tiada beberapa lama antaranya Dang Hyang Nirartha mengambil istri di sana yaitu adik dari Sri Aji Juru-Raja Brambangan bernama Sri Patni Kaniten yang sungguh-sungguh cantik molek rupanya sehingga terkenal dengan sebutan ‘jempyaning ulangun’, yaitu sebagai obat penawar jampi orang yang kena penyakit birahi asmara

Beliau itu turunan raja-raja (dalem) dan turunan Brahmana, terhitung buyut dari Dang Hyang Kresna Kepakisan di Majapahit, putri dari raja Brambangan kedua. Saudara adik dari raja Brambangan ketiga yang menjadi raja ketika itu, tegasnya bersaudara kumpi sepupu Dang Hyang Nirartha kepada Sri Patni Kaniten. Perkawinan ini menghasilkan tiga orang anak, seorang putri dan dua orang putra. Yang sulung seorang putri bernama Ida Rahi Istri rupanya cantik dan pandai dalam ilmu kebatinan; yang kedua bernama Ida Putu Wetan atau Telaga atau disebut juga Ida Ender (yang berarti ugal-ugalan) karena terkenal pandainya, kesaktiannya, dan ahli ilmu gaib. Banyak tulisan buah tangannya. Yang bungsu bernama Ida Nyoman Kaniten (yang berarti tenag dan disiplin air).


MPULAKI / DALEM MELANTING

setelah beberapa tahun lamanya Dang Hyang Nirartha bertempat tinggal di Brambangan, maka terjadi suatu hal yang menyebabkan tidak baik hubungan Dang Hyang Nirartha terhadap Raja Sri Aji Juru, karena raja mengandung benci dan murka kepada Mpu Dang Hyang. Mpu Dang Hyang didakwa oleh raja memasang guna-guna disebabkan oleh keringat Dang Hyang Nirartha harum sebagai minyak mawar.

Pura Pulaki

Tiap-tiap orang turut berdekatan dengan beliau turut harum tanpa memakai minyak wangi. Adik wanita Sri Dalem Juru mengandung cinta birahi kepada Mpu Dang Hyang, sebab itu Dang Hyang Nirartha berusaha pindah dari Brambangan, hendak menyeberang ke Bali bersama tujuh orang putra-putrinya dan istrinya Sri Patni Kaniten. Pada suatu hari menyeberanglah sang pendeta bersama anak istrinya mengarungi laut selat Bali yang disebut Segara Rupek.

Sang pendeta sendiri waktu menyeberang mempergunakan sebuah labu pahit (waluh pait) bekas kele kepunyaan orang desa Mejaya. Kaki-tangannya dipergunakan sebagai dayung dan kemudi. Penyeberangan selamat tidak mendapat rintangan suatu apa. Dang Hyang Nirartha seorang pendeta yang tajam perasaan intuisinya itu mengerti bahwa penyeberangannya itu selamat atas bantuan sebuah waluh pait 18 dan kekuasaan Tuhan. Sebab itu beliau bersumpah dalam lautan tidak akan mengganggu hidupnya waluh pahit seumur hidupnya sampai pada turunan-turunannya.

Adapun anak-istrinya menyeberang menumpang jukung (perahu) bocor yang disumbat dengan daun waluh pahit, juga kepunyaan orang desa Mejaya. Tiada berapa lama antaranya karena mendapat tiupan angin barat yang baik, maka beliau tiba di pantai pulau Bali bagian barat. Sang Pendeta telah sampai terlebih dahulu, menantikan anak-istrinya sambil menggembala sapi. Di tempat itu lama-kelamaan dibangun sebuah Pura kecil lalu dinamai Purancak. Atas petunjuk orang-orang gembala itu, sang pendeta bersama anakistrinya berangkat berjalan ke arah timur memasuki hutan belukar.

Di tengan perjalanan, rombongan sang Pendeta agak ragu-ragu. Jalan kecil (lisikan;bali) yang mana harus dituruti, karena banyak cabangnya. Tiba-tiba muncul seekor kera di tengah jalan. Ia berjalan lebih dahulu sambil bersuara ‘grok-krok’ seraya melompat-lompat di atas dahan-dahan pohon sebagai menunjuk jalan. San pendeta berkata kepada kera itu :

  • “Hai kera, semoga turun-turunanku kelak tidak boleh menyakiti kera dengan dalih memelihara”,
demikian pastu beliau terus berjalan ke arah timur bersama anak-istrinya. 19 Tiba-tiba bertemu dengan naga yang besar terbuka mulutnya sangat lebar dengan rupa dan bentuk yang dahsyat mengerikan. Putra-putri dan istrinya terperanjat hebat, nyaris lari cepat-cepat, namun sang pendeta dengan wajah yang tenang masuk ke dalam mulut naga itu. Setibanya beliau di dalam perut naga itu, dijumpainya sebuah telaga yang berisi bunga tunjung (teratai) tiga warna yaitu tunjung yang di pinggir timur berwarna putih, yang di pinggir selatan merah, yang di pinggir utara hitam.

Ketiga kuntum tunjung itu dipetik oleh sang pendeta, yang merah dikenakan di telinga kanan, yang hitam di atas telinga kiri, yang putih dipegang dengan tangannya, lalu keluar dari perut naga itu seraya mengucapkan Weda Mantra “Hayu Werddhi”. Naga itu musnah dengan tidak meninggalkan bekas. Rupa sang pendeta terlihat oleh istri dan putra-putrinya berwarna merah dan hitam, kemudian berubah berwarna mas. Melihat keadaan yang demikian, maka putra-putri dan istrinya diserang oleh parasaan takut yang amat sangat, sehingga tidak dapat menahan dirinya, lalu lari tunggang-langgang masuk ke dalam hutan tidak tentu tujuannya, masingmasing membawa dirinya sendiri.

Dang Hyang Nirartha setibanya di luar tercengang terperanjat karena anak-istrinya tidak ada lagi. Dengan perasaan yang sangat cemas sang pendeta tergopoh-gopoh mencarinya ke dalam hutan belukar yang rapat dan padat tumbuhannya, tambahan pula hari telah mulai menggelap. Untung tidak 20 jauh dari tempatnya semula didapati istrinya seorang diri duduk bersimpuh terengah-engah dalam kepayahan, pucat-pasi, lesu-letih tidak dapat berjalan lagi. “Wahai Ketut,” kata Dang Hyang Nirartha. “Kemana larinya anakanak kita?” “Ampun sang Pendeta, hamba tidak tahu kemana larinya anak-anak kita, karena mereka lari tak berketentuan dan berpencar masing-masing dengan kehendaknya sendiri-sendiri.

Hamba tidak dapat mengejar mereka karena lesu kepayahan,” jawab istri beliau. Sang pendeta merasa cemas dan ada pula getaran perasaan yang tidak enak menyelinap dalam hatinya yang seakan-akan membisikkan ada sesuatu bahaya yang sedang menimpa putrinya. Setelah istrinya reda sedikit payahnya, lalu bangun bersama sang pendeta berjalan perlahan-lahan mencari dan mengumpulkan putra-putrinya di dalam hutan yang gelap diselimuti malam itu. Semalam-malam itu sang pendeta terus berjalan bersama istrinya sambil memanggil-manggil nama putra-putrinya itu.

Karena suara panggilan itu maka lama-kelamaan dapat dikumpulkan putra-putrinya seorang demi seorang dan akhirnya kurang lagi seorang, yaitu putrinya yang tertua, Ida Ayu Swabhawa belum diketemukan. Mpu Dang Hyang disertai anak dan istrinya terus mencari Ida Ayu Swabhawa sambil memanggil-manggil namanya. Setelah lama dicari, ditemuinya telah berbadan halus (astral). Tampat rupanya pucat lesu. “Apa sebabnya kau lari sampai sejauh ini, anakku?” ’tanya Dang Hyang Nirartha. “Ampunilah Mpu Dang Hyang...,” jawab Ida Ayu Swabhawa. “Sebabnya hamba lari sejauh ini, karena diserang oleh rasa takut yang sangat hebat tatkala melihat rupa ayahanda ketika baru keluar dari mulut naga,– sebentar merah, sebentar hitam.

Hamba lari dan terus dibuntuti dan dkejar oleh rasa takut itu, sehingga lari hamba.....kian lama kian cepat menghabiskan tenaga......sampai ke luar hutan, memasuki daerah desa, lalu....,” baru sampai sekian katanya lalu Ida Ayu Swabhawa terdiam. Wajah mukanya tampak sedih pedih kemudian berkata lagi, “Mpu Dang Hyang,....hamba malu hidup sebagai manusia lagi...karena merasa cemar diri, penuh dosa. Kasihanilah hamba, ajarilah sungguh-sungguh supaya hamba bersih dari dosa, tidak dilihat orang. Bisa menjadi dewa di surga, tidak lagi menjadi manusia....”

Dang Hyang Nirartha terharu hatinya mendengarkan, kasihan kepada putrinya dan murka kepada orang-orang desa (Pegametan) itu. “jangan khawatir, anakku. Ayah akan sedia mengajarkanmu suatu ilmu rahasia, agar anakku terlepas dari segala dosa dan dapat duduk sebagai dewa.” Lalu Ida Ayu Swabhawa diajar suatu ilmu rahasia kaparamarthan yang berkuasa melepaskan segala dosa. Setelah selesai ajarannya maka Ida Ayu Swabhawa menggaib, suci dari dosa, menjadi dewi yang bernama Dewi (Bhatari) Melanting, yang akan menjadi junjungan persembahan orang-orang desa di sana.

Adapun ketika sang pendeta mengajar ilmu rahasia kepada putrinya, didengar pula oleh seekor cacing kalung, maka secara tiba-tiba musnah dosa cacaing itu, lalu menjelma menjadi seorang manusia perempuan yang memohon agar diperkenankan menghamba kepada Mpu Dang Hyang dengan menyembah kakinya sang pendeta dan mengajukan permohonan tersebut, sebagai pembalasan jasa beliau memusnahkan dosanya dan ia bisa kembali menjadi manusia. Sang pendeta menerima permohonannya, lalu diberi nama Ni Berit.

Ketika itu istri Dang Hyang Nirartha, Sri Patni Kaniten yang telah diberi gelar Empu Istri Ketut, dalam keadaan payah berdatang sembah kepada sang pendeta. “Mpu Dang Hyang, hamba tidak kuasa berjalan lagi. Rasanya ajar hamba akan datang. Izinkanlah hamba turut sampai di sini dan ajarilah juga hamba ilmu yang diberikan kepada putri Ida Ayu Swabhawa, agar hamba terlepas dari dosa dan papa kembali menjadi dewa.” Dang Hyand Dwijendra menjawab, “Baiklah, adikku. Diam di sini saja bersama-sama putri kita Ni Swabhawa. Ia sudah suci menjadi Bhatari Dalem Melanting dan engkau boleh menjadi Bhatari Dalem Ketut yang akan dijunjung disembah oleh orang-orang di sini di desa bersama orang-orangnya yang ada di sini yang akan kupralinakan (hanguskan) agar tidak kelihatan oleh manusia biasa.

Semuanya akan menjadi orang halus, orang Sumedang. Dan daerah desa ini kemudian bernama Mpulaki,” kata Dang Hyang. Setelah mengajarkan ilmu rahasia kepada istrinya maka Mpu Dang Hyang mengeluarkan agni rahasia (api gaib) menghanguskan seluruh desa dan penghuninya sekalian.


GADING WANI

Kemudian Dang Hyang Nirartha bersama 6 orang putra-putrinya berangkat meneruskan perjalanan ke timur. Lalu mereka tiba di sebuah desa bernama GADING WANI. Kebetulan waktu itu orang-orangdesa diserang penyakit sampar (grubug; Bali). Bendesa (Kepala Desa) Gading Wani tatkala mengetahui sang pendeta datang lalu segera menjemput di tengah jalan, duduk bersila menyembah. “Mpu Dang Hyang, kami mengucapkan selamat datang. Bahwa sang pendeta telah sudi datang ke tempat kami yang sedang ditimpa penyakit sampar. Setiap hari ada saja orang-orang kami yang meninggal mendadak. Kami mohon urip (hidup) dengan hormat. Sudilah kiranya Mpu Dang Hyang memberikan kali obat agar kami sembuh dan wabah ini hilang,” harapnya.

Demikian katanya seraya berlinang-linang air matanya. Dang Hyang Nirartha terharu dan belas kasihan mendengarkannya. Seketika Ki Bendesa disuruh mengambil air bersih ditempatkan di sangku, periuk atau sibuh. Setelah diberi mantram oleh sang pendeta, lalu disuruh memercikkan kepada yang sakit dan meminumnya. Mpu Dang Hyang beserta putra-putrinya dihaturkan pesanggrahan tempat beristirahat dan dipersiapkan hidangan berupa santapan dan buah-buahan. Orang yang sakit setelah diperciki dan meminum air tirtha dari Mpu Dang Hyang seketika itu sehat bugar kembali.

Pada sore harinya (sandhyakala) sang pendeta memerintahkan orang-orang meletakkan ganten (kunyahan sirih) beliau itu di empat penjuru tepi desa untuk mengusir bhuta kala yang membuat penyakit. Orang-orang desa yang diberi perintah menyembah dan segera berjalan melaksanakannya. Memang benar-benar sang pendeta adalah orang yang sakti, seketika itu orang desa dapat membuktikan dan melihat bayangan bhuta kala itu lari ke dalam laut, rupanya beraneka ragam.

Orang desa banyak yang turun menyaksikan pemandangan yang ajaib itu, dan semuanya heran terhadap kesaktian sang pendeta. Mulai ketika itu beliau diberi gelar PEDANDA SAKTI WAWU RAWUH (pendeta sakti yang baru datang). Yang pandai bahasa Kawi menyebut beliau DANG HYANG DWIJENDRA (raja guru agama).

Orang desa semuanya riang gembira. Tiap-tiap hari bergilir menghaturkan santapan kehadapan sang pendeta dan putra-putrinya serta membuatkan pamereman (tempat tinggal) di desa Wani Tegeh. Harapan orangorang desa agar sang pendeta menetap di sana, tetapi sang pendeta keberatan karena masih akan meneruskan perjalanan ke timur. Kemudian Ki Bendesa Gading Wani mohon berguru dan mebersih (mediksa) menjadi pendeta. Sang pendeta berkenan meluluskan permohonannya agar ada orang tua pembimbing agama di sana. Ki Bendesa diajar ilmu kebatinan dan ketuhanan. Selanjutnya dibersihkan (didiksa) menjadi pendeta (Dukuh) Gading Wani.

Setelah itu diberi suatu panugrahan dicantumkan dalam “Kidung Sebun Bangkung” . Ki Bendesa Gading Wani setelahnya dilantik menjadi pendeta (Dukuh) menghaturkan anaknya wanita cantik kepada Dang Hyang Dwijendra yang bernama Ni Jro Patapan sebagai pangguru yoga, yaitu tanda bakti berguru untuk menjadi pelayan Mpu Dang Hyang Dwijendra dalam mengatur sesajensesajen bersama Ni Berit. Dengan senang hati Dang Hyang Dwijendra menerimanya.


PURA RESI DESA MUNDEH

Entah berapa waktu lamanya Pedanda Sakti Wawu Rawuh berasrama di desa Wani Tegeh. Maka tersebarlah beritanya sampai ke desa Mas, Gianyar, yaitu sanak saudaranya Ki Bendesa Gading Wani yang bertempat di Mas, dan sanak keluarganya di desa Mundeh, Kaba-Kaba. Pada suatu hari Ki Pangeran Mas mengadakan persiapan untuk pergi ke desa Wani Tegeh atau Gading Wani untuk memberitahu Dang Hyang agar sudi datang ke Mas.

Sang pendeta menyetujui. Lalu berangkatlah sang pendeta bersama putra-putrinya dari desa Wani Tegeh menuju desa Mas. Setelah tiba di desa Mundeh , beliau dijemput oleh Ki Dendesa Mundeh di tengah jalan dengan suatu maksud mohon berguru pada sang pendeta, tetapi ditolak oleh sang pendeta karena permohonannya itu dilakukan ketika sedang ada di jalan. Tetapi oleh karena amat khidmat baktinya Ki Bendesa menjemput beliau, maka ada juga anugerahnya, yaitu debu tapak kaki beliau ketika beliau berdiri berhenti di tempat itu, laksana suatu lingga yang harus dihormati oleh orang-orang mundeh sampai kemudian.

Ki Bendesa Mundeh amat senang hatinya menerima anugrah pendeta itu. Di tempat itu lambat laun dibangun sebuah pura bernama PURA RESI atau PURA GRIA KAWITAN RESI.


MANGA PURI (MANGUI)

Dari desa Mundeh sang pendeta berangkat ke arah timur laut. Di tengah jalan beliau bertemu dengan sebuah aliran sungai. Di pinggi sebelah baratnya ada sebuah mata air. Airnya sangat suci dan sejuk. Di pinggirannya terhias dengan bunga-bungaan yang sedang mekar. Menebarkan bau harum yang menyedapkan penciuman hidung. Bunga rampai yang pupus gugur dari kuntumnya menutupi tanah seakan-akan kasur tilam sari, sungguh-sungguh menggugah rasa indah nikmat mesra membatin.

Sang pendeta berhenti di tempat itu, dengan tenang melakukan yoga semadhi disertai pujastuti dan japa mantra utama. Dan di sekeliling beliau itu disebut Mangopuri (Mangui).


PURA SADA

Tidak lama sang pendeta ada di sana, lalu didengar oleh Ki Bendesa Kapal turunan dari Ki Patih Wulung, tentang sang pendeta ada di Mangopuri (Mangwi). Maka cepat-cepat Ki Bendesa Kapal datang menghadap Mpu Dang Hyang untuk menghaturi agar beliau berkenan singgah di sana serta menjelaskan bahwa beliau membawa surat pemberian Krian Patih Gajah Mada yang berisi perintah supaya memperbaiki pura Kahyangan yang ada di Bali, dan pada waktu itu kebetulan ada karya pujawali (odalan) di Pura Sada Kapal.

Demikian isi permohonan Ki Bendesa Kapal. Sang pendeta memenuhi permohonannya dengan senang hati dan berangkat saat itu juga. Tiada diceritakan bagaimana beliau di tengah jalan. Akhirnya tibalah sang pendeta di desa Kapal lalu masuk ke dalam pura serta duduk di balai piasan di sebelah barat. “Kaki Arya,” panggil Dang Hyang kepada Ki Bendesa. “Siapakah yang akan menyelesaikan karya pujawali Bhatara di parahyangan ini?”


“Singgih Mpu Dang Hyang,” jawab Ki Bendesa. “Tiada lain Mpu Guto kami aturi di gunung Agung, untuk menyelesaikan karya pujawali ini.” “Ki Arya,” panggil sang pendeta. “Ki Guto itu adalah pelayanku yang disangka pendeta Brahmana. Ia adalah penjelmaan gandharwa yang 30 terkutuk dahulunya. Yang harus diselesaikan olehnya segala caru yang kecil dan untuk upacara selamatan sawah ladang, demikianlah hak wewenangnya.” Ujar sang pendeta. Tidak lama antaranya maka datanglah rakyatnya yang diutus pergi ke gunung Agung mengaturi Ki Guto, memikul Ki Guto dengan tandu pegayotan serta berpayung agung dan langsung masuk ke dalam parahyangan pura Sada.

Demi dilihat Dang Hyanh Dwijendra duduk di balai piasan, maka Ki Guto cepat-cepat turun dari tandu duduk bersimpuh di hadapan sang pendeta seraya mohon ampun atas kesalahan tingkah lakunya. “Hai Guto, mulai sekarang kamu jangan menipu masyarakat umum. Aku mengampuni kesalahanmu,” ucap sang pandita. Demikianlah kata sang pandita kepada Ki Guto, kemudian menoleh kepada Ki Bendesa.

“Kaki Arya, ketahuilah bahwa aku yang mengutus Ki Guto pergi ke Bali untuk menyelidiki Dalem Sri Watorenggong, telah lama tidak muncul lagi ke Jawa. Kini urungkan Ki Guto menyelesaikan upacara pujawali di sini!” perintah Dang Hyang. “Yang patut dihadapinya adalah korban (caru) terutama pada waktu tileming kesanga (bulan mati pada bulan kesembilan pada kalender Bali, sekitar bulan Maret-April), anangluk mrana (pengusir hama), mebalik sumpah di sawah ladang, dan amugpug desti teluh tranjana (menghalau sebangsa ilmu hitam). Itulah wewenangnya.

Jika ditugaskan untuk pujawali persembahyangan Dewa di pura-pura, panas kesakitan masyarakat desa olehnya.” Ki Guto dan Ki Bendesa menyembah berulang-ulang. Dang Hyang Dwijendra dihaturi memuja menyelesaikan upacara pujawali di Pura Sada, sedang Ki Gito disuruh memuja pada upacara korban (pecaruan).


DESA TUBAN

Setelah selesai upacara odalan di Pura Sada, maka sang pendeta bersama putra-putrinya dan 2 orang pelayannya pergi ke arah selatan, tiba di desa Tuban di daerah selatan Badung. Beliau dijemput oleh orang-orang desa Tuban. Semuanya dengan hormat dan tulus ikhlas menghaturkan hidangan santapan kepada sang pendeta dan putra-putrinya semua. Sementara sang pendeta diam di sana, banyak ikan laut yang tertangkap. Itu adalah karena kasidhian (kesaktiak) Pedanda Sakti Wawu Rawuh itu.

Demikian juga tanam-tanaman dan segala sesuatunya menjadi baik semuanya. Pada suatu hari sang pendeta dan putra-putrinya dihaturi hidangan yang penuh dengan berbagai masakan ikan laut. Sang pendeta bersama putra-putrinya dengan senang menikmati hidangan yang luar biasa itu. Setelah bersantap ada masih tersisa ikan separo. Setelah diberi mantram oleh sang pendeta lalu dilemparkan ke dalam laut, maka ikan itu hidup kembali dan diberi nama ikan tampak (telapak), oleh karena dagingnya habis sebagian. Ikan tampak itu diberi mantra suci oleh Dang Hyang Nirartha dan diumumkan kepada orang-orang yang ada di sana, apabila kemudian ada orang magawe hayu (melaksanakan upacara untuk kesejahteraan), ikan itu boleh digunakan sebagai isi sesajen suci.

Orang-orang desa Tuban yang kebetulan ada di tempat itu melihat dan menyaksikan keadaan yang sedemikian itu, semuanya tercengang, heran takjub dengan kesaktian sang pendeta itu. Kemudian sang pendeta mengajar dan menasihati orang-orang desa Tuban membuat pukat (bubu) tanpa umpan agar banyak mendapat ikan dengan cara diam-diam.


ARYA TEGEH KURI

Kurang lebih tujuh hari lamanya sang pendeta di desa Tuban, maka datang Kyayi Arya Tegeh Kuri menjemput sang pendeta bersama putra-putrinya agar sudi simpang di puri beliau. Pada suatu ketika berangkatlah sang pendeta diiringkan oleh Kyayi Tegeh Kuri. Setibanya di desa Buangan terpaksa beliau berhenti dalam sebuah parahyangan pura Batan Nyuh karena dihalangi oleh banjir besar. Banyak orang yang datang menghadap dari sebelah timur jalan memalui jembatan gantung, semuanya menyembah serta memohon pengalah air oleh karena rumah-rumah mereka dilanda banjir.

Sang pendeta belas kasihan kepada orang-orang yang kena bencana alam kebanjiran itu. Lalu beliau memberikan sepotong kayu anceng (tongkat) yang telah dirajah Sang Hyang Klar, disuruh agar dipancangkan di muara banjir itu. Dengan tiba-tiba, menggelombang naik air itu lalu bertolak lari ke barat memutus jalan. Sangat heran orang-orang yang melihat tentang kekuatan batin sang pendeta demikian itu. Orang-orang desa berdatangan menghaturkan buah-buahan dan antapsantapan lainnya. Tidak diceritakan lebih lanjut tentang sang pendeta di tengah jalan, akhirnya tiba di puri Arya Tegeh Kuri di Badung.


DESA MAS

Setelah beberapa lama beristirahat di Badung, maka datang Ki Pangeran Mas menjemput Mpu Dang Hyanh diaturi pergi ke desa Mas. Dang Hyang Dwijendra bersama putra-putri dan dua orang pelayan beliau pergi ke desa Mas. Di sana beliau dibuatkan Gria (rumah untuk para Brahmana) yang baik, sehingga menetap sang pendeta , diam di desa Mas. Lama-kelamaan Ki Pangeran Mas menghaturkan anaknya wanita yang amat cantik. Putri Bendesa Gading Wani, yang dipakai pelayan oleh sang pendeta bersama Ni Berit, kini dipakai pelayan oleh putrinya Pangeran Mas yang bernama Sang Ayu Mas Genitir.

Kemudian setelah itu Pangeran Mas dibersihkan (didiksa) oleh Mpu Dang Hyanh, menjadi pendeta dan telah lama paham tentang Agama, ilmu ketuhanan, dan ilmu batin. Setahun telah berselang pertemuan suami-istri Dang Hyang Nirartha dengan Sang Istri Mas Genitir lalu melahirkan seorang putra diberi nama Ida Putu Kidul. Dalam antara itu ada seorang pelayan Pangeran Mas bernama Pan Geleng menghaturkan sebuah pusuh (jantung pisang) pisang batu yang berisi gading mas asal tanamannya sendiri kepada Dang Hyang Dwijendra. Kata Dang Hyang waktu menerima pusuh pisang batu, “semoga Pan Geleng kaya sampai seturun-turunannya kelak.”


PERGAULAN HIDUP BRAHMANA WANGSA

Diceritakan pada suatu hari sang pendeta memangcing di taman, berdiri di tengah telaga, kakinya beralas daun tunjung (teratai), bisa mengambang dan tidak tenggelam. Setelah banyak mendapat ikan, sang pendeta berhenti memancing, lalu mandi menyucikan diri, kemudian melakukan Surya Sewana. Setelah selesai, sang pendeta dihaturi hidangan santapan. Setelah beliau selesai bersantap maka keempat putranya disuruh meneruskan menkmati. Empat orang putranya yaitu Ida Putu Kemenuh (Daha), Ida Putu Manuaba (Pasuruan), Ida Putu Telaga (Brambangan), dan Ida Putu Mas (desa Mas), yang yang biasa disebut Kulwan, Lor, Wetan, dan Kidul.

Sedang para putranya itu menikmati hidangan maka sang pendeta memberikan nasihat. “Anakku semuanya, engkau boleh saling cuntakain sampai turun-turunanmu kemudian. Saling cuntakain artinya tenggang rasa, gotongr-oyong, bela-membela, dalam keadaan suka-duka hidup di dunia. Apabila seseorang berduka maka semuanya harus berbela sungkawa. Tentang perkawinan boleh ambil-mengambil. Tiap orang yang lebih tua dan pandai boleh dipakai guru (nabe). Jika kemudian engkau lupa akan ikatan bersaudara, semuga salah satu di antaranya yang melanggar amanatku ini turun da surut derajat kewibawaannya.”

Demikian amanat sang pendeta. Lama-kelamaan terjadi hal yang agak ganjil mungkinkarena kodrat Tuhan, yaitu Dang Hyang menjamah pelayan Sang Istri Ayu Mas anak dari Ki Bendesa Gading Wani yang bernama Jro Patapan, akhirnya berputra seorang laki-laki bernama Ida Wayan Sangsi atau Ida Patapan. Lain dari itu, pelayan yang bernama Ni Berit pada suatu malam dijumpai sedang mengeluarkan air kencing sebagai air pancuran sehingga menembus tanah sampai sehasta dalamnya, lalu dijamah juga oleh sang pendeta, kemudian melahirkan seorang putra laki-laki diberi nama Ida Wayahan Tamesi atau Ida Bindu.

Diceritakan setelah dua orang putranya terakhir sama-sama besar, sang pendeta pagi-pagi pergi pula ke suatu telaga di taman untuk memancing ikan, berdiri di tengah telaga beralas daun tunjung, tetapi tetapi daun tunjung itu tenggelan sepergelangan kaki sang pendeta, dan terlihat oleh beliau ikan kakul (siput) yang telah disantap dagingnya, sisanya dilemparkan ke dalam telaga, lalu hidup kembali. Dalam keadaan seperti itu menyelinap suatu perasaan ke dalam hati sanubarinya, bahwa dua orang putranya yang terakhir ini akan surut perbawanya.

Setelah selesai memancing lalu beliau bersiram menyucikan diri, kemudian pulang dan masuk ke tempat pemujaan, lalu melakukan pemujaan seperti biasa. Setelah keluar dari tempat memuja maka dihaturi hidangan untuk bersantap. Setelah sang pendeta habis bersantap maka dipanggil putranya keenam orang untuk makan bersama-sama dalam satu hidangan. Putra-putranya berenam telah siap untuk makan bersama (magibug) satu hidangan, demi masing-masing telah menggenggam nasi kepelan di tangannya, maka tiap-tiap alat makan itu berkontak berkelahi dengan kawan-kawnnya.

Ada yang bertarung, ada yang jatuh, ada yang berbenturan di dulang, yang kalah membalas pula dan lain sebagainya sehingga alat-alat makan itu berantakan. Hal itu dilihat oleh sang pendeta, lalu orang disuruh membawakan lagi makanan dua hidangan yang berlain-lainan. Setelah siap, maka Ida Wayahan Sangsi (Ida Patapan) makan menjadi satu hidangan, dikumpulkan dengan Ida Bindu. Sedang putranya empat orang lagi makan menjadi satu hidangan. Dengan keadaan yang demikian maka tentramlah keadaan masing-masing, asyik menikmati hidangan dengan sepuas-puasnya tidak ada suatu sengketa pun yang terjadi.

Sementara sang pendeta memberikan nasihat, “Anakku sekalian, dengarkanlah nasihatku baik-baik. Anakku Putu Sangsi dan Putu Tamesi dalam kehidupanmu turun-temurun boleh sembah-kasembah dan boleh ambil mengambil istri, tetapi dalam turun-turunannya anak-anakku empat orang lagi, (yaitu Putu Kulwan, Putu Lor/Manuaba, Putu Wetan, dan Putu Mas) tidak boleh. Tetapi engkau Putu Sangsi dan Putu Bindu seturun-turunanmu boleh menghaturkan sembah, menghaturkan putri dan berguru kepada saudara-saudaramu yang empat orang ini dan turun-turunannya, sebab ibumu adalah orang-orang pelayan.

Demikianlah harus diingat benar-benar amanatku ini. Siapa yang melanggar akan mendapat papa, surut wibawa dan wangsanya.” Demikian amanat Dang Hyang Dwijendra.


KI GUSTI PANYARIKAN DAUH BALEAGUNG

Lambat laun tersebar berita Dang Hyang sampai Ke Gelgel, bahwasanya ada seorang pendeta sakti baru datang disebut oleh umum Pedanda Sakti Wawu Rawuh, saktinya hampir sama dengan pendeta Loh Gawe. Sebab itu Dalem Watu Renggong (Raya Bali saat itu) sangat besar hasratnya untuk memanggil pendeta sakti itu untuk dijadikan gurunya.

Pada suatu hari diutus Ki Gusti Penyarikan Dauh Baleagung pergi ke desa Mas untuk menghaturi Dang Hyang agar datang ke Gelgel dan diharapkan datang esok harinya. Pada hari yang baik berangkatlah Gusti Penyarikan mengendarai kuda putih, berpakaian putih, hanya giginya saja yang hitam. Setibanya di desa Mas, dilihatnya Ki Bendesa Mas sedang menghadap sang pendeta di sebuah pendopo kecil, maka segera beliau turun dari kendaraan. KI Gusti Penyarikan segera duduk menghadap sang pendeta seraya memperkenalkan diri dan mempermaklumkan kedatangannya itu.

Setelah banyak kata-katanya menceritakan keadaan di Bali kemudian timbul pikirannya hendak menyelami pengetahuan sang pendeta tentang ajaran pemerintahan negara. Setelah sang pendeta menjelaskan tentang tata negara, Kyayi Panyarikan merasa sangat beruntung dalam hatinya, sebagai kodrat Tuhan mempertemukannya dengan seorang pendeta sakti dan ahli dalam bidang agama. Lalu mengajukan permohonan agar ia diangkat sebagai muridnya, berguru kepada sang pendeta, belajar rahasia ilmu ketuhanan dan akhirnya memohon dibersihkan dan dinobatkan sebagai Bagawan, pendeta ksatria.

Sang pendeta berkekan mengabulkan permohonan Ki Gusti, pada malam harinya sang pendeta mengajarkan rahasia ilmu ketuhanan dengan yoga samadhinya dengan Weda mantra yang penting-penting. Ki Gustu memang sudah mempunyai dasar dan bakat yang baik tentang ilmu ketuhanan, karena usaha dan latihannya sendiri. Sebab itu ajaran sang pendeta cepat dapat ditampung dan dipenuhinya. Besok paginya kebetulan hari baik, beliau didiksa oleh sang pendeta menjadi Bhagawan. Setelah itu Mpu Dang Hyang lanjut memberikan nasihat dan ajaran penting kepada muridnya, sehingga kyayi Panyarikan terlambat sehari kembali ke Gelgel mengiring Dang Hyang Nirartha.


PURA SILAYUKTI, TELUK PADANG

Pagi-pagi setelah dua malam lewat, maka Kyayi Penyarikan berangkat mengiring Pedanda Sakti Wawu Rawuh ke Gelgel sama-sama mengendarai kuda. Tiada diceritakan lagi di tengah jalan maka tibalah beliau di Gelgel. Tetapi sayang Dalem Watorenggong telah berangkat pagi-pagi ke teluk Padangbai untuk berburu binatang dan menangkap ikan diiringi oleh para mantri punggawa dan rakyat sangat banyaknya. Oleh karena demikian halnya maka terpaksa Ki Gusti Penyarikan mengiring Dang Hyang ke Teluk Padang.

Setibanya di Padang, sang surya telah lewat tengah hari, para punggawa mantri telah sama-sama mulai mencari pondoknya masing-masing. Kyayi Penyarikan mengiring Dang Hyang menuju pesanggrahan Dalem. Dalem Waturenggong agak murka kepada Ki Penyarikan, katanya, “Kenapa sampai lewat janji baru datang?! Sebagai bukan orang tua. Penyarikan, antarkan Mpu Dang Hyang ke parahyangan Mpu Kuturan!” Setelah Dang Hyanh Nirartha beristirahat, datang Dalem Waturenggong menghadap bersama beberapa orang pelayan membawa santapan seraya berkata,

“Selamat datang, Mpu, maafkanlah keadaan tempat yang tidak sepertinya ini, dan silakan menikmati santapan ala kadarnya.” Sang pendeta mengucapkan banyak terima kasih, lalu berkata, “Tuanku, maafkanlah Ki Penyarikan agak terlambat pada janjinya, sebab beliau ingin berguru dan mempelajari ilmu ketuhanan dan minta didiksa menjadi Bhagawan. Kami sedia melakukannya. Jangan tuanku kecewa karena belakangan, sebab soal agama tidak mengenal carikan atau sisa-sisa, karena agama adalah soal ketuhanan yang suci,” demikianlah kata sang pendeta. “tuanku, apakah hari ini tuan mendapatkan banyak ikan?”

“Wah, kami benar-benar sial, tidak dapat seekorpun!” jawab Dalem Waturenggong. “Tuanku, cobalah sekarang perintahkan rakyat tuanku menangkap ikan dan berburu binatang, kiranya banyak berhasil,” kata sang Pendeta. Dalem menurut sang pendeta, memerintahkan rakyatnya mengulangi menangkap ikan dan berburu. Sebelum rakyat masuk ke laut akan menangkap ikan dan ke hutan akan berburu binatang, sang pendeta keluar dan berdiri di halaman memandang ke laut memanggil ikan dan memandang ke hutan memanggil binatang. Tidak berselang lama banyaklah ikan dan binatang tertangkap oleh rakyat.

Dalem dan sang pendeta sangat gembira melihatnya. Setelah hari sore semua rakyat penangkap ikan dan pemburu binatang telah kembali ke tempatnya dengan membawa hasil yang sangat banyak, dan Sri Aji Bali dan sang pendeta kembali lagi ke pesanggrahan. Pada malam harinya sampai larut malam Dalem Waturenggong bercakap-cakap dengan sang pendeta tentang agama. Tetapi soal mebersih (mediksa) Dalem masih berfikir. Besok paginya Dalem kembali ke Gelgel diiringi oleh seluruh menteri, punggawa, dan rakyat. Dalem duduk dalam satu pedati yang ditarik kuda bersama sang pendeta.

Setibanya di kali Unda, jalan pedati berhenti karena air sungai sedang naik, banjir karena hujan di pegunungan. Kemudian sang pendeta membisikkan ajaran Aswa-Siksa, setelah Dalem mengerti dan paham tentang ajaran itu, terutama mantramnya, lalu diambil oleh beliau sebuah cambuk dan dilecutkannya dengan keras, maka ujungnya keluar api sedang pangkalnya keluar air amrta. Dalam keadaan seperti itu kuda mendobrak air sungai, kakinya tenggelam sepergelangannya dan akhirnya selamat ke tepi sungai di barat. Semua yang melihat sangat heran.

Tiada diceritakan lebih lanjut betapa iring-iringan raja Bali di tengah jalan, maka tibalah di istana Gelgel. Sang pendeta ditempatkan di tempat yang suci dengan menikmati hidangan yang secukupnya. Dalem pada kesempatan ini menceritakan sikapnya, katanya, “Mpu Dang Hyang, sampai saat ini saya belum ada niat akan mediksa, karena telah merupakan surudan dari pangeran Dawuh.” Sang pendeta menjawa, “Tuanku, maklumilah seyakin-yakinnya, bahwa agama itu tidak ada yang merupakan surudan (sisa-sisa), kalau diandaikan sama dengan air yang diucurkan,” Sekalipun demikian penjelasan sang pendeta, namun Dalem Watorenggong tetap pada pendiriannya tidak mau mediksa.


IDA BURUAN

Diceritakan Ki Gusti Penyarikan Dauh Baleagung yang telah berkedudukan sebagai pendeta Bhagawan acapkali menghadap kepada Dang Hyang untuk mendalami ajaran agama dan kebatinan sampai juga pada sastra, tembang-tembang bersanjak, pupuh, kidung, dan guru-lagu kekawin, sehingga pengetahuan Ki Gusti Bhagawan sungguh-sungguh padat dan suci. Lamakelamaan sebaga pengguru yoga (bakti kepada guru) beliau menghaturkan seorang putrinya yang cantik dan menaruh bakat agama serta kesusastraan kepada Dang Hyang. Dang Hyang Dwijendra menerima dengan senang hari pangguru yoga tersebut, lalu dinikahkan dengan putranya yang bernama Ida Putu Lor.

Dari perkawinan ini menurunkan dua orang putra, yaitu Ida Wayan Buruan dan Ida Ketut Buruan. Dang Hyang Dwijendra mempunyai dua asrama (gria), yaitu di dea Mas dan di desa Gelgel. Tiap-tiap hari purnama atau tilem Sira Mpu tetap masuk ke istana menghadap Dalem diiringi oleh cucu-cucu beliau yang masih kecil, Ida Wayan Buruan. Pada hari-hari baik sedemikian itu Dalem dipuja oleh Mpu Dang Hyang dengan Weda pangjaya-jaya dan diperciki air tirtha yang telah diberikan mantram kekuatan batin ketuhanan. Dengan hal demikian lambat laun Dalem menjadi seorang raja besar perbawanya, karena segala batin kependetaan ada pada beliau, namun sayang beliau belum mau mediksa karena belum bersih hatinya didahului oleh Kyayi Penyarikan Dauh Baleagung.


DALEM WATURENGGONG BERGURU, MEDIKSA

Diceritakan Mpu Dang Hyang Angsoka, kakak dari Dang Hyang Nirartha membuat suatu karangan yang diberi nama Smara Rencana dikirim ke Bali kepada adiknya, kemudian dibalas dari Bali oleh Mpu Nirartha dengan kidung Sarakusuma. Dengan demikian Dalem tahu bahwa Dang Hyang Angsoka seorang pendeta yang pandai, maka niatnya timbul akan berguru kepada beliau. Lalu Dalem mengirim utusan ke Daha untuk menghaturi Dang Hyang Angsoka datang ke Bali untuk menjadi gurunya sekalian memberi padiksaan. Tetapi Dang Hyang Angsoka menolak permintaan Dalem Bali.

Beliau berkata kalau di Bali sudah ada Dang Hyang Nirartha yang lebih pandai darinya. Beberapa lama kemudian, tiba-tiba turun Betara Mahadewa dari gunung Agung, diiringi oleh sang Boddha datang ke Gelgel menemui Dalem, beliau lalu bersabda, “Anakku Dalem Waturenggong, jika tidak terus engkau berguru kepada Mpu Dang Hyang Dwijendra, karena tidak ada pendeta yang sama dengannya, tidak dapat dielakkan lagi bahwa negara akan kacau, anakku. Segala tanah tidak bisa dipetik buahnya, penyakit akan mengembang, musuh akan timbul banyak, dan tidak selamat negara olehmu,” demikian sabda Beliau lalu musnah dari pandangan.

Dalem Waturenggong menyembah dan berjanji akan menaati sabda Betara. Setelah itu Dalem memohon dengan hormat kepada Dang Hyang Dwijendra untuk berguru dan didiksa. Mpu Dang Hyang dengan gembira meluluskan permohonan Dalem, karena telah lama dinanti-nantikan. Hari untuk mediksa dipilah hari purnamaning kapat (purnama bulan keempat dalam kalender Bali). Setelah tiba hari yang baik itu, maka dengan upacara kebesaran Dalem didiksa oleh Mpu Dang Hyang.

Setelah selesai upacara pediksan itu, Mpu Dang Hyang memberi nasihat tentang tatacara orang memangku kerajaan dan supaya jangan lupa kepada Tuhan dan leluhur. Tetapi tatkala sedang menguncarkan Weda Puja, jangan memegang genta, menyamai Bhatara namanya, sangat berbahaya. Setelah itu Sri Aji Waturenggong kian mashyur namanya memegang pemerintahan, negaranya tenteram kerta raharja, makmur sandang pangan, tidak ada penyakit merajalela, dan tidak ada musuh timbul.


SIRA AJI KRAHENGAN DARI SASAK

Pada suatu ketika Sri Aji Waturenggong mempermaklumkan kepada Dang Gurunya bahwa negara Bali sering diserang oleh Sri Aji Krahengan dari Sasak (Lombok) yang sangat sakti dan pandai mengubah diri (maya-maya) dan ahli melayang. Acapkali prajurit Dalem kalah dalam pertempuran di tepi laut, hanya itu saja yang menggangu negaranya. Sebab itu beliau memohon nasihat bagaimana caranya menghadapi musuh itu. Dang Hyang Dwijendra menjawab, “nanak Waturenggong, baiklah, aku akan coba pergi ke Sasak sebagai utusan nanak, untuk datang kepada Sira Aji Krahengan mengadakan persahabatan.

Oleh karena untuk keselamatan bersama, lebih baik bersahabat daripada bermusuhan. Bersahabat akan lebih banyak mendapat keuntungan bersama, sedangkan kalau bermusuhan banyak mendapat kerugian. Akhirnya, pada suatu hari baik, Dang Hyang Dwijendra berlayar dengan menumpang jukung. Pelayarannya lancar dan tidak mendapat aral suatu apa. Setibanya di Sasak, langsung beliau masuk ke dalam purinya Sri Aji Krahengan. Ketika Sri Aji melihat pendeta datang, segera beliau turun dari tempat duduknya dan menjemput sang pendeta dengan hormat dan dipersilakan duduk dekat dengan beliau.

Setelah bersama-sama menikmati suguhan minuman, maka Sri Aji Krahengan berkata dengan hormat menenyakan perihal kedatangan sang pendeta. Dang Hyang Dwijendra menjelaskan maksud beliau datang, itu atas perkenan, bahkan merupakan utusan dari Dalem Waturenggong untuk mengadakan suatu ikatan persahabatan kepada Sira Aji Krahengan. Dan Hyang juga menyatakan bahwa dengan persahabatan kita akan dapat memupuk rasa persaudaraan dan memecahkan masalah bersama, sebagai tanda persahabatan, Dang Hyang mengatakan bahwa ada baiknya kalau Sira Aju memberikan salah seorang putrinya untuk menjadi istri Dalem Waturenggong.

“Sang pendeta, harap dimaafkan saja, karena kami tidak dapat memenuhi sebagai anjuran sang pendeta itu. Sebaiknya sang pendeta pulang saja!” Dengan hal yang demikian sang pendeta keluar dari dalam puri seraya mengeluarkan kata-kata kutukan, “Semoga si Krahengan surut kesaktianmu dan surut kebesaranmu!” Demikian kata beliau seraya menuju pesisir, naik ke atas jukung yang ditumpangi tadinya lalu menuju pulau Bali. Setelah beliau tiba di Gelgel kembali, sang pendeta dijemput Dalem Waturenggong dengan khidmad.

“Wahai Dang Guru, apakah berhasil usaha Dang Guru di sana?” tanya Dalem Waturenggong ketika mereka duduk bersama. “Nanak Waturenggong, tidak berhasil usahaku mengadakan ikatan persahabatan kepada si Krahengan dan aku telah memberi kutukan (pastu) agar ia surut kewibawaannya, tidak lanjut menjadi ksatria,” jawab sang pendeta.


PURA RAMBUT SIWI

Setelah Dang Hyang Dwijendra menjabat Pandita Kerajaan di Gelgel dan sudah memberikan diksa kepada Dalem Waturenggong, beberapa tahun kemudian beliau berniat untuk melakukan tirthayatra, melihat dari dekat perkembangan ajaran kerohanian di desa-desa. Untuk melaksanakan niat Beliau tersebut, beliau minta izin kepada Dalem Waturenggong agar beliau berkekan memberikan persetujuannya. Karena tujuannya sangat baik, Dalem tidak berkeberatan dan mengizinkan sang Mpu untuk melaksanakan perjalanan bertirthayatra itu.

Konon berangkatlah beliau menuju arah barat, mula-mula sampai di daerah Jembrana. Kebetulan beliau sampai pada sebuah parahyangan yang biasanya pura itu dijaga oleh seorang penjaga pura sekalian sebagai pemilik parahyangan itu. Seperti kebiasaan sang penunggu parahyangan itu, setiap orang yang lewat di tempat itu diharuskan untuk bersembahyang terlebih dahulu sebelum mereka meneruskan perjalanan. Kebetulan hari itu yang tengah lewat adalah Dang Hyang Nirartha. Sang penunggu parahyangan itu menegur sang Mpu agar beliau mengadakan persembahyangan di tempat suci itu.

Dia juga menjelaskan bahwa parahyangan itu sangat angker sekali. Barangsiapa yang tidak mau menghaturkan persembahyangan di sana, dia tidak mau menjamin keselamatannya. Pasti orang itu akan menemukan celaka. Setelah sang Mpu bertanya, kesusahan apa yang akan dialami orang-orang yang tidak mau menghaturkan persembahyangan di parahyangan itu, sang penunggu parahyangan itu mengatakan bahwa yang bersangkutan pasti akan dimakan macan. Di daerah sekitar itu banyak macan yang sangat ganas yang merupakan rencangan parahyangan ini.

Dia meminta berkali-kali kepada Mpu Nirartha agar beliau mau bersembahyang terlebih dahulu sebelum beliau melanjutkan perjalanannya agar benar-benar selamat di perjalanannya nanti. Mpu Nirartha menuruti perkataan sang penjaga pura itu, seraya beliau mempersiapkan diri akan bersembahyang. Di situ beliau menyatukan bayu, sabdha, dan idhepnya seraya mengarahkan konsentrasinya berngara sika atau mata ketiga. Tak lama kemudian tiba-tiba saja parahyangan menjadi pecah dan rubuh. Sang pemilik parahyangan itu angat kaget melihat kejadian yang sangat gaib itu, seraya ia minta ampun, agar parahyangan itu bisa dibangun lagi, sehingga ada tempat ia menghaturkan persembahyangan kehadapan Ida sang Hyang Widhi Wasa.

Sambil menangis ia mohon ampun kepada sang Mpu agar sudi memaafkan kesalahan-kesalahannya dan mohon agar parahyangannya dapat dibangun kembali. Sang Mpu Nirartha menasihatinya agar tidak membohongi penduduk yang tidak tahu apa itu, dan harus berjajni bakti kepada Sang Hyang Widhi selain kepada leluhur. Maka setelah ia berjanji tidak akan membohongi penduduk lagi, Maka Dang Hyang Nirartha membangun kembali tempat persembahyangan itu.

Selanjutnya beliau memutuskan untuk tinggal lebih lama di sana. Lama kelamaan didengar sang Mpu berada di sana, banyak para penduduk datang, ada yang ingin berguru agama dan tidak sedikit yang datang untuk berobat. Hal itu terjadi karena nama beliau sebelumnya di Gadingwani sudah sangat dikenal betul sebagai ahli pengobatan di samping ahli ilmu agama. Ramailah orang datang ke parahyangan itu. Lama-kelamaan karena beliau memang ingin beranjangsana berkeliling, maka beliau menyatakan akan meninggalkan mereka dan meneruskan perjalanan.

Para penduduk sangat sedih karena kepergian beliau, karena mereka sudah merasa senang beliau berada di sana.mereka memohon dengan sangat agar sang Mpu bersedia tinggal lebih lama di sana. Sang Mpu tetap tidak bisa menuruti permintaan para menduduk itu. Maka untuk mengikat mereka, sang Mpu berkenan memberikan selembar rambut beliau agar ditaruh di tempat parahyangan itu untuk dijadkan penyiwian sebagai pertanda peringatan akan keberadaannya. Kemudian dari tempat itu disebut Parahyangan Rambut Siwi atau Pura Rambut Siwi. Selanjutnya beliau menetapkan hari baik untuk pujawali Parahyangan Rambut Siwi tersebut.Piodalannya jatuh pada RABU UMANIS PRANGBAKAT.

Pada hari itu disuruh menyelenggarakan pujawali untuk memohon berkah. Matahari ketika itu telah pudar cahayanya, kian merendah hendak menyembunyikan wajahnya di tepi langit barat, karena itu sang pendeta berniat akan bermalam di Pura Rambut Siwi. Orang-orang makin banyak menghadap sang pendeta, yang berniat memohon nasihat soal agama, ada pula yang mohon obat. Semalam-malaman itu sang pendeta menasihatkan ajaran agama kepada penduduk, terutama berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi dan Bhatara-Bhatari leluhurnya, agar sejahtera hidupnya di dunia. Dan diperingatkan juga pelaksanaan puja wali di Pura Rambut Siwi agar masyarakat menjadi selamat dan tentram.


PURA PAKENDUNGAN (PURA TANAH LOT)

Diceritakan besok paginya ketika sang surya mulai memancarkan cahayanya ke seluruh permukaan bumi, Mpu Dang Hyang melakukan sembahyang Surya Sewana disertai oleh orang-orang yang ada di sana. Setelah memercikkan air tirtha kepada orang-orang yang ikut sembahyang, maka Mpu Dang Hyang berangkat dari dalam pura Rambut Siwi ke arah timur menyusuri tepi pantai, diiringi oleh beberapa orang yang tertaut cinta baktinya kepada sang pendeta.

Mpu Dang Hyang selalu memperhatikan keindahan alam yang dilaluinya dan dilihatnya. Dalam keindahan pemandangan itu selalu terbayang kebesaran Tuhan yang menjiwai keindahan itu yang menyebabkan mesra menyerap dan menyulut batin orang menjadi indah dan bahagia. Sang pendeta selalu membawa lembaran lontar dan pengutik pengrupak (pisau raut alat menulis daun lontar) untuk menggoreskan keindahn alam yang dijumpainya. Akhirnya beliau tiba di daerah Tabanan, di sana terhihat olehnya sebuah pulau kecil di tepi pantai yang terjadi dari tanah parangan, indah tampaknya dan suci suasananya. Lalu beliau berhenti di sana.

Kemudian dilihat oleh orang-orang penangkap ikan yang ada di sana, lalu mereka itu datang menghadap sang pendeta masing-masing membawa persembahannya. Pada waktu itu hari sudah sore. Orang-orang nelayan itu menghaturi sang pendeta supaya beristirahat di pondoknya saja, tetapi sang pendeta menolak, beliau lebih suka beristirahat di pulau kecil itu. Malam itu sang pendeta mengajarkan agama kepada orang-orang yang datang dan dinasihatkan supaya membuat parahyangan di tempat itu karena tempat itu dirasa sangat suci, baik untuk tempat memuja Tuhan demi kesejahteraan dan kemakmuran daerah lingkungannya.

Orang-orang yang menghadap berjanji akan membuat parahyangan di sana, dan dinamai Pura Pakendungan atau Pura Tanah Lot, karena terletak di sebuah pulau (karang) di tengah pantai.


PURA ULUWATU DAN PURA BUKIT GONG

Besok paginya setelah melakukan Surya Sewana, maka Mpu Dang Hyang Nirartha berangkat dari Pakendungan ke arah tenggara dengan jalan darat menyusuri pantai. Dari jauh tampak oleh beliau suatu tanjung yang menonjol ke laut bagian wilayah bukit Badung, maka tanjung itulah yang beliau tuju. Perjalanan agak dipercepat di pantai, air laut sedang surut. Setibanya di sana maka diperhatikan oleh beliau bahwa tanjung itu terjadi dari batu karang seluruhnya dan sangat besar. Selanjutnya diperiksa keadaan batu karang itu ke utara, ke barat, ke selatan, dan ke timur serta diperhatikannya pula pemandangan yang ada di sana.

Sungguh-sungguh indah dan bebas lepas ke seluruh dunia. Kemudian terdengar bisikan jiwa beliau bahwa tempat itu baik untuk memuja Sang Hyang Widhi dan terutama tempat “ngeluhur” melepas jiwatmanya kelak ke alam surga. Akhirnya beliau mengambil keputusan membuat kahyangan di tempat itu. Untuk kepentingan itu terpaksa beliau membuat asrama di sebelahnya untuk menetap sementara mengerjakan kahyangan itu. Pekerjaan membuat kahyangan itu mendapat bantuan dari orang-orang yang dekat di sana.

Setelah beberapa hari lamanya maka kahyangan itu selesai diberi nama Pura Uluwatu. Di tempat asrama Mpu Dang Hyang lama-kelamaan didirikan juga sebuah kahyangan oleh orang-orang di sana dinamai Pura Bukit Gong.


PURA BUKIT PAYUNG

Setelah Pura Uluwatu selesai dan dinasihatkan kepada orang-orang di sana untuk menjaganya, maka Dang Hyang Nirartha melanjutkan perjalanan lagi ke arah timur dengan melalui tanah berbukit-bukit. Beliau kemudian tiba di goa Watu, dari sana menuju Bualu. Di sebelah tenggara Bualu ada sebuah tanjung, di sana beliau berhenti. Ketika beliau menancapkan payungnya ke tanah, maka tiba-tiba memancar air dari dalam tanah,sangat suci dan hening.


Air itu dipergunakan menyucikan diri. Oleh orang-orang yang dekat di sana karena gembira hatinya seakan-akan mendapat anugerah air amrta (air kehidupan), maka di tempat itu dibangun sebuah kahyangan dinamai Pura Bukit Payung.


PURA SAKENAN

Setelah menyucikan diri di Pura Bukit Payung, maka Dang Hyang Nirartha berangkat ke arah utara menyusuri pantai. Tidak jauh dari sana dijumpainya dua buah pulau batu yang disebut sebagai Nusa Dua. Di sana beliau berhenti dan mengarang kekawin Anyang Nirartha yang melukiskan segala obnyek keindahan yang dilihat oleh beliau sepanjang perjalanan, digubah dijadikan sajak kekawin yang terikat dengan guru lagu. Setelah selesai mencatat kekawinnya, Dang Hyang Dwijendra melanjutkan perjalanan ke arah utara.

Tidak diceritakan halnya di tengah jalan maka sampailah beliau di Serangan. Pada bagian tepi barat laut Serangan sang pendeta kagum memandang keindahan alam di sana, yaitu keindahan laut yang tenang berpadu dengan keindahan daratan yang mengelilinginya. Sang pendeta tak puas-puasnya memandang keindahan alam yang dianugerahkan Tuhan di sana, dapat mempengaruhi batin menjadi tidak ternoda sedikit pun, sehingga beliau terpaksa berhenti dan menginap beberapa malam di sana.


Terasa oleh beliau bahwa di tempat itu ada sumber
kekuatan gaib yang suci, san baik sebagai tempat sembahyang memuja Tuhan untuk keselamatan dan kesejahteraan. Sebab itu beliau membangun pula suatu kahyangan di sana diberi nama Cakenan (yang asalnya dari kata cakya yang berarti menyatukan pikiran). Puja wali dilakukan pada hari Saniscara (Sabtu) Kliwon Kuningan, dan keramaiannya pada hari Umanis-nya (sehari sesudahnya).


PURA AIR JERUK

Setelah Pura Sakenan selesai dibangun, Dang Hyang Dwijendra keluar dari dalam pura lalu berangkat ke arah utara menumpang sebuah jukung, lalu mendarat di Renon. Selama beliau berdiam di sana ada suatu kejadian, yaitu ketika tongkat beliau dipancangkan, tidak berapa lama lalu keluar tunas dan hidup menjadi pohon sukun. Setelah beberapa hari ada di sana, beliau meneruskan perjalanan ke arah timur, tiba beliau di Udyana Mimbha (Taman Intaran). Dari sana sang pendeta meneruskan perjalanan ke arah timur laut, menyusuri pantai laut kemudian tiba di pantai selatan wilayah Bumi Timbul (Sukawati). Dari sana beliau masuk darat arah utara lalu tiba di sawah Subak Laba. Di sana sang pendeta berhenti dan menginap, dijamu oleh orang-orang subak dengan buah jeruk yang sedap rasa airnya.

Di asrama tempat menginap Mpu Dang Hyang setiap malam penuh orang-orang subak menghadap mohon nasihat ajaran agama terutama dari hal bercocok tanam padi dan palawija lainnya menurut musim dan hari wewaran. Sejak sang pendeta ada di sana segala tanam-tanaman dan binatang ternak berhasil baik. Sebab itu setelah Mpu Dang Hyang pergi daroi sana, maka oleh orang-orang subak dibuatkan satu pura di bekas tempat asrama sang pendeta (yang dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh) diberi nama Pura Air Jeruk, tempat sembahyang mohon keselamatan tanam-tanaman dan binatang ternak. Dan di sana ditanam satu pohon lontar sebagai peringatan ajaran agama yang diwejangkan oleh sang pendeta.


PURA TUGU

Diceritakan Dang Hyang Dwijendra berangkat dari Subak Laba ke timur pula menyusuri pantai laut. Setelah tiba di Rangkung lalu berbelok ke utara. Sesudahnya di hulu desa Tegal Tugu, sang pendeta lalu berhenti di luar suatu kahyangan. Kemudian keluar seorang pemangku dari dalam pura setelah menyapu melakukan pembersihan, datang kepada sang pendeta yang tengah berhenti di luar pura. Setelah bertemu, sang pemangku berkata dan menyuruh sang pendeta menyembah ke dalam pura. Dang Hyang tidak membantah, dan menuruti permintaan sang pemangku itu.

Beliau lalu masuk ke dalam pura. Sang pendeta duduk bersila di halaman pura berhadapan dengan bangunan-bangunan pelinggih, lalu melakukan yoga mengheningkan cipta menghubungkan jiwatmanya dengan Tuhan. Tiba-tiba rusak bangunan pelinggih itu semua. Sang pemangku bukan main terkejutnya dan terharu hatinya melihat keadaan itu, lalu menangis memohon ampun kepada Mpu Dang Hyang disertai permohonan agar sang pendeta berkenan pura itu kembali seperti sedia kala.

Dang Hyang Dwijendra meluluskan permohonan pemangku itu, lalu dengan yoga bangunan pura itu kembali seperti semula. Kemudian sang pendeta berkata, “Sri mangku, ini kancing gelung saya, saya berikan kepada mangku. Tempatkanlah di pura ini, dan sesudahnya kahyangan ini diberi nama pura Tugu,” Sangat gembira pemangku itu menerimanya dan berjanji akan melakukan segala nasihatnya.


GENTA SAMPRANGAN

Setelah selesai persoalan di pura Tugu maka Dang Hyang Nirartha meneruskan perjalanan ke arah timur sampai di Samprangan lalu berhenti. Ketika beliau duduk-duduk beristirahat, tiba-tiba terdengar oleh beliau suara genta yang dibunyikan memenuhi angkasa, sangat merdu dan indah didengar oleh sang pendeta, sehingga lama beliau termenung mengira-ngirakan darimana asal suara genta tersebut. Tidak lama setelah itu datanglah dari arah timur seorang pengalu (pedagang) menuntun seekor kuda yang berkalung gentorag (genta) yang suaranya sangat indah didengar oleh sang pendeta, lalu dipanggillah pengalu itu.

Setelah ia mendekat, maka berkatalan Dang Hyang, “Bolehkah saya meminta gentorag kalung kuda saudara, untuk saya pergunakan dalam memuja, karena saya tertarik denga suaranya yang indah.” Orang pengalu itu demi mendengar kata sang pendeta demikian, dengan cepat membuka kalung kudanya, dan dengan khidmad serta tulus ikhlas menghaturkannya kepada sang pendeta. Ketika sang pendeta menerima genta itu dari tangan sang pengalu, beliau dengan gembira berkata, “semoga engkau selalu dalam perlindungan Sang Hyang Widhi.” Lalu genta itu bernama Genta Samprangan, karena didapat di Samprangan.


PURA TENGKULAK

Berangkat pula sang pendeta dari Samprangan ke timur sampai di desa Syut Tulikup. Di pinggir kali beliau berhenti duduk-duduk. Kemudian datang beberapa orang turut duduk menghadap sang pendeta, dengan hormat menyapa sang pendeta dan menanyakan dari mana datang ke mana tujuannya. Setelah sang pendeta menerangkan halnya berkelana menjelajah pulau Bali, maka mereka menyuruh salah seorang di antaranya memanjat pohon kelapa dan memetik buahnya yang muda (kuud) untuk dihaturkan kepada sang pendeta.

Yang disuruh segera memanjat pohon kelapa memetik sebuah kuud, dan sesudah kelungah itu dikasturi (dipotong bagian tampuknya), lalu dihaturkan kepada sang pendeta untuk diminum. Sang pendeta menerima kuud itu dengan ucapan terima kasih. Sebagai biasa apabila pendeta akan minum atau bersantap sesuatu apapun, selalu didahului dengan ucapan-ucapan Weda mantram yang mengandung ucapan syukur kepada Tuhan. Setelah selesai sang pendeta meminum airnya, maka kuud itu dipecah dua untuk disantap isinya.

Sang pendeta menyantap isi kuud itu perlahan-lahan sambil bercakap-cakap dengan orang-orang desa di sana. Orang-orang itu menjelaskan bahwa kesejahteraan dan kemakmuran mereka kurang memuaskan, karena sering dilanda penyakit dan tanamtanaman mereka kurang berhasil. Sang pendeta menasihatkan apabila terjadi halangan, agar beliau dipanggil secara batin, tentu beliau akan datang secara niskala memberi pertolongan memohonkan kepada Tuhan agar halangan itu dapat dimusnahkan.

Lalu sang pendeta berangkat ke arah selatan dan diiringi oleh orang-orang di sana sampai tepi pantai. Setiap malam, pecahan kuud yang isinya disantap oleh Dang Hyang dilihat oleh orang-orang menyala seperti bulan, sehingga seluruh orang desa dapat melihat pada malamnya kuud itu menyala gemilang bagai bulan, dan dapat dirasakan kalau di sana terdapat kekuatan gaib. Oleh karena itu orang-orang desa sepakat membuat suatu pura di sana untuk memohon kepada Tuhan demi keselamatan dan kemakmuran desa. Pura itu diberi nama Pura Tengkulak.


PURA GOWA LAWAH

Diceritakan dang Hyang Dwijendra terus berjalan ke timur menyusuri pantai laut. Akhirnya beliau sampai di Sowan Cekug. Lalu melewati pantai Gelgel dan beliau terus ke timur melalui pantai Kusamba dan akhirnya sampai pada sebuah gua yang penuh dengan kelelawar. Sang pendeta masuk ke dalam gua dan menemukan banyak kelelawar yang sedang bergelantungan di dalamnya. Suaranya hiruk-pikuk tiada putus-putusnya. Sebab itu gua tersebut disebut Goa Lawah.

Di atas gua ini terdapat aneka macam bunga yang sedang tumbuh dengan suburnya, baunya harum disebarkan oleh angin semilir. Dari sana tampak pula keindahan pulau Nusa Penida. Segala keindahan ini menawan hati sang pendeta sehingga berkenan menetap beberapa lama di sana. Lambat laun dibangunlah sebuah parahyangan di sana yang dinamai Pura Goa Lawah. Setelah beberapa malam sang pendeta menginap di sana, beliau lalu kembali ke Gelgel.

Dalem Waturenggong sangat gembira melihat kedat
angan sang pendeta. Beliau dihadiahkan sebuah rumah dengan 200 orang pelayan. Tiap malam Dalem menghadap gurunya untuk mempelajari ilmu kamoksan (kelepasan/bersatu dengan Sang Hyang Widhi).


PURA PONJOK BATU

Beberapa bulan kemudian, Dang Hyang berniat melihat-lihat daerah Bali Denbukit, yaitu daerah Bali utara. Apabila ada kesempatan akan terus ke Sasak untuk mengetahui agama yang dipeluk di sana. Dalem berkenan akan niat gurunya itu, dengan harapan jangan lama-lama bepergian. Pada suatu hari Mpu Dang Hyang berangkat ke utara dari Gelgel, akhirnya tiba di pantai barat laut dari gunung Agung. Di sana ada sebuah tanjung (ponjok) yang terjadi dari batu bulatan/ batu gunung yang ditutupi lumut menghijau.

Sang pendeta berhenti di sana dan duduk untuk melihat pemandangan laut. Tiba-tiba beliau melihat sebuah perahu dengan layar sobek terdampar di pantai pasir. Awak perahu tersebut pingsan di pantai pasir karena mabuk laut yang hebat. Kemudian, dengan kekuatan gaib, Mpu Dang Hyang menyadarkan mereka lagi. Mereka mengaku berasal dari Lombok. Mpu Dang Hyang menasihati agar mereka menginap dulu di sana beberapa lama, baru kemudian kembali ke Lombok, sekalian Mpu Dang Hyang akan ikut ke sana. Besok paginya mereka berangkat menyusuri selat Lombok yang membiru.

Diceritakan kembali perihal keadaan di Ponjok Batu. Setiap malam tampak oleh orang-orang di sana bahwa batu tempat peristirahatan Dang Hyang Nirartha menyala terus-menerus. Akhirnya di sana didirikan sebuah Pura dengan bangunan sanggar agung (tempat memuja kebesaran Hyang Widhi) dinamai Pura Ponjok Batu.


TUAN SEMERU PURA SURANADI

Gerbang Pura Suranadi
Setibanya di Sasak, Dang Hyang Nirartha juga mengajarkan agama Islam waktu tiga kepada orang-orang sasak, sehingga beliau diberi gelar TUAN SEMERU. Sebab itu beliau berkenan membuat syair bernama Tuan Semeru bertembang Dandang. Asrama beliau tempat mengajarkan agama disebut SURANADI, yang berarti asrama yang sangat indah diapit dua buah telaga yang penuh bunga yang harum. Karena kebesaran dan kesaktian jiwa beliau, maka di pinggir asrama muncul empat buah mata air yang bernama Catur Tirtha, yaitu tirtha panglukatan, tirtha pabersihan, tirtha pangentas, dan toya racun.

Tidak putus-putusnya orang datang ke sana untuk membersihkan diri. Orang-orang Islam dan non-Islam menjadi rukun dan tidak ada percekcokan. Mpu Dang Hyang menjelaskan tujuan agama itu tiada lain adalah Sang Hyang Widhi itu sendiri atau Tuhan Allah, yang berbeda hanyalah bahasanya dan praktek agamanya saja.


GUNUNG API TAMBORA

Beberapa lama kemudian, sang pendeta berniat untuk pergi ke Sumbawa untuk menemui saudara sepupu beliau. Pada suatu hari berangkatlah beliau ke Sumbawa bersama tukang perahu yang beliau tolong di Ponjok Batu. Akhirnya, beliau tiba di Sumbawa. Beliau diiring ke lereng sebuah gunung berapi bernama Tambora. Beliau menginap di rumah seorang petani. Beliau disuguhi ketela rebus dan pisang rebus ala kadarnya, karena sawah-ladang petani di sana sedang terserang hama ulat dan belalang.

Besok paginya Kepala Desa datang ke tempat Dang Hyang dan menceritakan perihal desa mereka. Mpu Dang Hyang kasihan melihat masyarakat di sana, lalu menyuruh mereka menyalakan pedupaan dan membakar kemenyan malam harinya di sawah mereka, sementara beliau sendiri akan memohon kepada Betara yang bersthana di gunung Tambora agar hama-hama itu dipindahkan dari sana. Setelah matahari terbenam, orang-orang mulai melaksanakan apa yang diperintahkan Pendeta Tuan Semeru.


Beliau bersama kepala desa pergi ke suatu tempat
di ladang yang agak tinggi, seraya memohon kepada Tuhan agar hama-hama di daerah itu lenyap. Beliau baru kembali ke pasraman setelah larut malam. Besok paginya alangkah terkejutnya masyarakat di sana menyaksikan hama-hama itu sudah lenyap tak bersisa. Sawah-ladang kembali produktif dan semua warga gembira. Mereka bertambah yakin bahwa Tuan Semeru adalah seoran pendeta yang benar-benar suci dan sakti.

Di sana Mpu Dang Hyang juga menyembuhkan orang sakit. Orang-orang yang berobat langsung menjadi segar, sehingga berita tentang kehebatan beliau mulai tersebar, sampai ke seluruh Sumbawa.


DENDEN SARI

Diceritakan di Sumbawa ada seorang penghulu kaya yang mempunyai seorang putri bernama Denden Sari. Karena kayanya dia menjadi orang yang sangat bangga akan kekayaan dan kikir. Tiap hari kerjanya hanya menghitung jumlah kekayaannya saja. Dia juga meminjamkan uang dengan bunga tinggi, memungut uang dari warga, dan memasukkannya ke kas pribadinya. Hanya itu yang dilakukannya setiap hari. Anak-anaknya tidak dihiraukannya, sehingga hidup mereka melarat.

Ada salah satu putrinya bernama Denden Sari yang baru berumur 6 tahun, dalam keadaan sakit. Ia sejak kecil tidak dihiraukan lantaran orangtuanya sibuk dengan kekayaan mereka. Akhirnya, lama-kelamaan sakitnya bertambah parah. Badannya lemas dan tidak sadarkan diri selama beberapa hari. Sang penghulu mendengar ada seorang pendeta sakti yang bisa mengobati orang sakit sedang berada di Sumbawa. Tergerak hatinya untuk meminta pertolongan kepada sang pendeta.

Tidak diceritakan bagaimana pertemuan mereka, akhirnya sang pendeta yang diiring sang penghulu tiba di rumahnya. Dang Hyang Nirartha melihat dan memperhatikan anak yang sakit itu dalam keadaan melarat sekali, nafasnya terengah-engah dan mukanya pucat pasi seakan-akan mayat, tetapi rupanya amatlah cantik. ”Oh, tuan pendeta, hamba mohon sembuhkanlah anak hamba ini. Kalau dia bisa hidup lagi, hamba akan mempersembahkannya padamu,” ujar sang penghulu berharap. “Baiklah, aku akan menyembuhkannya.

Tapi setelah sehat aku akan membawanya ke Bali,” jawab sang pendeta. Lalu beliau memegang kening anak itu seraya diberikan bebayon (kekuatan gaib ketuhanan). Beberapa detik saja antaranya maka anak itu tersenyum dengan wajah cerah, lalu duduk dengan sehatnya. Demikianlah akhirnya Dang Hyang Nirartha membawa Denden Sari kembali ke desa Mas. Setelah Denden Sari meningkat gadis, Dang Hyang Dwijendra menikahkannya dengan cucu beliau yang bernama Ida Ketut Buruan Manuaba.

BUAH TANGAN GURU DAN MAHAPUTRA

Ketika Dang Hyang Dwijendra kembali ke Gelgel bukan main gembiranya Dalem Waturenggong. Setiap malam mereka membicarakan ilmu batin dan ketuhanan. Pangeran Dauh (Ki Dauh Baleagung) tetap saja datang pada Dang Hyang Nirartha untuk memohon nasihat-nasihat. Segala nasihat gurunya itu citulis dalam sebuah lontar berjudul Wukir Padelegan.

Untuk mengetahui berapa banyak buah tangan (hasil karya) Dang Hyang Nirartha dan Pangeran Dauh, di bawah ini dicantumkan namanamanya, yaitu : Buah tangan Pangeran Dauh : 1. Rareng Canggu 2. Wilang Sebun Bangkung 3. Wukir Padelegan 4. Sagara Gunung 5. Aras Nagara 6. Jagul Tuwa 7. Wilet Manyura Tahun Saka 1414 8. Anting Anting Timah 9. Kakawin Arjuna Pralabda 79 Buah tangan Dang Hyang Dwijendra : 1. Nusa Bali Tahun Saka 1411 2. Kidung Sebun Bangkung 3. Sara Kusuma 4. Ampik 5. Legarang 6. mahisa Langit 7. Hewer 8. Majadanawantaka 9. Wasista Sraya 10.Dharma Pitutur 11.Kawya Dharma Putus 12.Dharma Sunya Keling 13.Mahisa Megat Kung Tahun Saka 1458 14.Kakawin Anyang Nirartha 15.Wilet Demung Sawit 16.Gagutuk Menur 17.Brati Sasana 18.Siwa Sasana 19.Tuan Semeru 20.Putra Sasana 80 21.Kidung Aji Pangukiran


MEDIKSA DAN MEMBAGI WARISAN; PURA PANGAJENGAN

Pada suatu ketika Dang Hyang Nirartha mempermaklumkan pada Dalem Waturenggong bahwa beliau ingin kembali ke desa Mas. “Nanak Waturenggong, ingatlah segala nasihat yang sudah-sudah. Kini aku akan pulang ke desa Mas hendak melaksanakan upacara pediksan keempat orang anakku yang akan menggantikanku untuk menjadi pendeta, yang akan melanjutkan tugasku sebagai Brahmana di dunia, sebab aku akan segera pulang ke Siwaloka.

Hari pediksan itu akan dilaksanakan pada tilem sasih kalima nanti. Jangan anak kecewa sepeninggalku. Pilih antara empat anakku untuk menjadi pendeta kerajaan!” demikian nasihat Mpu Dang Hyang. Dalem menyembah dengan khidmad. Setibanya Dang Hyang di desa Mas, dititahkan pangeran Mas mempersiapkan segala upakara untuk upacara pediksan nanti. Diceritakan tepat pada hari pediksan itu Sri Aji Dalem Waturenggong datang diiring oleh para punggawa, turut mempersaksikan upacara suci itu.

Sesudah upacara itu selesai, maka Mpu Dang Hyang memberikan nasihat kepada putra-putranya, antara lain tentang kewajiban pendeta.


  1. Tidak boleh minum tuak atau segala minuman beralkohol
  2. Menghindari segala hal yang menyebabkan mabuk
  3. Tidak boleh makan daging sapi, karena ia sebagai ibu yang memberikan susu kepada kita.
  4. Tidak makan daging babi rumahan (peliharaan)
  5. Tidak memakan daging ayam peliharaan
  6. Menghindari segala hal kotor, baik sekala maupun niskala
  7. Tidak boleh iri hati
  8. Tidak boleh mengambil istri orang lain dan berzina.
Demikianlah nasihat Mpu Dang Hyang kepada putra-putranya. Selanjutnya beliau mengeluarkan seluruh harta kekayaan beliau, dan akan dibagikan kepada semua putranya. Dalem Waturenggong turut mempersaksikan peristiwa itu, diiringi oleh Sira Arya Kenceng, Pangeran Dauh Baleagung beserta rakyatnya, dan Ki Pan Geleng pelayannya Ida Kidul. Adapun harta yang dibagi yaitu : emas, perak, uang kepeng, permata mirah, cincin, tegal sawah, lontar-lontar pustaka, alat pawedan (pemujaan kependetaan), rakyat (panjak), dan lain sebagainya. Tempat membagi harta beliau itu dilakukan di luar gria asramanya di Mas.

Harta benda itu dibagi lima (5) untuk enam orang putranya. Di luar gria itu diletakkan 5 buah balai amanca desa (5 arah). Kemudian, Dalem mempersilakan keenam putra Dang Hyang untuk mengambil warisan itu sesuai kehendak mereka.

  1. Mpu Kulon mengambil emas, perak, uang kepeng, permata, surat tegalan dan rakyat, akibatnya akan mempunyai keturunan banyak tapi kurang pandai.
  2. Mpu Lor mengambil surat tegal sawah, emas, perak, uang kepeng, permata perhiasan, dan rakyat, akibatnya mempunyai keturunan banyak tapi kurang pandai.
  3. Mpu Wetan mengambil surat tegal sawah, emas, perak, uang kepeng, permata perhiasan, dan rakyat, akibatnya mempunyai keturunan banyak tapi kurang pandai.
  4. Ida Putu Sangsi dan Ida Putu Bindu mengambil satu bagian untuk mereka berdua berupa sawah dan ladang, maknanya kepandaian kurang, tapi banyak anak.
  5. Mpu Kidul tetap diam tak mengambil satupun. Akhirnya setelah diperingatkan oleh Dalem, barulan beliau mengambil : lontar pustaka, alat pawedan, 2 buah genta bernama Ki Brahmana dan Ki Samprangan, pisau pengrupak bernama Ki Tamlang, keris bernama Ki Sepak. Maknanya penuh kepandaian dan bakat, tapi sayang keturunannya sedikit.
Beliau mengangkat Bendesa Mas sebagai pelayannya. Masih ada rakyat, seekor ayam kurungan, dan sebatang pisau pengrupak. Mpu Kulon mengambil rakyat, Mpu Lor mengambil ayam kurungan, dan Mpu Kidul mengambil pisau pengrupak. Setelah selesai semuanya maka Dang Hyang berpamitan pada semuanya, sebab beliau akan berangkat mencari tempat yang suci untuk kembali ke Siwaloka. Putra-putranya semua menyembah dengan khusuk, demikian pula Sri Aji Dalem Waturenggong dan Pangeran Dauh Baleagung, para Arya dan rakyat yang hadir.

Demikianlah akhirnya Dang Hyang Dwijendra berjalan ke arah selatan seorang diri, hanya membawa tempat pacanangan (tempat sirih). Dang Hyang Dwijendra mengembara memasuki tempat-tempat suci tanpa ada seorang pun yang tahu. Tapi pada suatu hari ada orang yang memberitahu Pangeran Mas bahwa Dang Hyang sedang ada di penghulu sawah antara desa Sumampan dengan Tengkulak, dilihat sedang menulis lontar.

Beberapa hari kemudian kebetulan hari Penampahan Kuningan. Bendesa Mas bersama istrinya pergi ke tempat Dang Hyang dengan membawa makanan yang enak rasanya yang akan dihaturkan kepada Mpu Dang Hyang. Mpu Dang Hyang menerimanya dengan senang hati, lalu menyuruh pangeran Mas untuk mencarikan bungkak untuk menyucikan makanan itu. Setelah Dang Hyang meninggalkan tempat itu, maka tempat bekas beliau bersantap setiap malam mengeluarkan sinar dan berbau harum, karena itu di sana didirikanlah sebuah pelinggih bernama Pura Pangajengan (pangajengan = tempat makan).


PURA MASCETI DAN PURA PETI TENGET

Diceritakan setelah itu Dang Hyang pergi ke pantai selatan Bali, berjalan menuju desa Rangkung mendekati pelabuhan Masceti. Tiba di sana, beliau merasakan dewa sedang mendekati beliau, maka timbullah semangat untuk melakukan pemujaan di dalam pura Masceti. Ketika beliau mengucapkan Weda Matram, tangan beliau dipegang oleh Betara Masceti. “Tidak patut Dang Hyang menyembah seperti ini, karena sudah suci menunggal kepada Sang Hyang Widhi. Apa sebab Dang Hyang masih di dunia?” tanya Bhatara Masceti. “Saya masih menunggu saat turunnya perintah dari Tuhan,” jawab Dang Hyang.

Pura Peti Tenget

“Kalau begitu,” ujar Bhatara Masceti. “Marilah kita bersamasama bercengkrama di daerah pinggir laut.” Kemudian, karena kesaktian Bhatara Masceti, akhirnya mereka tiba di pulau Serangan bagian barat laut. Seseorang melihat mereka serupa cahaya merah dan kuning, lalu memberanikan diri mendekat. Dilihatnya Mpu Dang Hyang sedang bercakap-cakap dengan Bhatara Masceti, lalu dia berkata. “Mpu Dang Hyang, tinggallah dulu di sini, sebab hamba akan memuja Sesuhunan.” “Baiklah,” jawab Mpu Dang Hyang.

“Buatlah di sini sebuah candi yang akan disungsung oleg jagat dan buat pula sebuah gedong pelinggih Bhatara Masceti, karena beliau iring Bapak sampai ke sini!” Dang Hyang melanjutkan pembicaraannya dengan Bhatara Masceti, tiba-tiba telah sampai mereka di tepi laut Krobokan. Dari sana Mpu Dang Hyang melihat tanjung Uluwatu sebagai perahu hendak berlayar memuat orang-orang suci menuju surga. “Dang Hyang, maafkan saya. Saya mohon diri di sini,” demikian kata Bhatara Masceti lalu menggaib. Dang Hyang Dwijendra berjalan menuju Uluwatu, pecanangannya diletakkan.


Pura Peti Tenget

Ketika itu beliau melihat ada orang halus bersembunyi di semaksemak karena takut melihat perbawa Dang Hyang
yang suci itu. Makhluk halus itu adalah Buto Ijo. Buto Ijo kemudian diperintahkan oleh Dang Hyang untuk menjaga pecanangannya di sana, dan daerah itu diberi nama Tegal Peti Tenget. Kalau ada yang hendak merusak daerah itu, Buto Ijo ditugaskan untuk melawan. Dang Hyang Nirartha terus menuju Uluwatu.

Setelah tiba di sana, tidak terperikan senang hati beliau, karena tempat itu sunyi dan hening, di sana beliau mengheningkan cipta, menunggu panggilan Tuhan untuk ngeluhur. 87 Pada suatu hari datang kepala desa Krobokan bersama beberapa orang menghadap Mpu Dang Hyang. Ia bercerita mengenai orang-orang yang sakit dan tidak bisa diobati setelah datang ke tegal (Peti tenget) tersebut. Lalu Dang Hyang memberitahu bahwa pecanangan beliau ada di sana karena beliau tidak memerlukannya lagi, dan dijaga ketat oleh Buto Ijo. Dang Hyang kemudian memerintahkan agar di sana dibangun sebuah kahyangan pelinggih Bhatara Masceti.

Pecanangan milik beliau juga diperintahkan untuk disungsung agar memperoleh kesejahteraan desa. Pada hari pujawali, Buto Ijo harus diberi cecaruan, berupa nasi segehan atanding, ikannya jejeron, babi mentah, segehan agung, lengkap dengan tetabuh tuak arak. Kelihan Krobokan berpamitan, kemudian di Tegal Peti Tenget kemudian dibangun sebuah pura bernama Pura Peti Tenget.


PURA LUHUR ULUWATU

Pada hari Selasa Kliwon Medangsia, Dang Hyang Dwijendra mendapatkan wahyu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa bahwa beliau pada hari itu dipanggil untuk ngeluhur. Merasa bahagia sekali beliau, karena apa yang dinanti-nantikan telah tiba. Hanya ada sebuah pustaka yang belum dapat diserahkan kepada salah seorang putranya. Tiba-tiba Mpu Dang Hyang melihat seorang bendega (nelayan) bersama Ki Pasek Nambangan sedang mendayung jukung di lautan di bawah, lalu dipanggil oleh beliau. Setelah bendega itu menghadap, lalu Dang Hyang berkata, “Engkau akan kusuruh menyampaikan kepada anakku Mpu Mas di desa Mas, katakan pada beliau bahwa bapak menaruh sebuah pustaka mereka di sini yang berisi ajaran ilmu kesaktian.”

“Singgih, pukulun sang sinuhun,” ujar bendega lalu mohon diri. Setelah Ki Pasek Nambangan pergi, maka Dang Hyang Nirartha mulai melakukan yoga samadhinya. Beberapa saat kemudian beliau moksa ngeluhur, cepat bagai kilat masuk ke angkasa. Ki Pasek Nambangan memperhatikan juga hal itu dari tempat yang agak jauh, namun ia tidak melihat Mpu Dang Hyang, hanya cahaya cemerlang dilihat melesat ke angkasa bagai petir.

Demikianlah akhir riwayat hidup Dang Hyang Nirartha. Kahyangan tempat beliau ngeluhur itu kemudian disebut Pura Luhur, lengkapnya Pura Luhur Uluwatu.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

PURA TIRTA EMPUL 5 Jun 2011 3:44 PM (13 years ago)



Tirta Empul adalah sebuah pura yang terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Bali. Lokasinya tepat di sebelah Istana Presiden di Tampak Siring yang dulu dibangun oleh presiden Soekarno. Pura Tirta Empul terkenal karena terdapat sumber air yang hingga kini dijadikan air suci untuk melukat oleh masyarakat dari seluruh pelosok Bali, tak jarang wisatawan yang berkunjung pun tertarik untuk ikut melukat.


Mengenai nama pura ini kemungkinan besar diambil dari nama mata air yang terdapat didalam pura ini yang bernama Tirta Empul seperti yang telah disebutkan diatas. Secara etimologi bahwa Tirta Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Maka Tirta Empul artinya adalah air suci yang menyembur keluar dari tanah. Pura Tirta Empul ini juga merupakan salah satu situs peninggalan sejarah di Bali khususnya Gianyar. Oleh karena itu pula, presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno mendirikan sebuah Istana Presiden tepat di sebelah barat Pura Tirta Empul, Tampak Siring. Para presiden Indonesia yang datang ke Bali biasanya menyempatkan diri singgah ke Istana Presiden Tampak Siring tersebut.


Saat ini pura Tirta Empul dan lokasi tempat melukat tersebut merupakan salah satu lokasi wisata unggulan di kabupaten Gianyar. Diperkirakan nama Tampaksiring berasal dari (bahasa Bali) kata tampak yang berarti "telapak" dan siring yang bermakna "miring". Makna dari kedua kata itu konon terkait dengan sepotong legenda yang tersurat dan tersirat pada sebuah daun lontar, yang menyebutkan bahwa nama itu berasal dari bekas jejak telapak kaki seorang raja bernama Mayadenawa.

Menurut lontar "Mayadanawantaka", raja ini merupakan putra dari Bhagawan Kasyapa dengan Dewi Danu. Namun sayang, raja yang pandai dan sakti ini memiliki sifat durjana, berhasrat menguasai dunia dan mabuk akan kekuasaan. Terlebih ia mengklaim dirinya sebagai Dewa yang mengharuskan rakyat untuk menyembahnya.

Alkisah, lantaran tabiat buruk yang dimilikinya itu, lantas Batara Indra marah, kemudian menyerbu dan menggempurnya melalui bala tentara yang dikirim. Sembari berlari masuk hutan, Mayadenawa berupaya mengecoh pengejarnya dengan memiringkan telapak kakinya saat melangkah. Sebuah tipuan yang ia coba tebar agar para pengejar tak mengenali jejaknya. Konon dengan kesaktian yang dimilikinya, ia bisa berubah-ubah wujud atau rupa.



Namun, sepandai-pandai ia menyelinap, tertangkap juga oleh para pengejarnya, kendati -- sebelumnya -- ia sempat menciptakan mata air beracun, yang menyebabkan banyak bala tentara menemui ajal usai mandi dan meminum air itu. Lantas sebagai tandingan, Batara Indra menciptakan mata air penawar racun itu. Air penawar itulah yang kemudian disebut dengan Tirta Empul (air suci). Sedangkan kawasan hutan yang dilewati Mayadenawa -- dengan berjalan memiringkan telapak kakinya -- dikenal dengan sebutan Tampaksiring.

Air Tirta Empul mengalir ke sungai Pakerisan. Sepanjang aliran sungai ini terdapat beberapa peninggalan purbakala. Pendirian pura ini diperkirakan pada tahun 960 A.D. pada jaman Raja Chandra Bhayasingha dari Dinasti Warmadewa. Seperti biasa pura – pura di Bali, pura ini dibagi atas Tiga bagian yang merupakan Jaba Pura (HaLaman Muka), Jaba Tengah (Halaman Tengah) dan Jeroan (Halaman Dalam). Pada Jaba Tengah terdapat 2 (dua) buah kolam persegi empat panjang dan kolam tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari Timur ke Barat menghadap ke Selatan.

Masing – masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri diantaranya pancuran Pengelukatan, Pebersihan, Sudamala dan Pancuran Cetik (Racun). Pancuran Cetik dan nama Tirta Empul ada hubungannya dengan mitologi yaitu pertempuran Mayadenawa Raja Batu Anyar (Bedahulu) dengan Bhatara Indra. Dalam mitologi itu diceritakan bahwa Raja Mayadenawa bersikap sewenang – wenang dan tidak mengijinkan rakyat untuk melaksanakan upacara – upacara keagamaan untuk mohon keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Setelah perbuatan itu diketahui oleh Para Dewa, maka para dewa yang dikepalai oleh Bhatara Indra menyerang Mayadenawa.

Akhirnya Mayadenawa dapat dikalahkan dan melarikan diri sampailah disebelah Utara Desa Tampak siring. Akibatnya kesaktiannya Mayadenawa menciptakan sebuah mata air Cetik (Racun) yang mengakibatkan banyaknya para laskar Bhatara Indra yang gugur akibat minum air tersebut. Melihat hal ini Bhatara Indra segera menancapkan tombaknya dan memancarkan air keluar dari tanah (Tirta Empul) dan air Suci ini dipakai memerciki para Dewa sehingga tidak beberapa lama bisa hidup lagi seperti sedia kala.


ARSITEKTUR PURA TIRTA EMPUL


Permandian Tirta Empul dibangun pada zaman pemerintahan Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa, dan hal ini dapat diketahui dari adanya sebuah piagam batu yang terdapat di desa Manukaya yang memuat tulisan dan angka yang menyebutkan bahwa permandian Tirta Empul dibangun pada Sasih Kapat tahun Icaka 884, sekitar Oktober tahun 962 Masehi.

Sedangkan Pura Tirta Empul dibangun pada zaman pemerintahan Raja Masula Masuli berkuasa dan memerintah di Bali. Hal ini dapat diketahui dari bunyi lontar Usana Bali. Isi dari lontar itu disebutkan artinya sebagai berikut:

  • "Tatkala itu senang hatinya orang Bali semua, dipimpin oleh Baginda Raja Masula Masuli, dan rakyat seluruhnya merasa gembira, semua rakyat sama-sama mengeluarkan padas, serta bahan bangunan lainnya, seperti dari Blahbatuh, Pejeng, Tampaksiring".

Dalam Prasasti Sading ada disebutkan, Raja Masula Masuli bertahta di Bali mulai tahun I€aka 1100 atau tahun 1178 M, yang memerintah selama 77 tahun. Berarti ada perbedaan waktu sekitar 216 tahun antara pembangunan permandian Tirta Empul dengan pembangunan puranya.

Jika dikaji dari perbedaan waktu dan fungsi dari ruang arsitektural, menunjukkan bahwa ruang telah mendahului kesadaran visual manusianya. Dalam hal ini setiap objek memiliki suatu hubungan dengan ruang. Objek selaku sumber mata air berhubungan dengan ruang, yakni ruang untuk mandi, citra ruang sebagai tempat -- religius -- untuk membersihkan diri secara alam sekala (nyata) maupun niskala (tak nyata).

Dalam suatu tatanan spasial, jika suatu objek -- tempat mandi -- berdaya guna secara optimal, terciptalah suatu tatanan dari Ruang-Waktu. Permandian adalah ruang. Hubungan-hubungan yang dibangun oleh bentuk dan ruang akan menentukan ritme, nilai estetika, dan religius dari bangunan itu. Di mana ruang mandi ini bukan semata membersihkan badan-ragawi, namun juga rohani, yang dalam bahasa-spiritual-Bali disebut juga ngelukat.



Ruang sebagai suatu ide spiritual telah menjadi dorongan hakiki bagi ekspresi dalam pernyataan-pernyataan artistik, filosofis, etis, dan ritual. Kesatuan antara ruang dan waktu memberi kepada arsitektur tampilan yang wadahnya menampung kegiatan-kegiatan di dalamnya secara optimal.

Ruang estetis-religius dari permandian dan puranya boleh dikata seni pembentukan ruang abstrak dan pengalaman ruang, lantaran ruang yang terbentuk penuh "daya hidup", salah satunya muncul melalui kucuran air -- yang diyakini punya vibrasi suci -- dari dalam pancurannya.

Hal lain bila lebih dicermati lagi dari nilai historisnya, menurut Bernard M Feilden dalam buku "Conservation of Historic Buildings", bahwa ada beberapa nilai pada prinsipnya terkandung dalam arsitektur yang bernilai sejarah yakni (1) nilai-nilai emosional seperti keajaiban, identitas, kontinyuitas, spiritual dan simbolis; (2) nilai-nilai kultural yang meliputi pendokumentasian, sejarah, arkeologi, usia dan kelangkaan, estetika dan simbolis, arsitektural, tata kota, pertamanan dan ekologikal; dan (3) nilai-nilai penggunaan seperti fungsional, ekonomi, sosial dan politik.

Jika mengamati lingkungannya dari sisi tebing yang menghubungkan Istana Tampaksiring dengan Pura Tirta Empul dan permandiannya, di kejauhan utara terlihat kebiruan Gunung Batur dan keelokan panorama Gunung Agung di sebelah timur. Di sekitarnya juga nampak permukiman penduduk serta pemandangan persawahan berterasering di kemiringan pebukitan. Di sela-sela bangunan terhampar lansekap yang bernas oleh rimbun dedaunan dan tanaman hias, dengan rerumputan hijau berpaut pepohonan-pepohonan tua, menambah suasana keteduhan dan ketenangan di kawasan pura ini.

Secara arsitektural, Permandian dan Pura Tirta Empul ini memiliki nilai sejarah, bervibrasi spiritual, berkarakter khas, serta akrab dan ramah terhadap lingkungan. Tampilan arsitekturnya bernafaskan tradisi, serta menyatu terhadap kondisi alam di sekitarnya. Ruang-ruangnya pun menyiratkan makna yang religius.


Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

GOA GAJAH 4 Jun 2011 6:41 PM (13 years ago)

PENINGGALAN KERAJAAN BEDULU



Goa Gajah dibangun pada abad ke-11 M, pada masa pemerintahan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten raja Bedulu. Goa ini dijadikan sebagai tempat pertapaan, yang dibuktikan dengan adanya ceruk-ceruk di dalam goa. Kekunaan disini bisa dilihat dari Peninggalan Purbakala. Di pelataran Pura Goa Gajah terdapat Petirtaan Kuna 12 x 23 M2, terbagi atas tiga bilik. Dibilik utara terdapat tiga buah Arca Pancuran dan di bilik Selatan ada Arca Pancuran pula, sedangkan di bilik tengah hanya terdapat apik arca.

Selain itu di sekitar go
a juga terdapat kolam pertitaan dengan tujuh patung widyadara-widyadari yang sedang memegang air suci. Yang tersisa hanya 6 patung saja, satu patung menurut petugas dipindahkan ke lokasi lain, akibat gempa beberapa tahun yang lalu. Enam patung ini merupakan symbol dari 7 sungai suci di India, yang merupakan tempat kelahiran agama Hindu dan Budha.

Pura Goa Gajah salah satu obyek wisata di bali, terletak di Desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar, Bali, merupakan pusat Kerajaan Bali Kuna, dan salah satu situs peninggalan sejarah di bumi nusantara, Goa Gajah lebih tepat disebut pura, namun karena berbentuk goa, maka dinamai Goa Gajah. Jaraknya dari Denpasar Kurang lebih 26 Km, berada pada jalur wisata Denpasar – Tampaksiring – Danau Batur – Kintamani.

Nama Goa Gajah di duga berasal dari kata “Lwa Gajah”, nama Wihara atau pertapaan bagi biksu dalam agama Budha. Nama tersebut terdapat pada lontar Negarakertagama yang disusun oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Kata Lwa atau Lwah (Loh) memiliki arti sungai. Oleh karena itu, yang dimaksud di sini adalah pertapaan yang terletak di Sungai Gajah atau di Air Gajah.

Dalam prasasti tahun 1103 Saka yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus disebutkan bahwa ‘Air Gajah’ adalah pertapaan bagi Pendeta Siwa. Goa Gajah di kelilingi area persawahan dengan ke indahan ngarai sungai Petanu, susasananya masi asri dan hijau. Menurut catatan sejarah, tempat wisata Goa Gajah pertama kali ditemukan oleh sarjana Belanda, Prof. Gorris dan Eting pada tahun 1923. Goa ini berbentuk huruf T dengan Arca Ganesha berbadan manusia namun berkepala gajah di sebelah kiri goa.

Arca ini dipuja dan dipercaya sebagai Dewa Penyelamat dan Pelindung Ilmu Pengetahuan. Di sebelah kanan goa terdapat Arca Trilingga (Siwa, Sada Siwa, dan Prama Siwa). Pada zaman tersebut ada peninggalan Hindu Siwa-Budha. Berdasarkan peninggalan arkeologi dan atas dasar hasil-hasil ekskavasi yang diadakan tahun 1955, dapat disimpulkan fungsi dari Goa Gajah sebagai tempat pertapaan dan wihara untuk pendeta untuk pendeta Siwa dan pendeta Budha.

Pembangunannya dimulai abad ke 10 atau 11 berdasarkan prasasti yang dipahatkan pada dinding timur dari mulut goa berupa tulisan memakai huruf Kediri Kwadrat. Tempat pertapaan Goa Gajah diyakini merupakan bentuk tiruan dari pertapaan Kunjarakunja yang ada di India Selatan, maka relief yang dipahatkan pada pertapaan Goa Gajah adalah pahatan-pahatan alam pegunungan.

Pada mulut goa sebagai pintu masuk, dihiasi pahatan kepala Kala dengan mata melirik ke arah kanan yang diyakini memiliki fungsi sama dengan Bhoma (relief muka raksasa) yang terdapat di gapura sebuah bangunan suci yang berfungsi untuk menjaga bangunan tersebut. Di kiri dan kanan pintu masuk terdapat masing masing dua buah ceruk (lubang) untuk tempat bertapa yang berada sekitar 1 meter dari tanah. Cahaya temaram yang berasal dari lampu menjadikan tempat ini tidak terlalu gelap untuk dikunjungi wisatawan tetapi juga tidak terlalu terang, karena untuk mempertahankan susana pertapaan agar terkesan sepi dan tenang.

Bagian dalam ruangan utama memiliki 11 buah ceruk (tempat bertapa) berbentuk horisontal. Pada ujung barat terdapat arca Dewa Ganesha, sedangkan di ujung timur terdapat 3 buah lingga dan masing-masing lingga tersebut di kelilingi lingga kecil. Pada bagian sebelah timur dapat ditemukan goa alami dan jenis patung-patung Budha serta pahatan-pahatan batu tebing yang sebagian besar telah jatuh di pinggiran sungai yang juga akibat gempa bumi.

Di dalam goa juga terdapat patung Ganesha, yang dianggap sebagai dewa penyelamat dan pelindung ilmu pengetahuan. Di dinding goa terdapat prasasti. Berdasarkan jenis hurufnya, prasasti ini diperkirakan ditulis pada sekitar abad ke-11. Pada setiap Purnama sasih Kapat di penanggalan Bali, kira-kira bulan September atau Oktober, diadakan upacara Piodalan di Pura Goa Gajah. Upacara ini diiringi dengan tarian dan gamelan tradisional Bali.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

PURA SAMUAN TIGA 4 Jun 2011 2:43 PM (13 years ago)

PENINGGALAN KERAJAAN BEDULU




Pura Samuan Tiga adalah sebuah bangunan pemujaan bagi pemeluk agama Hindu di Bali. Bangunan tersebut terletak di Desa Bedulu, Gianyar, yang telah berdiri sejak masa-masa prasejarah. Hakekatnya, pura ini berfungsi sebagai salah satu media pemujaan kepada kekuatan alam dan nenek moyang. Dalam Lontar (kitab Suci Weda) Tatwa Siwa Purana dalam lembar 11 menyebutkan,

  • “Dan lagi semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka (Candrabhayasingha Warmadewa) membangun pura, antara lain Penataran Sasih dan Samuan Tiga.”
Dari data teks tentang sejarah Bali kuno, pemberian nama Samuan Tiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting pada saat itu yaitu adanya musyawarah tokoh-tokoh penting dalam suatu sistem pemerintahan pada masa Bali Kuna. Pelaksanaan musyawarah para tokoh di Bali pada masa pemerintahan raja suami-istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 – 1011 Masehi.


Menurut catatan sejarah, Pura Samuan Tiga dibangun pada Abad X dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada masa silam. Saat itu, setiap kerajaan harus memiliki tiga pura utama. Untuk maksud tersebut, dibangunlah Pura Gunung, dalam hal ini Pura Tirte Empul di Manukaya Tampaksiring, Pura Penataran yang berada di pusat kerajaan yang tidak lain adalah Pura Samuan Tiga, dan yang ketiga Pura Segara.

Menurut ahli sejarah Bali R. Goris, pada masa itu di Bali berkembang kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang berkembang pada masa itu. Sekte-sekte tersebut adalah Pasupata, Bhairawa, Siwa Sidhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewi tertentu sebagai istadewata (Dewa Utama) dengan simbol tertentu.


Siwa Sidanta merupakan sekte yang sangat dominan. Perselisihan dipicu oleh klaim masing-masing sekte yang mengatakan bahwa dewa-dewa tertentu yang mereka puja sebagai dewa utama dengan simbol tertentu pula. Masing-masing penganut sekte itu beranggapan dan berkeyakinan bahwa dewa utama merekalah yang paling utama sedangkan yang lain lebih rendah.

Berkembangnya keyakinan yang bersifat sektarian itu dipandang berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik dalam kehidupan sosial keagamaan.
Menyadari hal itu, raja suami-istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha mengatasinya dengan mengundang tokoh-tokoh spiritual dari Bali dan Jawa Timur (Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur) untuk mencari jalan keluar gejolak antar-sekte ini.

Pada waktu itu di Jawa Timur ada lima pendeta bersaudara yang sangat termasyur. Ke-lima pendeta bersaudara tersebut kerap dijuluki Panca Pandita atau Panca Tirta. Mereka adalah Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Bharadah.

Empat di antara kelima pendeta tersebut didatangkan ke Bali secara berturut-turut, yaitu:

  1. Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999 M) berparhyangan di Besakih.
  2. Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000 M) berparhyangan di Gelgel.
  3. Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001 M) berparhyangan di Silayukti, Padangbai.
  4. Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006 M) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Bisbis).

Mengingat pengalaman Mpu Kuturan yang pernah menjadi kepala pemerintahan di Girah dengan sebutan Nateng Girah, oleh Gunapriyadharmapatni diangkatlah beliau sebagai senapati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran I jro Makabehan.


Melalui posisi yang dipegang itu, Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran kerajaan. Musyawarah tersebut berhasil menyatukan semua sekte untuk penerapan konsepsi Tri Murti yaitu kesatuan tiga manisfestasi Tuhan (Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa) dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Kesepakatan itu diambil melalui suatu musyawarah tokoh-tokoh agama Hindu di Bali. Keberhasilan pertemuan ini tidak lepas dari peran Mpu Kuturan sebagai Pemimpin Lembaga bernama Majelis Permusyawaratan Paripurna Kerajaan.

Konsepsi "three in one" ini berlaku di seluruh Bali dan menghapuskan dominasi satu sekte terhadap sekte lainnya –meskipun belakangan sekte Siwa Sidhantalah yang tampil dominan. Penyatuan ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh Mpu Kuturan di Jawa dengan mendirikan Candi Loro Jonggrang (Prambanan) yang memuja Dewa Brahma, Wisnu dan Ciwa. Nah, untuk memperingati peristiwa penting tersebut Pura Penataran kerajaan tersebut diberi nama Pura Samuantiga.

Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola Desa Pakraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiga yakni Pura Desa (Brahma), Pura Puseh (Wisnu) dan Pura Dalem (Siwa) pada setiap desa. Bagi setiap keluarga, diterapkan pembangunan Sanggar Kamulan Rong Tiga (tempat pemujaan dengan tiga pintu).


Pada saat-saat tertentu diadakan upacara-upacara ritual di Pura Samuan Tiga. Di antara rangkaian ritual tersebut, umumnya dipertunjukkan beberapa tarian, di antaranya; Nampyog Nganten, Siat Sampian, Sanghyang Jaran Menginjak Bara, Mapelengkungan, Siat Pajeng, Pendet dan Bale Pegat untuk menghilangkan berbagai ketidaksucian atau leteh.

Pada saat piodalan (semacam upacara syukuran), selalu diadakan suatu ritual agama yang sangat menarik dan unik yang disebut ritual “Mesiat Sampian“. Keunikan ritual ini bisa dilihat pada piodalan Pura Samuan Tiga pada waktu Purnama Jehsta (Kesebelas). Samuan Tiga sebagai Refleksi Kebersamaan Pusat Pemerintahan di masa Bali Kuna berada di sekitar Desa Bedulu.

Bukti sejarah menunjukkan Bedulu sebagai lokasi penting kerajaan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi di desa tersebut. Di sinilah Pura Samuan Tiga berdiri kokoh hingga kini. Secara etimologi, kata Samuan Tiga merupakan gabungan dari kata Samuhan dengan kata Samuh yang mempunyai arti pertemuan, musyawarah dan rapat. Tiga yang berarti pada saat itu dihadiri oleh tiga pihak, jadi Samuan Tiga adalah pertemuan yang dihadiri oleh tiga pihak atau tiga kelompok. Pada Lontar Dewa Purana Bangsul juga menyebutkan
  • ”Pada masa itu ada lagi, Kahyangan (tempat suci) yang bernama Kahyangan Samuan Tiga sebagai tempat para Dewa-Dewata, Bahatar-Bhatari dan bagi para Resi (pendeta) yang seluruhnya mengikuti musyawarah pada masa itu.”

(Disadur dari teks kiriman Dinas Pariwisata Kab. Gianyar – (Wilson Lalengke)



Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

SEJARAH PURA KEBONTINGGUH 4 Jun 2011 6:59 AM (13 years ago)

PENINGGALAN KERAJAAN TABANAN



Pura Dalem Purwa Kub
ontingguh berlokasi di Desa Adat Kubontingguh, Desa Denbantas, Kecamatan Tabanan – Kabupaten Tabanan. Lokasi tersebut di pinggiran kota Tabanan, di lereng jurang/kali/sungai. Mencapai lokasi Pura dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu :

  1. Dari jantung kota Tabanan tepatnya diperempatan kantor Bupati Tabanan menuju ke arah utara hingga kebendesaan Denbantas. Dusun Bakisan belok kiri menuju arah barat, kemudian turun menuju lembah sungai hingga sampai dilokasi Pura.
  2. Selain itu juga dapat ditempuh melalui dusun Tuakilang ke utara sampai di terminal Tuakilang belok ke kanan menuju dusun Kubontingguh sampai di lokasi Pura.
Jarak dari kota Tabanan ke lokasi Pura dari dua arah yang dimaksud adalah hampir sama + 2,5 km. Jarak dari kota Provinsi Bali ( Denpasar ) 24,5 km.

Batas-batas lokasi Pura adalah :
  • Disebelah utara jalan raya Adat Kubontingguh
  • Disebelah timur dibatasi oleh kali atu sungai
  • Disebelah selatan Persawahan subak uma tegal
  • Disebelah barat tegalan pribadi milik masyarakat setempat.
Secara Geografis Daerah ini merupakan dataran dengan ketinggian antara 100 – 150 meter di atas permukaan air laut. Tanah di Daerah ini merupakan endapan Tufa Beratan Purba. Dilihat dari vegetasi yang berkembang umumnya berupa tanaman padi, kopi, cengkeh, pisang dan beberapa jenis tanaman berumur panjang seperti enau, bambu, nangka dan kelapa. Secara Astronomislokasi ini terletak pada koordinat 115 derajat 19’15”BT. 8 derajat 9’14”LS.


SEJARAH PURA KEBON TINGGUH


Secara tertulis dalam babad Arya Tabanan koleksi Gedong Kirtya Singaraja tertulis tentang Pura Dalem Purwa Kubontingguh, disebutkan bahwa salah seorang keturunan Arya Kenceng yang berstana di Pucangan yang bergelarSri-Magadanata, lazim disebut Arya Ngurah Tabanan melakukan kesalahan membelai rambut Putra Mahkota Dalem. Akibat kesalahan ini ia di utus ke Majapahit untuk mengetahui keadaan di sana karena huru hara. Lebih jelasnya berikut disajikan kutipan babad Arya Ngurah Tabanan.

  • “Kunang Sri Magadanatha wyadin Arya Ngurah Tabanan, inutus uminter maring Majapahit, amretyaksoken Ratu wilwatikta, tan wasiteng awan mwang pangiringnya prapta maring Wilwatikta, tistis samun kang negara, aro-ara karep irang para bahudandakatekaning tani-tani, apan kinasuking gama selam, dadi malwi sira mantuking Bali”.
Artinya :
  • Diceritakan Raja Sri Magadanatha atau Arya Ngurah Tabanan, di utus oleh Ida Dalem berangkat ke Majapahit, menyelidiki keadaan Raja Majapahit, tak terceritakan dalam perjalanan bersama anggota tibalah di Majapahit, Negara dalam keadaan sepi, terkejut semua para Bahudanda demikian juga masyarakat kebanyakan, sebab dimasuki agama islam, karena itu kembali beliau ke Bali.
  • “Satibeng irang Bali, ari maring Puri Pucangan stri kambil de Dalem Gelgel tinarimaken maring kiyai Azak ring Kapal, katereh de Arya Kresna Kepakisan, kesatriyakula wetning kadiri”.
Artinya :
  • Setibanya di Bali, Adik Perempuan di Puri Pucangan diambil oleh Ida Dalem Gelgel dikawinkan dengan Kiyai Azak di Kapal, keturunan Arya Kresna Kepakisan, warga kesatrya dari Kediri.
  • “Ri telas Sri Magadanatha umarek Dalem, kawruh yan sang ari stri inarimaken ring Kyai Azak, mangen angen sira ri bendun ira Dalem, wekasan manastapa ri anten ira, dadi gelis sira aserah kedatuan ekaning pangerahningNegara ring Sang Putra pamayun apatra arya Ngurah Langwang, teher tinengeran Arya Ngurah Tabanan”.
Artinya :
  • Sesudah Sri Magadanatha menghadap Ida Dalem tahulah beliau bahwa adik perempuannya dikawinkan dengan Kyai Azak. Kecewa beliau dan marah terhadap Ida Dalem. Dengan demikian berinisiatif beliau akan bersemadhi sekeluarga, sehingga segera beliau menyerahkan tapuk Pemerintahan, demikian juga administrasi Negara kepada Putra Pertama yang bernama Arya Ngurah Langwang juga berpredikat Arya Ngurah Tabanan.
  • “Kunang Sri Magadanatha mahyun lumakwa widon, saha agawya kuwu ring arah meriti saking stana Pucangan, ingara na Kubontingguh, apan maka grahan sang sedeng sungkawa, wekasan sira analap stri, anak ira de Bendesa Pucangan, maka prenah anak amisan saking wadu de sang akuwu maring Kubontingguh”.
Artinya:
  • Diceritakan Sri Magadanatha berkeinginan meninggalkan Kerajaan serta membangun Kubu disebelah barat daya dari istana Pucangan, bernama Kubontingguh, sebab itu merupakan pondok/rumah orang sedang ditimpa kesedihan. Selanjutnya beliau mengambil istri dari Bendesa Pucangan, dipakai misan dari istri yang berkubu di Kubontingguh.
  • “Dadi wetu Putra kakung sakung sawiji ingaranan I Gusti Ketut Bendesa, I Gusti Ketut Pucangan tengeran ira waneh. Wekasan ri wus I Gusti Ketut Bendesa anandang wastra akekeris, laju sinerah aken de sang yayah ring sang kaka Arya Ngurah Tabanan tur jenek papareng ungguhin Raja Buahan, pada amukti suka wibhawa”.
Artinya :
  • Lahirlah putra laki-laki diberi nama I Gusti Ketut Bendesa dengan nama sebutan I Gusti Ketut Pucangan. Lama kelamaan sesudah I Gusti Ketut Bendesa Remaja/Dewasa, diserahkan ayahnya kepada kakaknya Arya Ngurah Tabanan dan bertetap tinggal di istana Kerajaan Buahan, serta menemui kebahagiaan hidup dan kewibawaan.

Keterangan yang serupa juga di dapat dalam babad Kutawaringin dan usana jawa. Dalam Usana Jawa Tokoh Magadanatha disebut dengan nama lain yakni : Arya Yasan.

Pada waktu Rsi Markandia dari India menyebarkan Agama Hindu menuju Jawadwipa dan selanjutnya ke Pulau Bali menuju Wangayagede yang akhirnya merabas hutan belantara sampai di suatu tempat yang selanjutnya membuat gubuk diatas tonggak-tonggak kayu ( bun-bun besar ) sebagai sandaran/peningguk yang sudah mendapat kekuatan dari sang Banaspati. Disuatu hari gubuk tersebut mengeluarkan sinar ( metu teja ) yang merupakan pemberian kekuatan dari Sanghyang Tunggal. Dari Gubuk yang berada diatas tonggak bun sebagai penyangga/peningguk yang sangat tangguh yang akhirnya disebut Kubontingguh sebagai pesraman para Yogi.

Pura Kahyangan Jagat Dalem Purwa Kubontingguh merupakan kawitan umat Hindu karena merupakan kekuatan, sehingga bagi para umat Hindu yang bisa datang sujud bakti di hadapan beliau sudah jelas mendapatkan keselamatan.
Berlama-lama Bali ditaklukan oleh Majapahit pada tahun 1352 atau abad ke 13 sang Subakti Arya Kenceng mendapatkan wahyu kekuatan (kedirgayusan) sehingga beliau bersabda keturunannya mesti sujud di Pura Kahyangan Jagat Dalem Purwa Kubontingguh.


PENELITIAN ARKEOLOGI

Laporan penelitian arkeologi Denpasar nomor 362/F9.7/PK/2000 tanggal 15 Nopember 2000. Adanya beberapa temuan baik batu besar yang berada di depan patung Sapi dan ditempatkan di Gedong Pura / Palinggih, ini merupakan salah satu peninggalan pada jaman megalitik/jaman batu.


Di Pelinggih Gedong Agung terdapat ukiran cronogram merupakan pembuatan bangunan atau perbaikan pada saat itu terbaca sbb. Badan atau angga bernilai 1, senjata cakra bernilai 5, burung dan hewan bersayap bernilai 6, api atau dewa api bernilai 3 dan dapat dibaca atau angka tahum 1563 atau 1641 Masehi.

Pura ini oleh masyarakat Pengempon dikenal dengan sebutan “PURA KAHYANGAN JAGAT DALEM PURWA KUBONTINGGUH”. Penamaan tersebut terkait erat dengan status dan fungsi Pura yang sifatnya laind ari pura Dalem biasanya yang dikenal di kalangan umat sedharma. Kata Dalem adalah menunjukkan manifestasi Tuhan / Ida Sanghyang Widhi dalam wujud saktinya Siwa yakni yakni “Bhatari Durga” Pelambang Peleburan. Sedangkan kata Purwa diambil dari pengertian asal mula(wit = bahasa bali),berarti asal mula Pura Dalem dalam segala kebesaran prebhawanya.

Kata Purwa juga menunjukkan Pura dalam bentuk umum sebagai Kahyangan Jagat Tabanan dengan sistem tata Pemerintahan berdaulatnya Raja Diraja sebelum Negara Indonesia berbentuk Republik. Lebih jauh pengertian asal mula dimaksud adalah mulainya (kawitnya) penguasa Kerajaan mendapatkan kesempurnaan spiritual membasmi malapetaka memohon kehadapan Bhatari Durga dengan sarana mata air keramat disebut Taman Beji sebagai tempat memohon pengeleburan dasa mala.

Sebagai asal mulakeberhasilan Raja zaman dahulu tersebut menamakan Pura dengan istilah Purwa. Kata Kubontingguh adalah menunjukkan lokasi dan pengempon Pura lebih jelasnya berikut disertakan Kutipan Purana sebagai berikut :

  • ……………. Mangke wuwusen Pura Kawitan keturunan Arya Kenceng ingaranan Kahyangan Jagat Dalem Purwa Kubontingguh, Desa Buahan, Wawidangan panagara Singhasana Tabanan. Makadi pengancengKahyangan Puri Agung Tabanan. Maka pengelingsir Pahryangan Jro Agung Kukuh, Desa Denbantas, wewidangan jagat Tabanan, minakadi Pemangku Gede warga Pasek, abhiseka Jro Mangku Gede saking Banjar Bakisan, Panagara Tabanan, Griya Pasekan mwang Griya Majapahit ring Tuakilang Desa Denbantas, Wewengkon jagat Tabanan.
Artinya :
  • Sekarang keberadaan Pura Kawitan keturunan Arya Kenceng bernama Kahyangan Jagat Dalem Purwa Kubontingguh, Desa Buahan, Wilayah Kerajaan Tabanan. Sebagai Penganceng Kahyangan Puri Agung Tabanan. Sebagai sesepuh/Panasehat Parhyangan Jro Agung Kukuh, Desa Denbantas, Wilayah Tabanan. Sebagai Pemangku Gede Warga Pasek, bergelar Jero Mangku Gede dari Banjar BakisanWilayah Tabanan, Demikian juga sebagaiBhagawanta Puri Singasana Tabanan, Griya Pasekan mwang Griya Majapahit di Tuakilang Desa Denbantas Wilayah Tabanan.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

PANCA WILWATIKTA MAJAPAHIT 3 Jun 2011 5:14 PM (13 years ago)

SUSUNAN PEJABAT KERAJAAN


Majapahit den
gan sumber sejarahnya yang berupa kitab Negarakertagama di dalam pupuh X/1 menguraikan bahwa Sang Panca Wilwatikta mempunyai hubungan yang rapat dengan Istana (Majapahit). Dalam pupuh itu dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan Sang Panca Wilwatikta adalah lima orang pembesar dalam pemerintahan Majapahit adalah Patih, Demung, Kanuruhan, Rangga dan Tumenggung.

Kelima pembesar tersebut diserahi pelaksanaan pemerintahan Majapahit, menjadi pembantu utama Sang Prabu dalam urusan pemerintahan. Diantara lima pembesar tersebut Patih adalah merupakan jabatan yang tertinggi, Negarakertagama pupuh X/2 menyebutnya amatya ring sanagara yang artinya patih seluruh negara. Sebutan ini hanya diperuntukkan bagi Patih Majapahit untuk membedakannya dengan patih-patih di negara bawahan, seperti Daha, Kahuripan, Wngker, Matahun dan sebagainya.


Dalam pupuh tersebut juga disinggung bahwa patih negara bawahan dan para pembesar lainnya seperti Demung berkumpul di Kepatihan Majapahit yang dipimpin oleh Maha Patih Gajah Mada, jadi dengan demikian seluk beluk pemerintahan seluruh negara Majapahit ditentukan oleh Maha Patih Majapahit. Para patih dan pembesar negara bawahan menerima perintah dari Patih Majapahit dan memberikan laporan tentang keadaan negara-negara bawahan kepada sang patih.

Demikianlah patih negara bawahan biasa disebut dengan patih saja, ia melaksanakan pemerintahan di negara bawahan, sedangkan patih seluruh negara memberikan perintah dan arahan tentang bagaimana menjalankan pemerintahan di negara bawahan atau di daerah.

Dalam kitab Pararaton, patih seluruh negara itu disebut dengan istilah Patih Amangkubhumi, istilah ini tidak terdapat di dalam Negarakertagama. Negarakertagama dalam pupuh X/1 menguraikan bahwa diantara para penghadap baginda di balai Witana ialah Wreddha Menteri (menteri sepuh) dan para arya. Pupuh LXXII/1 menyinggung pengangkatan Sang Arya Atmaraja Empu Tandi sebagai wreddha menteri sepeninggal Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1364.

Pupuh IX/3 menyinggung tempat duduk para menteri di paseban dan menyinggung adanya sang sumantri pinituha yakni para menteri sepuh atau wreddha menteri. Sampai saat ini belum diperoleh penjelasan tentang fungsi jabatan wreddha menteri itu dalam hal urusan pemerintahan. Mereka itu tidak langsung berhubungan dengan jalannya pemerintahan seperti Sang Panca Wilwatikta yang disebutkan dalam pupuh X.

Dalam berbagai prasasti diuraikan dengan jelas bahwa perintah raja Majapahit disalurkan kepada tiga mahamenteri (mahamentri katrini) yakni Mahamenteri Hino, Mahamentri Halu dan Mahamentri Sirikan. Kemudian perintah itu disalurkan kepada Sang Panca Wilwatikta. Kidung Harsawijaya pupuh II/16a dan 16b menguraikan bahwa semenjak pemecatan wreddha menteri dan pengangkatan yuwa menteri, rakyat tidak senang kepada sikap sang prabhu Kertanegara.

Yang dimaksud dengan pemecatan wreddha menteri itu ialah pemecatan Wiraraja, Empu Raganata dan pujangga Santasmreti. Raja Kertanegara lebih suka mendengarkan nasehat para yuwa menteri dari pada nasehat para wreddha menteri. Kiranya yang dimaksud dengan istilah wreddha menteri dalam Kidung Harsawijaya ini berbeda dengan istilah wreddha menteri yang disebut dalam Negarakertagama dan beberapa prasasti y Dari pembacaan prasasti Pakis (prasasti Pakis, 1266, tidak lengkap, disiarkan oleh Dr. N.J. Krom dalam Rapporten, Commissie voor Oudheidkundig Onderzoek, tahun 1911, hal 117 - 123) dan prasasti Gunung Wilis (disebut juga prasasti Penampihan, 1269, termuat dalam O.J.O. hal. 189-193 ; terjemahannya dalam bahasa Inggris oleh Dr. Himansu Bushan Sarkar dalam Majalah The Greater India, 1935, hal 55-70) yang dikeluarkan oleh prabu Kertanegara, terbukti tidak ada jabatan wreddha menteri.

Perintah raja Kertanegara disalurkan kepada tiga mahamenteri (mahamentri katrini), kemudian disampaikan kepada para menteri urusan negara yang dikepalai oleh patih. Pada prasasti Pakis, 1266 perintah raja Kertanegara ditampung oleh rakrian mahamenteri Hino, Sirikan dan Halu, kemudian disalurkan kepada para tanda untuk urusan negara : rakrian patih, rakrian demung dan rakrian kanuruhan. Nama-nama para menteri itu tidak disebut.

Pada prasasti Gunung Wilis, 1269, perintah raja Kertanegara ditampung oleh tiga mahamenteri : Hino, Sirikan dan Halu, kemudian disalurkan kepada para tanda urusan negara : patih Kebo Arema, demung Mapanji Wipaksa dan kanuruhan Ramapati. Demikianlah para tanda urusan negara yang dikepalai oleh patih menampung perintah raja dari mahamenteri katrini, tanpa perantara. Jadi jabatan wreddha menteri seperti tercantum pada pelbagai prasasti Majapahit, tidak diketemukan pada jaman Singasari.

Prasasti-prasasti zaman sevelum Singasari tidak menyebut adanya jabatan wreddha menteri. Dari uraian di atas jelaslah, bahwa jabatan wreddha menteri adalah ciptaan Majapahit. Dari uraian tersbut nyata pula bahwa para tanda urusan negara pada jaman pemerintahan prabu Kertanegara di Singasari berjumlah tiga orang saja yakni patih, demung dan kanuruhan. Pada jaman Majapahit jumlah para tanda urusan negar itu mejadi lima yakni : patih, demung, kanuruhan, rangga dan tumenggung. Lima orang tanda urusan negara ini sudah dikenal sejak awal pendirian kerajaan Majapahit seperti yang tercantum di dalam prasasti Penanggungan, yangk dikeluarkan pada tahun 1296.

Jadi jumlah para tanda itu mengalami perubahan dari tiga (pada jaman Singasari) menjadi lima. Jumlah limatanda urusan negara itu disebut Sang Panca ri Wilwatikta, sebagaimana diuraikan dalam Negarakertagama pupuh X/1.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

LAMBANG MAJAPAHIT 3 Jun 2011 5:02 PM (13 years ago)





Surya Majapahit (Matahari Majapahit) adalah lambang kerajaan Majapahit yang kerap kali dapat ditemukan pada reruntuhan bangunan-bangunan (candi-candi) peninggalan Majapahit.

La
mbang ini mengambil bentuk matahari bersudut delapan, dengan bagian lingkaran di tengahnya yang menampilkan pahatan dewa-dewa agama Hindu yang terkenal. Lambang ini membentuk lingkaran kosmologis, yang disinari dengan jurai matahari khas "Surya Majapahit" atau lingkaran Matahari dengan bentuk jurai sinarnya yang khas, sehingga para ahli purbakala menduga lambang ini merupakan lambang kerajaan Majapahit.


Gambar di samping menunjukkan lambang Majapahit tersebut, dengan variasinya seperti yang terlihat dalam gambar di bawah ini.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

IBU KOTA MAJAPAHIT 3 Jun 2011 4:48 PM (13 years ago)




Majapahit yang sebenarnya di batasi oleh 4 (empat) Tugu Batas yang berbentuk Lingga-Yoni, dengan jarak antar tugu berkisar 9 x 11 km. Peta Kota Raja Majapahit ini pertama kali dibuat oleh seorang Belanda bernama H Maclaine Pont, seorang arsitek yang juga turut membidani munculnya bangunan Gereja Katolik Puh Sarang di Kediri, Jawa Timur.

Sebenarnya apa yang dipetakan oleh Maclaine Pont ini telah diuraikan secara panjang lebar dalam Kitab Negarakertagama, khususnya di dalam Pupuh VIII, yang secara penggalannya berbunyi

  • " .. tersebutlah keajaiban kota : tembok batu merah tebal tinggi mengitari Pura (sebutan lain untuk kota raja), pintu Barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas bersabut parit ; pohon brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam .......... ; disebelah Utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir .... dst."

Pada tahun 2003, tim arkeologi dari Yogyakarta yang dipimpin oleh Nurhadi Rangkuti, melakukan survey untuk mencari dan menentukan batas-batas situs Kota Raja Majapahit yang diperkirakan memanjang arah Utara - Selatan seluas 9 km x 11 km. Dari hasil penelitian sebelumnya telah ditemukan 3 (tiga) buah batas Kota Raja Majapahit yang ditandai dengan sebuah kompleks bangunan suci agama Hindu dengan pusat berbentuk YONI berhias naga-raja.

Tiga batas kota tersebut adalah Klinterjo di Timur-Laut, Lebak-Jabung di Tenggara dan Sedah di Barat Daya. Berdasarkan ekskavasi di situs Klinterjo dan Lebak-Jabung, didapatkan gambaran mengenai bentuk bangunan suci agama Hindu di penjuru sudut penanda batas Kota Raja. Secara garis-besar pola tata ruang bangunan tersebut memanjang arah Barat-Timur dan memiliki tiga halaman.

Halaman paling Barat berupa bangunan terbuka, berumpak batu dengan batur batu-bata, mirip bangunan balai atau pendopo. Pada halaman tengah terdapat sisa-sisa bangunan dari batu-bata, dan pada bagian Timur juga terdapat bangunan batu-bata dengan Yoni Naga Raja.


Tampaknya pola tata ruang bangunan suci tersebut mirip dengan kompleks bangunan Pura di Bali yang juga memiliki tiga halaman, yaitu halaman : jaba, jaba tengah dan jeroan. Dan inilah hasil pemetaan batas-batas Kota Raja Majapahit.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

PERLUASAN WILAYAH KEKUASAAN MAJAPAHIT 3 Jun 2011 4:18 PM (13 years ago)



Majapahit terletak di lembah sungai Brantas di sebelah Tenggara kota Mojokerto, di daerah Tarik, sebuah daerah kecil di persimpangan Kali Mas dan Kali Porong. Konon pada akhir tahun 1292 tempat itu masih merupakan hutan belantara, penuh dengan pohon-pohon maja seperti kebanyakan tempat-tempat lainnya di lembah sungai Brantas.

Berkat kedatangan orang-orang Madura, yang sengaja dikirim ke sana oleh Adipati Wiraraja dari Sumenep, hutan tersebut berhasil ditebangi dan dijadikan perladangan, dihuni oleh orang-orang Madura, pelarian dari Singosari dan pengikut-pengikut setia Sanggramawijaya, serta dinamakan Majapahit (desa).

Pada permulaan tahun 1293, ketika tentara Tar-tar di bawah pimpinan Shih-pi, Kau Hsing dan Ike Messe dating ke sana, kepala desa Majapahit bernama Tuhan Pijaya (Groeneveldt, W.P, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese source VBG XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya, Bhatara, Jakarta, 1960. hal. 30), yakni Nararya Sanggramawijaya.

Baru setelah Jayakatwang berhasil dihancurkan dalam bulan April 1293 berkat serbuan tentara Tartar dengan bantuan Sanggrawijaya, desa Majapahit dijadikan pusat pemerintahan kerajaan baru, yang disebut dengan kerajaan Majapahit. Pada waktu itu wilayah kerajaan Majapahit hanya meliputi daerah kekuasaan kerajaan Singosari lama, jadi hanya sebagian dari wilayah Jawa Timur. Sepeninggal Rangga Lawe pada tahun 1295, atas permintaan Wiraraja sesuai dengan janji Sanggramawijaya, maka kerajaan Majapahit dibelah menjadi dua (Kidung Rangga Lawe, terbutan Prof. C.C. Berg dalam seri Bibliotheca Javanica K.B.G, vol. 1, 1930). Bagian Timur yang meliputi daerah Lumajang, diserahkan kepada Wiraraja.

Demikianlah pada akhir abad ketiga-belas kerajaan Majapahit itu hanya meliputi daerah Kadiri, Singasari, Janggala (Surabaya) dan pulau Madura. Dengan penumpasan Nambi pada tahun 1316, daerah Lumajang bergabung kembali dengan Majapahit sebagaimana tercatat dalam Prasasti Lamongan (Prasasti Lamongan tidak bertarikh, menguraikan ke-swatantraan daerah Blambangan sebagai hadiah kepada masyarakat Blambangan, disiarkan oleh Dr. Purbatjaraka dalam T.B.G LXXVI, 1936, hal. 388-389).

Sejak tahun 1331 wilayah Majapahit diperluas berkat penundukan Sadeng (di tepi sungai Bedadung) dan Keta (di pantai Utara dekat Panarukan) seperti diberitakan dalam kakawin Negarakertagama pupuh XLVIII/2 dan XLIX/3 serta dalam kitab Pararaton. Pada waktu itu wilayah kerajaan Majapahit meliputi seluruh Jawa Timur dan Pulau Madura (Prasasti Camunda, 1332, menguraikan bahwa Tribhuwana Tunggadewi menguasai seluruh dwipantara. Istilah dwipantara ini kiranya harus ditafsirkan sebagai hyperbol, karena pada waktu itu kekuasaan Majapahit hanya terbatas sampai Pulau Jawa dan Madura saja, tidak sama dengan istilah Nusantara dalam program politik Gajah Mada pada tahun 1334).

Baru setelah Jawa Timur dikuasai penuh, Majapahit mulai menjangkau pulau-pulau di luar Jawa, yang disebut Nusantara. Menurut Pararaton, politik perluasan wilayah seluruh Nusantara ini bertalian dengan program politik Gajah Mada yang diangkat menjadi patih Amangkubumi pada sekitar tahun 1334. Untuk menjayakan program politiknya tersebut, para pembesar Majapahit yang tidak menyetujui disingkirkan oleh Gajah Mada. Pelaksanaan program politik penyatuan Nusantara ini rupanya baru dimulai pada tahun 1343 dengan penundukkan Bali, pulau yang paling dekat dengan pulau Jawa.

Selanjutnya diantara tahun 1343 – 1347, Pu Adityawarman meninggalkan pulau Jawa untuk mendirikan kerajaan Malayapura di Minangkabau, Sumatera, seperti diberitakan dalam prasasti Sansekerta pada arca Amoghapasa tahun 1347. Dalam prasasti tersebut diuraikan bahwa Pu Adityawarman bergelar Tuhan Patih (gelar sebutan Tuhan Patih dalam prasasti Amoghapasa, 1347, menunjukkan bahwa Adityawarman menjalankan pemerintahan di kerajaan Malayapura atas nama raja Majapahit Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani).

Berita Cina dari Dinasti Ming (Groeneveldt, W.P, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese source VBG XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya, Bhatara, Jakarta, 1960. hal. 69) menyatakan bahwa pada tahun 1377 Suwarnabhumi (Sumatera) diserbu oleh tentara Jawa. Putera Mahkota Suwarnabhumi tidak berani naik tahta tanpa bantuan dan persetujuan kaisar Cina, karena takut kepada raja Jawa. Kaisar Cina lalu mengirim utusan ke Suwarnabhumi untuk mengantarkan surat pengangkatan, namu di tengah jalan dicegat oleh tentara Jawa dan dibunuh seketika.

Meskipun demikian Kaisar Cina tidak melakukan tindakan balasan terhadap raja Jawa, karena mengakui bahwa tindakan balasan tidak dapat dibenarkan. Sebab utama serbuan tentara Jawa (ke Suwarnabhumi) pada tahun 1377 tersebut adalah karena raja Suwarnabhumi telah mengirim utusan ke Cina pada tahun 1373 tanpa sepengetahuan raja Jawa. Pengiriman utusan tersebut dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap status kerajaan Suwarnabhumi yang sebenarnya adalah merupakan kerajaan bawahan Majapahit.

Tarikh penundukan Suwarnabhumi terhadap Majapahit terjadi pada sekitar tahun 1350 ; keruntuhannya mengakibatkan jatuhnya daerah-daerah bawahannya di Sumatera dan di semananjung Tanah Melayu ke dalam kekuasaan Majapahit. Dua belas kerajaan Suwarnabhumi yang jatuh ke tangan Majapahitadalah : Pahang, Trengganu, Langkasuka, Kelantan, Woloan, Cerating, Paka, Tembeling, Grahi, Palembang, Muara Kampe dan Lamuri. Hampir semua daerah-daerah tersebut dinyatakan sebagai daerah-daerah bawahan Majapahit seperti ternyata dalam kakawin Negarakertagama pupuh XIII dan XIV.

Daftar itu menyebut juga nama-nama daerah bawahan lainnya. Rupanya Palembang dijadikan batu loncatan bagi tentara Majapahit untuk menundukkan daerah-daerah lainnya di sebelah Barat pulau Jawa. Namun di daerah–daerah ini tidak diketemukan prasasti sebagai bukti adanya kekuasaan Majapahit. Hikayat-hikayat daerah yang ditulis kemudian, menyinggung adanya hubungan antara pelbagai daerah dan Majapahit dalam bentuk dongengan, dan bukan merupakan catatan sejarah khusus.

Dongengan-dongengan tersebut menunjukkan sekedar kekaguman terhadap kebesaran dan keagungan Majapahit. Sejarah Melayu (Sejarah Melayu, edisi Shellabear, Kisah II) mencatat dongengan tentang kejayaan serbuan Tumasik oleh tentara Majapahit berkat pembelotan seorang pegawai kerajaan yang bernama Rajuna Tapa. Konon sehabis peperangan, Rajuna Tapa kena umpat sebagai balasan pengkhianatannya dan berubah menjadi batu di sungai Singapura, rumahnya roboh dan beras simpanannya menjadi tanah.

Dongengan tersebut mengingatkan kita kepada serbuan Tumasik oleh tentara Majapahit pada sekitar tahun 1350, karena Tumasik termasuk ke dalam program politik Gajah Mada dan tercatat dalam daftar daerah bawahan Majapahit seperti diungkapkan dalam kakawin Negarakertagama pupuh XIII. Kerajaan Islam Samudra Pasai di Sumatera Utara juga tercatat sebagai daerah bawahan Majapahit. Dongengan romantis tentang serbuan Pasai oleh tentara Majapahit diberitakan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai (Hikayat Raja-Raja Pasai, 1819, disalin dengan huruf Romawi oleh J.P. Mead dalam JMBRAS no. 66; dibicarakan oleh J.L.A. Brandes dalam Pararaton, 1896 ; dibahas oleh R.O. Winstedt dalam karangan “The Chronicles of Pasai”, JMBRAS vol. XVI, 1938 ; oleh Dr. R. Roolvink dalam karangan “Hikayat Raja-Raja Pasai” di Majalah Bahasa dan Budaya, vol. II, no. 3, 1954 ; oleh Prof. A. Teeuw dalam karangan “Hikayat Raja-Raja Pasai”, di Malayan and Indonesian Studies, Oxford, 1964), berikut ini :

“Pada pemerintahan Sultan Ahmad di Pasai, puteri Gemerencang dari Majapahit jatuh cinta kepada Abdul Jalil, putera raja Ahmad, hanya karena melihat gambarnya. Oleh karena itu ia berangkat ke Pasai dengan membawa banyak kapal. Sebelum mendarat terdengar kabar bahwa Abdul Jalil telah mati, dibunuh oleh ayahnya sendiri. Karena kecewa dan putus asa, puteri Gemerancang berdoa kepada Dewa, agar kapalnya tenggelam.

Doa itu dikabulkan. Mendengar berita tersebut, Sang Nata Majapahit murka, lalu mengerahkan tentara untuk menyerang Pasai. Ketika tentara Majapahit menyerbu Pasai, Sultan Ahmad berhasil melarikan diri, namun Pasai dapat dikuasai dan diduduki”. Seperti telah disinggung di atas, ekspedisi ke Sumatera ini mungkin sekali dipimpin oleh Gajah Mada sendiri, karena ada beberapa nama tempat di Sumatera Utara yang mengingatkan serbuan Pasai oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada, dan dongengannya memang ditafsirkan demikian oleh rakyat setempat (H.M. Zainuddin, Tarich Acheh dan Nusantara, Bab XVII, hal. 220-236).

Tempat-tempat tersebut misalnya : sebuah bukit di dekat kota Langsa bernama Manjak Pahit (Majapahit). Menurut dongengan tentara Majapahit membuat benteng di atas bukit itu dalam persiapan menyerang Temiang. Berikutnya, rawa antara Perlak dan Peudadawa bernama Paya Gajah (Gajah Mada), karena menurut dongengan rawa itu dilalui oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada dalam perjalanan menuju Lhokseumawe dan Jambu Air, yang menjadi sasaran utama serangannya. Bukit Gajah yang terletak di pedalaman disebut demikian karena setelah mendarat, Gajah Mada beserta tentaranya langsung bergerak menuju bukit itu. Bukit di dekatnya bernama Meunta, perubahan dari nama Mada, karena di situlah tempat Gajah Mada membuat persiapan untuk menyerang Pasai.

Demikianlah beberapa nama tempat-tempat di Sumatera Utara yang agak mirip dengan nama Gajah Mada dan Majapahit, oleh karena itu mengingatkan peristiwa sejarah di sekitar tahun 1350 yakni serbuan Pasai oleh tentara Majapahit. Mengenai penundukan beberapa tempat di Tanjungpura atau Kalimantan terdapat pemberitaannya dalam Sejarah Dinasti Ming (Groeneveldt, W.P, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese source VBG XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya, Bhatara, Jakarta, 1960. hal. 112-113), yang kiranya patut dipercaya seperti berikut ini : “Kaisar Cina mengeluarkan pengumuman tentang pengangkatan Hiawang sebagai raja Pu-Nie untuk menggantikan ayahnya.

Hiawang dan pamannya konon memberitahukan bahwa kerajaannya setiap tahun mempersembahkan upeti sebanyak 40 kati kapur barus kepada raja Jawa. Mereka mohon agar Kaisar suka mengeluarkan pengumuman tentang pembatalan upeti tersebut, agar upeti tersebut dapat di kirim ke istana Kaisar …”. Pu-Nie biasa disamakan dengan Brunei, di bagian Kalimantan, dengan demikian jelaslah bahwa Brunei adalah merupakan kerajaan bawahan Majapahit pada pertengahan kedua abad empatbelas.

Hal ini sesuai dengan pemberitaan kakawin Negarakertagama dalam pupuh XIV/1 yang menyebut Barune. Penyebutan Kutei, dibagian Timur Kalimantan, terdapat dalam pupuh XII/1 sebagai Tanjung Kutei. Hubungan antara Kutei dan Majapahit diberitakan dalam Silsilah Kutei (Silsilah Kutei diterbitkan oleh Dr. C.A. Mees sebagai thesis Universitas Leiden di bawah judul De Kroniek van Kutei, Santpoort, 1928), sebagai berikut : “Kemudian Maharaja Sultan dan Maharaja Sakti berangkat ke Majapahit untuk mempelajari tatanegara Majapahit. Ikutlah bersama mereka ialah Maharaja Indra Mulia dari Mataram.

Tersebut perkataan Maharaja Sultan dua bersaudara di Majapahit. Mereka diajarkan tata-cara di Keraton dan adat yang dipakai oleh segala menteri. Tidak beberapa lama merekapun kembali ke Kutei. Sebuah keraton yang menurut tata-cara Jawa pun di dirikan. Sebuah pintu gerbang yang dibawa pulang dari Majapahit dijadikan hiasan keraton ini …..”. Dongengan tersebut jelas menunjukkan hubungan antara Kutei dan Majapahit yang mungkin sekali bertarikh dari pertengahan abad empat belas, di masa kejayaan Majapahit. Hubungan Banjar dan Kota Waringin di Kalimantan Selatan dengan Majapahit, diberitakan dalam Hikayat Banjar dan Kota Waringin (Hikayat Banjar dan Kota Waringin diterbutkan oleh Dr. A.A. Cense sebagai thesis Universitas Leiden di bawah judul De Kroniek van Bandjarmasin, Santpoort, 1928 ; dan oleh Dr. J.J. Ras di bawah judul Hikayat Banjar, The Haque, 1968), dalam bentuk perkawinan antara Puteri Junjun Buih, anak pungut Lembu Mangurat dan Raden Suryanata dari Majapahit seperti berikut : “Adapun raja Majapahit itu sesudah beroleh anak yang keluar dari matahari ini, masih beroleh enam anak lainnya dan negeri pun terlalu makmur.

Maka pada keesokan harinya Lembu Mangurat pun berangkat ke Majapahit dengan pengiring yang banyak sekali. Sesampainya di Majapahit, Lembu Mangurat diterima dengan baik. Permintaan Lembu Mangurat akan Raden Putra sebagai suami Puteri Junjung Buih juga dikabulkan. Maka kembalilah Lembu Mangurat ke negerinya, pesta besar-besaran disediakan untuk mengawinkan Puteri Junjung Buih dengan Raden Putera. Sebelum perkawinan dilangsungkan, suatu suara ghaib meminta Raden Putera menerima mahkota dari langit.

Mahkota itulah yang akan meresmikan Raden Putera menjadi raja secara turun-temurun. Hanya keturunannya yang diridhai Allah yang boleh memakai mahkota itu. Maka pesta perkawinanpun berlangsunglah. Adapun nama Raden Putera yang sebenarnya adalah Raden Suryanata yang artinya Raja Matahari ..”. Mengenai pulau-pulau di sebelah Timur Jawa, pertama-tama disebutkan pulau Bali yang telah ditundukkan pada tahun 1343, berikutnya pulau Lombok atau Gurun, yang dihuni oleh suku Sasak. Kedua pulau ini hingga sekarang menunjukkan adanya pengaruh kuat dari Majapahit, sehingga penguasaan Majapahit atas Bali dan Lombok tidak diragukan lagi.

Kota Dompo yang terletak di pulau Sumbawa, menurut Negarakertagama pupuh LXXII/3 dan kitab Pararaton telah ditundukkan oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Mpu Nala pada tahun 1357. Penemuan prasasti Jawa dari abad empat belas di pulau Sumbawa (G.P. Rouffaer, Notulen van de Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap, 1910, hal. 110-113 ; F.H van Naersen “Hindoe-Javaansche overblijfselen op Sumbawa” T.K.N.A.G, 1938, hal. 90), memperkuat pemberitaan Negarakertagama dan Pararaton di atas, sehingga penguasaan Jawa atas pulau Sumbawa tak dapat disangsikan lagi.

Prasasti tersebut adalah satu-satunya yang pernah diketemukan di kepulauan di luar Jawa. Rupanya Dompo dijadikan batu loncatan bagi Majapahit untuk menguasai pulau-pulau kecil lainnya di sebelah Timur sampai Wanin di pantai Barat Irian. Berbeda dengan di Sumatera dan Kalimantan, di daerah sebelah Timur Jawa, kecuali di Bali dan Lombok, tidak ada hikayat-hikayat daerah, oleh karenanya juga tidak terdapat dongengan tertulis tentang hubungan Majapahit dengan daerah-daerah tersebut. Daerah-daerah di luar Jawa yang dikuasai oleh Majapahit pada pertengahan abad keempatbelas sebagaimana yang diberitakan oleh Negarakertagama dalam pupuh XIII dan XIV adalah seperti berikut ini :

  • Di Sumatera : Jambi, Palembang, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Temiang, Parlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan, Lampung.Di Kalimantan (Tanjung Pura) : Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu, Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei, Malano.
  • Di Semenanjung Tanah Melayu (Hujung Medini) : Pahang, Langkasuka, Kelantan, Saiwang, Nagor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah, Jerai (Kesah Raja Marong Mahawangsa, Penerbitan Pustaka Antara, Kuala Lumpur 1965, hal. 79. “Akan pulau Serai itu pun juga hampirlah sangat bertemu dengan tanah darat besar ; maka akhirnya itulah yang disebut orang Gunong Jerai karena ia tersangat tinggi”’ Lihat juga Paul Wheatly, The Golden Khersonese, hal. 261).
  • Di sebelah Timur Jawa : Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung Api, Seram, Hutan Kadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Maluku, Wanin, Seran, Timor.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

AIRLANGGA 1 Jun 2011 9:13 PM (13 years ago)

PENDIRI KERAJAAN KAHURIPAN



Airlangga atau sering pula ditulis Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakimpoi Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya.

Perwujudan Raja Airlangga

Nama Airlangga sampai saat ini masih terkenal dalam berbagai cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai tempat di Indonesia.


SILSILAH KETURUNAN

Nama Airlangga berarti "Air yang melompat". Ia lahir tahun 990. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.

Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari Mpu Sindok dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.


MASA PELARIAN

Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Watan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora)[1], yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone).

Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006/7. Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.

Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.


Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk menaklukkan pulau Jawa.


MASA PEPERANGAN

Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa. Namun awalnya tidak berjalan dengan baik, karena menurut prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang). Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja Lewa.

Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula. Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala, dan membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita pada akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana. Terakhir tahun 1035, Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.



MASA PEMBANGUNAN

Kerajaan yang baru dengan pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo ini, wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).

Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.

  • Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
  • Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
  • Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
  • Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
  • Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
  • Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.

Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha. Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.


PEMBELAHAN KERAJAAN

Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.


Candi Jalatunda
Petirtan Airlangga


Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.


Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.

Candi Belahan

Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.



AKHIR PEMERINTAHAN


Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.

Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.


KAHURIPAN, DAHA ATAU PANJALU


Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibu kota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.


http://id.wikipedia.org/wiki/Airlangga

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

DEWI KILI SUCI 1 Jun 2011 6:37 PM (13 years ago)

SANGRAMAWIJAYA
PUTRI AIRLANGGA


Sanggramawijaya Tunggadewi adalah putri Airlangga yang menjadi pewaris takhta Kahuripan, namun memilih mengundurkan diri sebagai pertapa bergelar Dewi Kili Suci.


JABATAN SANGRAMAWIJAYA

Pada masa pemerintahan Airlangga, sejak kerajaan masih berpusat di Watan Mas sampai pindah ke Kahuripan, tokoh Sanggramawijaya menjabat sebagai rakryan mahamantri alias putri mahkota. Gelar lengkapnya ialah Rakryan Mahamantri i Hino Sanggramawijaya Dharmaprasada Uttunggadewi. Nama ini terdapat dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang I (1035).


Pura Penataran Agung Kili Suci

Pada prasasti Pucangan (1041) nama pejabat rakryan mahamantri sudah berganti Sri Samarawijaya. Saat itu pusat kerajaan sudah pindah ke Daha. Berdasarkan cerita rakyat, Sanggramawijaya mengundurkan diri menjadi pertapa di Gunung Pucangan bergelar Dewi Kili Suci.


KEISTIMEWAAN KILI SUCI

Tokoh Dewi Kili Suci dalam Cerita Panji dikisahkan sebagai sosok agung yang sangat dihormati. Ia sering membantu kesulitan pasangan Panji Inu Kertapati dan Galuh Candrakirana, keponakannya. Dewi Kili Suci juga dihubungkan dengan dongeng terciptanya Gunung Kelud. Dikisahkan semasa muda ia dilamar oleh seorang manusia berkepala kerbau bernama Mahesasura. Kili Suci bersedia menerima lamaran itu asalkan Mahesasura mampu membuatkannya sebuah sumur raksasa.


Sumur raksasa pun tercipta berkat kesaktian Mahesasura. Namun sayang, Mahesasura jatuh ke dalam sumur itu karena dijebak Kili Suci. Para prajurit Kadiri atas perintah Kili Suci menimbun sumur itu dengan batu-batuan, Timbunan batu begitu banyak sampai menggunung, dan terciptalah Gunung Kelud. Oleh sebab itu, apabila Gunung Kelud meletus, daerah Kediri selalu menjadi korban, sebagai wujud kemarahan arwah Mahesasura.

Goa Selomangkeng
Pertapaan Dewi Kili Suci


Dewi Kili Suci juga terdapat dalam Babad Tanah Jawi sebagai putri sulung Resi Gentayu raja Koripan. Kerajaan Koripan kemudian dibelah dua, menjadi Janggala dan Kadiri, yang masing-masing dipimpin oleh adik Kili Suci, yaitu Lembu Amiluhur dan Lembu Peteng. Kisah ini mirip dengan fakta sejarah, yaitu setelah Airlangga turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibagi dua, menjadi Kadiri yang dipimpin Sri Samarawijaya, serta Janggala yang dipimpin Mapanji Garasakan.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

RAJA JAYABAYA 1 Jun 2011 9:13 AM (13 years ago)

RAJA KEDIRI


Maharaja Jayabhaya adalah raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).


Pintu Gerbang Petilasan Jayabaya

Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.

Kemenangan Jayabhaya atas Janggala disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157. Nama besar Jayabhaya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa, sehingga namanya muncul dalam kesusastraan Jawa zaman Mataram Islam atau sesudahnya sebagai Prabu Joyoboyo.

Contoh naskah yang menyinggung tentang Prabu Joyoboyo adalah Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa. Dikisahkan Joyoboyo adalah titisan Wisnu. Negaranya bernama Widarba yang beribu kota di Mamenang. Ayahnya bernama Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari keluarga Pandawa. Permaisuri Joyoboyo bernama Dewi Sara. Lahir darinya Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti. Jayaamijaya menurunkan raja-raja tanah Jawa, bahkan sampai Majapahit dan Mataram Islam. Sedangkan Pramesti menikah dengan Astradarma raja Yawastina, melahirkan Anglingdarma raja Malawapati.

Joyoboyo turun takhta pada usia tua. Ia dikisahkan moksha di desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Tempat petilasannya tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat dan masih ramai dikunjungi sampai sekarang. Prabu Joyoboyo adalah tokoh yang identik dengan ramalan masa depan Nusantara. Terdapat beberapa naskah yang berisi “Ramalan Joyoboyo”, antara lain Serat Joyoboyo Musarar, Serat Pranitiwakya, dan lain sebagainya.

Kirab di Petilasan Jayabaya

Dikisahkan dalam Serat Joyoboyo Musarar, pada suatu hari Joyoboyo berguru pada seorang ulama bernama Maolana Ngali Samsujen. Dari ulama tersebut, Joyoboyo mendapat gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak zaman diisi oleh Aji Saka sampai datangnya hari Kiamat. Dari nama guru Joyoboyo di atas dapat diketahui kalau naskah serat tersebut ditulis pada zaman berkembangnya Islam di Pulau Jawa.

Tidak diketahui dengan pasti siapa penulis ramalan-ramalan Joyoboyo. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat saat itu untuk mematuhi ucapan tokoh besar. Maka, si penulis naskah pun mengatakan kalau ramalannya adalah ucapan langsung Prabu Joyoboyo, seorang raja besar dari Kediri. Tokoh pujangga besar yang juga ahli ramalan dari Surakarta bernama Ranggawarsita sering disebut sebagai penulis naskah-naskah Ramalan Joyoboyo. Akan tetapi, Ranggawarsita biasa menyisipkan namanya dalam naskah-naskah tulisannya, sedangkan naskah-naskah Ramalan Joyoboyo pada umumnya bersifat anonim.

Ramalan Joyoboyo atau sering disebut Jangka Joyoboyo adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Joyoboyo, raja Kerajaan Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yg dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga .Asal Usul utama serat jangka Joyoboyo dapat dilihat pada kitab Musasar yg digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yg menuliskan bahwasanya Joyoboyolah yg membuat ramalan-ramalan tersebut. “

Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Joyoboyo di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.” Meskipun demikian, kenyataannya dua pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Joyoboyo, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, sama sekali tidak menyebut dalam kitab-kitab mereka
:


Kakawin Bharatayuddha, Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya, bahwa Prabu Joyoboyo memiliki karya tulis. Kakawin Bharatayuddha hanya menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa yang disebut peperangan Bharatayuddha. Sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.

Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Joyoboyo, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M.

Jadi penulisan sumber ini sudah sejak jamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M). Kitab Jangka Joyoboyo pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah “Perdikan” yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak.

Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong. Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala jamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll.

Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn. Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).

Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam’iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada jamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M. Jangka Joyoboyo yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut “Kitab Asrar” Karangan Sunan Giri ke-3 tersebut.

Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu. Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak jaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedaton”. Giri Kedaton ini nampaknya Merupakan jaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M.

Namun demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai jaman Sunan Giri ke-3. Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M (882 H).

Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat julukan sebagai “Ratu Bobodo”) ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Syech Siti Jenar, yang juga hendak dibasmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup. Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura.

Di kelak kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya. Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah beliau turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti dijaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti beliau dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi.

Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia oleh Sultan Agung). Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Joyoboyo dari Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Joyoboyo di Daha/ Kediri.

Setelah mendapat pathokan/data baru, raja Joyoboyo yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan “JANGKA JOYOBOYO” dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad. Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari.

Cita-cita yang pujangga yang dilukiskan sebagai jaman keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh yang kini benama “REPUBLIK INDONESIA”!. Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng., cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I.

Jangka Joyoboyo dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Joyoboyo yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.

Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka Jayabaya ini ditulis kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini. Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.

Beliau sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja.
Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja negara-nya. Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum bernama, Sultan Maolana. Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita lain bangsa pantas dihormati.

Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu mengenai Kitab Musarar. Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya. Karena beliau telah mengerti kehendak Dewata. Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat tinggal menitis 3 kali. Kelak akan diletakkan dalam teken Sang Pandita yang ditinggal di Kakbah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah, Senjata ecis itu yang bernama Udharati. Kelak kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke P. Jawa membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa.

Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil putranya. Setelah sang putra datang lalu diajak ke gunung Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung. Di sana ada Ajar bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu Joyoboyo seorang raja yang berincoknito termasuk titisan Batara Wisnu. Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima sasmita gaib.

Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu dengan Ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi.Tergopoh-g opoh menghormati. Setelah duduk Ki Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya. Tujuh warna-warni dan lengkap delapan dengan endangnya. Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam, kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan kembang mojar satu bungkus. Kedelapan endang seorang.

Kemudian Ki Ajar menghaturkan sembah : “Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. Sang Prabu waspada kemudian menarik senjata kerisnya.
Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan raja putra kecewa melihat perbuatan ayahnya. Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian merekapun pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan putranya. Heh anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih muda. Dia itu sudah diwejang (diberitahu) oleh guru mengenai kitab Musarar. Sama seperti saya. Namun dia menyalahi janji, musnah raja-raja di P. Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa saya tinggal 3 kali lagi.

Bila sudah menitis tiga kali kemudian ada jaman lagi bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak mungkin berobah lagi. Diberi lambang Jaman Catur semune segara asat. Itulah Jenggala, Kediri, Singasari dan Ngurawan. Empat raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia diatas bumi. Menghancurkan keburukan. Setelah 100 tahun musnah keempat kerajaan tersebut. Kemudian ada jaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya sudah terpisah dengan saudara-saudara ditempat yang rahasia.

Di dalam teken sang guru Maolana Ngali. Demikian harap diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada jaman Anderpati yang bernama Kala-wisesa. Lambangnya: Sumilir naga kentir semune liman pepeka. Itu negara Pajajaran. Negara tersebut tanpa keadilan dan tata negara, Setelah seratus tahun kemudian musnah. Sebab berperang dengan saudara. Hasil bumi diberi pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari ki Ajar. Kemudian berganti jaman di Majapahit dengan rajanya Prabu Brawijaya.

Demikian nama raja bergelar Sang Rajapati Dewanata. Alamnya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun). Hasil negara berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar. Hidangannya Jadah satu takir. Lambangnya waktu itu Sima galak semune curiga ketul. Kemudian berganti jaman lagi. Di Gelagahwangi dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar Diyati Kalawisaya. Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa uang. Temyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar.

Negara tersebut diberi lambang: Kekesahan durung kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti jaman Kalajangga. Beribukota Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36 tahun kemudian musnah. Negara ini diberi lambang: cangkrama putung watange. Orang di desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu memberi hidangan sebatang pohon kajar. Kemudian berganti jaman di Mataram. Kalasakti Prabu Anyakrakusuma. Dicintai pasukannya. Kuat angkatan perangnya dan kaya, disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan wali serta pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.

Raja perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat kena pajak reyal. Sebab waktu itu saya mendapat hidangan bawang putih dari ki Ajar. Rajanya diberi gelar: Sura Kalpa semune lintang sinipat. Kemudian berganti lagi dengan lambang: Kembang sempol Semune modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan diberi lambang Kalpa sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu. Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang.

Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga terpandang di pulau Jawa. Jaman sudah berganti meskipun masih keturunan Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang. Raja berpasukan campur aduk. Disegani setanah Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan gelar Layon keli semune satriya brangti. Kemudian berganti raja yang bergelar: semune kenya musoni. Tidak lama kemudian berganti.

Nama rajanya Lung Gadung Rara Nglikasi(Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita) kemudian berganti Gajah Meta Semune Tengu Lelaki (Raja yang disegani/ditakuti, namun nista.) Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan. Waktu itu pajaknya rakyat adalah Uang anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat ditolak.

Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka(Raja-raja yang saling balas dendam.). Lambangnya Panji Loro Semune Pajang Mataram(Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan). Nakhoda (Orang asing)ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu , randa loro nututi pijer tetukar(( Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya).

Tidak berkesempatan menghias diri(Raja yang tidak sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan ), sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut. Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat makin menjadi-jadi Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan negara.

Hukum dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan orang tua. Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada tanda negara pecah. Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian raja Kara Murka Kutila musnah.

Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang(Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di bumi Mekah(Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan. Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa(Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa (kawruh Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.

Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.


RAMALAN JOYOBOYO
  • Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran — Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
  • Tanah Jawa kalungan wesi — Pulau Jawa berkalung besi.
  • Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang — Perahu berjalan di angkasa.
  • Kali ilang kedhunge — Sungai kehilangan mata air.
  • Pasar ilang kumandhang — Pasar kehilangan suara.
  • Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak — Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
  • Bumi saya suwe saya mengkeret — Bumi semakin lama semakin mengerut.
  • Sekilan bumi dipajeki — Sejengkal tanah dikenai pajak.
  • Jaran doyan mangan sambel — Kuda suka makan sambal.
  • Wong wadon nganggo pakeyan lanang — Orang perempuan berpakaian lelaki.
  • Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman— Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik
  • Akeh janji ora ditetepi — Banyak janji tidak ditepati.
  • keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe— Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri.
  • Manungsa padha seneng nyalah— Orang-orang saling lempar kesalahan.
  • Ora ngendahake hukum Hyang Widhi— Tak peduli akan hukum Hyang Widhi.
  • Barang jahat diangkat-angkat— Yang jahat dijunjung-junjung.
  • Barang suci dibenci— Yang suci (justru) dibenci.
  • Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit— Banyak orang hanya mementingkan uang.
  • Lali kamanungsan— Lupa jati kemanusiaan.
  • Lali kabecikan— Lupa hikmah kebaikan.
  • Lali sanak lali kadang— Lupa sanak lupa saudara.
  • Akeh bapa lali anak— Banyak ayah lupa anak.
  • Akeh anak wani nglawan ibu— Banyak anak berani melawan ibu.
  • Nantang bapa— Menantang ayah.
  • Sedulur padha cidra— Saudara dan saudara saling khianat.
  • Kulawarga padha curiga— Keluarga saling curiga.
  • Kanca dadi mungsuh — Kawan menjadi lawan.
  • Akeh manungsa lali asale — Banyak orang lupa asal-usul.
  • Ukuman Ratu ora adil — Hukuman Raja tidak adil
  • Akeh pangkat sing jahat lan ganjil— Banyak pejabat jahat dan ganjil
  • Akeh kelakuan sing ganjil — Banyak ulah-tabiat ganjil
  • Wong apik-apik padha kapencil — Orang yang baik justru tersisih.
  • Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin — Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
  • Luwih utama ngapusi — Lebih mengutamakan menipu.
  • Wegah nyambut gawe — Malas untuk bekerja.
  • Kepingin urip mewah — Inginnya hidup mewah.
  • Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka — Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
  • Wong bener thenger-thenger — Orang (yang) benar termangu-mangu.
  • Wong salah bungah — Orang (yang) salah gembira ria.
  • Wong apik ditampik-tampik— Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
  • Wong jahat munggah pangkat— Orang (yang) jahat naik pangkat.
  • Wong agung kasinggung— Orang (yang) mulia dilecehkan
  • Wong ala kapuja— Orang (yang) jahat dipuji-puji.
  • Wong wadon ilang kawirangane— perempuan hilang malu.
  • Wong lanang ilang kaprawirane— Laki-laki hilang jiwa kepemimpinan.
  • Akeh wong lanang ora duwe bojo— Banyak laki-laki tak mau beristri.
  • Akeh wong wadon ora setya marang bojone— Banyak perempuan ingkar pada suami.
  • Akeh ibu padha ngedol anake— Banyak ibu menjual anak.
  • Akeh wong wadon ngedol awake— Banyak perempuan menjual diri.
  • Akeh wong ijol bebojo— Banyak orang gonta-ganti pasangan.
  • Wong wadon nunggang jaran— Perempuan menunggang kuda.
  • Wong lanang linggih plangki— Laki-laki naik tandu.
  • Randha seuang loro— Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen).
  • Prawan seaga lima— Lima perawan lima picis.
  • Dhudha pincang laku sembilan uang— Duda pincang laku sembilan uang.
  • Akeh wong ngedol ngelmu— Banyak orang berdagang ilmu.
  • Akeh wong ngaku-aku— Banyak orang mengaku diri.
  • Njabane putih njerone dhadhu— Di luar putih di dalam jingga.
  • Ngakune suci, nanging sucine palsu— Mengaku suci, tapi palsu belaka.
  • Akeh bujuk akeh lojo— Banyak tipu banyak muslihat.
  • Akeh udan salah mangsa— Banyak hujan salah musim.
  • Akeh prawan tuwa— Banyak perawan tua.
  • Akeh randha nglairake anak— Banyak janda melahirkan bayi.
  • Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne— Banyak anak lahir mencari bapaknya.
  • Agama akeh sing nantang— Agama banyak ditentang.
  • Prikamanungsan saya ilang— Perikemanusiaan semakin hilang.
  • Omah suci dibenci— Rumah suci dijauhi.
  • Omah ala saya dipuja— Rumah maksiat makin dipuja.
  • Wong wadon lacur ing ngendi-endi— Perempuan lacur dimana-mana.
  • Akeh laknat— Banyak kutukan
  • Akeh pengkianat— Banyak pengkhianat.
  • Anak mangan bapak—Anak makan bapak.
  • Sedulur mangan sedulur—Saudara makan saudara.
  • Kanca dadi mungsuh—Kawan menjadi lawan.
  • Guru disatru—Guru dimusuhi.
  • Tangga padha curiga—Tetangga saling curiga.
  • Kana-kene saya angkara murka — Angkara murka semakin menjadi-jadi.
  • Sing weruh kebubuhan—Barangsiapa tahu terkena beban.
  • Sing ora weruh ketutuh—Sedang yang tak tahu disalahkan.
  • Besuk yen ana peperangan—Kelak jika terjadi perang.
  • Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor—Datang dari timur, barat, selatan, dan utara.
  • Akeh wong becik saya sengsara— Banyak orang baik makin sengsara.
  • Wong jahat saya seneng— Sedang yang jahat makin bahagia.
  • Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul— Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
  • Wong salah dianggep bener—Orang salah dipandang benar.
  • Pengkhianat nikmat—Pengkhianat nikmat.
  • Durjana saya sempurna— Durjana semakin sempurna.
  • Wong jahat munggah pangkat— Orang jahat naik pangkat.
  • Wong lugu kebelenggu— Orang yang lugu dibelenggu.
  • Wong mulya dikunjara— Orang yang mulia dipenjara.
  • Sing curang garang— Yang curang berkuasa.
  • Sing jujur kojur— Yang jujur sengsara.
  • Pedagang akeh sing keplarang— Pedagang banyak yang tenggelam.
  • Wong main akeh sing ndadi—Penjudi banyak merajalela.
  • Akeh barang haram—Banyak barang haram.
  • Akeh anak haram—Banyak anak haram.
  • Wong wadon nglamar wong lanang—Perempuan melamar laki-laki.
  • Wong lanang ngasorake drajate dhewe—Laki-laki memperhina derajat sendiri.
  • Akeh barang-barang mlebu luang—Banyak barang terbuang-buang.
  • Akeh wong kaliren lan wuda—Banyak orang lapar dan telanjang.
  • Wong tuku ngglenik sing dodol—Pembeli membujuk penjual.
  • Sing dodol akal okol—Si penjual bermain siasat.
  • Wong golek pangan kaya gabah diinteri—Mencari rizki ibarat gabah ditampi.
  • Sing kebat kliwat—Yang tangkas lepas.
  • Sing telah sambat—Yang terlanjur menggerutu.
  • Sing gedhe kesasar—Yang besar tersasar.
  • Sing cilik kepleset—Yang kecil terpeleset.
  • Sing anggak ketunggak—Yang congkak terbentur.
  • Sing wedi mati—Yang takut mati.
  • Sing nekat mbrekat—Yang nekat mendapat berkat.
  • Sing jerih ketindhih—Yang hati kecil tertindih
  • Sing ngawur makmur—Yang ngawur makmur
  • Sing ngati-ati ngrintih—Yang berhati-hati merintih.
  • Sing ngedan keduman—Yang main gila menerima bagian.
  • Sing waras nggagas—Yang sehat pikiran berpikir.
  • Wong tani ditaleni—Orang (yang) bertani diikat.
  • Wong dora ura-ura—Orang (yang) bohong berdendang.
  • Ratu ora netepi janji, musna panguwasane—Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
  • Bupati dadi rakyat—Pegawai tinggi menjadi rakyat.
  • Wong cilik dadi priyayi—Rakyat kecil jadi priyayi.
  • Sing mendele dadi gedhe—Yang curang jadi besar.
  • Sing jujur kojur—Yang jujur celaka.
  • Akeh omah ing ndhuwur jaran—Banyak rumah di punggung kuda.
  • Wong mangan wong—Orang makan sesamanya.
  • Anak lali bapak—Anak lupa bapa.
  • Wong tuwa lali tuwane—Orang tua lupa ketuaan mereka.
  • Pedagang adol barang saya laris—Jualan pedagang semakin laris.
  • Bandhane saya ludhes—Namun harta mereka makin habis.
  • Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan—Banyak orang mati lapar di samping makanan.
  • Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara—Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
  • Sing edan bisa dandan—Yang gila bisa bersolek.
  • Sing bengkong bisa nggalang gedhong—Si bengkok membangun mahligai.
  • Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil—Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
  • Ana peperangan ing njero—Terjadi perang di dalam.
  • Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham—Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
  • Durjana saya ngambra-ambra—Kejahatan makin merajalela.
  • Penjahat saya tambah—Penjahat makin banyak.
  • Wong apik saya sengsara—Yang baik makin sengsara.
  • Akeh wong mati jalaran saka peperangan—Banyak orang mati karena perang.
  • Kebingungan lan kobongan—Karena bingung dan kebakaran.
  • Wong bener saya thenger-thenger—Si benar makin tertegun.
  • Wong salah saya bungah-bungah—Si salah makin sorak sorai.
  • Akeh bandha musna ora karuan lungane—Banyak harta hilang entah ke mana
  • Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe—Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
  • Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram—Banyak barang haram, banyak anak haram.
  • Bejane sing lali, bejane sing eling—Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
  • Nanging sauntung-untunge sing lali—Tapi betapapun beruntung si lupa.
  • Isih untung sing waspada—Masih lebih beruntung si waspada.
  • Angkara murka saya ndadi—Angkara murka semakin menjadi.
  • Kana-kene saya bingung—Di sana-sini makin bingung.
  • Pedagang akeh alangane—Pedagang banyak rintangan.
  • Akeh buruh nantang juragan—Banyak buruh melawan majikan.
  • Juragan dadi umpan—Majikan menjadi umpan.
  • Sing suwarane seru oleh pengaruh—Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.
  • Wong pinter diingar-ingar—Si pandai direcoki.
  • Wong ala diuja—Si jahat dimanjakan.
  • Wong ngerti mangan ati—Orang yang mengerti makan hati.
  • Bandha dadi memala—Harta benda menjadi penyakit
  • Pangkat dadi pemikat—Pangkat menjadi pemukau.
  • Sing sawenang-wenang rumangsa menang — Yang sewenang-wenang merasa menang
  • Sing ngalah rumangsa kabeh salah—Yang mengalah merasa serba salah.
  • Ana Bupati saka wong sing asor imane—Ada raja berasal orang beriman rendah.
  • Patihe kepala judhi—Maha menterinya benggol judi.
  • Wong sing atine suci dibenci—Yang berhati suci dibenci.
  • Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat—Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
  • Pemerasan saya ndadra—Pemerasan merajalela.
  • Maling lungguh wetenge mblenduk — Pencuri duduk berperut gendut.
  • Pitik angrem saduwure pikulan—Ayam mengeram di atas pikulan.
  • Maling wani nantang sing duwe omah—Pencuri menantang si empunya rumah.
  • Begal pada ndhugal—Penyamun semakin kurang ajar.
  • Rampok padha keplok-keplok—Perampok semua bersorak-sorai.
  • Wong momong mitenah sing diemong—Si pengasuh memfitnah yang diasuh
  • Wong jaga nyolong sing dijaga—Si penjaga mencuri yang dijaga.
  • Wong njamin njaluk dijamin—Si penjamin minta dijamin.
  • Akeh wong mendem donga—Banyak orang mabuk doa.
  • Kana-kene rebutan unggul—Di mana-mana berebut menang.
  • Angkara murka ngombro-ombro—Angkara murka menjadi-jadi.
  • Agama ditantang—Agama ditantang.
  • Akeh wong angkara murka—Banyak orang angkara murka.
  • Nggedhekake duraka—Membesar-besarkan durhaka.
  • Ukum agama dilanggar—Hukum agama dilanggar.
  • Prikamanungsan di-iles-iles—Perikemanusiaan diinjak-injak.
  • Kasusilan ditinggal—Tata susila diabaikan.
  • Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi—Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
  • Wong cilik akeh sing kepencil—Rakyat kecil banyak tersingkir.
  • Amarga dadi korbane si jahat sing jajil—Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
  • Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit—Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
  • Lan duwe prajurit—Dan punya prajurit.
  • Negarane ambane saprawolon—Lebar negeri seperdelapan dunia.
  • Tukang mangan suap saya ndadra—Pemakan suap semakin merajalela.
  • Wong jahat ditampa—Orang jahat diterima.
  • Wong suci dibenci—Orang suci dibenci.
  • Timah dianggep perak—Timah dianggap perak.
  • Emas diarani tembaga—Emas dibilang tembaga
  • Dandang dikandakake kuntul—Gagak disebut bangau.
  • Wong dosa sentosa—Orang berdosa sentosa.
  • Wong cilik disalahake—Rakyat jelata dipersalahkan.
  • Wong nganggur kesungkur—Si penganggur tersungkur.
  • Wong sregep krungkep—Si tekun terjerembab.
  • Wong nyengit kesengit—Orang busuk hati dibenci.
  • Buruh mangluh—Buruh menangis.
  • Wong sugih krasa wedi—Orang kaya ketakutan.
  • Wong wedi dadi priyayi—Orang takut jadi priyayi.
  • Senenge wong jahat—Berbahagialah si jahat.
  • Susahe wong cilik—Bersusahlah rakyat kecil.
  • Akeh wong dakwa dinakwa—Banyak orang saling tuduh.
  • Tindake manungsa saya kuciwa—Ulah manusia semakin tercela.
  • Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi—Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
  • Wong Jawa kari separo—Orang Jawa tinggal setengah.
  • Landa-Cina kari sejodho — Belanda-Cina tinggal sepasang.
  • Akeh wong ijir, akeh wong cethil—Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
  • Sing eman ora keduman—Si hemat tidak mendapat bagian.
  • Sing keduman ora eman—Yang mendapat bagian tidak berhemat.
  • Akeh wong mbambung—Banyak orang berulah dungu.
  • Akeh wong limbung—Banyak orang limbung.
  • Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka—Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman

PETILASAN JOYOBOYO

Petilasan Sri Aji Joyoboyo terletak di desa Menang, Pagu, kabupaten Kediri, Jawa Timur, sekitar ± 8 km ke arah timur dari kota Kediri. Jadilah tempat dimana Sri Aji Joyoboyo loka mukso. Loka mukso artinya hilang bersama dengan jasadnya.

Saat ini setiap 1 Suro diadakan upacara adat yang dilakukan oleh Yayasan Hontodento – Yogyakarta bersama dengan pemerintah kabupaten Kediri, dan menjadi obyek wisata yang selalu penuh pengunjungnya. Di obyek wisata ini pengunjung dapat menyaksikan bangunan peninggalan kerajaan Kediri, seperti tempat mukso, bangunan balai – balai dan kuluk dengan tinggi 4 meter.

Upacara adat itu berupa kirab atau iring-iringan dari kraton Yogyakarta. Kirab Tombak Kiai Bimo menjadi salah satu ritual di dalamnya. Sekitar 500 orang yang menghadirinya berebut kembang sisa ritual, dengan harapan menjadi berkah dalam kehidupannya.

Tombak Kiai Bimo sendiri merupakan salah satu peninggalam Prabu Sri Aji Joyoboyo yang penemuannya terjadi hampir bersamaan dengan ditemukannya petilasan tempat Prabu Joyoboyo muksa. Pusaka ini berwujud kayu melengkung yang terbuat dari batang pohon sambi, yang konon berdiri di sekitar petilasan. Selama ini Tombak Kiai Bimo disimpan di Kantor Yayasan Hontodento yang didirikan sekelompok orang pengikut setia sang prabu, dan berkedudukan di Yogyakarta.

Kirab Tombak Kiai Bimo sendiri diawali dari Balai Desa Pamenang ke lokasi pamuksan yang berjarak sekitar 300 meter. Sesampainya di lokasi, kegiatan dilanjutkan dengan tabur kembang setaman oleh 16 bocah perempuan yang belum baligh, sehingga diyakini masih suci. Setelah tabur bunga oleh 16 bocah, acara puncak diawali dengan pemanjatan niat oleh pimpinan ritual, caos dahar berupa tabur bunga oleh pengurus Yayasan Hontodento, dan diakhiri dengan penyemayaman Tombak Kiai Bimo di lokasi pamuksan, sebelum akhirnya dibawa kembali ke Balai Desa Pamenang dan disimpan ulang di Yogyakarta.

Seiring berakhirnya ritual, ratusan orang yang hadir di dalamnya diizinkan berebut kembang setaman dan melati yang disebar di lokasi pamuksan dan halaman di sekitarnya. Muncul kepercayaan, kembang tersebut akan menghadirkan ketenangan dalam menjalani hidup, serta memudahkan untuk terkabulkannya sebuah permintaan. Menurut cerita, Tirta Kamandanu ini adalah tempat mandinya atau bersucinya Sri Aji Jayabaya sebelum beliau muksa.

Beberapa tahun yang lalu, sumber air di Tirta Kamandanu ini masih mengeluarkan air, tapi entah mengapa sekarang sumber air itu ditutup dengan batu, kolamnya kering.(wikipedia)

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

RANGGALAWE 31 May 2011 8:12 AM (13 years ago)



Ranggalawe adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit, namun meninggal sebagai "pemberontak" pertama dalam sejarah kerajaan ini. Nama besarnya dikenang sebagai pahlawan oleh masyarakat Tuban, Jawa Timur, sampai saat ini.



PERAN AWAL

Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menyebut Ranggalawe sebagai putra Arya Wiraraja Bupati Songeneb (nama lama Sumenep). Ia sendiri bertempat tinggal di Tanjung, yang terletak di Pulau Madura sebelah barat.


Pada tahun 1292 Ranggalawe dikirim ayahnya untuk membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik (di sebelah barat Tarik, Sidoarjo sekarang) menjadi sebuah desa pemukiman bernama Majapahit. Konon, nama Ranggalawe sendiri merupakan pemberian Raden Wijaya. Lawe merupakan sinonim dari wenang, yang berarti "benang", atau dapat juga bermakna "kekuasaan". Maksudnya ialah, Ranggalawe diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut.

Ranggalawe juga menyediakan 27 ekor kuda dari Sumbawa sebagai kendaraan perang Raden Wijaya dan para pengikutnya dalam perang melawan Jayakatwang raja Kadiri.Penyerangan terhadap ibukota Kadiri oleh gabungan pasukan Majapahit=Mongol terjadi pada 1293. Ranggalawe berada dalam pasukan yang menggempur benteng timur kota Kadiri. Ia berhasil menewaskan pemimpin benteng tersebut yang bernama Sagara Winotan.


JABATAN DI MAJAPAHIT
Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya menjadi raja pertama Kerajaan Majapahit. Menurut Kidung Ranggalawe, atas jasa-jasanya dalam perjuangan, Ranggalawe diangkat sebagai bupati Tuban yang merupakan pelabuhan utama Jawa Timur saat itu. Prasasti Kudadu tahun 1294 yang memuat daftar nama para pejabat Majapahit pada awal berdirinya, ternyata tidak mencantumkan nama Ranggalawe. Yang ada ialah nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja. Menurut Pararaton, Arya Adikara adalah nama lain Arya Wiraraja. Namun Prasasti Kudadu menyebut dengan jelas bahwa keduanya adalah nama dua orang tokoh yang berbeda.


Muljana mengidentifikasi Arya Adikara sebagai nama lain Ranggalawe. Dalam tradisi Jawa ada istilah nunggak semi, yaitu nama ayah kemudian dipakai anak. Jadi, nama Arya Adikara yang merupakan nama lain Arya Wiraraja, kemudian dipakai sebagai nama gelar Ranggalawe ketika dirinya diangkat sebagai pejabat Majapahit.

Dalam Prasasti Kudadu, ayah dan anak tersebut sama-sama menjabat sebagai pasangguhan, yang keduanya masing-masing bergelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara.


TAHUN PEMBERONTAKAN


Pararaton menyebut pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1295, namun dikisahkan sesudah kematian Raden Wijaya. Menurut naskah ini, pemberontakan tersebut bersamaan dengan Jayanagara naik takhta. Sedangkan menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia dan digantikan kedudukannya oleh Jayanagara terjadi pada tahun 1309. Akibatnya, sebagian sejarawan berpendapat bahwa pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1309, bukan 1295.

Seolah-olah pengarang Pararaton melakukan kesalahan dalam penyebutan angka tahun. Nagarakretagama juga mengisahkan bahwa pada 1295 Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di istana Daha. Selain itu Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe dengan jelas menceritakan bahwa pemberontakan Ranggalawe terjadi pada masa pemerintahan Raden Wijaya, bukan Jayanagara.


Fakta lain menunjukkan, nama Arya Wiraraja dan Arya Adikara sama-sama terdapat dalam Prasasti Kudadu tahun 1294, namun kemudian keduanya sama-sama tidak terdapat lagi dalam Prasasti Sukamreta tahun 1296. Ini pertanda bahwa Arya Adikara alias Ranggalawe kemungkinan besar memang meninggal pada tahun 1295, sedangkan Arya Wiraraja diduga mengundurkan diri dari pemerintahan setelah kematian anaknya itu.

Jadi, kematian Ranggalawe terjadi pada tahun 1295 bertepatan dengan pengangkatan Jayanagara putra Raden Wijaya sebagai raja muda. Dalam hal ini pengarang Pararaton tidak melakukan kesalahan dalam menyebut tahun, hanya saja salah menempatkan pembahasan peristiwa tersebut.

Sementara itu Nagarakretagama yang dalam banyak hal memiliki data lebih akurat dibanding Pararaton, sama sekali tidak membahas pemberontakan Ranggalawe. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah ini merupakan sastra pujian sehingga penulisnya, Mpu Prapanca, merasa tidak perlu menceritakan pemberontakan seorang pahlawan yang dianggapnya sebagai aib.


JALANNYA PERTEMPURAN


Pararaton mengisahkan Ranggalawe memberontak terhadap Kerajaan Majapahit karena dihasut seorang pejabat licik bernama Mahapati. Kisah yang lebih panjang terdapat dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe. Pemberontakan tersebut dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan patih. Menurut Ranggalawe, jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih berjasa dalam perjuangan daripada Nambi.

Ranggalawe yang bersifat pemberani dan emosional suatu hari menghadap Raden Wijaya di ibukota dan langsung menuntut agar kedudukan Nambi digantikan Sora. Namun Sora sama sekali tidak menyetujui hal itu dan tetap mendukung Nambi sebagai patih.

Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe membuat kekacauan di halaman istana. Sora keluar menasihati Ranggalawe, yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada raja. Namun Ranggalawe memilih pulang ke Tuban. Oleh Mahapati yang licik, Nambi diberitahu bahwa Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan di Tuban. Maka atas izin raja, Nambi berangkat memimpin pasukan Majapahit didampingi Lembu Sora dan Kebo Anabrang untuk menghukum Ranggalawe.

Mendengar datangnya serangan, Ranggalawe segera menyiapkan pasukannya. Ia menghadang pasukan Majapahit di dekat Sungai Tambak Beras. Perang pun terjadi di sana. Ranggalawe bertanding melawan Kebo Anabrang di dalam sungai. Kebo Anabrang yang pandai berenang akhirnya berhasil membunuh Ranggalawe secara kejam. Melihat keponakannya disiksa sampai mati, Lembu Sora merasa tidak tahan. Ia pun membunuh Kebo Anabrang dari belakang. Pembunuhan terhadap rekan inilah yang kelak menjadi penyebab kematian Sora pada tahun 1300.


SILSILAH RANGGALAWE


Kidung Ranggalawe dan Kidung Panji Wijayakrama menyebut Ranggalawe memiliki dua orang istri bernama Martaraga dan Tirtawati. Mertuanya adalah gurunya sendiri, bernama Ki Ajar Pelandongan. Dari Martaraga lahir seorang putra bernama Kuda Anjampiani.

Kedua naskah di atas menyebut ayah Ranggalawe adalah Arya Wiraraja. Sementara itu, Pararaton menyebut Arya Wiraraja adalah ayah Nambi. Kidung Harsawijaya juga menyebutkan kalau putra Wiraraja yang dikirim untuk membantu pembukaan Hutan Tarik adalah Nambi, sedangkan Ranggalawe adalah perwira Kerajaan Singasari yang kemudian menjadi patih pertama Majapahit.

Uraian Kidung Harsawijaya terbukti keliru karena berdasarkan Prasasti Sukamreta tahun 1296 diketahui nama patih pertama Majapahit adalah Nambi, bukan Ranggalawe. Nama ayah Nambi menurut Kidung Sorandaka adalah Pranaraja. Brandes menganggap Pranaraja dan Wiraraja adalah orang yang sama. Namun, menurut Muljana keduanya sama-sama disebut dalam Prasasti Kudadu sebagai dua orang tokoh yang berbeda. Menurut Muljana, Nambi adalah putra Pranaraja, sedangkan Ranggalawe adalah putra Wiraraja. Hal ini ditandai dengan kemunculan nama Arya Wiraraja dan Arya Adikara dalam Prasasti Kudadu, dan keduanya sama-sama menghilang dalam prasasti Sukamreta sebagaimana telah dibahas di atas.


DALAM DONGENG


Nama besar Ranggalawe rupanya melekat dalam ingatan masyarakat Jawa. Penulis Serat Damarwulan atau Serat Kanda, mengenal adanya nama Ranggalawe namun tidak mengetahui dengan pasti bagaimana kisah hidupnya. Maka, ia pun menempatkan tokoh Ranggalawe hidup sezaman dengan Damarwulan dan Menak Jingga. Damarwulan sendiri merupakan tokoh fiksi, karena kisahnya tidak sesuai dengan bukti-bukti sejarah, serta tidak memiliki prasasti pendukung.


Dalam versi dongeng ini, Ranggalawe dikisahkan sebagai Adipati Tuban yang juga merangkap sebagai panglima angkatan perang Majapahit pada masa pemerintahan Ratu Kencanawungu. Ketika Majapahit diserang oleh Menak Jingga adipati Blambangan, Ranggalawe ditugasi untuk menghadangnya. Dalam perang tersebut, Menak Jingga tidak mampu membunuh Ranggalawe karena selalu terlindung oleh payung pusakanya. Maka, Menak Jingga pun terlebih dulu membunuh abdi pemegang payung Ranggalawe yang bernama Wongsopati. Baru kemudian, Ranggalawe dapat ditewaskan oleh Menak Jingga.

Tokoh Ranggalawe dalam kisah ini memiliki dua orang putra, bernama Siralawe dan Buntarlawe, yang masing-masing kemudian menjadi bupati di Tuban dan Bojonegoro.


Kepustakaan

  1. Muljana, Slamet. 2006. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Yogyakarta: LKiS.
  2. 2005. Menuju Puncak Kemegahan. Yogyakarta: LKiS.
  3. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara.
  4. Yogyakarta: LKiS. http://id.wikipedia.org/wiki/Ranggal..._pemberontakan

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

SITUS YONI PENINGGALAN MAJAPAHIT 30 May 2011 3:49 AM (13 years ago)

YONI KLINTERJO

Situs ini terletak di Desa Klinterjo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, situs ini lebih dikenal dengan sebutan Situs Watu Ombo atau Situs Resi Maudoro. Pusat situs adalah sebuah bangunan kuno yang terbuat dari batu andesit berbentuk Yoni, berukuran 1,90 m x 1,8 m dengan tinggi sekitar 1,24 m.


Yoni ini penuh hiasan dan pada salah satu sisinya terpahat angka tahun 1293 Saka (1372 M). Berdasarkan penuturan Kitab Pararaton, angka tahun tersebut adalah merupakan angka tahun meninggalnya ibunda Raja Hayamwuruk (Tribhuwana Tunggadewi atau Rani Kahuripan).

Di bagian lain dari kompleks Yoni Klinterjo ini terdapat sebuah sandaran batu yang besar (terkenal dengan sebutan Watu Ombo), yang menurut cerita akan dipahatkan arca perwujudan Tribhuwanottunggadewi, tetapi belum sempat terselesaikan.


SITUS YONI SEDAH


YONI berhiaskan Naga Raja teronggok di tengah sawah di Dusun Sedah, Desa Japanan, Kecamatan Mojowarno, Jombang, Jawa Timur. Naga Raja adalah binatang mitologi jelmaan Dewa Wasuki dalam kitab Mahabharata. Tubuh naga itu membelit Gunung Mandara.

Kedua ujungnya ditarik dewa dan daitya (raksasa), sehingga gunung tersebut berputar mengebor air kehidupan. Yoni ini adalah yoni terbesar ke dua setelah Yoni Klinterjo yang terdapat di desa Klinterjo, Trowulan, Mojokerto.

Petilasan/yoni di Sedah (Japanan) ini diyakini sebagai batas barat daya ibu kota kerajaan Majapahit.


SITUS YONI BADAS

Kompleks bangunan di bagian barat laut diperkirakan terdapat di wilayah Jombang juga, tepatnya di Dusun Tugu dan Dusun Badas, Kecamatan Sumobito.

Di lokasi ini tersebar beberapa struktur bata, tetapi belum dilakukan penggalian secara intensif. Sayangnya pula, sejauh penelusuran di lapangan, tidak ditemukan yoni kerajaan berpahat nagaraja, kecuali sebuah yoni kecil polos dan sederhana, yang ditemukan di tepi jalur rel kereta api, setelah beberapa kali dipindahkan penduduk.

Berikut ini foto perkiraan Yoni Badas, yang saat ini tersimpan di Museum Nasional, Jakarta.


Di gedung lama Museum Nasional (pada tahun 1994 pemerintah membangun gedung baru dengan style yang sama dengan gedung asli di sebelah Utaranya), tepatnya di depan arca raksasa Bhairawa Budha dari Padang Roco, pada bagian tengah selasar yang tak beratap, teronggok sebuah Yoni dengan nomor inventaris 366a, yoni tersebut dihias dengan pahatan sulur-suluran yang cukup kaya, berhiaskan relief Naga Raja pada bagian ceratnya dan berbentuk segi delapan. Sayangnya, selain nomor inventaris di badan yoni, tidak terdapat keterangan apapun mengenai keberadaan benda unik tersebut

Yoni Lebak-Jabung (ukiran Naga Rajanya telah rusak).


SITUS YONI LEBAK JABUNG


Situs Umpak Batu dan Yoni Lebak Jabung terletak di Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo. Situs ini berupa batu umpak yang berjajar (tiga baris berjumlah 33 buah) memanjang dari utara ke selatan yang diperkirakan merupakan semacam pondasi sebuah pedopo (jaba, balai bengong -Bali-). Dan di bagian jeroan (pusatnya) telah ditemukan sebuah Yoni yang diduga merupakan tanda batas ibukota Mojopahit sebelah Selatan Timur. Sekarang Yoni tersebut disimpan di Museum Trowulan.

Yoni Lebak Jabung tersebut, tersimpan di Museum Trowulan, Mojokerto.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

PURA MASCETI 29 May 2011 11:10 PM (13 years ago)

PENINGGALAN KERAJAAN BEDULU




PURA Masceti berstatus Pura Kahyangan Jagat, kerap didatangi oleh umat dari sejebag jagat Bali. Pura Masceti yang terletak di tepian pantai Desa Medahan-Keramas, Blahbatuh, Gianyar, kerap menjadi tempat mencari keheningan jiwa. Pura suci yang berusia tua yang juga merupakan kisah tapak tilas Dhang Hyang Dwijendra ini ramai dikunjungi di saat hari suci umat Hindu.

Setiap hari Purnama,
Tilem, Siwaratri bahkan saat diselenggarakan piodalan pada Anggarkasih, Medangsia jejalan umat selalu memadati pura untuk melakukan persembahyangan.

Liukan ombak pantai yang memecahkan karang menandakan kebesaran Tuhan yang tiada tandingannya. Tiupan angin laut Samudera Indonesia ini memecahkan keheningan umat yang dengan khusyuk melantunkan doa-doa memohon karunia dari Beliau yang berstana di Pura Masceti. Sebuah pura besar yang berada di tepian utara pantai untuk memuja Batara Wisnu dengan saktinya Dewi Sri guna memohon kamakmuran. Selain itu, di Pura Masceti juga sebagai tempat mencari kawisesan (kesaktian) dan ilmu pengobatan bagi para balian.


kata ''Masceti'' terdiri atas dua suku kata, yakni Mas (sinar) dan Ceti (keluar masuk). Namun soal keberadaan Pura Masceti ini tidak satu pun orang mengetahui kapan pertama kali Pura Masceti dibangun. Meski tak ada prasasti, sebagai bukti tertulis akan keberadaan pura ini ada bukti purana yang sumbernya dari kumpulan data dari berbagai prasasti yang menyebutkan keberadaan pura tersebut. Pura Masceti yang menjadi Pura Kahyangan Jagat ini juga berstatus sebagai Pura Swagina (profesi). Sebagai Pura Swagina, Pura Masceti bertalian erat dengan fungsi pura sebagai para petani untuk memohon keselamatan lahan pertanian mereka dari segala merana (penyakit).

keberadaan Pura Masceti berdasarkan Dwijendra Tatwa adalah kisah perjalanan suci tokoh rohaniwan dari tanah Jawa. Di sini disebutkan bahwa kisah perjalanan Danghyang Dwijendra, pada zaman Kerajaan Dalem Warturengong sekitar abad XIII. Saat itu Dhanghyang Dwijendra meninggalkan Desa Mas, melewati Banjar Rangkan, Desa Guwang, Sukawati, menuju pantai selatan ke timur ke daerah Lebih. Saat melewati Pura Masceti, di tengah sejuknya angin pantai, Dhanghyang Dwijendra merasakan dan mencium bau harum semerbak yang menandakan adanya Dewa yang turun. Sebuah cahaya tampak terlihat dari dalam Pura Masceti.

Dhanghyang Dwijendra pun masuk ke dalam pura yang pada waktu itu pelinggihnya hanya berupa bebaturan (bebatuan). Di sana beliau serta merta melakukan persembahyangan, menyembah Tuhan. Namun pada saat itu tidak diperkenankan oleh Ida Batara Masceti, mengingat Dhanghyang Dwijendra sebentar lagi melakukan moksa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pura Masceti ini telah ada sebelum Dhanghyang Dwijendra datang ke Bali.

Kisah keberadaan Pura Masceti lebih jelasnya juga terdapat dalam Raja Purana I Gusti Agung Maruti, yang ada di Puri Keramas. Dalam naskah babad nomor 80.ab.81a. yang mengisahkan keberadaan I Gusti Agung Maruti saat menjadi raja selama 26 tahun di Kerajaan Gelgel, Klungkung dan juga dalam kisah keturunannya yang tersebar di jagat Bali, di antaranya di Desa Keramas, Gianyar.

Pada tahun 1672 (1750 M), I Gusti Agung Maruti bersamadi pada suatu malam di Cawu Rangkan (Jimbaran). Saat melihat bersamadi, dilihatlah ada sinar api, seperti warna emas di arah timur. Melihat keajaiban tersebut, berangkatlah I Gusti Agung Maruti mencari sinar tersebut hingga akhirnya tiba di tempat yang mengeluarkan cahaya emas itu. Baliau kemudian menemukan tempat suci yang terbuat dari bebaturan, berlokasi di dalam hutan dekat pantai.

Tempat suci bebaturan yang ditemukan tersebut adalah Pura Masceti (sekarang). Setelah mengaturkan persembahyangan dengan pasukannya, I Gusti Agung Maruti kemudian melanjutkan perjalanan menuju suatu wilayah yang kini dinamakan Desa Keramas. Sejak pemerintahan I Gusti Agung Maruti di Keramas, bebaturan tersebut kemudian dilakukan penataan sekaligus perbaikan bangunan suci. ketenaran Pura Masceti terjadi setelah masa pemerintahan I Gusti Agung Maruti membangun kerajaan di Keramas.

Pura Masceti mempunyai struktur bangunan suci dengan menganut konsep Tri Mandala. pada bagian jeroan (Utama Mandala) di Pura Masceti terdapat beberapa pelinggih. Di antaranya Meru Tumpang Lima merupakan pelinggih Ida Batara Masceti sebagai pelinggih utama. Yang dipuja dalam hal ini adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Sri. Meru Tumpang Lima ini berdampingan dengan Meru Tumpang Tiga pelinggih Batara Ulun Suwi, dan bagian selatan merupakan pemujaan Batara Segara, kemudian pelinggih Sedahan Penyarikan, Sedahan Dasar atau Pertiwi.

Pelinggih Pesimpangan Gunung Lebah (Batur) dan Gunung Agung. Kemudian terdapat pula pelinggih Ratu Nglurah Agung, Sedahan, Balai Pasamuan, Balai Pewedaan, Piasan/Panggungan dan Piasan Tiang Sanga. Di Utama Mandala pura juga pada bagian barat laut yang hanya dibatasi dengan tembok terdapat pelinggih pesimpangan Batara Pura Gelap yang berada di Pura Besakih. Sebelah timur jeroan yang juga dibatasi dengan tembok terdapat pelinggih Jero Kelodan istana Batara Ratu Mas Mayun. Serta taman yang terdapat Padmasana dan Sedahan.

Bagian Madya Mandala terdapat sebuah pohon besar yang di bawahnya terdapat pelinggih Batara Ratu Lingsir Baten Ketapang. Selain itu juga terdapat beberapa sedahan, dan wantilan sebagai tempat masanekan (istirahat) para pemedek yang tangkil ke pura. Sedangkan pada bagian jaba sisi terdapat Sedahan dan Balai Kulkul.


UPACARA PENEDUH


Dalam melaksanakan upacara piodalan di Pura Masceti yang menjadi penanggung jawab penuh adalah warga subak yang menjadi pengemong sekaligus pengempon pura yang berjumlah sebanyak 20 subak. Mereka berasal dari sekitar wilayah Desa Medahan, Keramas, dan Tedung. Meskipun penanggung jawab piodalan di Pura Masceti sebanyak 20 subak, setiap kali menggelar upacara yang wajib ngayah hanya klian (ketua) dan wakil klian bersama istrinya dibantu oleh warga lain yang menjadi pengayah.


Sebagai rasa syukur para petani terhadap berkah yang telah dilimpahkan Ida Batara Masceti, setiap Anggarkasih Kulantir dilaksanakan upacara Ngusaba Tipat. Selain itu juga digelar upacara ngaturan berem setiap Anggarkasih Julungwangi.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

PURA KENTEL BUMI 23 May 2011 6:57 AM (13 years ago)

PENINGGALAN KERAJAAN BEDULU


Pura Kentel Gumi terletak di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung. Pura Agung Kentel Gumi didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Babad Bendesa Mas. Dalam lontar tersebut dinyatakan atas kehendak Mpu Kuturan didirikanlah Pura Penataran Agung Padang di Silayukti, Pura Gowa Lawah, Pura Dasar Gelgel, Pura Klotok dan Pura Agung Kentel Gumi.

Hal ini mengandung makna bahwa kehidupan di bumi akan tegak atau ajeg apabila dilakukan kesadaran rohani. Pura Silayukti di Padang, Karangasem itu adalah Asrama Mpu Kuturan. Fungsi asrama adalah untuk mendidik dan melatih umat mendapatkan pemahaman akan kerohanian.

Hiranyagarbhah samavartatagre
Bhutasya jatah patireka asit,
Sa dadhara prthivim dyam utemam
Kasmai devaya havisa vidhema (Rgveda X.121.1)

Maksudnya:

Tuhan Yang Mahaesa yang menguasai planet ada dalam diri-Nya. Tuhan itu mahatunggal sebagai pencipta segala. Tuhanlah sebagai penyangga bumi dan langit, sebagai dewata tertinggi sumber kebahagiaan yang suci, kami persembahkan doa kebaktian dengan ketulusan hati.


MENEGAKKAN bumi dimaksudkan menegakkan kebenaran dengan perilaku mulia. Perilaku mulia menegakkan bumi ini diawali dengan meyakini bahwa Tuhanlah sebagai pencipta dan penyangga bumi dan langit. Tujuan Tuhan menciptakan bumi dan langit adalah sebagai wadah kehidupan semua makhluk terutama manusia untuk memperbaiki kualitas perilakunya. Mengawali perbaikan kualitas perilaku dengan meningkatkan pemujaan pada Tuhan dengan doa persembahan.

Demikianlah Pura Kentel Gumi didirikan untuk menegakkan kualitas perilaku di bumi. Kentel Gumi sama dengan istilah dalam bahasa Bali yaitu enteg gumi yang maknanya tegaknya stabilitas keharmonisan hidup di bumi ini. Pura Goa Lawah adalah pura untuk mendapatkan pemahaman akan kedudukan dan fungsi samudera. Samudera kena sinar matahari berproses menjadi mendung. Mendung menjadi hujan. Hujan ditampung oleh hutan yang tumbuh di gunung. Proses alam itulah yang menyebabkan terjadinya kesejahteraan. Karena itu Pura Goa Lawah disebut stana Tuhan sebagai Hyang Basuki atau Batara Telenging Segara. Basuki artinya rahayu atau selamat.

Sementara Pura Dasar Gelgel adalah tempat suci untuk mempersatukan umat berdasarkan kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan untuk bereksistensi sesuai dengan swadharma masing-masing. Pelinggih leluhur berbagai warga di Pura Dasar Gelgel untuk mengingatkan pada pemujaan roh suci leluhur (Dewa Pitara), bukan untuk membeda-bedakan harkat dan martabat manusia.

Pura Klotok adalah tempat memohon Tirtha Amerta Kamandalu (air suci kehidupan) sebagai puncak dari prosesi ritual melasti. Hal itulah sebagai simbol yang melukiskan jalannya kehidupan untuk mencapai Kentel Gumi atau tegaknya kehidupan. Itulah warisan zaman Mpu Kuturan pada abad ke-11 Masehi. Dalam Lontar Purana Pura Agung Kental Gumi diceritrakan perjalanan seorang raja dari Tegal Suci Mekah menuju Bali atau Bangsul. Sampai di Desa Tusan, Klungkung, Raja berkehendak mendirikan pemujaan.

Salah seorang pengikut Raja bernama Arya Kenceng ditugaskan mewujudkan kehendak sang Raja. Untuk itu maka didirikanlah Meru Tumpang 11, Padmasana, Meru Tumpang 9 stana Batara Maha Dewa, Meru Tumpang 7 stana Batara Segara, Meru Tumpang 5 stana Batara di Batur, Meru Tumpeng 3 stana Batara Ulun Danu dan pelinggih Basundhari Dasa.

Adanya nama Arya Kenceng dalam Lontar Purana Pura Agung Kentel Gumi sebagai pengikut Raja sangat besar kemungkinannya peristiwa itu terjadi abad ke-14 Masehi saat ekspedisi Gajah Mada ke Bali. Nama Arya Kenceng atau Arya Ken Jeng menurut Lontar Babad Tabanan adalah seorang kesatria dari Kauripan (Kediri, Jawa Timur) yang bersaudara dengan Arya Dharma, Arya Sentong, Arya Kuta Waringin, dan Arya Belog. Adanya nama tempat Tegal Suci Mekah kemungkinan nama Pulau Jawa pada abad ke-14 Masehi itu. Jadi, Pura Kentel Gumi mungkin diperluas saat raja keturunan Raja Sri Kresna Kepakisan berkuasa di Bali.

Setelah pemerintahan Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten berakhir atas ekspedisi Gajah Mada ke Bali maka yang memegang tampuk pemerintahan di Bali adalah keturunan Sri Kresna Kepakisan. Kekuasaan raja dari Jawa ini baru stabil atau kentel saat berpusat di Klungkung. Pada mulanya pusat kerajaan di Samprangan, Gianyar terus pindah ke Gegel. Dari Gelgel lanjut pindah ke Semarapura atau Klungkung. Perpindahan pusat kerajaan ini menandakan keadaan kerajaan tidak stabil karena banyak gangguan.

Setelah pusat kerajaan berada di Klungkung inilah keadaan kerajaan baru stabil artinya keadaan gumi Bali menjadi kentel. Kemungkinan istilah enteng gumine dalam bahasa Bali yang sangat populer sampai sekarang di Bali berasal dari zaman stabilnya keadaan Bali di abad ke-14 Masehi itu. Keadaan stabil itu mungkin baru dapat diwujudkan setelah adanya perhatian pada Pura Agung Kentel Gumi yang memang sudah ada sejak zaman Mpu Kuturan.

Pura Kentel Gumi ini di bagian jeroan pura ada tiga kelompok pura. Ada kelompok Pura Agung Kentel Gumi, kelompok Pura Maspahit, dan kelompok Pura Masceti. Seluruh kelompok pura inilah yang disebut Pura Agung Kentel Gumi. Pada kelompok Pura Kentel Gumi ini pelinggih yang paling utama adalah Meru Tumpang 11 sebagai stana Batara Sakti Kentel Gumi yaitu Tuhan yang dipuja sebagai pemberi stabilitas kerajaan dalam arti luas. Pelinggih Pesamuan Agung berbentuk Meru Tumpang 11 sebagai pesamuan Batara di sebelah pura di Pura Agung Kentel Gumi.

Balai Mudra Manik sebagai tempat untuk menstanakan pralingga dari sebelah pura di sekitar Pura Agung Kentel Gumi. Ada pelinggih Sanggar Agung Rong Telu stana Mpu Tri Bhuwana yaitu pemujaan Tuhan sebagai Parama Siwa, Sadha Siwa dan Siwa. Ada pelinggih Manjangan Saluwang sebagai stana rohani Mpu Kuturan. Ada pelinggih Catur Muka sebagai tempat pemujaan Batara Brahma. Di kelompok Pura Kentel Gumi ini ada berbagai pelinggih pesimpangan. Ada Pesimpangan Jambu Dwipa sebagai pelinggih Batara Maspahit. Pesimpangan Batara Ulun Danu, Batara di Batur. Ada pesimpangan Batara Gunung Agung berbentuk pelinggih Meru Tumpang 9. Pesimpangan Ratu Segara dan banyak lagi pesimpangan sebagaimana layaknya Pura Kahyangan Jagat umumnya. Pada kelompok Pura Maspahit ada pelinggih Gedong Bata dengan arca manjangan untuk mengingatkan kedatangan Mpu Kuturan ke Bali.

Selebihnya sebagai pelinggih pesimpangan. Demikian juga kelompok Pura Masceti ada Pesimpangan Dewa Sadha Siwa dan Siwa, Gunung Agung, Batara Segara dan Ngerurah dan Kemulan Bumi. Upacara Piodalannya setiap Weraspati Manis Wuku Dungulan atau Umanis Galungan. Pura Kentel Gumi merupakan salah satu bagian terpenting dari keberadaan Pura-pura di Bali. Pura yang berlokasi di Desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung itu memiliki peran strategis untuk mengamankan jagat Bali dari berbagai marabahaya.

Dengan posisinya yang berada di tengah-tengah (pusaran), Pura Kentel Gumi selain merupakan pusat dari Pura-pura yang ada di Bali, bahkan Jawa, juga merupakan sumber penghidupan masyarakat Bali. Setiap enam bulan sekali, ribuan umat Hindu pedek tangkil memadati Pura Kentel Gumi. Bukan saja umat pengempon/pengeling pura yang berasal dari Banjarangkan dan sekitarnya, melainkan dari seluruh pelosok Bali. Mereka berduyun-duyun datang ke pura yang pada zamannya (abad XI) dikuasai para raja Bali itu, untuk bersembahyang serangkaian dengan piodalan.

Piodalan di pura ini berlangsung pada Weraspati Umanis Dunggulan, setiap 210 hari sekali. Bukti bahwa Pura Kentel Gumi merupakan pusat pura dan sumber penghidupan masyarakat Bali, terlihat dari keberadaan pelinggih-pelinggih atau pura-pura besar yang ada di Bali dan Jawa yang dibangun di pura tersebut. Di antaranya :

Sejumlah pura ada di sini. Makanya Kentel Gumi diartikan sebagai pusat atau sumber dari segalanya. Pura Kentel Gumi tetap tidak dapat dipisahkan dari satu-kesatuan Tri Kahyangan (Besakih, Batur dan Kentel Gumi). Setiap desa pakraman di Bali selalu memiliki Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem. Begitu juga dalam konteks Bali, Pura Kentel Gumi merupakan Pusehnya, Besakih merupakan Dalem dan Batur sebagai Pura Desanya.

Pura yang berdiri di atas lahan seluas lima hektar itu terdiri atas dua bagian. Awalnya, pura tersebut hanya berupa gedong dan bale pesamuan yang berada di bagian Maos (Mas) Pahit. Yang pertama kali bermukim di bagian itu adalah Mpu Kuturan (abad XI). Mpu Kuturan bermukim dan kemudian membentuk sekaligus mengembangkan berbagai peraturan. Entah kenapa, pada bagian itu Mpu Kuturan tidak melengkapi pura tersebut dengan Padmasana. Baru pada zaman Raja Kresna Kepakisan pura itu dilengkapi dengan Padmasari dengan lokasi di bagian selatan Maos Pahit. Juga dilengkapi dengan Pura Sadha, Gunung Agung, Besakih dan lainnya sebagaimana disebutkan di atas.

Meski demikian, kedua lokasi itu selalu bersatu padu dalam setiap pelaksanaan upacara. Setelah itu, seiring dengan perkembangannya, keberadaan pura itu dikuasai oleh raja-raja yang saat itu berkuasa di Bali. Terutama Kerajaan Klungkung (pergeseran Kerajaan Gelgel) sebagai pusat kerajaan di Bali pada zaman itu. Setelah Kerajaan Klungkung runtuh pada tahun 1677 (pertengahan abad XVII), kekuasaan di Bali selanjutnya terpecah belah. Tidak lagi terletak di bawah satu pimpinan (K
erajaan Klungkung).

Begitu juga dengan Pura Kentel Gumi, bukan hanya dikuasai Raja Klungkung, tetapi juga pernah dikuasai Raja Gianyar. Sumanggen Keunikan lain Pura Kentel Gumi yakni keberadaan sebuah bangunan sumanggen. Bangunan tersebut biasanya terdapat di puri yang dimanfaatkan untuk upacara pitra yadnya maupun manusa yadnya. Keberadaan sumanggen itu sendiri berawal dari seorang putri Raja Klungkung yang sakit. Sang putri menjalani pengobatan pada Dukuh Suladri di Tamanbali, Bangli. Selama dalam pengobatan, sang putri menetap di Bangli. Hingga akhirnya jatuh cinta dengan seorang putra Dukuh Suladri. Lama menjalin asmara, putri raja dan putra dukuh dinikahkan.

Sebagaimana layaknya suami-istri umumnya, putri dan putra dukuh silih berganti mengunjungi mertua masing-masing. Hingga suatu saat, dalam perjalanan menuju Bangli (persisnya di depan Pura Kentel Gumi) sang putri mengalami keguguran. Mayat sang bayi kemudian disemayamkan di sekitar pura tersebut (tentu dengan kondisi belum sebagus sekarang). Keberadaan sumanggen itu kemungkinan ada kaitannya dengan konsep tata ruang puri. Mengingat, Pura Kentel Gumi dikuasai oleh raja-raja yang berkuasa.

Sebagaimana konsep puri, setiap areal puri harus dilengkapi dengan bangunan sumanggen. ”Terkait keberadaan sumanggen di Kentel Gumi saat ini, fungsinya sebagai tempat upakara. Kalau ada tamu penting yang pedak tangkil atau ada kegiatan upacara, bangunan itu juga bisa dimanfaatkan untuk penyimpanan sanganan. Pantangan bagi yang Berniat Jahat Kalau punya pikiran yang macam-macam, jangan coba-coba masuk ke areal Pura Kentel Gumi. Sebab, setiap pikiran jahat itu akan segera terdeteksi dan tidak akan mudah untuk menyembunyikannya.

Dari penuturan pegempon/pengeling, Pura Kentel Gumi sangatlah tenget. Siapa pun yang berbuat curang, akan sangat mudah diketahui apabila nunasin (mohon petunjuk) di pura yang notabene tempat berstananya para dewa-dewa itu. ”Jangan coba-coba berani bersumpah di pura ini (Kentel Gumi) kalau memang melakukan kesalahan. Lebih baik mengakui kesalahan itu terlebih dahulu, karena sumpah yang dilakukan di sini sangat manjur,” sebut seorang pengempon pura yang ditemui saat kerja bakti membersihkan areal pura usai tawur pakelem beberapa waktu lalu.

Diceritakan, beberapa tahun silam ada sesorang yang berupaya melakukan niat jahat di pura tersebut. Orang itu mencoba membakar atap bale agung yang terbuat dari alang-alang. Meski terbuat dari bahan yang sangat mudah terbakar, upaya jahat orang itu tidak kesampaian, karena api tidak menjalar ke mana-mana. Karena niat jahatnya tidak terlaksana maksimal, orang itu pun putus asa. Dalam ketidaksadarannya, justru dia mengakui perbuatannya di hadapan warga. Sehingga warga tidak lagi bersusah payah mengejar orang yang berniat menghanguskan pura tersebut.

Tidak ada pantangan bagi siapa pun yang ingin masuk, apalagi bersembahyang di Pura Kentel Gumi. Dengan catatan, tidak punya niat jahat dan berperilaku serta berpenampilan yang wajar. (bal) Tawur Pakelem dengan Upakara Nyanggar Tawang Dari tahun ke tahun, perkembangan selalu diikuti dengan berbagai kejadian. Berbagai peristiwa yang mengancam keberadaan Bali kerap terjadi. Bom Bali I dan II, perkelahian antarbanjar dan berbagai kerusuhan serta kejadian lainnya, muncul silih berganti mewarnai kehidupan warga di pulau seribu pura ini.

Makanya, untuk mengembalikan jagat Bali sebagai alam yang bersih dan suci tanpa noda, untuk pertama kalinya Pemerintah Propinsi Bali menggelar upacara tawur pakelem, Rabu (29/3) lalu. Hal itu dilakukan sebagai upaya penebusan segala kebingaran yang terjadi saat ini. Upacara dengan upakara nyanggar tawang itu pun dipusatkan di Pura Kentel Gumi. Tentunya dengan berbagai pertimbangan, yakni Kentel Gumi yang notabene sebagai sumber pura dan pusat penghidupan serta sebagai pusat berstananya sebagaimana tercermin dari 25 arca yang terdapat dalam pelinggih ratu arca.

Arca-arca itu sebagai perwujudan para dewa seperti Dewa Siwa, Brahma, Wisnu, Durga, Ghanapati, Lingga dan banyak lagi patung-patung yang tidak dapat dinyatakan wujudnya. Tawur pakelem menggunakan sarana kerbau, kambing, angsa dan bebek. Untuk di Pura Kentel Gumi sendiri, sarana pakelem itu dikubur hidup-hidup di dalam areal pura. Beda dengan pakelem lain yang dirarung (dihanyut) di tengah laut. ”Itu merupakan perlambang kelahiran yang dikembalikan dengan segala kekurangan dan kelebihan ke tempat asalnya.

Selain di Kentel Gumi, tawur pakelem juga dilaksanakan secara serentak di Pura Besakih dan Angkasa Pura, Tuban. Dirangkai dengan upacara tawur kesanga serangkaian pengerupukan menjelang hari raya Nyepi. Upacara itu di-puput tiga sulinggih yaitu, Pedanda Siwa dari Dawan Kaler, Pedanda Budha dari Buda Wanasari Karangasem dan Sri Mpu Pujangga dari Keramas Gianyar.

(bal) http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/4/5/bd1.htm

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

DALEM TARUKAN 23 May 2011 5:53 AM (13 years ago)

Pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir di Gelgel Dalem Ketut Ngulesir bertahta di Gelgel tahun 1383 M bergelar Dalem Ketut Semara Kepakisan, Beliau membangun istana di Gelgel di kebun kelapa milik Kriyan Kalapa Diana putra Arya Kutawaringin.

Pura Dalem Tarukan

Dalem Ketut Ngulesir mempersunting anak Arya Kebon Tubuh dan menurunkan putra :


  1. I Dewa Enggong ( Dalem Batur Enggong)

Berita pengankatan Dalem ini didengar oleh Dalem Samprangan namun tidak bereaksi karena beliau sudah kehilangan gairah hidup. Para menteri dan pembantu Raja di Samprangan banyak yang berpindah ke Gelgel atas kemauan sendiri karena merasa lebih senang mengabdi kepada Dalem Ketut. Roda pemerintahan diatur dari Gelgel yang telah berganti nama menjadi Suwecapura. Sebagai ibukota Kerajaan Gelgel disebut Linggarsa Pura.

Demikian pula Kyai Agung Nyuhaya yang menjabat sebagai patih Agung Samprangan turut pindah ke Gelgel diikuti oleh putra tertuanya yaitu Kyai Petandakan dan menetap di Karang Kepatihan. Para Manca yang tinggal di pedesaan dan pegunungan mendengar berita ini lalu datang menyatakan dukungan dan kesetiaan kepada Dalem Ketut Ngulesir.

Dalem Ketut Ngulesir pernah diundang oleh Raja majapahit yaitu Hayam Wuruk ke Magetan (Madura). Semua raja raja bawahan mendapat penghargaan dari Raja hayam Wuruk, sedangkan raja Bali dianugrahkan keris “Begawan Canggu” dan pada waktu itu pula Dalem Ketut Ngulesir mengutus seseorang untuk mencari seorang Brahmana dari Keling yang konon sangat sakti dan termasyur.

Sementara itu Dalem Wayan makin parah sakitnya dan akhirnya beliau meninggal pada tahun 1383 M atau 1305 isaka. Setelah Dalem Wayan meninggal barulah Dalem Ketut menyelenggarakan upacara penobatan Raja (biseka Ratu) dengan gelar Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan. Segera setelah Dalem Ketut resmi menjadi Raja, beliau teringat pada kakak beliau, Dalem Tarukan. Diutuslah Kiyai Kebon Tubuh ke pedukuhan Bunga untuk meminta Dalem Tarukan kembali ke Tarukan atau ke Suwecapura.

Permintaan ini ditolak beliau karena beberapa pertimbangan antara lain: jika kembali ke Tarukan, istana ini sudah hancur dan akan mengingatkan kenangan pahit yang dialami beberapa tahun lampau. Istri beliau yang dicintai, yaitu Putri Lempuyang-pun (dijuluki : Dedari Kuning) telah moksah. Jika ke Suwecapura, walaupun adik beliau Dalem Ketut mau menerima, belum tentu para menteri dan petinggi kerajaan lain mau juga menerima dengan baik; sementara itu beliau sudah berbahagia di pedukuhan Bunga.

Kiyai Kebon Tubuh kembali ke Suwecapura dan melaporkan penolakan Dalem Tarukan tersebut. Dalem Ketut kecewa karena maksud baik beliau tidak ditanggapi oleh Dalem Tarukan, namun beliau dapat memahami pemikiran kakak beliau itu. Dalem Tarukan yang menduga bahwa para menteri di Suwecapura dan para pengejar dari Samprangan telah mengetahui tempat persembunyian beliau, lalu memutuskan untuk meninggalkan pedukuhan Bunga.

Berangkatlah rombongan keluarga besar itu diiringi oleh Dukuh Darmaji dan beberapa rakyatnya menuju desa:

SEKAHAN Hanya semalam beliau ada di desa Sekahan, kemudian meneruskan perjalanan ke desa:SEKARDADIDi sini beliau beserta rombongan bermalam di pondok kerabat Jero Dukuh Darmaji selama tiga malam, kemudian meneruskan perjalanan ke desa:

KINTAMANI Hanya lewat saja, lalu terus menuju desa: PANARAJONDI sini rombongan beliau dihembus angin topan sehingga sebelas pengiring beliau meninggal dunia. Setelah topan reda, rombongan meneruskan perjalanan ke desa:
BALINGKANG Merasa aman, di sini beliau tinggal selama tiga bulan; setelah itu rombongan menuju desa: SUKAWANA. Dalam perjalanan yang melelahkan ini putri beliau yang berusia 4 tahun, Gusti Luh Wanagiri menangis karena lapar. Dalem Tarukan lalu bertanya kepada Dukuh Darmaji apakah membawa makanan. Dukuh menjawab, tidak membawa makanan, hanya beberapa genggam beras.

Dalem Tarukan lalu tergesa-gesa memberikan beras itu kepada putrinya, karena tidak sempat lagi memasaknya. Beberapa saat kemudian putrinya sakit perut karena memakan beras mentah dan akhirnya tidak tertolong.

Putri yang dicintainya meninggal dunia. Betapa sedih beliau dan terucaplah kata-kata beliau: "Ya, Tuhan betapa besar cobaan yang kami terima, sangat besarlah penyesalan kami karena seolah-olah memberi jalan kematian putriku. Nah agar hal ini tidak terulang lagi, wahai semua putra dan semua keturunanku, kelak di kemudian hari janganlah sekali-kali kalian memakan beras mentah"

Setelah itu Dalem Tarukan lalu meminta Ki Pasek Sikawan mengubur jenazah putrinya. Karena letak desa Sukawana di sebelah timur bukit Penulisan, maka agar prabu layon berada di "hulu" dikuburlah jenazah putrinya dengan kepala di arah barat. Di saat ini terucaplah bisama beliau agar seketurunan beliau bila meninggal atau di-aben agar kepala berada di arah barat, sebagai tanda ingat akan peristiwa menyedihkan ini. Dari Sukawana beliau menuju ke desa: SIKAWAN di desa ini beliau ditemui oleh Ki Pasek Ban dan Ki Pasek Jatituhu.

Beliau sempat beristirahat selama tiga bulan, selanjutnya menuju desa: PENEK Tidak menetap, hanya memintas saja, lalu terus ke desa: BAN (EBAN) Juga tidak menetap, terus ke desa: TEMANGKUNG Tidak menetap, terus ke desa: CARUCUT Perjalanan menelusuri pantai; tiba di suatu tempat yang indah beliau berhenti sejenak.

Sudah sekian jauh beliau berjalan baru di situlah merasa lega dan firasat beliau mengatakan bahwa tempat ini aman dari kejaran pasukan Dulang Mangap. Beliau lalu membicarakan rencana untuk menetap di situ. Semua pengikut beliau: Dukuh Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Temangkung, dan Ki Pasek Sukawana setuju.

Di situlah beliau membuka perkebunan kelapa dan tanaman palawija, dibantu oleh ratusan rakyat pegunungan yang setia kepada Dalem Tarukan. Lama-kelamaan makin banyak rakyat dan pemekel dari pulau Bali pesisir utara yang berdatangan menghaturkan sembah sujud kehadapan beliau dan tetap menjunjung beliau sebagai Dalem. Dalem Tarukan lalu bersabda:

Walaupun demikian, rakyat tetap saja menghormati beliau dengan hatur: "cokor I Dewa" karena tak seorang pun berani mengubah kebiasaan sebutan. Terkenallah beliau sampai ke perbatasan di arah barat: Desa Tejakula, di arah selatan: Desa Poh Tegeh, di arah Timur: Desa Ban, (arah utara : Laut Bali). Berkat asung kerta nugraha Ide Sanghyang Parama Kawi, hasil perkebunan beliau melimpah, sehingga lama kelamaan keluarga dan pengiring beliau kaya raya dan selalu bersuka ria. Maka tempat itu dinamakan Sukadana.

SUKADANA Ide Bethara Dalem Tarukan sekeluarga beserta para pengiringnya menikmati kebahagiaan hidup di Sukadana. Namun di suatu saat beliau terkenang akan putri beliau, yaitu Gusti Luh Wanagiri yang meninggal dan dikuburkan di Sukawana.

Atas usul para pengikutnya yaitu Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Temakung, Ki Pasek Sikawan, Dukuh Bunga, Dukuh Jatituhu, dan Dukuh Pantunan, dilaksanakanlah pelebon putri beliau secara megah dan besar-besaran. Lokasi upacara dipilih di Bukit Mangun; pada saat pembakaran, prabu layon mengarah ke barat.

Pemuput upacara adalah: Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, dan Dukuh Jatituhu. Abu jenazah dipendem di Bukit Mangun. Selesai upacara pelebon, mereka kembali pulang ke Sukadana. Beberapa lama kemudian para pengiring beliau menyarankan agar rombongan kembali ke desa Poh Tegeh, karena desa itu lebih layak dijadikan tempat menetap.

POH TEGEH Betapa gembiranya I Gusti Ngurah Poh Tegeh menyambut kedatangan Ide Bethara Dalem Tarukan setelah sekian lama berpisah. Rombongan besar itu dijamu secara meriah. Tiba-tiba timbul keinginan Ide Bethara Dalem Tarukan untuk meneruskan perjalanan ke selatan karena seperti ada firasat bahwa kemungkinan putra beliau yang beribu dedari Lempuyang masih hidup dan kini berada entah di mana.

Hal itu disampaikan kepada Kiyai Poh Tegeh. Mula-mula Kiyai mencegah rencana beliau itu; namun melihat beliau sangat bersemangat, Kiyai mendukung serta memohon agar Dalem Tarukan sangat berhati-hati di perjalanan. Beberapa hari kemudian rombongan beliau berangkat menuju desa:

SIDAPARNA Di desa ini beliau bertemu dengan beberapa penduduk yang memberikan informasi bahwa Dalem Ketut yang menggantikan Dalem Wayan, memerintah di Gelgel secara bijaksana dan semuanya berjalan sangat baik. Dalem Ketut tidak pernah lagi menanyakan keberadaan Dalem Tarukan. Demikian pula para prajurit Samprangan yang dahulu mengejar Dalem Tarukan tidak terdengar lagi kabar beritanya. Dalem Tarukan meneruskan perjalanan ke:

GUNUNG PENIDA Di suatu dataran tinggi Dalem Tarukan berhenti. Tempat itu sangat indah karena diapit oleh dua buah sungai yang sangat jernih airnya. Dikelilingi oleh hutan yang penuh dengan aneka satwa, ada tanah datar yang luas, cocok untuk persawahan. Lama beliau termenung menikmati keindahan pemandangan alami itu.

Beliau berpikir, inilah tempat yang sangat sesuai untuk tempat menetap. Jika meneruskan perjalanan, belum juga tentu ke mana arahnya; di samping itu anggota rombongan beliau sudah lelah tinggal berpindah-pindah. Akhirnya beliau memutuskan menetap di daerah itu. Di sini beliau membangun pondok-pondok, membuka sawah-ladang, serta menanam padi, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan berbagai macam bunga.

Tempat itu oleh penduduk dinamakan Pulasari atau Pulasantun. Kemudian Ide Bethara Dalem Tarukan menekuni Dharma Kepanditaan yang menjadi keinginan beliau sejak berada di Tarukan. Keinginan ini seperti mendarah daging karena leluhur beliau di Majapahit adalah Brahmana, abiseka Danghyang Kepakisan.

Kegiatan kepanditaan di Pulasari berkembang pesat karena didukung oleh para Dukuh sekitarnya, misalnya Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Darmaji, dan lain-lain. Di sela-sela waktu pemujaan, Ide Bethara Dalem Tarukan tetap bekerja di kebun atau di sawah sebagai selingan dan kesenangan.

Kali ini diceritakan keadaan putra Ide Bethara Dalem Tarukan bernama Dewa Bagus Dharma yang tinggal di Puri Samprangan. Sejak berusia 42 hari beliau ditinggal ibunda, moksah ke kahyangan. Di saat membutuhkan air susu, datanglah seekor manjangan putih menyusui beliau dan kemudian menghilang setelah sang bayi tertidur lelap. Keadaan ini mengherankan seisi Puri, sehingga yakinlah mereka bahwa sang bayi benar-benar putra seorang bidadari kahyangan. Ada seorang emban (pembantu) yang sangat setia merawat sang bayi.

Setelah meningkat usia remaja, Dewa Bagus Dharma bertanya kepada si-emban, siapa ayah dan ibu beliau. Si-emban dengan berlinang air mata menceritakan riwayat Ide Bethara Dalem Tarukan. Sejenak beliau tercenung lalu berucap bahwa ingin menemui ayahanda beliau. Si-emban dengan berbisik memberitahu:

Tidak menunggu waktu lagi, Dewa Bagus Dharma segera mengambil keris, lalu berangkat ke arah utara. Tekad beliau sudah mantap; kerinduan bertahun-tahun, haus kasih sayang, dan "jengah" mendorong beliau segera ingin bertemu dan tinggal bersama ayahanda baik dalam keadaan suka maupun duka.

Berhari-hari beliau berjalan sambil memperhatikan orang-orang yang ditemuinya. Tidak satu pun mirip dengan apa yang diceritakan si-emban. Beliau tidak bertanya kepada siapa pun, karena perjalanan ini dirahasiakan.

Suatu siang yang panas, tibalah Dewa Bagus Dharma di suatu persawahan yang luas. Hanya ada satu orang di situ sedang asyik membajak sawah. Beliau duduk dan kaget melihat orang itu sesuai benar dengan ciri-ciri yang dikatakan si-emban. Hanya saja orang ini petani; ayahanda yang dicari adalah seorang Raja. Tidak mungkin seorang Raja membajak sawah. Sedang berpikir-pikir demikian, tiba-tiba sapi si-"petani" panik lalu lari tunggang langgang. Peralatan bajak yang ditariknya patah tidak karuan karena sapi-sapi itu mengamuk ingin melepaskan diri.

Si "petani" heran, kenapa sapinya tiba-tiba menjadi liar tak terkendali. Pasti ada sesuatu sebab yang membuat sapinya ketakutan, misalnya harimau. Namun tidak ada harimau di sekitar itu. Yang ada hanya seorang lelaki remaja dengan sorot mata polos memandang kegaduhan sapi itu. Si-"petani" yang tiada lain Ide Bethara Dalem Tarukan, menjadi marah karena mengetahui penyebab sapinya liar adalah silaki-laki itu. Beliau mendekati remaja itu lalu menghardik: "eh, apa kerjamu di sini, mengganggu saya serta mengacaukan sapi-sapi saya"

Sang remaja yang disapa dengan keras itu juga marah, sehingga timbul percekcokan. Kemarahan makin menjadi-jadi akhirnya sama-sama menghunus keris berkelahi dengan sengit, saling pukul, saling tikam, saling cekik, saling tindih, berjam-jam lamanya tidak ada yang terluka, sampai kehabisan tenaga, sama-sama duduk bersebelahan.

Dalem Tarukan heran karena remaja ini kebal tubuhnya, ditikam tidak tergores apalagi luka. Beliau lalu bertanya: "hai anak muda, siapa sebenarnya anda, dari mana, mau ke mana dan apa kerjamu di tengah hutan ini seorang diri" Dewa Bagus Dharma lalu menjawab: "saya bernama Dewa Bagus Dharma, dari Puri Samprangan, tiba di hutan ini hendak mencari ayah saya bernama Ide Dalem Tarukan, yang menurut informasi tinggal di sekitar daerah ini"

Mendengar itu, Ide Bethara Dalem Tarukan terkejut bagaikan disambar petir. Dipandangnya wajah pemuda itu; ya Tuhan, Sanghyang Parama Kawi, wajahnya bagaikan pinang dibelah dua dengan anakku I Sekar. Beliau tak kuasa membendung air mata haru; dipeluknya pemuda itu seraya mengusap kepalanya: "anakku Dewa Bagus Dharma, Ide Sanghyang Parama Kawi maha agung dan maha pemurah, hari ini aku dipertemukan dengan anak kandungku yang bertahun-tahun aku rindukan; nanak, ini ayahmu yang kamu cari itu"

Sampai di situ Ide Bethara Dalem Tarukan tidak lagi berkata-kata; rongga dada beliau sudah penuh sesak dengan keharuan tiada tara. Tak berbeda dengan Dewa Bagus Dharma, tak kuasa beliau mengucapkan kata-kata; hanya perkataan: "aji, aji, aji" seraya mengeratkan pelukannya sambil bersimbah air mata.

Lama kedua insan itu saling melepas kerinduan dan kehangatan ayah-anak sambil menceritakan riwayat masing-masing. Beberapa saat kemudian datanglah putra-putra Ide Bethara Dalem Tarukan, yaitu Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari bermaksud menjemput ayahanda beliau pulang ke pedukuhan. Ide Bethara Dalem Tarukan dengan gembira mempertemukan ketiga saudara kandung buah hatinya itu. Mereka lalu pulang ke pedukuhan Pulasari dengan suka cita.

Gemparlah pedukuhan Pulasari atas kedatangan penghuni baru yang tampan seperti kembarannya Gusti Gede Sekar, namun usianya sedikit lebih dewasa. Malam hari pertemuan itu dirayakan dengan meriah, makan, minum, menari, dan menyanyi. Ketujuh bersaudara lelaki, putra-putra Ide Bethara Dalem Tarukan asyik berbincang sampai larut malam. Akhirnya kantuk membawa mereka ke alam mimpi yang indah. Dewa Bagus Dharma sudah sejak awal memutuskan tinggal menetap bersama-sama ayah, para ibu dan saudara-saudaranya di Pulasari.

Kini dilanjutkan dahulu kisah tentang Kiyai Parembu. Kiyai dengan gigih mentaati perintah Dalem Wayan mengejar Dalem Tarukan ke hutan-hutan pegunungan sebelah utara. Disertai putranya bernama Kiyai Wayahan Kutawaringin, pasukan Dulang Mangap menyelusup menyelidiki dan mencari persembunyian Dalem Tarukan, namun tidak pernah berhasil. Kadangkala ada yang memberikan informasi lokasi persembunyian beliau, tetapi ternyata informasinya menyesatkan.

Arah pencarian Kiyai menuju gunung Tulukbiyu, lalu bertemu dengan Jero Dukuh Sekar. Ketika ditanya, Jero Dukuh berlaku pikun serta memberi jawaban sekenanya. Dengan perasaan kesal dan putus asa Kiyai meneruskan pencariannya tanpa arah yang jelas. Tiba di suatu tempat Kiyai duduk di bawah pohon tua yang rindang. Perasaan Kiyai tidak menentu: kesal, malu, merasa tak berharga karena tidak dapat menunaikan tugas, walaupun sudah diupayakan dengan sekuat tenaga.

Pasukan Dulang Mangap terpecah dua; sebagian besar sudah kembali ke Gelgel karena mendengar Dalem Ketut sudah bertahta di Gelgel. Kini pasukannya bersisa empat puluh orang. Hanya itulah yang masih setia mengikuti, namun sudah ada tanda-tanda mereka jemu dan kepayahan.

Kiyai merenung dan timbul pikirannya yang terang. Ditanyailah dirinya sendiri, apa sebenarnya manfaat tugas yang diembannya bagi kerajaan. Bukankah perintah Dalem Wayan hanya sebuah perintah emosional yang menuruti kemarahan sesaat ? Di samping itu berita yang didengar, seolah-olah Dalem Wayan sudah digeser kedudukannya oleh Dalem Ketut. Lalu untuk siapa kini ia mengabdi ? Tetapi jika melalaikan tugas bukankah ia sudah banyak berhutang budi kepada Dalem Wayan ?


Kebingungan pikiran Kiyai rupanya diketahui oleh putra dan para pengikutnya. Seorang pembantunya memberanikan diri menyampaikan pendapat sebagai berikut :

Mendengar ucapan pembantunya demikian, mantaplah hati Kiyai Parembu; segera ia bangkit berdiri seraya berkata:


Para pengikutnya serempak menjawab setuju. Tidak seorangpun berniat kembali ke Gelgel. Dengan riang gembira mereka bersama-sama membangun pedesaan kecil, membuka sawah ladang dan hidup sebagai petani. Desa itu dinamakan Bugbug Tegeh.

Adanya desa baru cepat tersiar ke desa-desa sekitarnya. Kiyai Poh Tegeh lalu mengirim utusan mengundang Kiyai Parembu. Kiyai Parembu merasa khawatir, karena tahu bahwa Kiyai Poh Tegeh memihak Dalem Tarukan. Semalam suntuk Kiyai Parembu berunding dengan putranya, Kiyai Wayahan Kutawaringin apakah akan memenuhi undangan itu atau menolak.

Hingga larut malam belum ada keputusan, sampai keduanya tertidur kelelahan. Kiyai Wayahan Kutawaringin bermimpi ditemui seorang bidadari yang cantik jelita, bahkan bercengkrama mesra di sebuah taman yang indah. Keesokan hari mimpi itu diceritakannya kepada sang ayah.

"Wah itu pertanda baik, mari kita segera berangkat ke Poh Tegeh" Menjelang sore mereka berdua tiba di Poh Tegeh, disambut dengan ramah oleh seorang gadis cantik yang kebetulan melintas di depan pemedal. Bagaikan dipukul palu godam detak jantung Kiyai Wayahan Waringin memandang kecantikan gadis itu. Bagaimana mungkin, bidadari yang diimpikan semalam berwujud persis dia.

Sedang terkesima demikian tiba-tiba tegur sapa Kiyai Poh Tegeh menyadarkan Kiyai Wayahan Kutawaringin. "Adinda Kiyai Parembu, betapa bahagianya kakanda hari ini karena dinda bersedia memenuhi undangan" Kiyai Parembu menjawab : "ya kakanda, maafkanlah dinda karena baru kali ini dapat berjumpa; dinda merasa seperti manusia yang tidak berharga dan tak berguna sehingga kelahiran dinda sia-sia belaka. Dinda tidak dapat mengemban tugas sebagai seorang kesatria sejati. Seharusnya dinda bunuh diri saja karena tiada tahan menanggung malu"

Wajah Kiyai Parembu sedih memelas; cepat Kiyai Poh Tegeh menjawab: "dinda, Kiyai Parembu, tidak seorang pun akan menyalahkan serta merendahkan dinda, karena Ide Bethara Dalem Tarukan dilindungi Sanghyang Widhi. Sadarlah dinda, beliau berdua kakak beradik bertikai karena diadu domba oleh pihak lain. Janganlah dinda turut memihak dalam pertikaian itu karena tidak direstui Yang Maha Kuasa. Sebagai seorang kesatria, ingatlah selalu riwayat leluhur kita yaitu Sri Jayakata dan Sri Jayawaringin ketika dilarikan ke Tumapel setelah gugurnya Sri Jayakatong.

Bukankah leluhur Ide Bethara Sri Kresna Kepakisan yang menyelamatkan leluhur kita ? Dan kedatangan leluhur kita ke Bali-pun mengiringi Dalem Sri Kresna Kepakisan. Jadi kita harus tetap berbakti kepada sentanan Dalem Sri Kresna Kepakisan, dalam hal ini baik Dalem Wayan maupun Dalem Tarukan sama-sama kita hormati. Kini keadaan berubah; Dalem Ketut sudah memimpin kerajaan. Oleh karena itu untuk apa dinda masih terus memburu Dalem Tarukan ? Keputusan dinda untuk menetap di Bugbug Tegeh kanda hargai sebagai suatu keputusan yang bijaksana"

Mendengar wejangan Kiyai Poh Tegeh seperti itu legalah perasaan Kiyai Parembu. Mereka lalu bersantap malam dan berbincang-bincang dengan gembira sampai larut malam. Tiba waktunya tidur, Kiyai Parembu bersama putranya disilahkan menempati ruangan yang telah disediakan.

Sekali lagi Kiyai Wayahan Kutawaringin bertemu pandang dengan gadis yang sore tadi. Goyah rasanya lutut beliau karena tak kuasa menahan dentuman api asmara yang melesat dari kerlingan si gadis. Kiyai Poh Tegeh segera mengenalkan gadis itu kepada Kiyai Wayahan Kutawaringin seraya berkata :


Si gadis mengangguk manja terus menghilang di balik pintu. Malam itu Kiyai Wayahan tidur gelisah sampai ayam berkokok menjagakannya. Setelah berpamitan berangkatlah kedua si ayah dan anak itu pulang ke Bugbug Tegeh. Di perjalanan, Kiyai Wayahan tiada henti-hentinya berbisik di hati: "dinda Winihayu apakah dinda merasakan apa yang terpendam di hatiku" Hingga beberapa hari setibanya di Bugbug Tegeh, Kiyai Wayahan terus saja terkenang pada Winihayu. Hal ini diketahui oleh ayahnya.

Singkat cerita lama kelamaan diketahui bahwa Winihayu sama-sama jatuh cinta juga kepada Kiyai Wayahan. Kedua orang tua-tua lalu berunding, akhirnya terjadilah pernikahan Kiyai Wayahan Kutawaringin dengan Winihayu Luh Toya. Dari perkawinan ini lahir dua orang putra, yaitu:

Pernikahan antara Kiyai Wayahan Kutawaringin dengan Winihayu Luh Toya menyebabkan Kiyai Wayahan ber-ipar dengan Dalem Tarukan, karena sama-sama menikahi putri-putri Kiyai Poh Tegeh. Karena hubungan kekeluargaan inilah menambah "kemalasan" Kiyai Parembu untuk mengejar Dalem Tarukan.

Patutlah dipuji strategi Kiyai Poh Tegeh yang selalu berupaya menyelamatkan Dalem Tarukan. Kembali diceritakan keadaan beliau, Ide Bethara Dalem Tarukan di desa Pulasari. Tidak ada lagi pasukan yang mengejar-ngejar beliau, sehingga kehidupan beliau aman tentram. Beliau meningkatkan ilmu kepanditaan, sampai akhirnya mampu menjadi nabe bagi para dukuh yang setia mengikuti beliau, yaitu: Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Jatituhu, Dukuh Darmaji, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Pemuteran, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Penek, dan Ki Pasek Sikawan. Kepada para putranya beliau memberikan bisama sebagai berikut:


Pemberian bisama itu disaksikan oleh para Dukuh dan para Pasek yang disebutkan di atas. Mereka menyatakan akan selalu mentaati dan menjaga terlaksananya bisama itu. Tiada berapa lama setelah memberikan bisama, Ide Bethara Dalem Tarukan sakit selama tiga bulan lalu meninggal dunia pada hari Kamis Kliwon, wara Ukir, panglong ping pitu, sasih kedasa, isaka 1321 atau bila dengan kalender Masehi, pada hari Kamis, bulan April tahun 1399 M.

Jika diperkirakan beliau lahir pada tahun 1352 M (dua tahun setelah ayahanda : Dalem Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja Samprangan) maka Ide Bethara Dalem Tarukan meninggal dunia pada usia 47 tahun.

Upacara pelebon Ide Bethara Dalem Tarukan dilaksanakan di setra Tampuwagan pada hari Sabtu, Pahing, wuku Warigadean, panglong ping pitu, sasih Jiyesta, rah tunggal, tenggek kalih, isaka 1321, atau bila dengan kalender Masehi, pada hari Sabtu, bulan Juni tahun 1399 M.

Manggala dan pemuput karya upacara pelebon adalah : Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Jatituhu, Kiyai Poh Tegeh, Ki Pasek Pemuteran, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Temangkung, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Jatituhu, dan I Gusti Ngurah Kubakal.

Tata laksana pelebon sebagai Raja, yaitu: pemereman bade tumpang pitu, petulangan lembu nandaka ireng ditempatkan dengan kepala di arah Barat, tirta pemuput dari Besakih, sulut pembakaran memakai keloping nyuh gading, kayu bakar memakai kayu cendana. Setelah itu abu tulang dihanyutkan di sungai Congkang. Sebulan kemudian diadakan upacara meligia di mana abu "sekah" dipendem di cungkup sebuah Pura yang dibangun sebagai Pedarman Ide Bethara Dalem Tarukan.

Berhubung sudah disucikan sebagai Bethara Raja Dewata, maka sejak saat meligia itu beliau amari aran (berganti gelar) menjadi : Ide Bethara Dalem Tampuwagan Mutering Jagat.

Setelah semua rangkaian upacara selesai, bau busuk dari sisa-sia makanan, beras, uang kepeng bolong dan lain-lain makin menjadi-jadi, tidak tahan menciumnya. Para putra lalu memerintahkan rakyatnya membuang ke sungai, sampai air sungai itu berubah seperti bubur. Uang kepeng bolong yang dihanyutkan menyangkut menutupi sumber mata air sungai. Rakyat yang tinggal di hilir terheran-heran melihat air sungai berubah seperti bubur; banyak yang mengambil nasi, tumpeng, beras itu untuk diberi makan anjing atau babi.

Di sungai lainnya rakyat menemukan uang kepeng bolong yang sudah bergumpal-gumpal berkarat tidak bisa digunakan lagi. Ide Bethara di sorga loka melihat dengan sedih kejadian itu. Turunlah kutukan beliau sebagai berikut:


Para putra yang mendengar kutukan itu kebingungan dan menyesali perbuatannya, namun apa hendak dikata karena itulah kehendak Ide Sanghyang Widhi Wasa. Dengan perasaan tak menentu para putra kembali ke pedukuhan Pulasari memulai hidup baru. Aliran sungai yang berlimpah bubur dan uang kepeng bolong itu menuju ke Kerajaan Suwecapura. Rakyat gempar berhari-hari, lalu menamakan kedua sungai itu masing-masing : Tukad Bubuh dan Tukad Jinah.

Berita ini sampai ke istana Dalem Ketut (Dalem Sri Semara Kepakisan). Tahulah beliau bahwa kakak beliau telah meninggal dunia dan di-pelebon di pegunungan. Sedih hati beliau mengenang nasib Ide Bethara Raja Dewata yang sebahagian besar hidupnya dihabiskan di pengungsian. Beliau Dalem Ketut ingin memelihara putra-putra Ide Bethara Raja Dewata yang jelas masih kemenakannya sendiri.

Keesokan harinya dipanggillah Kiyai Kebon Tubuh lalu ditugaskan menjemput para kemenakan beliau itu ke hutan-hutan di pegunungan untuk diajak ke Gelgel. Disertai pengikut 50 orang, berangkatlah Kiyai Kebon Tubuh menuju utara. Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, sampailah Kiyai di pedukuhan Pulasari. Kiyai berdatang sembah kepada para putra:


Para putra yang dipimpin oleh putra tertua : Dewa Bagus Dharma ragu-ragu pada kebenaran maksud baik dari ucapan sang Kiyai. Bertahun-tahun para putra menghadapi kenyataan bahwa ayahanda beliau dimusuhi oleh saudara sekandung beserta menteri dan rakyat kerajaan, kini tiba-tiba ada utusan yang bernada membujuk menjanjikan kebaikan budi.

Bukankah ini suatu perangkap untuk mencelakakan para putra sehingga jika dapat, agar musnahlah keturunan Ide Bethara Raja Dewata. Berpikir demikian, Dewa Bagus Dharma kemudian menolak permintaan sang Kiyai seraya menyatakan bahwa beliau beserta adik-adik tidak akan meninggalkan pedukuhan Pulasari. Kiyai Kebon Tubuh tidak berhasil membujuk para putra, lalu kembali ke istana Suwecapura.

Betapa duka hati Dalem Ketut mendengar laporan Kiyai Kebon Tubuh; dimintanya Kiayi mengulangi kunjungan ke Pulasari membujuk para putra agar mau pulang ke Suwecapura. Walaupun sampai tiga kali utusan ini pulang balik, para putra tetap tidak mau datang ke Suwecapura.

Ini menimbulkan kemarahan Dalem Ketut, sehingga keluarlah perintah beliau untuk menangkap para kemenakan beliau dibawa paksa pulang ke Suwecapura. Kiyai Kebon Tubuh lalu mengerahkan prajurit dalam jumlah besar dengan persenjataan lengkap. Tidak kurang dari 2000 prajurit dibawa serta, namun bukan dari pasukan Dulang Mangap.

Sementara itu pihak para putra yang dipimpin oleh Dewa Bagus Dharma telah mengetahui gerakan musuh yang menjalar bagaikan ular besar dari arah selatan. Kakek beliau, I Gusti Poh Tegeh bersama kerabatnya yaitu I Gusti Ngurah Kubakal mempersiapkan pertahanan rakyat di desa Pesaban, Tembuku, dan Timuhun. Perang besar yang tidak seimbang berkecamuk dengan dahsyat, membawa korban banyak di pihak pasukan I Gusti Poh Tegeh.

Dapat dimaklumi karena pasukan ini bukan prajurit terlatih, hanya bermodalkan semangat dan kesetiaan yang tinggi kepada ratunya. Mayat-mayat yang jatuh ke sungai hanyut ke hilir akhirnya sampai ke perbatasan kota Gelgel. Dalem Ketut mendengar berita banyaknya korban rakyat biasa dalam peperangan di pegunungan.

Beliau lalu memerintahkan menghentikan peperangan dan menarik pasukan Kiyai Kebon Tubuh kembali ke Gelgel. Dalem Ketut menulis surat kepada I Gusti Poh Tegeh dibawa oleh utusan beliau, sekali lagi Kiyai Kebon Tubuh bersama seorang Bendesa. Surat itu diterima oleh I Gusti Poh Tegeh lalu dibaca di hadapan I Gusti Ngurah Kubakal, dan I Gusti Ngurah Puajang:


I Gusti Poh Tegeh berkata bahwa beliau masih akan membicarakan hal ini kepada para putra, dan sementara agar Kiyai Kebon Tubuh pulang lebih dahulu ke Gelgel; mungkin beberapa hari lagi beliau akan menyusul mengantarkan para putra ke Gelgel. Gusti Poh Tegeh ingin memenuhi perintah Dalem Ketut karena berpendapat bahwa maksud Dalem Ketut sungguh-sungguh baik, namun perlu beberapa hari untuk meyakinkan pendapatnya kepada para putra, terutama Dewa Bagus Dharma sebagai putra tertua.

Sepulangnya Kiyai Kebon Tubuh, Gusti Poh Tegeh memanggil para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan (d.h. Ide Bethara Dalem Tarukan) seraya menyampaikan isi surat Dalem Ketut. Para putra belum sanggup memberi persetujuan hari itu karena masih merasa khawatir akan masa depan mereka di Gelgel sementara mereka sudah betah dan berbahagia tinggal di pegunungan. Gusti Poh Tegeh mempersilahkan para putra untuk berpikir beberapa hari agar mendapat pertimbangan yang matang sebelum mengambil keputusan.

Namun tiba-tiba tanpa diduga sama sekali datanglah gelombang serangan yang dahsyat dari para Manca Badung dipimpin oleh I Gusti Gede Kaler disertai Arya Kenceng, Ngurah Mambal, Ngurah Menguwi, dan I Gusti Ngurah Telabah. Gerakan ini sangat mengejutkan dan mengherankan para tokoh pegunungan seperti Gusti Poh Tegeh serta para kerabatnya.

Beliau cepat berpikir bahwa gerakan ini bukan perintah Dalem Ketut, melainkan gerakan para arya yang merasa khawatir bila para putra Dalem Tampuwagan kembali ke Gelgel pasti akan diberi kedudukan sebagai Manca yang akan berakibat kedudukan mereka tergeser.

Jadi tujuan serangan kali ini adalah membunuh para putra. Naluri jiwa kesatria Gusti Poh Tegeh bangkit lalu bersama para kerabatnya memimpin perang mempertahankan dan melindungi para putra. Perang berkecamuk seru berhari-hari, namun segera terlihat kekuatan yang tidak seimbang. Pasukan bertahan yang dipimpin I Gusti Agung Bekung bersama Dewa Bagus Dharma dipukul mundur meninggalkan mayat prajurit sekitar 5000 orang.

Pada suatu pagi hari di saat hujan rintik-rintik dan matahari baru bersinar terang-terang tanah gugurlah Dewa Bagus Dharma, putra tercinta Ide Bethara Dalem Tampuwagan. Para Kakek, adik-adik beliau serta seluruh rakyat pegunungan berduka cita sedalam-dalamnya. Beliau sebenarnya mempunyai ilmu kekebalan tubuh pembawaan sejak lahir, namun di saat fajar kekebalan itu sirna sementara; rupanya kelemahan ini diketahui musuh.

Beliau direbut berpuluh-puluh prajurit I Gusti Gede Kaler di saat fajar. Tempat gugurnya diberi nama Siang Kangin. Di situ pula layon beliau diupacarakan dan distanakan pada pelinggih yang dibangun, selanjutnya dinamakan Pura Siang Kangin. Sejak gugurnya Ide Bethara Siang Kangin, rakyat pegunungan menderita kekalahan terus-menerus dalam peperangan.

Untuk mencegah korban yang lebih banyak maka para pemimpin rakyat pegunungan berunding lalu mengambil keputusan untuk menyelamatkan para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan. Cara menyelamatkan para putra disepakati sebagai berikut :

  1. Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari diiringi ibunda beliau Gusti Luh Puwaji beserta empat orang saudaranya ke Puri Gelgel meminta perlindungan Dalem Ketut.
  2. Gusti Gede Bandem pergi ke Desa Keling (Karangasem).
  3. Gusti Gede Belayu berangkat kearah Tabanan, menetap di suatu tempat yang kini bernama Desa Belayu.
  4. Gusti Gede Balangan menetap di Desa Pantunan atas jaminan keselamatan dari Gusti Agung Pasek Gelgel.
  5. Gusti Gede Dangin atas permintaan beliau, tidak mau turut ke Gelgel, lalu berangkat menuju daerah Den Bukit (Buleleng) diiringi rakyat 12 orang, menuju Desa Sudaji.
Demikianlah keenam bersaudara itu berpisah menuju tempatnya masing-masing. Sedih dan pilu hati mereka karena harus berpisah dan meninggalkan kampung halaman, namun pasrah menyerahkan nasibnya kepada Ide Sanghyang Widhi Wasa.

Setibanya Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari di Puri Gelgel, langsung menghadap Dalem Ketut Sri Semara Kepakisan. Betapa gembiranya Dalem Ketut menerima kemenakan-kemenakan beliau, namun terasa agak kecewa karena tidak semua kemenakannya mau hadir. Tetapi akhirnya beliau maklum setelah mendapat penjelasan dari Gusti Agung Pasek Gelgel bahwa keputusan untuk menuju tempat masing-masing sudah dipertimbangkan dengan baik.

Dalem Ketut kemudian memberikan penugrahan kepada para kemenakannya sebagai berikut:


Warga Pulasari telah "kesurud wangsa"-kan menjadi Wesia Dalem sehingga diminta untuk tidak “memada-mada” Dalem.Namun demikian d alam upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata cara seorang Raja. Cuntaka kematian : Bila dibakar, 3 malam; bila ditanam, 7 malam. Selalu berbakti di Pura-pura Kahyangan Jagat Bali. Selalu bakti dan ingat pada Pedanda dan orang-orang suci. Jangan melakukan hubungan suami-istri di luar perkawinan (berzina). Bila mampu dapat mempelajari kemoksaan sehingga menjadi seorang Dwijati dengan gelar Bhagawan, karena warga Pulasari (Pagosedata) masih berdarah Brahmana; karena itu wajib pula berbakti di Pedarmaan Brahmana di Besakih serta pelinggih Ide Bethara Hyaang Gnijaya di Tolangkir dan di Lempuyang, pelinggih I Ratu Pande dan I Ratu Gede Penyarikan di Besakih.

Semua warga Pulasari satu sama lain harus tetap mengaku bersaudara, paling tidak mengaku memisan atau memindon. Pedoman upacara pelebon: bagi Sulinggih: pemereman padma trawang bertingkat : 5,7,9, atau 11, daun pisang Kaikik, gamet, kesumba. Jika mayat dibakar (bakar biasa atau pelebon) wajib melaksanakan upacara ngeleb awu ke sungai atau laut. Dibebaskan dari: pajak, pejah panjungan, cecangkriman, ambungan lalang, sasasrandana, pepanjingan, pecatuan dan perintah. Para Manca dan Punggawa agar mentaati ketentuan ini.

Pada upacara kematian agar meminta tirta pengentas "Yeh-Tunggang" dari Tolangkir melalui Ki Pemangku. Jabatan yang diberikan: Gusti Gede Sekar sebagai Manca di Nongan, Gusti Gede Pulasari sebagai Dukuh di Pulasari, Gusti Gede Bandem sebagai Manca di Nagasari, dan Gusti Gede Belayu sebagai Manca di Ogang.

Kepada para putra yang menduduki jabatan-jabatan tersebut diminta untuk:
  1. Melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
  2. Memahami ketentuan-ketentuan catur warna
  3. Memahami dan melaksanakan asta beratha
  4. Menghormati dan menjaga kesucian Pura-Pura Sad Kahyangan
  5. Meningkatkan pengetahuan
  6. Menghormati dan menjunjung Pemerintah
  7. Menghormati dan menjunjung para Pendeta
  8. Tidak melakukan perkawinan yang dilarang yaitu mengawini perempuan yang tidak patut dikawini: saudara sebapak / seibu / sekandung, anak guru, wanita yang lebih tua, saudara Bapak / Ibu, anak Paman/Bibi, wanita yang mempunyai suami, wanita yang statusnya lebih tinggi.

Setelah berlalu beberapa masa, datanglah seorang keturunan Ide Bethara Hyang Genijaya dari Majapahit bernama Sangkul Putih bersama istri dan para putranya. Beliau mendarat di Padang lalu langsung ke Puri Gelgel menghadap Dalem Ketut. Bertepatan saat itu Ide Dalem Ketut sedang memberikan penugrahan kepada para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan yang kali ini hadir secara lengkap, yaitu: Gusti Gede Sekar, Gusti Gede Pulasari, Gusti Gede Bandem, Gusti Gede Belayu, Gusti Gede Balangan, dan Gusti Gede Dangin, sehingga Sangkul Putih turut mendengarkan wejangan beliau sebagai berikut:


Selanjutnya beliau Dalem Ketut bersabda :


Beberapa waktu kemudian, Ide Dalem Ketut kembali mengumpulkan para kemenakan beliau (putra-putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan) lalu meneruskan penugrahan yang diterima dari para putra-putri Sanghyang Pasupati, yaitu Ide Bethara Mahadewa yang berstana di Tolangkir dan adik beliau Ide Bethari Dewi Danu yang berstana di Danau Batur sebagai berikut:


Selanjutnya Dalem Ketut bersabda:

"Kalian kemenakanku, walaupun kalian telah disurud-wangsakan, namun kalian masih aku anugerahi hak-hak sebagai berikut:

Para penguasa di daerah, yaitu Manca dan Punggawa diberitahu semua penugrahan Ide Bethara Dalem Ketut tersebut untuk ditaati dan diindahkan, ditambah lagi penekanan agar mereka senantiasa menghormati para kemenakan beliau seketurunan. Apabila ada yang berani menentang atau tidak melaksanakan, mudah-mudahan hilang kesaktiannya dan luntur kewibawaannya.

Beberapa waktu kemudian Ide Dalem Ketut memberikan tambahan wejangan setelah mendapat wahyu dari Ide Bethara Brahma:


Selain memberikan penugrahan di bidang agama dan kedharmaan, Ide Dalem Ketut juga memberikan "Mantri sesana", yaitu tata susila sebagai pejabat yang bertugas dan berkedudukan sebagai berikut :

Kecuali I Gusti Gede Dangin, semua putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan diberikan pamancanggah yang memuat penugrahan tersebut di atas ditambah dengan gambar rerajahan rurub kajang dan rerajahan daun pisang Kaikik selengkapnya.

Pamancanggah itu disahkan dan diumumkan oleh Ide Dalem Ketut pada Hari Kamis, Umanis, wuku Ukir, panglong ping 13 (telulas) sasih Kapat, Isaka 1339 (1417 M). Pamancanggah itu diupacarai/dipasupati sebagaimana mestinya. Sesampainya di tempat kedudukan masing-masing, para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan menempatkannya di pelinggih pemerajan dan dipuja oleh seketurunan beliau-beliau. Bila ada yang mengabaikan kewajiban memuja dan mentaati pamancanggah itu mudah-mudahan dikutuk oleh Ide Bethara Kawitan.


Silsilah Ide Bethara Dalem Tarukan.

Sanghyang Pasupati berputra :

  1. Bhatara Hyang Gnijaya
  2. Bhatara Hyang Putranjaya
  3. Bhatari Dewi Danuh
  4. Bhatara Hyang Tugu
  5. Bhatara Hyang Manikgalang
  6. Bhatara Hyang Manikgumawang
  7. Bhatara Hyang Tumuwuh

Bhatara Hyang Gnijaya berputra Mpu Withadharma (Sri Mahadewa)Mpu Withadharma berputra :

  1. Mpu Bhajrasattwa (Mpu Wiradharma)
  2. Mpu Dwijendra (Mpu Rajakretha)
Mpu Bhajrasattwa berputra : Mpu Tanuhun (Mpu Lampita)Mpu Tanuhun berputra :
  1. Mpu Gnijaya
  2. Mpu Sumeru (Mpu Mahameru)
  3. Mpu Ghana
  4. Mpu Kuturan (Mpu Rajakretha)
  5. Mpu Bharadah (Mpu Pradah)
Mpu Bharadah berputra :

  1. Mpu Siwagandu
  2. Ni Dyah Widawati
  3. Mpu Bahula
Mpu Bahula berputra :

Mpu Tantular berputra :

  1. Danghyang Kepakisan
  2. Danghyang Smaranatha
  3. Danghyang Sidhimantra
  4. Danghyang Panawasikan
Danghyang Kepakisan berputra : Sri Soma Kepakisan. Sri Soma Kepakisan berputra :
  1. Sri Juru (Dalem Blambangan)
  2. Sri Bhima Sakti (Dalem Pasuruan)
  3. Sri Kepakisan (Dalem Sumbawa)
  4. Sri Kresna Kepakisan (Dalem Bali)
Sri Kresna Kepakisan berputra :
  1. Dalem Samprangan
  2. Dalem Tarukan
  3. Dewa Ayu Wana
  4. Dalem Sri Smara Kepakisan
  5. Dewa Tegal Besung
Mpu Tanuhun (Mpu Lampita) berputra lima, yaitu

  1. Mpu Gnijaya
  2. Mpu Sumeru
  3. Mpu Ghana
  4. Mpu Kuturan
  5. Mpu Bharadah.
Kelimanya disebut Panca Tirta. Mpu Gnijaya menurunkan Sapta Rsi, yaitu: Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Preteka, dan Mpu Dangka.Beliau bertujuh selanjutnya, lama-kelamaan menurunkan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi.

Saudara bungsu Mpu Gnijaya yaitu Mpu Bharadah lama-kelamaan menurunkan Para Gotra Sentana Dalem Tarukan atau dikenal sebagai warga Pulasari. Adanya tali kekeluargaan seperti itulah yang disadari oleh warga Pasek di pegunungan di saat beliau-beliau membantu dan menyelamatkan Ide Bethara Dalem Tarukan di pengungsian sebagaimana telah diuraikan di muka.

Patutlah warga Pulasari berhutang budi kepada warga Pasek. Kesadaran ini pula yang mungkin mendasari ide pembangunan Pura Pusat Pulasari berdampingan dengan Pura Pasek. Di Bali gelar "Pasek" yang berasal dari perkataan "Pacek"(= paku) pertama kali digunakan oleh Arya Kepasekan, yaitu putra Mpu Ketek yang termasuk kelompok Sapta Rsi.

Ada juga warga Pasek yang di luar kelompok Sapta Rsi, yaitu keturunan dari Mpu Sumeru yang berputra Mpu Kamareka, selanjutnya menurunkan warga Pasek Kayu Selem, Pasek Celagi, Pasek Tarunyan, dan Pasek Kayuan. Beliau-beliau juga sangat besar jasanya menyelamatkan Ide Bethara Dalem Tarukan.

Kesimpulannya bahwa gelar: Kepakisan, Paku, Pasek bermakna dan berderajat sama yaitu sebagai fungsi kekuasaan atau pemimpin di suatu wilayah tertentu atau pemimpin suatu penugasan/jabatan tertentu yang didelegasikan oleh Dalem (Kaisar = Maha Raja, atau Raja)

  1. Tidak merabas pohon atau memakan buah: Jawa, Jali.
  2. Tidak mengurung, membunuh, atau memakan daging burung Puyuh dan Perkutut.
  3. Tidak memakan beras mentah.
  4. Mayat yang dikubur atau dibakar kepalanya di arah Barat.
  5. Tidak memelihara dan memakan daging Manjangan.
  6. Tidak menerima sebutan/ucapan: "cai" dan "cokor I Dewa"
  7. Boleh menerima sebutan/ucapan: "Jero", "Ratu", "Gusti"
  8. Upacara pelebon boleh menggunakan: Sebagaimana layaknya seorang Raja.• Pemereman Padma Terawang• Pemereman Bade Tumpang Pitu• Benusa• Tumpang salu dari bambu “ampel” kuning• Ulon• Jempana• Rurub Kajang Pulasari• Daun Pisang Kaikik• Bale Gumi berundak tujuh • Bale Silunglung• Damar kurung• Upacara ngaskara lengkap
  9. Tidak membuang atau menyia-nyiakan makanan, minuman, dan uang.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

KERAJAAN KLUNGKUNG 22 May 2011 5:52 PM (13 years ago)



RAJA - RAJA KLUNGKUNG

  1. Dewa Agung Jambe I (1686-c. 1722)
  2. Dewa Agung Gede (c. 1722-1736)
  3. Dewa Gede Agung (c. 1722-1736)
  4. Dewa Agung Made (1736-c. 1760)
  5. Dewa Agung Śakti (c. 1760-1790
  6. Dewa Agung Putra I Kusamba (c. 1790-1809)
  7. Gusti Ayu Karang (regent 1809-1814
  8. Dewa Agung Putra II (1814–1850
  9. Dewa Agung Putra III Bhatara Dalem (1851–1903)
  10. Dewa Agung Jambe II (1903–1908
  11. Dewa Agung Oka Geg (1929–1950

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

PATUNG JOKO DOLOG 21 May 2011 11:52 PM (13 years ago)

PERWUJUDAN RAJA KERTANEGARA


Menurut legenda patung ini dibuat pada tahun 1211 Caka atau tahun 1289 Masehi di pemakaman Wurarare (Lemahtulis) kediaman Mpu Bharadah atau desa Kedungwulan dekat Nganjuk Jawa Timur. Patung tersebut dibuat untuk menghormati Kertanegara Putra Wisnu Wardhana sebagai raja Singosari pada masa itu. Beliau terkenal karena kebijaksanaannya, pengetahuannya yang luas dalam bidang hukum dan ketaatannya pada agama Budha serta cita-citanya yang ingin
mempersatukan wilayah Nusantara.

Legenda lain meny
ebutkan bahwa Kertanegara membangun patung untuk menghilangkan kutukan Mpu Bharadah yang dapat menggagalkan usahanya mempersatukan kerajaan - kerajaan yang terpisah - pisah pada saat itu. Menurut keterangan Bupati Surabaya (Regent), patung Joko Dolog berasal dari kandang gajah.

Pada tahun 1827 pemerintah Hindia Belanda yang waktu itu dibawah Residen De Salls memindahkan patung tersebut ke Surabaya dan ditempatkan di Taman Apsari, seringkali dikunjungi orang untuk memberi penghormatan dan mengekspresikan harapan mereka. Berlokasi di jalan Taman Apsari - Surabaya Pusat, bebas dikunjungi dan memiliki areal parkir yang memadai untuk segala kendaraan.

Kertanagara adalah seorang pengikut setia agama Buda Tantra dan dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Buddha) yang bergelar Jnanasiwabajra, yaitu sebagai Aksobhya dimana Joko Dolok itu adalah arca perwujudannya sendiri. Raut mukanya teduh dan tangannya membentuk sikap bhumisparsamudra atau telapak tangan kiri tertutup dan seolah ingin menyentuh bumi. Sedangkan dalam Pararaton dan berbagai Prasasti, setelah wafat dinamakan Siwabuddha, dimana dalam kitab Nagarakrtagama dikatakan Siwabuddhaloka. Pada batur alas sandarannya terdapat serangkaian tulisan Jawa kuno yang disebut prasasti yang disebut Wurare. Prasasti berangka tahun 1211 C atau 1289 M itu memuat beberapa fakta sejarah di jaman kerajaan Singosari. Inti prasasti tersebut adalah :


  1. Dahulu kala tanah Jawa dibagi 2 oleh Arrya Bharrad dinamakan dengan Jenggala dan Pamjalu.
  2. Namun pada jaman raja Wisnuwardhana, kedua daerah terpecah itu berhasil disatukan kembali.
  3. Raja yang memerintahkan pembuatan prasasti ditasbihkan sebagai Cri Jnanjaciwabajra dan perwujudannya sebagai Jina Mahasobya.
  4. Prosesi pentasbihan tersebut di kburan Wurare. Dalam waktu singkat sang raja berhasil menyatukan daerah-daerah yang terpecah belah.
  5. Nada adalah nama pembuat prasasti tersebut.

Dari data-data tersebut terlihat jelas kaitannya dengan proses sejarah Jawa Timur jaman dulu. Raja kerajaan Kahuripan bernama Airlangga memutuskan membagi kerajaannya menjadi 2 bagian untuk kedua anaknya supaya tidak terjadi perang saudara. Bagian timur disebut Jenggala dan bagian barat disebut Pamjalu. Tugas tersebut dilakukan oleh Mpu Barada.

Oleh raja Wisnuwardhana dari kerajaan Singosari beberapa abad selanjutnya, kedua wilayah berseberangan tersebut berhasil disatukan kembali. Dia juga melakukan perkawinan politik dengan mengawinkan anaknya Turuk Bali dengan raja Kediri Jayakatwang untuk menghindari perebutan kekuasaan. Usaha perkawinan politik tersebut dilanjutkan oleh penerus raja Wisnuwardhana, Kertanegara, dengan mengawinkan anaknya dengan anak Jayakatwang yang bernama Ardharaja. Selain itu Kertanegara juga berusaha mengesahkan status ke-raja-annya dengan menyebut sebagai anak dari Cri Jayawisnuwarddhana dan Crijayawardhani. Dia juga mengkukuhkan diri sebagai Jina Mahasobhya dengan gelar Crijnanjaciwabajra. Tujuannya adalah untuk menunjukan kekuasan dan kebesaran dirinya.

Disamping itu gelar tersebut juga ternyata mempunyai latar belakang politik karena dia sedang bertikai dengan raja Mongol Kubilai Khan karena menghina utusannya tahun 1211 C / 1289 M. Raja Mongol tersebut dikukuhkan sebagai Jina Mahamitha. Dengan gelar Jina Mahasobhya, Kertanegara ingin disejajarkan dengan raja Mongol. Mahasobhya adalah dewa penguasa angina timur, sedangkan mahamitha adalah Jina penguasa angina barat. Dengan demikian Kertanegara mengkukuhkan diri sebagai penguasa wilayah timur.

Dengan data-data tersebut nampak bahwa arca Mahasobya ini merupakan peruwujudan Kertanegara sendiri. Dan prasasti Wurare merupakan bukti keberanian bangsa kita yang tidak ingin dijajah oleh bangsa lain manapun. Atau mungkin juga sudah semestinya letaknya di Surabaya yang penduduknya terkenal dengan keberanian dan sifat-sifat kepahlawanannya. Demikianlah penggalan kitab Negarakretagama, sebuah kakawin kaya informasi tentang kerajaan Majapahit dan Singosari, berkaitan dengan raja Singosari ke-2, Anusapati, beserta tempat pendharmaannya di candi Kidal.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

CALONARANG 21 May 2011 4:11 PM (13 years ago)

Calon Arang Calon Arang adalah seorang tokoh dalam cerita rakyat Jawa dan Bali dari abad ke-12. Tidak diketahui lagi siapa yang mengarang cerita ini. Salinan teks Latin yang sangat penting berada di Belanda, yaitu di Bijdragen Koninklijke Instituut.


Diceritakan bahwa ia adalah seorang janda pengguna ilmu hitam yang sering merusak hasil panen para petani dan menyebabkan datangnya penyakit.

Situs Calonarang di Kediri

Naskah lontar yang berisi Ceritera Calon Arang itu ditulis dengan aksara Bali Kuna. Jumlahnya empat naskah, asing-masing bernomor Godex Oriental 4561, 4562, 5279 dan 5387 (lihat Catalogus Juynboll II. P. 300-301; Soewito Santoso 1975; 11-12).

Meskipun aksaranya Bali Kuna, tetapi bahasanya Kawi atau Jawa Kuna. Naskah yang termuda no. 4561, Beberapa bagian dari naskah 4562-5279 dan 5287 tidak lengkap sehingga dengan tiga naskah ini dapat saling melengkapi. Sebenarnya naskah no. 5279 dan 5287 merupakan satu naskah; naskah no. 5279 berisi ceritera bagian depan, sedangkan no. 5387 berisi ceritera bagian belakang. Naskah tertua no. 5279 berangka tahun 1462 Saka (1540 M). Semua naskah tersebut disimpan di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal – Land – en Volkenkunde van Ned. Indies di Leiden, Belanda.

Naskah Calon Arang pernah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka (lihat “De Calon Arang” dalam BKI 82. 1926: 110-180) dan pada 1975 diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Dr. Soewito santoso (lihat “Calon Arang Si Janda Dari Girah”, Balai Pustaka 1975). Uraian di bawah ini disarikan dari tulisan Dr. Soewito Santoso tersebut.


LATAR BELAKANG SEJARAH

Raja Airlangga (1006-1042 M) memerintah di Jawa Timur sejak 1021 sesuai dengan isi prasati Pucangan (Calcutta). Pusat kerajaan Airlangga berpindah-pindah karena diserang oleh musuh. Prasasti Terep (1032 M) menyebutkan raja Airlangga lari dari istananya di Watan Mas ke Patakan karena serangan musuh. Prasasti tidak menyebutkan bahwa keraton Airlangga ada di Daha atau Kediri, tetapi naskah Calon Arang ini menyebutkan keraton Airlangga ada di Daha (Kediri).


Dalam masa Airlangga agama Budha. Di antara sekte-sekte agama Budha ada Sekte Tantrayana yang ajarannya lewat jalan pintas agar umatnya segera mencapai moksa. Upacara yang dilakukan antara lain menari-nari di atas kuburan dengan iringan musik (instrumen kangsi dan kemanak) sambil minum darah dan makan daging mayat yang dilakukan pada malam hari bertelanjang badan. Ajaran ini kemudian juga dianut oleh raja Kertanegara (1268-1292 M) dari Singasari. Dengan cara demikian terjadilah pertemuan jiwa antara pelaku upacara dengan dewanya (lihat juga naskah Tantu Panggelaran disertasi dari Th. Pigeud 1924). Ajaran Tantra dimasudkan untuk kebaikan bukan kejahatan.

Ringkasan Ceritera Ceritera ini terdiri atas dua bagian:
  1. Tentang Calon Arang,
  2. Tentang pembagian wilayah kerajaan Airlangga kepada dua puteranya.

Di desa Girah tinggal seorang janda sakti bernama Calon Arang bersama dengan anak gadisnya yang sudah dewasa bernama Ratna Manggali. Karena orang takut kepada sang janda, maka tak ada laki-laki yang bernai melamar Ratna Manggali. Mengetahui hal ini, Calong Arang marah dan menenung rakyat sebagai hukuman. Caranya ia melakukan upacara yang mengerikan di atas kuburan sambil menyampaikan sesaji.

Dewi Bhagawati (mungkin identik dengan Dewi Durga) turun dan mengabulkan permohonan Calon Arang. Wabah penyakit menyebar, jika orang sakit pada pagi hari, sorenya mati. Korban terlalu banyak. Raja Airlangga mendapat laporan yang menyedihkan ini dan mencoba mencari jalan untuk memusnahkan penyakit dan penyebabnya. Mula-mula pasukan tentara dikirim ke Girah untuk membunuh Calon Arang tetapi tidak berhasil karena sang janda sangat sakti. Beberapa orang utusan raja itu terbunuh.

Calon Arang semakin marah dan semakin keras pula tenungnya ditebarkan sehingga korban rakyat semakin banyak. Raja terus berupaya sedangkan para pendeta dan resi di istana berdoa untuk mencari petunjuk. Turunlah petunjuk bahwa hanya Mpu Bharadah dari Desa Lemah Tulis yang dapat mengatasinya. Raja mengirim utusan kepada Mpu Bharadah untuk meminta tolong.

Sebuah batu berbentuk limas terpancung dalam posisi terbalik, teronggok di bawah sebuah pohon di salah satu sisi Petilasan Calon Arang. Di lokasi Petilasan Calon Arang ini terdapat empat buah batu seperti ini dengan ukuran yang hampir sama, dan diduga merupakan umpak (alas pilar) bangunan.


Permohonan diterima lalu Mpu Bharadah menyuruh putranya yang bernama Mpu Bahula untuk menghadap raja dengan maksud agar upaya mengawini Ratna Manggali dapat dibantu urusan mas kawinnya. Raja setuju dan Bahula pergi menghadap Calon Arang untuk melamar Ratna Manggali. Lamaran diterima lalu kawinlah Bahula dengan Ratna Manggali dan tinggallah Bahula di rumah mertuanya.

Dari Ratna Manggali itu Bahula tahu bahwa Calon Arang selalu membaca kitab dan tiap malam melakukan upacara di kuburan. Bahula pulang ke Lemah Tulis sambil membawa kitab dan menceriterakan kebiasaan Calon Arang kepada Mpu Bharadah. Bahula segera disuruh kembali ke Girah sebelum diketahui oleh mertuanya. Mpu Bharadah menyusul ke Girah. Dalam perjalanan ke Girah, Bharadah menyembuhkan orang-orang sakit dan menghidupkan orang mati yang mayatnya masih utuh, tetapi jika mayatnya rusak tidak dapat dihidupkan lagi.

Areal persawahan menuju
situs Calonarang

Di kuburan Desa Girah bertemulah Bharadah dengan Calon Arang. Bharadah memperingatkan Calon Arang agar menghentikan tenungnya karena terlalu banyak kesengsaraan yang diderita oleh rakyat. Calon Arang bersedia menuruti Bharadah asalkan ia diruwat oleh Bharadah untuk melebur dosa-dosanya. Bharadah tidak mau meruwatnya karena dosa Calon Arang terlalu besar. Terjadilah pertengkaran dan Calon Arang mencoba membunuh Bharadah dengan menyemburkan api yang keluar dari matanya.

Bharadah lebih sakti dan sebaliknya Calon Arang mati dalam keadaan berdiri. Kemudian Calon Arang dihidupkan lagi oleh Bharadah untuk diberi ajaran kebenaran agar bisa mencapai moksa. Calon Arang merasa bahagia karena sang pendeta mau mengajarkan jalan ke surga. Setelah selesai ajaran-ajaran itu disampaikan. Calon Arang dimatikan lagi lalu mayatnya dibakar. Dua murid Calon Arang bernama Woksirsa dan Mahisawadana dijadikan murid Bharadah.


Bharadah menyuruh Bahula untuk melaporkan pekerjaannya kepada raja di Istana. Raja dan isteri beserta pengiringnya menuju ke Girah untuk mengucapkan terima kasih kepada Mpu Bharadah, Raja kembali ke istana. Bharadah mencucikan Girah dan membangun punden untuk para Pendeta. Bharadah menyusul raja ke istana. Raja ingin menjadi murid sangat pendeta lalu diadakan upacara. Raja sudah mengeluarkan biaya upacara lalu diajarkan catur asrama, yaitu empat tataran kehidupan. Bharadah juga minta agar tradisi lama dihidupkan lagi, yaitu Dewasasana, Rajasasana, Rajaniti, Rajakapakapa, Munasasasana, Resisasana dan Adhigama.

Pembagian Kerajaan Airlangga Ceritera ini tidak relevan dengan Calon Arang, tetapi relevan dengan peranan Mpu Bharadah ketika Airlangga mendapat kesulitan untuk memberi kedudukan kepada dua puteranya tercinta. Intinya kerajaan Airlangga dipecah dua menjadi Kadiri dan Janggala; Kadiri untuk anak yang muda dan Janggala untuk anak yang tua. Peristiwa ini juga disebut dalam prasasti Aksobhya (1289 M), tetapi nama Kadiri disebut Pangjalu.

Naskah lontar Calon Arang yang berlatar belakang sejarah masa Airlangga ini penting untuk memperjelas gambaran mengenai tatacara kerajaan dan upacara-upacara keagamaan. Hal-hal demikian tidak disebutkan dalam prasasti, sedangkan pada naskah lain yang lebih muda gambarannya dikhawatirkan mengandung bias terlalu jauh.


SITUS CALONARANG


Di tengah-tengah sangat populernya dramatari Calon Arang, ternyata keberadaan situs Calon Arang yang terletak di Dusun Butuh, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur belum tersentuh tangan pemerintah. Namun begitu lokasi yang diyakini sebagai bekas tempat tinggal janda yang namanya mendunia itu mendapat perhatian dari warga sekitar. Mereka merawat dan membersihkan lokasi situs yang terletak di tengah perkebunan tebu itu secara mandiri.

"Warga desa kami sangat menghormati tempat ini. Dari dulu sampai sekarang kami secara bergantian membersihkan batu-batu ini saat berangkat atau pulang dari sawah," kata Wage, salah seorang warga yang sedang membersihkan situs Calon Arang, Menurut dia, seharusnya tempat tersebut sudah waktunya mendapat perhatian dari pemerintah. Karena selain memiliki nilai sejarah, jika tidak diperhatikan bisa hilang dicuri orang.

"Meskipun secara ikhlas warga turut menjaga dan merawat tempat ini, tapi bisa saja ada orang yang tidak bertanggungjawab mencuri batu-batu ini. Apalagi lokasinya lumayan jauh dari pemukiman," katanya. Di situs itu terdapat dua buah batu yang merupakan ambang pintu dari bahan batu andesit. Ambang pintu pertama berukuran, panjang 135 cm, lebar 56 cm dan tebal 29 cm. Ambang pintu kedua berukuran: panjang 137 cm, lebar 38 cm dan tebal 23 cm. Keduanya dalam kondisi baik. Pada sisi atas di sebelah akan dan kiri terdapat dua lobang segi empat dan lingkaran. Kemungkinan ini dipakai tempat pilar penyangga semacam kusen pintu.

Selain ambang pintu terdapat 4 buah umpak dari bahan batu andesit yang rata-rata berukuran sekitar: panjang bawah 50 cm, panjang atas 45 cm, lebar bawah 50 cm, lebar atas 45 cm dan tinggi sekitar 50 cm. Keempat umpak batu berbentuk prisma itu diperkirakan merupakan pondasi penyangga empat sudut rumah. Juga terdapat dua buah balok batu dari bahan batu andesit dengan ukuran, batu pertama: panjang 62 cm, lebar 40 cm dan tebal 17 cm. Batu kedua: panjang 67 cm, lebar 47 cm dan tebal 18 cm
.

J Sutjahjo Gani, salah seorang
budayawan Kota Kediri menjelaskan, tempat tersebut pernah didatangi para ahli sejarah dan budayawan dari Pulau Dewata Bali. Kedatangan mereka untuk membuktikan apakah ada keterkaitan antara situs tersebut dengan dramatari kolosal Calon Arang yang selama ini diklaim sebagai hasil kesenian asli Bali itu. "Situs Calon Arang pernah didatangi tim dari Bali dari Yayasan Bapak Prof. DR. Wyn Mertha Suteja, SH, PhD. Rencananya di atas tanah di mana situs Calon Arang berada dini akan dibangun semacam bangunan," kata Soetjahjo Gani, yang bertahun-tahun menelusuri ikhwal Calon Arang.

Menurut Gani, dengan kedatangan tim dari Bali itu, menunjukkan bahwa kalangan budayawan Bali juga menyepakati bahwa tanah kampung halaman Calon Arang memang di Dusun Butuh, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Bahwa kemudian peristiwa yang terjadi di Kediri ini menjadi inspirasi bagi para budayawan Bali menciptakan dramatari Calon Arang yang terkenal di seluruh penjuru dunia. "Harus diakui bahwa Calon Arang memang asli Kediri. Sudah waktunya sejarah diluruskan dan tempat ini segera dirawat dengan layak agar tidak musnah," kata Gani

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Add post to Blinklist Add post to Blogmarks Add post to del.icio.us Digg this! Add post to My Web 2.0 Add post to Newsvine Add post to Reddit Add post to Simpy Who's linking to this post?

Naskah lontar yang berisi Ceritera Calon Arang itu ditulis dengan aksara Bali Kuna. Jumlahnya empat naskah, asing-masing bernomor Godex Oriental 4561, 4562, 5279 dan 5387 (lihat Catalogus Juynboll II. P. 300-301; Soewito Santoso 1975; 11-12). Meskipun aksaranya Bali Kuna, tetapi bahasanya Kawi atau Jawa Kuna. Naskah yang termuda no. 4561,

Beberapa bagian dari naskah 4562-5279 dan 5287 tidak lengkap sehingga dengan tiga naskah ini dapat saling melengkapi. Sebenarnya naskah no. 5279 dan 5287 merupakan satu naskah; naskah no. 5279 berisi ceritera bagian depan, sedangkan no. 5387 berisi ceritera bagian belakang. Naskah tertua no. 5279 berangka tahun 1462 Saka (1540 M). Semua naskah tersebut disimpan di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal – Land – en Volkenkunde van Ned. Indies di Leiden, Belanda.

Naskah Calon Arang pernah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka (lihat “De Calon Arang” dalam BKI 82. 1926: 110-180) dan pada 1975 diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Dr. Soewito santoso (lihat “Calon Arang Si Janda Dari Girah”, Balai Pustaka 1975). Uraian di bawah ini disarikan dari tulisan Dr. Soewito Santoso tersebut.

Latar Belakang Sejarah

Raja Airlangga (1006-1042 M) memerintah di Jawa Timur sejak 1021 sesuai dengan isi prasati Pucangan (Calcutta). Pusat kerajaan Airlangga berpindah-pindah karena diserang oleh musuh. Prasasti Terep (1032 M) menyebutkan raja Airlangga lari dari istananya di Watan Mas ke Patakan karena serangan musuh. Prasasti tidak menyebutkan bahwa keraton Airlangga ada di Daha atau Kediri, tetapi naskah Calon Arang ini menyebutkan keraton Airlangga ada di Daha (Kediri).

Dalam masa Airlangga agama Budha. Di antara sekte-sekte agama Budha ada Sekte Tantrayana yang ajarannya lewat jalan pintas agar umatnya segera mencapai moksa. Upacara yang dilakukan antara lain menari-nari di atas kuburan dengan iringan musik (instrumen kangsi dan kemanak) sambil minum darah dan makan daging mayat yang dilakukan pada malam hari bertelanjang badan. Ajaran ini kemudian juga dianut oleh raja Kertanegara (1268-1292 M) dari Singasari. Dengan cara demikian terjadilah pertemuan jiwa antara pelaku upacara dengan dewanya (lihat juga naskah Tantu Panggelaran disertasi dari Th. Pigeud 1924). Ajaran Tantra dimasudkan untuk kebaikan bukan kejahatan.

Ringkasan Ceritera

Ceritera ini terdiri atas dua badian: yang pertama tentang Calon Arang, yang kedua tentang pembagian wilayah kerajaan Airlangga kepada dua puteranya.

Di desa Girah tinggal seorang janda sakti bernama Calon Arang bersama dengan anak gadisnya yang sudah dewasa bernama Ratna Manggali. Karena orang takut kepada sang janda, maka tak ada laki-laki yang bernai melamar Ratna Manggali. Mengetahui hal ini, Calong Arang marah dan menenung rakyat sebagai hukuman. Caranya ia melakukan upacara yang mengerikan di atas kuburan sambil menyampaikan sesaji. Dewi Bhagawati (mungkin identik dengan Dewi Durga) turun dan mengabulkan permohonan Calon Arang. Wabah penyakit menyebar, jika orang sakit pada pagi hari, sorenya mati. Korban terlalu banyak. Raja Airlangga mendapat laporan yang menyedihkan ini dan mencoba mencari jalan untuk memusnahkan penyakit dan penyebabnya.

Mula-mula pasukan tentara dikirim ke Girah untuk membunuh Calon Arang tetapi tidak berhasil karena sang janda sangat sakti. Beberapa orang utusan raja itu terbunuh. Calon Arang semakin marah dan semakin keras pula tenungnya ditebarkan sehingga korban rakyat semakin banyak. Raja terus berupaya sedangkan para pendeta dan resi di istana berdoa untuk mencari petunjuk. Turunlah petunjuk bahwa hanya Mpu Bharadah dari Desa Lemah Tulis yang dapat mengatasinya. Raja mengirim utusan kepada Mpu Bharadah untuk meminta tolong. Permohonan diterima lalu Mpu Bharadah menyuruh muridnya bernama Bahula untuk menghadap raja dengan maksud agar upaya mengawini Ratna Manggali dapat dibantu urusan mas kawinnya.

Raja setuju dan Bahula pergi menghadap Calon Arang untuk melamar Ratna Manggali. Lamaran diterima lalu kawinlah Bahula dengan Ratna Manggali dan tinggallah Bahula di rumah mertuanya. Dari Ratna Manggali itu Bahula tahu bahwa Calon Arang selalu membaca kitab dan tiap malam melakukan upacara di kuburan. Bahula pulang ke Lemah Tulis sambil membawa kitab dan menceriterakan kebiasaan Calon Arang kepada Mpu Bharadah. Bahula segera disuruh kembali ke Girah sebelum diketahui oleh mertuanya. Mpu Bharadah menyusul ke Girah. Dalam perjalanan ke Girah, Bharadah menyembuhkan orang-orang sakit dan menghidupkan orang mati yang mayatnya masih utuh, tetapi jika mayatnya rusak tidak dapat dihidupkan lagi.

Di kuburan Desa Girah bertemulah Bharadah dengan Calon Arang. Bharadah memperingatkan Calon Arang agar menghentikan tenungnya karena terlalu banyak kesengsaraan yang diderita oleh rakyat. Calon Arang bersedia menuruti Bharadah asalkan ia diruwat oleh Bharadah untuk melebur dosa-dosanya. Bharadah tidak mau meruwatnya karena dosa Calon Arang terlalu besar. Terjadilah pertengkaran dan Calon Arang mencoba membunuh Bharadah dengan menyemburkan api yang keluar dari matanya. Bharadah lebih sakti dan sebaliknya Calon Arang mati dalam keadaan berdiri.

Kemudian Calon Arang dihidupkan lagi oleh Bharadah untuk diberi ajaran kebenaran agar bisa mencapai moksa. Calon Arang merasa bahagia karena sang pendeta mau mengajarkan jalan ke surga. Setelah selesai ajaran-ajaran itu disampaikan. Calon Arang dimatikan lagi lalu mayatnya dibakar. Dua murid Calon Arang bernama Woksirsa dan Mahisawadana dijadikan murid Bharadah.

Bharadah menyuruh Bahula untuk melaporkan pekerjaannya kepada raja di Istana. Raja dan isteri beserta pengiringnya menuju ke Girah untuk mengucapkan terima kasih kepada Mpu Bharadah, Raja kembali ke istana. Bharadah mencucikan Girah dan membangun punden untuk para Pendeta. Bharadah menyusul raja ke istana. Raja ingin menjadi murid sangat pendeta lalu diadakan upacara. Raja sudah mengeluarkan biaya upacara lalu diajarkan catur asrama, yaitu empat tataran kehidupan.. Bharadah juga minta agar tradisi lama dihidupkan lagi, yaitu Dewasasana, Rajasasana, Rajaniti, Rajakapakapa, Munasasasana, Resisasana dan Adhigama.

Pembagian Kerajaan Airlangga

Ceritera ini tidak relevan dengan Calon Arang, tetapi relevan dengan peranan Mpu Bharadah ketika Airlangga mendapat kesulitan untuk memberi kedudukan kepada dua puteranya tercinta. Intinya kerajaan Airlangga dipecah dua menjadi Kadiri dan Janggala; Kadiri untuk anak yang muda dan Janggala untuk anak yang tua. Peristiwa ini juga disebut dalam prasasti Aksobhya (1289 M), tetapi nama Kadiri disebut Pangjalu.

Naskah ontar Calon Arang yang berlatar belakang sejarah masa Airlangga ini penting untuk memperjelas gambaran mengenai tatacara kerajaan dan upacara-upacara keagamaan. Hal-hal demikian tidak disebutkan dalam prasasti, sedangkan pada naskah lain yang lebih muda gambarannya dikhawatirkan mengandung bias terlalu jauh.

Di tengah-tengah sangat populernya dramatari Calon Arang, ternyata keberadaan situs Calon Arang yang terletak di Dusun Butuh, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur belum tersentuh tangan pemerintah. Namun begitu lokasi yang diyakini sebagai bekas tempat tinggal janda yang namanya mendunia itu mendapat perhatian dari warga sekitar. Mereka merawat dan membersihkan lokasi situs yang terletak di tengah perkebunan tebu itu secara mandiri.

"Warga desa kami sangat menghormati tempat ini. Dari dulu sampai sekarang kami secara bergantian membersihkan batu-batu ini saat berangkat atau pulang dari sawah," kata Wage, salah seorang warga yang sedang membersihkan situs Calon Arang, Minggu (23/3).

Menurut dia, seharusnya tempat tersebut sudah waktunya mendapat perhatian dari pemerintah. Karena selain memiliki nilai sejarah, jika tidak diperhatikan bisa hilang dicuri orang.

"Meskipun secara ikhlas warga turut menjaga dan merawat tempat ini, tapi bisa saja ada orang yang tidak bertanggungjawab mencuri batu-batu ini. Apalagi lokasinya lumayan jauh dari pemukiman," katanya.

Dari pantauan Tempo, di situs itu terdapat dua buah batu yang merupakan ambang pintu dari bahan batu andesit. Ambang pintu pertama berukuran, panjang 135 cm, lebar 56 cm dan tebal 29 cm. Ambang pintu kedua berukuran: panjang 137 cm, lebar 38 cm dan tebal 23 cm. Keduanya dalam kondisi baik. Pada sisi atas di sebelah akan dan kiri terdapat dua lobang segi empat dan lingkaran. Kemungkinan ini dipakai tempat pilar penyangga semacam kusen pintu.

Selain ambang pintu terdapat 4 buah umpak dari bahan batu andesit yang rata-rata berukuran sekitar: panjang bawah 50 cm, panjang atas 45 cm, lebar bawah 50 cm, lebar atas 45 cm dan tinggi sekitar 50 cm. Keempat umpak batu berbentuk prisma itu diperkirakan merupakan pondasi penyangga empat sudut rumah. Juga terdapat dua buah balok batu dari bahan batu andesit dengan ukuran, batu pertama: panjang 62 cm, lebar 40 cm dan tebal 17 cm. Batu kedua: panjang 67 cm, lebar 47 cm dan tebal 18 cm.

J Sutjahjo Gani, salah seorang budayawan Kota Kediri menjelaskan, tempat tersebut pernah didatangi para ahli sejarah dan budayawan dari Pulau Dewata Bali. Kedatangan mereka untuk membuktikan apakah ada keterkaitan antara situs tersebut dengan dramatari kolosal Calon Arang yang selama ini diklaim sebagai hasil kesenian asli Bali itu.

"Situs Calon Arang pernah didatangi tim dari Bali dari Yayasan Bapak Prof. DR. Wyn Mertha Suteja, SH, PhD. Rencananya di atas tanah di mana situs Calon Arang berada dini akan dibangun semacam bangunan," kata Soetjahjo Gani, yang bertahun-tahun menelusuri ikhwal Calon Arang.

Menurut Gani, dengan kedatangan tim dari Bali itu, menunjukkan bahwa kalangan budayawan Bali juga menyepakati bahwa tanah kampung halaman Calon Arang memang di Dusun Butuh, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Bahwa kemudian peristiwa yang terjadi di Kediri ini menjadi inspirasi bagi para budayawan Bali menciptakan dramatari Calon Arang yang terkenal di seluruh penjuru dunia, itu soal lain.

"Harus diakui bahwa Calon Arang memang asli Kediri. Sudah waktunya sejarah diluruskan dan tempat ini segera dirawat dengan layak agar tidak musnah," kata Gani

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.